Naruto Masashi Kishimoto
This is (just) a non-profit fanfiction
.
.
.
Seluruh lampu di rumah sudah padam ketika Naruto melewati pintu. Langkahnya ringan menuju dapur yang hanya disinari cahaya bulan dari ventilasi. Tangan kiri memijit tengkuk dan yang lainnya menuang air ke dalam gelas. Naruto meneguk air sampai tetes terakhir dan beranjak ke lantai dua. Dia berusaha berjalan dalam diam, tahu kalau istrinya sudah tertidur di atas ranjang atau di sofa menghadap balkon dengan novel di atas dadanya.
Naruto Uzumaki tersenyum memikirkan wajah cantik dan damai milik istrinya saat tidur. Perlahan dia meraih gagang pintu, memutar dan mendorong tanpa suara. Kegelapan membuatnya buta sesaat. Butuh beberapa detik baginya untuk menyesuaikan dengan keadaan ruangan yang lebih minim cahaya dibanding lantai bawah. Mata birunya bergerak mencari sosok istri cantiknya yang tertidur, namun tubuhnya membeku. Tenggorokannya seolah tercekik karena menelan teriakan.
Di sana, kurang lebih tiga meter dari tempatnya berdiri, istrinya terbaring dengan lubang peluru di antara kedua matanya. Di sebelahnya berdiri sosok dalam balutan serba hitam. Sosok yang seolah menyatu dengan bayangan. Naruto tidak bisa melihat wajahnya karena sosok itu membelakanginya dengan sebuah pistol di tangan kanan—belum sadar dengan kehadirannya.
Naruto menelan ludah, tangannya terkepal kuat. "BRENGSEK, APA YANG KAU LAKUKAN?!" raungnya.
Sosok itu menegang mendengar teriakan Naruto, tanpa menoleh dia berlari menuju pintu balkon yang tidak terkunci dan menabrak kain merah tebal yang menghalangi cahaya. Dia melompat dari lantai dua sebelum Naruto sempat bersuara.
Tatapan Naruto kembali pada tubuh istrinya. Seketika seluruh kekuatannya menghilang, dia jatuh berlutut di tempatnya semula berdiri. Amarahnya pada sosok yang telah membunuh istrinya menguap entah kemana. Semua digantikan oleh tubuh gemetar dan isakan yang tak pernah dia keluarkan sebelumnya.
Naruto merangkak lemah menuju istrinya, tangannya bergetar saat menyentuh kulit dingin di hadapannya.
"Hinata," isaknya. "Hinata, bangun." Dia memanggil nama wanita itu berulang kali, meski dia tahu dia tak akan pernah mendapat jawaban.
-o-o-o-
Naruto berteriak sangat kencang begitu terbangun dari mimpi buruknya. Saat Kiba muncul sambil membanting pintu, dia tahu kalau hidupnya akan selamanya berada dalam mimpi buruk. Tidak ada alasan bagi Kiba untuk berada di rumahnya dan menyambutnya saat terbangun, atau alasan lain mengapa dia saat ini terduduk penuh keringat di kamar tamu di rumahnya sendiri kalau bukan karena kejadian kemarin yang terulang dalam mimpinya.
Hinata, istrinya yang sangat dia cintai telah meninggal.
Meninggal di tangan sosok pembunuh yang sampai saat ini tak diketahui identitasnya.
"Ini yang ketiga kalinya. Sepertinya kau tidak butuh tidur sama sekali," Kiba mencoba mencairkan suasana.
"Maaf. Hanya mimpi buruk," kata Naruto sambil menyisir rambut pirangnya. Dia yakin penampilannya sangat berantakan.
Dia belum mendapat tidur lebih dari satu jam sejak istrinya dimakamkan sore tadi. Setiap dia mencoba untuk tidur, kejadian malam itu akan terulang dan berakhir terbawa ke dalam mimpinya. Naruto merasa tidak enak hati karena dia yakin teriakannya membangunkan Kiba yang menawarkan diri untuk menjaganya sampai kondisinya benar-benar pulih.
Naruto bahkan tidak mengingat siapa orang pertama yang dia hubungi malam itu. Dia hanya punya ingatan kabur tentang keluarga Hinata, polisi, dan Kiba yang memenuhi rumahnya beberapa menit kemudian. Pun dia tidak punya memori yang pasti tentang proses pemakaman tadi sore, dia lebih banyak terdiam dan mengangguk saat seseorang menunjukkan gestur simpati padanya.
Setuju dengan perkataan Kiba dia pun memilih bangkit dari tempat tidur. Dia baru sadar masih memakai kemeja hitamnya sejak tadi sore. "Jam berapa?" tanyanya.
"Tiga," jawab Kiba. "Tiga pagi," ulangnya mencoba lebih detil.
Naruto mengangguk kemudian meregangkan tubuhnya. "Kau, tidurlah. Aku tidak akan berteriak lagi," katanya pada sang sahabat.
Kiba mengusap rambut coklat gelapnya sambil meneliti lelaki di depannya. Naruto tahu sahabatnya itu sedang berpikir. Mencoba menebak berapa besar kemungkinan dia akan melompat dari lantai dua dan menyusul istrinya, yang sebenarnya nol besar, dan hal itu memang benar. Naruto tidak segila itu, sekalipun dia bisa saja meledak tiba-tiba, tapi tidak pernah terlintas niat bunuh diri di benaknya. Tidak sebelum dia tahu siapa dalang di balik kematian istrinya.
Sepertinya Kiba juga setuju karena detik berikutnya dia hanya menghela napas. "Baiklah, jangan pecahkan apapun. Mengerti?" katanya dengan nada ancaman yang dibuat-buat.
Naruto tersenyum untuk pertama kali sejak malam itu. Cukup membuat Kiba menyengir lebar dan meninggalkannya sendiri.
Dia menghela napas saat pintu kembali tertutup tanpa suara. Tangan kirinya memijit pelipis yang berdenyut. Kakinya berjalan menuju jendela besar di bagian kanan kamar, membukanya lebar-lebar dan membiarkan angin malam membelai rambut sewarna mataharinya.
Ingatannya kembali pada saat terakhir dia mendengar suara merdu Hinata. Sore itu dia sedang sibuk bergelut dengan dokumen laporan keuangan tahunan, membuat sakit kepalanya semakin menjadi, saat ponselnya bergetar di atas meja.
Wajah dan nama istrinya memenuhi layar. Dia menyeringai lebar sebelum menjawab. "Miss me?" godanya.
Tawa merdu terdengar di ujung telepon. "Kau sudah makan? Aku meminta Neji-niisan untuk mengantar bekal yang lupa kau bawa, lagi."
Naruto tertawa renyah mendengar penekanan pada kata 'lagi'. Istrinya sangat perhatian, tidak pernah absen membuatkannya bekal sekalipun makanan di kantin Hyuuga Corp. bisa dijamin keamanannya. "Sudah. Terima kasih. Bagaimana denganmu?" tanyanya.
Dia yakin istrinya tersenyum sekalipun dia tidak bisa melihat. "Aku kekenyangan," jawab Hinata.
Lelaki pirang itu lagi-lagi tertawa. Dia tahu, selain memastikan keadaannya, istrinya juga menelepon karena bosan menunggu kepulangannya. "Kau tahu, sepertinya aku akan pulang lebih cepat."
"Oh?"
Naruto tidak bisa tidak menyeringai mendengar nada suara Hinata. "Ya. Karena sepertinya ada yang merindukanku," katanya penuh percaya diri.
"Aku menunggu."
Seringai di wajah Naruto melebar. Kapan lagi bisa menggoda istrinya seperti ini dan secara tidak langsung memancing sisi lain dari Hinata. Dari luar sikap wanitanya sangat lemah lembut dan pemalu, tapi akan berubah sedikit lebih percaya diri kalau sudah terpancing godaan Naruto. Dia terkekeh sebelum mengucapkan salam perpisahan.
Andai saja Naruto tahu kalau itu adalah terakhir kalinya dia bisa mendengar suara Hinata.
-o-o-o-
Seminggu berlalu sejak kematian Hinata dan Naruto masih memerah otaknya untuk mengingat siapa pelakunya.
Nyatanya dia tidak bisa berbuat banyak karena sosok itu menutupi rambut sampai kakinya dengan warna hitam. Dia hanya punya ingatan tentang postur tubuh, yang sangat tidak membantu, tinggi dan tegap.
Naruto mengerang frustasi. Dia sangat ingin merobek lembar-lembar dokumen di hadapannya. Perusahaan jelas memberikan libur sampai waktu yang mungkin tak terbatas untuknya, mengingat tempat itu adalah milik keluarga istrinya, namun dia menolak.
Baginya cukup tiga hari dalam keterpurukan. Dia harus bangkit dan mencoba menemukan siapa sosok terkutuk yang menembak istrinya. Lagipula, seharian di rumah yang cukup luas untuk satu orang hanya akan mengingatkannya pada Hinata. Dia butuh distraksi, dan bekerja adalah jawabannya.
Hanya saja, hampir segala sesuatu selalu berjalan di luar rencana.
Buktinya Naruto ada di sana. Di ruangan pribadinya, berhadapan dengan lembar-lembar dokumen yang butuh perhatiannya. Namun pikirannya hanya terfokus pada sosok bertubuh tegap dengan pistol pembunuhnya.
Yep. Sebuah pistol yang telah digunakan si pembunuh untuk...
"Fuck."
Bagai mendapat tamparan di pipi Naruto tiba-tiba tersadar. Dia merasa tidak asing dengan jenis pistol yang digunakan oleh pembunuh itu.
Secepat kilat dia menyambar laptop yang tergeletak dalam mode sleep di atas meja, terhubung ke internet dan mengetik "FN 57" di mesin pencari.
Naruto memang bukan penggemar senjata, dia bahkan belum pernah menyentuh salah satu dari banyak jenisnya. Tapi dia pernah melihat Neji, kakak iparnya mencari info senjata terbaru di internet. Untuk tujuan apa, Naruto tidak tahu, yang jelas dia tidak menyesal mengintip layar laptop Neji kala itu.
Hanya sepersekian detik layar laptop itu dipenuhi gambar senjata berawarna hitam yang dikatakan merupakan salah satu senjata mematikan dan berbahaya di dunia. Senjata yang sama persis dengan yang digenggam si pembunuh malam itu. Benda hitam yang juga menyatu dalam bayangan, namun entah mengapa tersimpan rapi di ingatan Naruto.
Bibir Naruto rapat dan membentuk garis lurus saat membaca fakta-fakta tentang pistol keluaran Belgia itu. Entah mengapa, dia merasa bisa semakin dekat dengan si pembunuh hanya karena mengetahui jenis pistol yang dia gunakan.
Tanpa melepaskan tatapan dari layar lebar di hadapannya, Naruto menghubungi nomor terakhir di catatan panggilannya. Hanya butuh tiga kali bunyi tut sampai suara berat menjawab di ujung telepon.
"Neji, aku butuh bantuanmu."
-o-o-o-
Ruang pertemuan yang dingin meningkatkan level kantuk Naruto. Sudah tiga kali dia menguap di dekat Neji yang sibuk bermain dengan smartphone mahalnya. Rambut panjang ala iklan samponya diikat rapi seperti biasa. Naruto jadi ingat dia pernah berlari dengan sebuah gunting mengejar Neji yang menolak rambutnya dipangkas.
Warna putih mendominasi ruang pertemuan dengan sebuah meja panjang di tengahnya. Ada sekitar tiga belas kursi yang ditata masing-masing enam di sisi kiri dan kanan, dan satu kursi diletakkan di ujung meja.
Naruto duduk di sisi kanan bersama beberapa pemegang kekuasaan tinggi di Hyuuga Corp. Tapi di atas segala jabatan, adalah Neji yang terpilih menjadi CEO menggantikan sang ayah setahun yang lalu. Hizashi sepertinya sangat percaya pada kemampuan putranya yang masih berkepala dua.
Semua orang di sekitar Naruto serentak berdiri saat satu-satunya pintu di ruangan terbuka. Detik berikutnya dia ikut berdiri setelah lututnya terantuk meja.
Itachi Uchiha melangkah dengan penuh percaya diri ke dalam teritori Hyuuga Corp. Tidak ada alasan baginya untuk tidak percaya diri. Dia tampan, kaya dan berkuasa. Tatapannya tajam dan sarat intimidasi, membuat Naruto ingin menatap apa saja selain dua manik hitam itu. Matanya justru memilih beralih pada sosok di belakangnya.
Waktu seolah berhenti di sekitarnya. Dia tidak sadar menahan napas melihat sosok yang ketampanannya melebihi Itachi. Bukan berarti dirinya tidak merasa tampan. Hell. Dia bisa menikahi gadis Hyuuga yang menawan salah satunya karena dirinya cukup memesona.
Tapi pemuda di hadapannya ini berbeda. Dia tampan. Sangat. Dan Naruto bersumpah akan terjun dari lantai dua puluh karena baru saja berpikir dia bisa menjadi gay demi lelaki itu.
Demi Tuhan, abu istrinya bahkan masih beterbangan di dalam rumah.
Dan di sini, di tengah rapat pemegang saham, dia berhadapan dengan pemuda paling tampan yang pernah dia temui.
Naruto benar-benar ingin melompat dari lantai dua puluh karena baru kali ini dia merasa menjadi seorang pengkhianat. Mengkhianati istrinya yang mungkin saja melihatnya dari surga.
Lelaki di hadapannya punya mata sewarna malam gelap tanpa bitang. Sangat gelap, sampai Naruto merasa dia bisa tersesat di dalamnya. Dia menggeram rendah saat tatapan tajam itu mengarah padanya. Dalam hati dia mengutuk semua keturunan Uchiha yang mewarisi tatapan tajam nan mengintimidasi seperti itu.
"Selamat datang, Uchiha-san." Suara Neji memutus aksi tatapnya dengan si lelaki tampan.
Itachi mengangguk. "Sebuah kehormatan bagi kami. Izinkan saya memperkenalkan pendamping saya hari ini," katanya kemudian memberi gestur ke arah kiri tepat di mana lelaki tampan itu berdiri.
Lelaki yang dimaksud mengedarkan pandangan tajam ke seluruh pasang mata di depannya, tidak terkecuali Naruto. "Sasuke Uchiha, sebuah kehormatan bisa bertemu dan bekerjasama dengan anda semua." Jelasnya kemudian membungkuk, memberikan gestur penghormatan.
Oh, suaranya...
Semua orang di sisi Naruto merendahkan tubuh membalas penghormatan itu. Tapi dia terlalu sibuk mengagumi suara berat dan dalam milik Sasuke. Gerakannya menjadi lamban, saat dia bangkit dari posisi membungkuk matanya otomatis menangkap manik hitam Uchiha di hadapannya.
Walau samar, Naruto bisa melihat seringai menari di bibir tipis itu.
Apakah kekaguman dan kegugupannya terlalu jelas?
Ataukah pada dasarnya Sasuke Uchiha memang memperhatikannya?
Tak satupun dari dua kemungkinan tersebut yang mampu membuat Naruto merasa nyaman.
Kemudian, rapat tahunan pemegang saham berlangsung seperti biasa. Seperti biasa di sini apabila dikurangi dengan kegiatan mata nakal Naruto yang tidak berhenti melirik Uchiha tertentu di hadapannya atau seringai tipis di wajah datar lelaki itu saat tatapan mereka bertemu.
Sebenarnya, Naruto Uzumaki bukanlah pemegang saham dominan di perusahaan, hanya saja posisinya sebagai CFO dan suami salah satu pewaris Hyuuga membuatnya mau tidak mau terlibat dalam segala agenda yang berembel-embel kegiatan tahunan.
Saat rombongan pemegang saham meninggalkan ruangan pertemuan, Naruto mengundurkan diri dengan alasan kamar mandi. Dia tidak berbohong, dia memang pergi ke kamar mandi di lantai itu.
Saat berada di dalam kamar mandi Naruto bisa melihat pantulan wajahnya pada cermin lebar di atas westafel. Buru-buru dia membungkuk dan mengulurkan tangan di bawah kran otomatis yang mengucurkan air kemudian mengusap wajahnya dengan air dingin dari sana. Dua, tiga, empat kali sampai kepalanya kembali dingin.
Merasa puas Naruto kembali meluruskan tubuhnya dan menatap pantulan Sasuke Uchiha di dalam cermin. Dia berjengit nyaris memekik seperti gadis yang kedapatan mengintip pemuda yang dia sukai.
Naruto membuang napas, mencoba menenangkan diri, dan berbalik menemui wajah datar Sasuke. "Um, Uchiha-san," sapanya.
"Maaf mengejutkanmu, Naruto."
Alis Naruto bertaut mendengar panggilan Sasuke kepadanya. Dia heran kenapa lelaki itu tanpa rasa canggung memanggilnya dengan nama depan di percakapan pertama mereka. Nampaknya Sasuke bisa membaca pikirannya karena detik berikutnya seringai khas itu menempel di bibirnya.
"Well, aku tipikal yang benci basa basi. Dan aku yakin umur kita tidak jauh berbeda, atau mungkin sama?" jelas Sasuke.
"Dua puluh tiga," kata Naruto di luar kendali.
Wajah Sasuke tetap datar, tapi sayangnya Naruto bisa melihat seringai itu melebar. "See? Me too," akunya.
Satu informasi cuma-cuma, dia dan Sasuke Uchiha rupanya seumur.
Kedua mata Naruto kembali bertualang tanpa seizinnya. Berjarak kurang dari dua meter dengan lelaki tampan dan super seksi seperti Sasuke sukses membuatnya lupa diri dan lupa rasa duka yang menunggunya di rumah.
Seksi.
Ya.
Seksi, tampan dan menarik. Siapapun yang punya mata pasti mengakui kalau Sasuke itu seksi.
Tubuhnya tinggi dan tegap, dimana Naruto yakin ada otot sempurna di balik lapisan kemeja putih dan jas hitam itu. Kulitnya putih dan bersih, setidaknya itu yang bisa Naruto lihat dari wajah, leher dan tangannya. Membuatnya tidak berani membayangkan bagian lain yang tersembunyi. Dan jangan lupakan rambut hitam dengan model unik, mencuat di bagain belakang, menambah kesan atraktif dari seorang Sasuke Uchiha.
Naruto tanpa sadar menelan ludah. Dia bisa merasakan cairan panas mulai merembes dan membasahi celananya.
Dalam hati dia mengutuk sebelum berjalan tergesa, kalau tidak mau disebut berlari, ke arah salah satu bilik kamar mandi. Sambil berharap Uchiha di belakangnya tidak menangkap sesuatu yang aneh dari cara berjalannya Naruto membuka pintu dan bersembunyi di dalam bilik.
"Maaf Uchiha-san, masalah pencernaan." Kilahnya dari balik pintu. Otaknya hanya bisa memikirkan alasan konyol itu sebagai jalan keluar.
Tidak perlu melihat, Naruto tahu kalau lelaki di luar sana sedang menyeringai atau mungkin menertawai kebodohannya.
"Sasuke," terdengar suara dari luar bilik.
"Eh?"
"Panggil Sasuke saja," jelasnya.
Naruto tidak langsung menjawab, wajahnya memerah karena cairan hangat di bawah sana. "Um, ya. Senang berkenalan denganmu, Sasuke." Katanya sambil berusaha melepas celana.
Karena tidak mendapat jawaban dia pun menarik kesimpulan bahwa Sasuke sudah pergi, meninggalkannya sendiri di kamar mandi yang sedari awal memang hanya dihuni olehnya. Naruto tidak mau menebak apa yang dipikirkan Uchiha itu saat dirinya berlari ke dalam bilik. Dia hanya menghela napas kemudian mendorong celananya sampai mata kaki disusul boxer hitam detik berikutnya. Perlahan dia juga menarik lepas underwear putih yang kini dipenuhi liquid berwarna merah.
Naruto mengumpat melihat celana dalamnya nyaris dipenuhi cairan itu.
"Oh, shit."
-o-o-o-
Naruto sedang mengeringkan tangan di bawah mesin pengering otomatis saat ponselnya bergetar dari saku celana. Tangan kanannya segera meraba saku dan meraih benda bergetar itu. Alisnya terangkat melihat nama Neji. Lelaki itu pasti mencarinya setelah menghilang dari ruang pertemuan hampir tiga puluh menit.
Suara berat Neji terdengar di ujung telepon, "Naruto, kau dimana?"
"Ada apa?"
"Detektif Morino menemukan sesuatu yang menarik."
Sebuah seringai rubah muncul di wajahnya mendengar nama detektif yang menangani kasus Hinata disebut. "Dimana?" tanyanya.
"Kantin, lima menit dari sekarang."
Naruto mengangguk, sekalipun Neji tidak bisa melihatnya, kemudian mengakhiri percakapan itu. Buru-buru dia membuang plastik hitam yang berisi pakaian dalamnya ke dalam tong sampah. Dalam hati berharap siapapun yang bertanggung jawab mengangkut sampah tidak menaruh curiga.
Kejadian beberapa menit lalu sudah sering terjadi, dia pun belajar dari pengalaman dan selalu menyediakan celana tambahan saat bepergian, bahkan bekerja sekalipun. Hanya saja, yang tadi terhitung cukup mendadak. Dia harus ekstra hati-hati sebelum menyelinap ke ruangannya di lantai delapan karena persediaan pakaian dalamnya dia sembunyikan di dalam lemari pribadi ruangan itu. Naruto tahu ada yang salah, namun dia takut untuk menemui neneknya yang bekerja di rumah sakit.
Ada prioritas yang lebih utama sekarang.
Mendapat semangat baru, Naruto melangkah lebar-lebar menuju elevator. Di dalam dia menekan tombol enam, elevator bergerak ke bawah. Kurang dari tiga puluh detik Naruto sudah berada di depan kantin Hyuuga Corp.
Neji melambai dari salah satu meja yang menempel di dinding kaca. Naruto mengangguk dan berjalan ke arah lelaki berambut panjang itu. Dia kemudian mengambil tempat di sebelah Neji.
Di seberang meja duduk seorang lelaki berambut hitam panjang dan diikat di bagian belakang. Berlawanan dengan Neji yang senang merawat rambut panjangnya, lelaki di hadapan mereka sepertinya lebih senang membiarkan rambutnya berantakan. Terbukti dari beberapa helai yang menjuntai acak di kedua sisi wajahnya.
Naruto memilih mengabaikan rambut sang detektif. Pandangannya justru terpaku pada meja yang hanya diisi dua cangkir kopi hangat. Sepertinya kedua lelaki di dekatnya sudah kehilangan nafsu makan mengingat sekarang adalah jadwal makan siang.
Perut Naruto tiba-tiba keram, dalam hati berharap kabar apapun yang dibawa oleh Morino tidak akan menghilangkan nafsu makannya.
"Detektif Morino," sapanya.
Lelaki itu mengangguk kemudian berdehem pelan. "FN 57 atau Five seveN origin Belgia."Katanya tanpa basa-basi.
Naruto mengangguk. Masih mengingat hasil riset dadakannya dua hari lalu.
"Jenis Marushin-nya diproduksi di Jepang?" tanya Neji.
Detektif Morino mengangguk. "Tapi, jenis ini hanya diproduksi di Belgia dan hanya digunakan oleh pasukan keamanan beberapa negara."
Alis Naruto bertaut. Menurut salah stau artikel yang dia baca, pistol itu memiliki jenis yang dikembangkan khusus untuk warga sipil. Penasaran, dia pun bertanya. "Bukannya pistol itu juga legal untuk sipil?"
"Memang. Tapi, sekali lagi, untuk jenis yang kau maksud, hanya diproduksi di Belgia dan dipasok secara terbatas untuk pasukan keamanan tinggi di negara-negara tertentu." Jelas Moriono.
Neji mengangguk menyetujui. Tentu saja. Sejauh yang Naruto pahami, kakak istrinya itu memiliki ketertarikan tertentu pada senjata-senjata berbahaya di dunia.
Naruto menelan ludah sebelum menyuarakan pertanyaan yang jawabannya kemungkinan membuatnya benar-benar kehilangan nafsu makan. "Yang artinya?"
Detektif Morino menggeleng. Seakan bisa membaca pikiran Naruto. "Bukan. Aku tidak kemari dengan tujuan menuduh sesama elit penegak hukum sekalipun aku hanyalah seorang detektif swasta," dia mendengus melihat Naruto menghela napas lega.
Tentu saja. Kalau sampai yang membunuh istrinya berasal dari salah satu pasukan elit pelindung negara...
Naruto tidak mau melanjutkan pemikirannya.
"Lalu?" tanya Neji.
Lelaki di hadapan Naruto terdiam beberapa saat sebelum merapatkan tubuh pada sandaran kursi di belakangnya, seakan mempersiapkan diri sebelum menyampaikan berita besar. "Mungkin kalian sudah tahu, pasukan keamanan jepang memang menggunakan Five seveN, tapi tentu saja mereka menggunakan jenis Marushin."
"Aku sudah melacak transaksi pembeliannya. Secara legal, tidak ada. Karena warga jepang lebih senang menggunakan jenis buatan mereka sendiri. Tapi secara ilegal..." Morino memberi jeda, membuat perut Nauto semakin melilit, sebelum melanjutkan. "Secara ilegal, Five seveN sejak beberapa tahun terakhir dipasok oleh Taka."
Kepala Naruto berputar mendengar nama Taka. Nama itu mengelilingi kepalanya bersama satu nama lain, membuatnya mual dan nyaris memuntahkan sarapannya.
Taka.
Taka.
Taka.
Uchiha.
T
Pantaskah kisah ini dilanjutkan? :")))))
Tell me on review!
Regards,
Kitsune Haru Hachi
