A/N:

Sebuah karya kolaborasi saya dengan Kimono'z,

karya ini telah kami cetak dalam bentuk fanbook maupun light novel.

Dipublikasi di dua tempat yaitu ffn (akun saya) dan wattpad (akun Kimono'z).

Nantikan fanbook kami berikutnya ya, akan ada unsur romansa dengan laga di sana ^^


Disclaimer:

Chara yang digunakan dalam cerita ini diambil dari Naruto karya Masashi Kishimoto.


ForgetMeNot09

ft.

Kimono'z

present

.

.

.

MARRY SUNSHINE

.

.

.

Bagian 1

Rintik hujan menghempas bumi. Aroma tanah basah menyeruak. Langit di atas sana tampak tak bersahabat.

Gunduk tanah yang masih baru dengan berbagai buket bunga tertata rapi di permukaannya terlihat dari jauh. Warna merah lili mendominasi, menebar aura sendu hingga penghujung tanah persemayaman terakhir itu. Nisan batu berukir sebuah nama menjadi ornamen penghias di atasnya.

Pada satu sisi, seorang gadis terduduk sedih. Air mata tidak henti menganak sungai pada pipi pucatnya, seakan enggan tersamar oleh air hujan. Semburat merah mewarnai nyaris seluruh permukaan wajah. Sepasang netra ametis bulat dalam kungkungan bulu mata yang lebat telah kehilangan pendar cahayanya. Hanya sembab yang tebal dari kelopak matanya tampak menonjol.

Gadis itu tidak peduli, meski deras air hujan berhasil membuat pakaian hitamnya basah kuyup. Pun rambutnya yang terurai panjang, lepek dengan air menetes di tiap ujungnya. Sesekali ia mengusap mata demi menghilangkan rasa perih akibat air hujan yang memasuki rongga mata.

Sekian detik, sekian menit, sekian jam, ia habiskan untuk bermuram durja. Rasanya dunia yang ia pijak benar-benar tak lagi mampu menampungnya. Rasanya apa yang ia miliki saat ini mendadak lenyap tertelan dunia. Orang yang menjadi panutannya, adalah hartanya, adalah kebahagiaannya, semua yang ia punya bagai menghilang dan hidupnya menjadi tak berarti.

Hinata masih ingat, bagaimana dulu ia begitu pendiam ketika masih tinggal di panti asuhan. Bagaimana dulu sang ayah mendekati dan mengajaknya berkenalan hingga membawanya pulang ke rumah. Bagaimana dulu sang ayah sempat kewalahan karena ia sering menangis ketakutan di malam hujan, bagaimana sang ayah selalu dengan sabar mendengarkan keluh kesahnya, termasuk membantu menyelesaikan pekerjaan sekolah.

Ayahnya bukan orang kaya, tetapi pria itu begitu memanjakannya. Sang ayah selalu menuruti apa yang Hinata ingin.

Lelaki paruh baya berambut putih tersebut bekerja keras sebagai pelukis lepas. Berkeliling daerah demi mendapat objek gambar menarik, kemudian menuangkannya di atas kanvas. Beberapa lukisan buatannya laku terjual dan sisanya yang lain disimpan di rumah sebagai koleksi.

Pemandangan menjadi salah satu objek yang disukainya. Peralatan yang laki-laki itu miliki terbilang sederhana. Kulit lembu yang hampir rusak biasanya dijual murah oleh peternak sekitar. Sang ayah selalu membelinya dan menggunakan itu sebagai kanvas, media untuknya melukis. Biasanya, ia melukis dengan sebatang pensil karbon. Namun untuk pewarnaan, pria itu tidak pernah main-main. Dia memakai bahan-bahan pewarna alami. Tidak seperti cat warna yang biasa digunakan pelukis lain, hasil yang diperoleh dari pewarna alami cenderung lebih tajam. Ini sangat menguntungkan, tentu saja, karena ia tidak perlu membeli, cukup mengumpulkan dari beberapa tanaman di hutan. Ya, meski dibutuhkan waktu yang lama dan kesabaran tinggi guna mendapat pewarna-pewarna tersebut.

Mengingatnya, Hinata jadi tersenyum. Dulu ia selalu membantu sang ayah pergi ke hutan. Sembari menunggunya yang tengah mengumpulkan bahan, Hinata menyiapkan perbekalan makanan mereka dan meletakkannya di atas tikar yang telah digelar.

Ingatan lain Hinata, saat setiap pulang menjual lukisan, sang ayah selalu memberikan sesuatu yang ia mau. Lalu gadis itu menerimanya dengan senyum senang meski dalam hati merasa sedih. Sebenarnya Hinata tidak mau menjadi beban di bahu ayahnya yang semakin renta. Acap ia melihat gurat usia menghiasi wajah laki-laki paruh baya yang sedianya tampan itu. Hinata tidak tega, tetapi dalam setiap kesempatan ia menyatakan apa yang tengah ia rasakan, sang ayah selalu memberi jawaban serupa.

"Aku akan lebih menderita jika kamu menolak pemberianku."

Terdengar memaksa?

Nyatanya apa yang diberikan laki-laki itu adalah sesuatu yang memang Hinata inginkan. Entah dari mana dia mengetahuinya.

Tiba-tiba suara guntur di penghujung langit menyentak Hinata dan membuyarkan segala lamunannya. Hinata cepat mengusap habis air mata meski itu sia-sia.

Perlahan ia bangkit dan berjalan membawa tubuhnya yang lunglai. Ia bentangkan payung yang baru ia pungut. Payung itu kotor dengan tanah. Seperti sebuah kesia-siaan tatkala payung tersebut ia angkat untuk menutup tubuhnya yang sudah basah.

Hinata melangkah berat,

tubuhnya menggigil kedinginan.


MARRY SUNSHINE


Hinata memasuki rumah sederhana bergaya Eropa kuno. Bangunan minimalis dengan material kayu berpelitur yang hampir mengelupas di beberapa bagian. Sebuah jendela persegi menghadap ke sisi depan menghubungkan halaman luar dengan bagian dalam rumah. Serta sebuah pintu cokelat tua yang catnya mulai memudar. Pondasi yang tidak terlalu kokoh, atau mungkin adanya pergeseran lapisan tanah di daerah tersebut membuat rumah tampak sedikit miring. Lantainya dari marmer putih gading yang terlihat bersih.

Kontras dengan kondisi rumah yang demikian, halaman luar rumah itu justru tampak asri. Dengan berbagai tanaman bunga di setiap sisi dan pohon palem kecil di keempat sudutnya. Satu pohon maple kecil tumbuh tepat di sisi pintu masuk rumah. Benar-benar menyejukkan.

Hinata merebahkan diri di atas sofa dan memejamkan mata. Melupakan kondisi tubuhnya yang masih basah, hingga air dari bajunya menetes-netes membasahi lantai dan sofa.

Pikirannya masih menerawang. Memutar kenangan antara dirinya dengan sang ayah. Bagai lukisan yang bergerak-gerak tanpa henti.

Lukisan?

Hinata tersentak.

Ingat akan sesuatu ia berdiri cepat dan setengah berlari menuju bagian belakang rumah. Di bagian paling ujung dari lantai dasar, terdapat sebuah ruangan yang cukup luas. Ruangan yang selalu digunakan sang ayah untuk bekerja. Melukis. Ya, tentu saja.

Ia menatap pintu kayu yang berhias ukiran sulur tanaman. Tangannya terangkat, jemarinya menelusur pola ukiran tersebut. Rasa pedih kembali merayapi hatinya tatkala ingatan tentang laki-laki tua itu kembali melintas.

Mengempaskan kepedihannya, Hinata mendorong pintu tersebut dan berjalan masuk.

Ruangan dengan ukuran hampir 10 meter persegi tertangkap pandangannya. Lantainya dari marmer seperti bagian rumah yang lain. Dinding bercat putih bersih mengelilingi ruangan tersebut, meski nyaris tak terlihat karena tertutup banyaknya lukisan yang menggantung. Hinata melangkah menuju ke tengah ruang.

Ia berdecak. Kekaguman mengisi hatinya. Meski bertahun-tahun menghuni rumah ini dan berkali-kali keluar masuk ruangan ini, tak sekali pun ia menyadari bahwa ruangan ini begitu menakjubkan. Hinata meletakkan tangannya ke depan dada dan berjalan ke sisi selatan kemudian melangkah kecil. Matanya mengamati tiap kanvas berlukis indah yang terpajang di dinding.

Tampak olehnya berbagai lukisan dengan objek alam. Senja di istana Buckingham, Bohemian di Praha, suasana malam kanal Petersburg, air terjun di kawasan Taman Nasional Danau Plitvice, pun Monte Rosa, salah satu gunung tertinggi di Eropa. Hinata tersenyum. Bukan semata melihat lukisan indah itu, melainkan, kejeniusan sang ayah yang tak henti membuatnya terpukau. Tidak semua tempat dalam lukisan tersebut pernah ayahnya kunjungi. Tak jarang hanya berbekal cerita dari orang-orang, ia mampu menggambarkan sedemikian rupa hingga lukisan tersebut benar-benar mirip dengan aslinya.

Netra Hinata masih bergerak mengamati, berpindah dari satu lukisan ke lukisan selanjutnya, dan pada ujung ruangan, pandangannya menetap.

Sebuah lukisan menyita perhatiannya.

Lukisan yang sekilas tampak biasa saja dan tak ada yang istimewa.

Hinata bergeming. Anehnya binar di matanya terlihat jelas.

Ia begitu terpesona pada lukisan ini dibanding segala keterpakuannya pada lukisan yang lain. Dalam lukisan itu, terlihat seorang laki-laki tengah berdiri di atas tebing, seraya tersenyum dengan panorama matahari terbenam di baliknya. Penggambarannya sangat detail. Dia laki-laki yang tinggi, berbadan atletis, dengan warna kulit kecokelatan. Rambutnya kuning berantakan. Dari sisi ini Hinata bisa melihat tiga goresan yang menghiasi pipi laki-laki itu, serta mata yang berwarna biru.

Sungguh, mata itu sanggup membuat dirinya semakin terpana. Ia menatap lama pada permata azure yang berkilat dan cerah laksana langit di musim panas.

"Sunshine?"

Hinata membaca lirih judul lukisan tersebut. Bibirnya menorehkan senyuman manis.


MARRY SUNSHINE


Hinata berjalan cepat. Bibirnya membentuk garis lurus yang terkadang sedikit tertarik senyum saat beberapa orang berpapasan dengannya menyapa. Kadang ia menunduk, menutupi wajahnya dari pandangan orang-orang, terlebih ketika ia mendengar bisik-bisik mereka yang ia lewati.

Hinata pagi ini tetap berusaha menjalani rutinitas seperti biasa. Bangun sebelum matahari terbit dan membersihkan seluruh bagian rumah, dan menjelang tengah hari usai ia menyelesaikan semuanya, barulah Hinata bergegas mandi dan siap-siap pergi ke toko di ujung jalan sana guna membeli kertas.

Tak sedetik Hinata izinkan dirinya untuk bersedih. Tak sejenak pun ia izinkan batinnya balik terpuruk. Sang ayah memang telah tiada, tapi Hinata percaya, dari surga sana laki-laki itu sedang mengawasi. Sebab itulah Hinata ingin segera bangkit. Ia tak ingin sang ayah bersedih karena putrinya yang terus menerus meratapi kematiannya.

Namun tak dapat dipungkiri jika bayang-bayang itu masih membekas dan sulit untuk dihapus. Sepanjang perjalanan ke toko hingga kembali ke rumah, pikirannya balik melambung pada kenangan-kenangannya bersama sang ayah dulu. Bahkan ketika melangkah masuk ke dalam rumah. Bayangan sang ayah yang biasa menyambut dirinya di pintu pun terlintas.

"Selamat datang."

"Ayah? Ayah sudah pulang?"

"Hahahaha, begitulah."

Ayahnya membuka tangan dan keduanya erat berpelukan. Biasa, Hinatalah yang menyambut kedatangan pria itu di pintu masuk. Namun ada kalanya ia harus pergi ke kantor penerbit di kota untuk mengirimkan tulisannya.

"Jadi, tulisanmu diterima?"

Hinata menggeleng. Wajahnya menunduk untuk menutupi ekspresi sendu dari sang ayah. Namu lelaki itu cukup mengerti. Pelan ditariknya dagu putrinya agar ia bisa menatap mata bulat sang putri dengan lebih jelas.

"Hanya masalah waktu, Hinata. Ayah tahu tulisanmu luar biasa dan suatu saat nanti pasti akan ada penerbit yang melihat apa yang aku lihat."

Mengenang hal tersebut, Hinata menitikkan air mata. Namun dengan cepat ia menghapusnya.

Benar. Suatu saat nanti, apa yang dilakukannya ini pasti berbuah. Bukankah pepatah mengatakan hasil tak akan mengkhianati proses?

Hinata kembali membulatkan tekad. Penuh semangat gadis berambut panjang itu berjalan ke kamar, meletakkan barang belanjanya di atas nakas.

Ia menghela napas sambil mengamati kamar yang terlihat berantakan. Kemarin sepulang dari pemakaman, ia memang tak sempat membereskannya.

"Huft ..."

Terdengar Hinata mendesah kasar. Dengan perasaan terpaksa akhirnya ia membereskan tumpukan baju kotor di sudut ruangan, dilanjut dengan mengemas baju bersih yang baru saja kering dan memasukkannya ke dalam lemari.

"Baiklah, sekarang saatnya menulis," teriaknya penuh semangat.

Hinata pun duduk di depan meja. Menghadap sepaket layar monitor berbentuk boks lengkap dengan PC-nya. Memang masih kuno, tetapi ini lumayan membantu.

Jemarinya tampak lihai menyentuh tombol kaku yang menimbulkan suara cukup keras. Tidak masalah. Toh ia biasa menikmati hal ini. Terkadang, justru suara berisik itulah yang seakan menjadi teman sepinya.


MARRY SUNSHINE


Kelopak dengan bulu mata lebat itu terbuka. Menampilkan iris ungu pudar yang terlihat sayu. Selama beberapa saat bergeming kemudian mengerjap-ngerjap. Setelah menyadari apa yang terjadi, pemilik mata itu mengangkat kepala. Meregangkan otot-otot leher dan badan yang terasa kaku.

"Aku ketiduran."

Hinata menguap.

Ditatapnya layar komputer yang masih menampilkan deretan kata membentuk sebuah cerita. Ia membaca ulang dan berulang lagi. Dari awal hingga ke bagian akhir, sebelum kegiatannya terhenti akibat dering telepon di ruang tengah yang terdengar nyaring.

Hinata bergegas keluar. Ia mengangkat telepon tersebut.

"Halo ..."

"…."

"Ah, apakah tidak bisa dipertimbangkan dulu, Pak?"

"…."

"Ba-baiklah. Terima kasih atas informasinya."

Gadis itu kecewa. Kesekian kali tulisannya ditolak oleh penerbit. Alasan? Masih sama, cerita yang ia buat terlalu mainstream, cara menulis yang tidak unik, dan tak ada yang spesial dari karya miliknya.

Hinata terduduk di lantai. Rasanya baru sejam tadi ia bersemangat, dan sekarang semangat itu perlahan berguguran. Hinata tak mampu lagi menangis. Ia merasa semakin terkurung dalam sepi. Jika biasanya di saat seperti ini selalu ada sang ayah yang menghibur, kali ini tidak. Ia tak punya lagi tempat mengadu. Kepada siapa ia harus membagi kesedihan?

Tiba-tiba saja Hinata berdiri. Gadis itu berlari menyeberangi ruang tengah, terus berlari hingga kakinya berhenti di depan pintu ruang kerja sang ayah.

Jujur dia sendiri bingung, mengapa mendadak ia berlari ke tempat ini. Dipenuhi keraguan, gadis itu masuk. Matanya langsung bersirobok dengan sosok laki-laki berambut kuning yang berdiri tegak menantang tebing.

"Sunshine," ujarnya lirih.

Entah apa yang terkandung dalam lukisan itu, hingga Hinata seolah mendapatkan semangatnya kembali. Matanya berbinar-binar menandakan kekuatan yang terkumpul lagi setelah hancur berantakan beberapa saat lalu. Langkahnya pasti. Langkahnya tegas. Gadis itu mendekati lukisan Sunshine.

Sejenak ia berdiri terdiam dan menit berikutnya tangan ramping miliknya membelai pelan lapisan kanvas tepat di pipi sang laki-laki.

Hinata tersenyum.

Sepertinya lukisan ini memang punya daya magis yang memberinya sebuah semangat dan ide baru untuk menulis.

"Baiklah, sepertinya kau memang harus kubawa untuk menemaniku bekerja."

Jadilah Hinata kini kesulitan berjalan sambil membopong lukisan tersebut.


MARRY SUNSHINE


"Hahhhh ... melelahkan."

Hinata menatap puas. Lukisan itu sekarang berdiri kokoh sejarak dua meter dari meja komputer tempat ia bekerja. Jadi niatnya, saat mengetik nanti, ia bisa terus menatap lukisan itu. Berharap dapat selalu menuai inspirasi dan semangat seperti yang telah didapatkannya beberapa waktu lalu.

"Marry Sunshine ..."

Bibir persiknya mengeja sebuah judul yang akan mengawali karya barunya.

"Sepertinya menarik. Kisah cinta antara manusia dengan ... iblis."

Saat mengucap kata terakhir, iris ametis Hinata menatap sepasang selaput pelangi milik sang laki-laki dalam lukisan.


MARRY SUNSHINE


Ialah Marry. Seorang gadis Eropa berdarah Asia. Kulitnya putih dan halus. Iris matanya keunguan. Parasnya ayu, tingkah polahnya teramat anggun bak putri kerajaan dongeng.

Marry tinggal di sebuah rumah sederhana. Bangunannya kecil, tetapi gaya tudor membuatnya terlihat mewah. Satu dari sekian rumah yang terletak di Castle Combe, desa kecil nan indah di South West England.

Marry hidup seorang diri. Hanya berkawan lima ekor kucing ras Abyssinian yang selalu setia menemani hari-harinya. Berinteraksi dengan tetangga pun sangat tidak mungkin. Jarak antar rumah di perkampungan asri itu sangatlah jauh. Sesekali saja ia berpapasan dengan orang lain, ketika hendak ke pasar untuk menjual hasil rajutan tangannya atau untuk membeli kebutuhan hidup dan bahan baku selama satu bulan.

Tak pelak dalam kondisi semacam itu, Marry merasa kesepian. Terkungkung dalam bangunan tua dan tak ada satu pun kerabat ia miliki.

Pada suatu malam Marry terduduk di tepi ranjang kamarnya. Gulungan benang rajut dan sebentuk perca tergeletak di bagian tengah ranjang. Wanita itu bangkit berdiri, berjalan mendekati jendela. Sebelah telapak tangan ia tumpukan padanya. Mata keunguan nan bulat menatap langit dipenuhi bintang dari balik jendela kamar. Sejenak ia menghela napas. Sorot matanya meredup sesaat kemudian memejam. Marry mengucap permohonan dalam hati, memohon agar Tuhan memberinya seorang teman. Apa pun wujudnya, Marry hanya butuh teman bicara.

Selepas mengutarakan pengharapan, Marry membuka mata. Dalam intensinya ia ingin melanjutkan pekerjaan merajut. Namun, wanita ayu itu dikejutkan dengan kehadiran sosok seseorang tepat di balik jendela. Panik, mata Marry membelalak lebar tatkala menemukan seorang pria dengan rambut kuning cerah dan mata berwarna biru. Marry terkesima, pria itu sangat tampan. Namun, setelah diperhatikan, pria tampan tersebut terlihatmenampakkan sepasang taring panjang dan membentangkan sayapnya yang berwarna hitam.

Ia tersenyum. Senyumnya agak aneh. Lebih pantas dikatakan sebagai seringai. Tatapannya juga memincing. Marry bergidik ngeri. Tiba-tiba saja bulu kuduknya meremang. Pria ini tampak seperti pria nakal.

Ketakutan yang menyergapnya membuat Marry pelan-pelan melangkah mundur. Ia bermaksud melarikan diri. Wanita itu melupakan apa yang menjadi pengharapannya beberapa saat lalu.


MARRY SUNSHINE


Hinata terus menulis cerita. Tangannya seakan tak mengenal kata lelah. Penuh semangat, ia ingin cerita itu segera selesai. Ide yang mendadak bertumpuk setelah ia memindahkan lukisan Sunshine menuntut untuk lekas dituangkan.

Sang gadis benar-benar antusias hingga mengabaikan letihnya. Matanya berbinar di tiap kata dan kalimat baru yang ia rangkai. Terkadang senyum tersemat di bibir tipisnya. Hinata merasa berbeda.

Sampai ia menguap. Sadar akan tubuhnya yang membutuhkan istirahat, Hinata memutuskan untuk tidur. Namun sebelum itu, Hinata mematikan perangkat komputernya lebih dulu.

Hinata merebahkan tubuh ke ranjang lalu tertidur.

Bzzztttt!

Gadis itu tenggelam dalam mimpi.

Bzzzzttt!

Tanpa menyadari layar monitor komputernya mendadak menyala.


MARRY SUNSHINE


Begitu bangun, bukannya langsung melangkah keluar kamar, ia malah duduk di depan layar komputer kemudian menyalakannya.

Hinata tak peduli ia masih memakai baju tidur, atau rambutnya masih kusut, matanya memerah, dan sebagainya. Mumpung semangat menulis ada, Hinata memutuskan untuk melanjutkan mengetik cerita.

Wajah gadis itu terlihat serius. Sesekali ia tampak menerawang, mungkin sedang memikirkan adegan dalam cerita, mungkin juga sedang merangkai tema agar menjadi tepat ketika dituliskan. Terkadang lagi ia memandang lukisan Sunshine di depan. Selalu saja bibir itu menoreh senyuman manis setelahnya. Bagi orang lain mungkin ini semacam takhayul, tapi nyatanya, lukisan itu benar-benar memiliki efek magis.

Hinata terus mengetik. Rasa asyik sampai ia lupa waktu, hingga semburat jingga di ufuk langit menerobos masuk jendela kamarnya.

"Oh, sudah sore."

Perutnya berbunyi. Ia memandangi perut yang berbalut piyama dari kain satin.

"Ya ampun, aku sampai lupa makan." Perlahan Hinata mengelus perutnya dengan sebelah tangan.

Ia lalu berjalan keluar menuju dapur. Membuka pintu lemari pendingin, berharap menemukan sesuatu yang dapat dimakan. Astaga. Tidak ada apa pun di sana.

Hinata lupa jika bahan-bahan makanan sudah habis.

"Aduh, mana aku malas harus berjalan jauh ke pasar." Pikirannya ingat akan seseorang, "Ah, aku tahu,"

Hinata menuju ruang tengah. Hanya dengan telepon rumah ia bisa berkomunikasi dengan orang lain. Ia mengangkat gagang telepon, lalu memencet tombol nomor yang ia tuju. Kening gadis itu berkerut, tak ada bunyi apa pun yang terdengar dari pesawat telepon seperti biasanya. Ia memandang gagang dan badan telepon bergantian. Mencobanya lagi dan ternyata masih tetap sama.

Hinata mendesah. Ia meletakkan kembali gagang telepon dengan rasa kesal.

"Tsk! Teleponnya malah rusak."


MARRY SUNSHINE


"Untung kau datang tepat waktu, Hinata. Hari ini kedaiku laris sekali. Lihat saja roti yang tersisa 3 potong ini."

"Hehehe, iya Paman."

Hinata tersenyum mensyukuri keberuntungannya.

Satu yang ia ingat ketika membutuhkan makanan dan cepat, ialah satu-satunya boulangerie di Clovely. Toko roti ala Perancis ini milik lelaki berambut oranye keturunan Jepang yang sekolah di Paris, kemudian pindah ke Britania.

Saking larisnya, toko roti ini sudah tutup sebelum jam 6 sore.

Menu yang terkenal adalah croissant. Roti berbentuk bulan sabit tanpa isi, sedang yang paling Hinata suka ialah la baguette. Roti panjang di mana tekstur luarnya sangat keras, tetapi isi bagian dalam amatlah lembut.

Hinata merapikan sweaternya. Dingin. Mata opalnya melirik senja yang tampak akan segera tenggelam.

"Paman, kalau begitu aku pulang dulu."

Lelaki yang sebenarnya hanya terpaut 10 tahun darinya itu mengangguk.

Hinata lantas berjalan cepat. Tidak semua jalanan di desa ini diberi fasilitas penerangan.

Ada yang aneh setiba ia kembali ke rumah. Dari depan, Hinata melihat jendela kamarnya yang tak pernah terbuka, tiba-tiba terbuka. Dengan cepat Hinata mengeluarkan kunci dari saku bajunya kemudian membuka pintu.

Iris pucatnya membulat. Ia tercengang. Pintu tersebut harusnya terkunci, dan ini tidak.

Hinata menelan ludahnya gugup, tangannya perlahan memutar kenop pintu. Dadanya berdebar kencang. Ia merasa takut. Jangan-jangan ada pencuri yang masuk rumahnya. Padahal selama ini, desa Clovely cukup aman. Maklum, penduduk desa kecil itu bukan orang-orang kaya. Mereka hanya orang biasa yang hidup seadanya dari bercocok tanam dan beternak.


MARRY SUNSHINE


Perasaan Hinata campur aduk. Antara takut, resah, juga khawatir. Sambil merapal doa dalam hati, Hinata memasuki rumahnya. Kakinya berjalan jinjit, berusaha seminimal mungkin menimbulkan suara. Tubuhnya ia rapatkan pada dinding yang kiranya tak bisa terlihat dari ruang tengah.

Dengan rasa campur aduk, resah, khawatir, Hinata beranikan diri masuk ke dalam rumah. Ia menghampiri meja tamu dan mengambil vas bunga berukuran sedang di atasnya. Benda dari material keramik itu ia sembunyikan di balik punggung.

Hinata menyeberangi ruang tengah. Tak ada siapa pun. Lalu ia memeriksa dapur sampai membuka pintu lemari pendingin, dan tak menemukan seorang pun. Gadis itu melewati dapur ke ruang lukis, membuka pintunya dan memeriksa tiap inci ruang itu. Masih nihil. Hingga ruang paling belakang pun ia hampiri, tapi tiada satu sosok ia temukan.

"Sekarang tersisa lantai atas."

Hanya ada dua ruangan di sana. Satu adalah kamarnya sendiri, dan yang kedua adalah kamar sang ayah.

Hinata menaiki tangga. Pelan dan lambat. Ia tak habis pikir, untuk apa maling memasuki rumah ini? Dari luar saja kentara bahwa rumah ini adalah rumah tua yang telah lapuk dan butuh perbaikan. Jadi tak mungkin jika ada barang berharga.

Hinata masuk ke kamarnya. Ia mengambil napas dalam, berlari ke arah jendela. Jendela yang terbuka itu seolah menunjukkan bahwa pencurinya sudah kabur. Namun pikirannya tidak terempas begitu saja. Tak ada tali atau apa pun yang bisa membantu si pencuri melarikan diri. Sedangkan melompat rasanya tidak mungkin. Meski ini hanya lantai dua, tetapi ketinggiannya bukanlah jarak yang aman bagi seseorang yang melompat tanpa menimbulkan luka memar.

Hinata memejamkan mata sejenak lalu berbalik. Meletakkan vas bunga yang ia bawa di atas meja rias.

Betapa terkejutnya gadis itu, dari pantulan cermin ia mendapati sosok pria berpostur tinggi tegap tengah menyeringai menatap ke arahnya.


MARRY SUNSHINE


Pria itu sangat tampan, terlebih dengan setelan tuksedo yang ia kenakan dan dasi kupu-kupu tersemat di bagian kerah. Rambutnya berwarna kuning terpotong tipis. Kulit wajahnya kecokelatan dengan tiga goresan menghiasi masing-masing pipi. Rahangnya tegas, kontras dengan seringai yang ia semat, semakin membuat pria itu terlihat rupawan. Dan satu hal yang paling menarik atensi Hinata adalah mata biru bak permata azure yang menatapnya nakal.

Nakal?

Sadar akan hal itu, Hinata berbalik cepat. Ia berniat lari sebelum pria tersebut melakukan sesuatu yang buruk pada dirinya. Namun matanya membulat seiring langkah si pria berjalan elegan menghampirinya. Dari sisi ini Hinata bisa melihat jelas bentangan sayap lebar nan kokoh yang muncul di balik punggung pria itu.

Hinata ketakutan. Ia panik. Tangannya meraba-raba permukaan meja rias. Benda apa pun yang ada di sana ia raih, ia lempar sekuat tenaga pada pria itu. Namun setiap benda yang ia lempar, entah mengapa tak pernah menyentuh sasaran. Tembus begitu saja melewati tubuh sang pria, membuat Hinata semakin ketakutan, terlebih pria tersebut kian melebarkan seringainya.

Dia berjalan semakin dekat. Jaraknya dengan Hinata menipis. Jangan lupakan langkah yang seolah menertawakan ketakutan dan kekonyolan Hinata.

Saat jarak hanya bersisa setengah meter darinya yang tersudut di dinding, pria itu menarik tangan Hinata.

Hinata tersentak kaget. Ia berontak. Namun sayang, terlalu keras menarik tangan, ia malah terpeleset dan jatuh. Kepalanya terbentur tepi meja rias.

Hinata pingsan.

.

.

.

Bersambung