A crossover canon fic, dengan timeline yang dimodifikasi.

Spesial untuk Sakura-centric sekaligus penggemar Kuroko no Basket

.

.

Sakura no Basket

Disclaimer: Baik Naruto dan Kuroko no Basket adalah milik mangaka masing-masing.

.

.

Rintik hujan itu belum jua mau mengalah, menyaingi deras air mata seorang gadis yang menangis di bawahnya. Desau angin tak dihiraukan oleh si gadis, meski tubuh mulai terasa beku.

"Berhenti, Sakura." Suara laki-laki berambut hitam kelam itu terus membayanginya. "Berhenti menungguku."

Jelas, ia telah dihancurkan hingga menjadi kepingan, saat punggung berlambang Uchiha itu pergi bersama regunya yang baru. Tim Taka. Karin melirik dengan tatapan tak terdefinisi pada Sakura yang lebih tidak sanggup balas menatap. Hanya tangis, hanya mengiba yang bisa dilakukannya.

"Sasuke-kun…"

Suara klakson kereta membangunkan Haruno Sakura. Di jendela sudah dapat diintip betapa tinggi dan menawan gedung di atas kota metropolitan, nampaknya ia nyaris sampai ke stasiun tujuan setelah berkali-kali menyambung kendaraan.

Sedikit guncangan membuat tas berisi beberapa buah khas Konoha terjatuh dari pelukan Sakura. Gadis dengan nama kembang kebanggaan Jepang itu lantas buru-buru memungutinya sebelum mungkin terinjak karena kereta telah mengerem halus untuk stasiun berikutnya.

Sepertinya Sakura tak mendapatkan banyak waktu karena kereta cepat itu benar-benar terhenti dan orang-orang siap berdiri dari duduknya.

"Biar kubantu." Kata seorang laki-laki berambut cokelat bergerak cepat membantu Sakura membereskan bawaan yang sempat terjatuh tersebut.

"Terima kasih." Ucap Sakura yang tak dapat melihat rupa orang tadi karena menghilang ditelan kerumunan penumpang yang akan turun setelah membalas "Sama-sama."

Kereta melaju lagi untuk stasiun berikutnya. Koridor mulai sepi hanya ada beberapa penumpang yang kebetulan ada seorang nenek tua di seberang Sakura. Nenek itu nampak kesulitan menutup resleting tas kecilnya. Berniat membantu, Sakura pun menghampiri ke sebelahnya.

"Sumimasen, biar kubantu…" tawarnya, ramah. Nenek itu tersenyum berterima kasih setelahnya. Mungkin karena tujuan masih sama-sama jauh, keduanya terlibat percakapan sederhana.

"Kau mau tahu sesuatu?" tanya Nenek itu tiba-tiba, setelah percakapan mereka berhenti beberapa menit.

"Apa itu?" Sakura balas bertanya.

"Kulihat, kau akan bertemu jodohmu di Tokyo."

Kedua alis merah muda Sakura sontak terangkat.

"Mungkin kau kesulitan menyadarinya, kuberi petunjuk: pria gagah itu berambut cokelat."

.

.

Chapter I: Move on Ke Kota

.

.

"Sakuraaaa!" dari jauh Aida Riko sudah melambaikan tangannya dan setengah berlari menghampiri Haruno Sakura yang baru saja turun dari kereta. Gadis merah jambu itu nampak membawa banyak barang bawaan.

"Banyak banget yang kaubawa." Komentar Riko langsung pada saat menyambut beberapa bawaan Sakura.

"Gomenne, aku bawa buah dan sayur yang jarang di jual di kota, lho." Sakura nyengir, meski wajahnya sedikit pucat karena mungkin habis menempuh perjalanan panjang.

"Bagaimana kabar Konoha?" tanya Riko tersenyum, hafal dengan kepribadian Sakura sejak kecil.

"Suram, aku bisa bunuh diri kalau lama-lama di sana." ucap Sakura, menggeret kopernya di sebelah Riko dan berjalan sama-sama.

"Hah? Benar-benar terjadi kerusuhankah?"

"LEBIH DARI KERUSUHAN!" Sakura membanting gagang kopernya secara dramatis menunduk mengagetkan Riko dan beberapa orang lewat di sekitar mereka.

"Aku gak tahan lagi dengan si merah Karin," Sakura menarik kerah Riko, dengan mata melotot dan suara kesurupan ia melanjutkan. "Dia merebut Sasuke dariku. Ajari aku ilmu santet, hayaku, Riko!"

Dan yah, Riko tahu siapa yang dibicarakan Sakura. Mereka kan sering bertukar e-mail dan video chat melalui Skype.

"Ah. Yah. Kita harus sampai dulu di rumahku, setidaknya." Jawab Riko memaksakan cengiran. Ia sudah tahu benar Sakura memang gila.

"Hn." Sakura meloloskan napas lewat lubang hidungnya secara kasar. Gadis dengan marga Haruno itu terlihat nampak kuat dan kekar hati pasca ditinggal pujaannya, bahkan sadis—bertekat belajar ilmu santet di Tokyo bersama Aida Riko yang hanya mengiyakan ala kadarnya.

Riko menggeleng kagum karena hal tersebut.

Tapi, saat malam hari di rumah Riko…

"Hiks… hiks…"

Riko mendesah pasrah mengetahui Sakura menangis sesunggukan dengan menyetel seluruh mp3 galau yang sedang berada dalam masa kejayaan dalam perindustrian musik di Jepang.

Sakura menangis bak seperti tak ada hari esok. Meski pun di kamar tamu (kamar yang Riko siapkan untuk Sakura), Riko tetap merasa agak terganggu karena teriakan liar Sakura seperti orang kesurupan. Bahkan Ayah Riko sampai terbangun dari mimpi indahnya (mimpi menembak mati semua laki-laki yang mencoba mendekati anak gadisnya).

"Ah…" dan pagi harinya seperti tak terjadi apa-apa. Sakura menyesap susu hangatnya dengan wajah anggun, berbeda drastis dengan kedua wajah penghuni meja lainnya. Riko dan Ayahnya memiliki kantung mata yang disebabkan oleh gadis Konoha yang baru semalam pindah ke Tokyo ini.

"Aku sangat bersemangat," gumam Sakura dengan make up tipisnya yang ulala. "Hei Riko, kau kurang tidur ya? Jangan gitu dong, cewek harus tidur cantik, tidur teratur, kalau tidak nanti cepat tua…"

Watados alias wajah tanpa dosa itu berceloteh ria kemudian tentang perawatan kulit wajah di malam hari sebelum tidur dan ramuan tradisional lainnya yang layak dicoba gadis Tokyo seperti Riko.

Riko menggaruk-garuk kulit di balik kerah lehernya yang sesungguhnya tidak gatal, ia hanya tak tahu ingin menggaruk siapa selain Sakura yang memakai seragam sekolah yang sama dengannya itu.

"Yosh, sudah sampai. Belajar yang benar, ya!"

"Hai'." Kata Riko menutup pintu mobil Ayahnya, ia dan Sakura diantar ke sekolah pagi ini.

"Good luck, Sakura-chan!"

"Terima kasih, Paman!" jawab Sakura dengan senyuman lebar, percaya diri adalah symbol yang tercetak mengkilat di jidat lebarnya.

Yup, karena dirundung masalah hati, Sakura meninggalkan Konoha dan pindah ke Tokyo dan menyembunyikan identitas ninjanya. Dengan bantuan Tsunade selaku pemimpin desa, Sakura memiliki data pendidikan yang setara dengan umurnya. Sebab ia memilih kehidupan normal yang Aida Riko tawarkan, move on ke kota. Tentu, sepupu jauhnya tersebut tidak mengetahui dunia ninja, yang Riko tahu Sakura tinggal di sebuah desa di kepulauan terpencil pada laut jepang timur. Dan hanyalah patah hatinya Sakura yang membuat Riko menawarkannya untuk pindah ke Tokyo dan memulai hidup baru di sini.

Entah bagaimana rupa Uchiha Sasuke selaku pelaku pembegalan hati Sakura, yang pasti Riko tak peduli dan bertekat akan merawat sepupunya (yang hampir bunuh diri itu) di sini, di Tokyo, ibu kota Jepang yang sudah pasti menawarkan cowok-cowok keren yang so pasti ngalahin cowok desa!

"Besar juga ya," celetuk Sakura mengomentari SMA Seirin, sesekali berpindah dengan lincahnya sambil berdecak kagum mengomentari segala hal yang baru ia lihat seperti keran pancur minimalis yang bisa diminum, misalnya.

Riko sweat drop namun pada akhirnya seulas senyum terbingkai halus melihat keceriaan Sakura menyambut hari pertamanya sendiri di sekolah ini. Sepupunya itu, sangatlah lihai menyembunyikan perasaan. Semalaman Haruno Sakura menangis kencang dengan hebatnya tak memiliki kantung mata sembab dan ekspresi sumringah pagi hari ini seolah menghapus ingatan Riko tentang tangisan gugu Sakura semalam.

"Ini ruang gurunya, kau akan masuk kelas bersama wali kelasmu, aku ke kelasku dulu, ya!"

"Terima kasih, Riko!" Sakura melambaikan sapu tangan merah mudanya dengan sepenuh jiwa meski Riko hampir hilang ditelan sudut koridor. Ekspresinya menurun drastis saat sosok Riko benar-benar tak terjangkau matanya.

Sakura menghela napas, "Watashi wa tsuyoi desu!" ucapnya pada diri sendiri menyalin kalimat karakter anime kegemarannya. Saat hendak masuk ruang guru, Sakura keget setengah mati hampir menabrak laki-laki berambut biru dengan tinggi semampai yang entah sejak kapan ada tepat di sampingnya.

"Domo." Ucapnya dengan ekspresi polos.

SEJAK KAPAN ORANG ITU DI SITU? Sakura mundur dengan tatapan horror ke ruang guru, seperti habis melihat hantu saja.

Cakra orang itu… tidak terdeteksi. Batin Sakura menggila sehabis membanting pintu dengan sadisnya, apa benar ia baru saja disapa hantu sekolah? Sekilas Sakura beniat menggeret Riko sepulang sekolah untuk menemui pendeta di kuil terdekat.

"Kau baik-baik saja?" tanya seorang guru menghampiri siswi berwajah pucat yang terperosok di lantai dengan kedua telapak tangan di rambut.

"A-apa… sekolah ini ada hantunya?"

"Heh?"

.

.

"Ohayou gozaimasu…!"

"Ohayou…!" balas anak-anak serempak.

"Pagi ini kita kedatangan murid baru. Silakan perkenalkan dirimu."

Sakura nyengir senang, seolah lupa habis ketemu hantu sekolah. Ya, betul sekali Sakura sangat bertekat dengan usahanya move on ke kota. Makanya Sakura mendikte dirinya sendiri bahwa: ia adalah gadis desa yang polos dan ceria serta siap dengan petualangan hati yang baru di Tokyo. Jadi, badai-tsunami pun akan ia lupakan apa lagi hantu yang tadi.

"Namaku Haruno Sakura, pindahan dari desa Konoha, mohon bantuannya…" Sakura membungkuk dengan tangan masih memegang tas berisi beberapa buku polos.

Senyuman Sakura sontak memudar dengan mata terbelalak melihat 'hantu' yang tadi pagi menyapanya di depan ruang guru. Keringat mulai mengalir dari dahi lebarnya.

Sebagai ninja medis meski bukan tipe sensor, Sakura bisa mengetahui dasar-dasar cakra pada manusia. Ninja akan memiliki cakra yang berkobar seperti api dalam tubuhnya, sedangkan manusia biasa memiliki cakra berbentuk solid, mati dan tak bergerak dalam tubuhnya. Seisi kelas ini teridentifikasi sebagai manusia, kecuali laki-laki berambut biru tersebut yang Sakura nilai sebagai hantu! Tak ada cakra dalam garis tubuhnya, hanya kekosongan raga!

"Haruno-san sudah punya pacar?" Tanya salah satu murid memecah lamunan Sakura, tak adakah yang melihat 'hantu' itu? Batin Sakura dengan mental teremas.

"Eh, etto…" kegugupan Sakura tak disertai semburat merah melainkan pucat pasi seperti ditanyai masuk lubang kuburan sendiri. "Aku jomblo, belum lama patah hati jadi juga tak berniat punya pacar lagi."

Fuah, kalimat absurd (yang bagaikan pernah pacaran sungguhan) itu meluncur dengan licin dari mulut Sakura yang masih gugup melihat cakra kosong dari raga seseorang. Zombie ka? Batin Sakura mengernyit, oh no sekali kan kalau move on ke kota a.k.a move on ke Tokyo-nya justru menuai cobaan hidup yang baru?

"Ano, Haruno-san. Kaubilang tadi berasal dari desa Konoha, di manakah itu? Aku baru mendengarnya." Tanya seorang murid lainnya.

"Konoha itu ada di laut jepang timur sebuah pulau yang nyaris tak terdeteksi satelit jadi tak tergambar di peta internasional."

Jantung Sakura hampir pecah di tempat mendengar 'hantu' berambut biru itu berucap, suaranya lembut bagaikan Hinata.

"Oi, Kuroko. Bagaimana kautahu kalau itu bahkan tak tergambar di peta?" sambar murid lainnya yang membuat Sakura makin-makin bergetar, belum lagi semua melirik ke 'hantu' itu.

Tunggu sebentar… Kuroko, katanya?

Naniiii? Apa yang terjadi? Jadi dia bukan hantu? Well, dia memiliki raga, Sakura akui, tapi apakah hanya Sakura yang menyadari kekosongan cakra Kuroko?

Kau kan memang ninja medis, bakayaro! Sentak inner Sakura dengan perempatan siku-siku di dahi. Sakura mengehela napas hopeless, ya setidaknya dia bukan hantu. Entah bagaimana raga itu kosong tanpa cakra, hanya gumpalan daging dan darah, Sakura tak perlu ambil pusing.

Fokus, fokus, Sakura! Kau adalah gadis desa ceria nan polos yang siap berbahagia menyambut cinta yang baru di Tokyo! Begitulah Sakura menyemangati dirinya sendiri.

"Oh, karena kebutuhan mata pelajaran geografi, belum lama aku membeli peta nasional edisi terbaru yang melengkapi kekuragan di edisi sebelumnya."

Semuanya pun berakhir dengan pujian guru untuk Kuroko. "Nah, Haruno-san bisa duduk di tempat yang kosong."

Kebetulan salah satu bangku paling depan kosong, jadilah itu kediaman Sakura di sekolah ini selama jam belajar.

Pada saat jam makan siang, Sakura menyibukkan diri mencari daftar ekstrakulikuler sekolah. Tentu saja bertemu Riko adalah jalan pintas karena sepupunya tersebut kan sudah senior di sekolahnya.

"Bagaimana kelasmu?"

"Menyenangkan!" jawab Sakura, "Hanya saja, aku agak sulit mencari daftar ekstrakulikuler. Kalau cuma tanya-tanya ke murid lain kurasa gak akan memuaskan. Kalau tanya guru, guru yang mana?"

Riko menelan makan siangnya setelah mengunyah selagi Sakura bicara tadi, "Itu gampang, aku akan serahkan daftar ekstrakulikuler padamu."

Sakura mengangkat alisnya. "Hontoni?"

Riko melanjutkan, "Aku kan seorang Coach tim basket, jadi aku punya koneksi sama tim OSIS juga. Gak perlu repot-repot ke guru, yang ada nanti direkomendasiin ke salah satu ekstrakulikuler. Kautahu, ada beberapa guru pembimbing yang fanatik dengan bidangnya."

Sakura mengangguk. "Ngomong-ngomong, aku baru tahu kau Coach. Kerjaannya ngapain, sih?"

"Melatih, tapi aku juga mengatur jadwal mereka, mencari pertandingan yang sesuai dan perencaan tumbuh kembang tim basket yang terstruktur."

"Wow, sepertinya gak mudah." Komentar Sakura. "Tapi tadi tim basket putera, katamu?"

Sekilas Riko mengangguk.

"Kenapa kau gak masuk tim basket puteri? Bukankah Ayahmu mantan pelatih sohor?"

Kunyahan Riko terhenti sejenak, ditelannya, lalu tersenyum. "Well, modal 'tahu' saja nggak akan cukup, main basket itu butuh skill dan stamina yang bagus. Lagian aku sudah mencoba membentuk tim basket puteri dua kali dan gak membuahkan hasil."

"Kenapa? Gak ada yang punya bakat?" tanya Sakura penasaran juga, sambil rajin mengunyah telan makan siangnya.

"Soal bakat itu kan bisa diasah, ini yang minat juga gak ada…" kata Riko getir setelah meneguk air.

"Andai kita seangkatan, ya… kalau dulu tahun pertamaku bersamamu aku pasti mau masuk tim basket puterimu." Gumam Sakura tak bermakna. "Walau aku gak punya pengetahuan sama sekali soal basket… tapi bagaimana kalau kita bikin tim? Gak terlambat, kan?" Ajakan semangat Sakura membuat Riko tersenyum saja.

"Tim basket itu gak cuma dua orang. Kita butuh minimal lima dan nyari orang itu gak gampang. Percayalah, aku mencobanya duluan sebelum kau datang."

Respon kosong Sakura hanya dengan mengembungkan pipi tanpa arti.

Riko lanjut berkata, "Yah, setidaknya aku bisa punya peran di tim basket cowok."

"Kalau gitu, kapan-kapan aku lihat tim basketmu, ya! Pasti isinya cowok-cowok macho…!"

"Kau ini…!"

Setelah makan siang, Riko memberikan daftar ekstrakulikuler yang aktif di SMA Seirin pada Sakura. Daftar tersebut tidak hanya berisikan nama tim masing-masing kegiatan, namun juga alamat ruangan mereka di SMA Seirin, jadwal kegiatan dan prestasi-prestasi apa saja yang telah dicapai. Benar-benar referensi yang baik. Sakura berdecak kagum dalam hati atas bantuan Riko yang terlihat selalu bisa diandalkan.

Yosh! Akan kugunakan seluruh waktuku untuk sibuk! Batin Sakura bersemangat, karena baginya Uchiha Sasuke perlu diusir dari pikirannya! Ia, tubuhnya dan otaknya butuh kesibukan.

.

.

Minggu pertama, Sakura mendaftarkan diri pada kegiatan Marching Band.

"Kau pernah bermain alat musik sebelumnya?"

"Be-belum, sama sekali belum…"

"Gak masalah, sih, bisa belajar dari awal kok."

Senyum malaikat pembimbing Marching Band itu menjelma menjadi seringai murka sebulan kemudian.

Sakura tidak bisa menguasai alat musik mana pun. Intonasinya sering terpeleset dan membuat sumbang keseluruhan suara. Sakura benar-benar tidak memiliki bakat bermain alat musik, namun karena perilakunya yang sopan dan sangat mau berusaha, akhirnya banyak kakak kelas yang membela kehadiran Sakura.

"Ah, sudahlah, sensei. Fisik Haruno boleh juga kok dijadikan Color Guard." Bujuk rayu salah satu kakak kelas Marching Band pada guru pembimbingnya. "Color Guard perempuan kan lebih menarik, sensei."

"Yah apa boleh buat," ucap sensei Marching Band. Setelah didiskusikan, mereka semua setuju Sakura memiliki fisik bak model yang sangat cocok dengan kostum-kostum Color Guard. Belum lagi, ternyata Sakura memiliki stamina bagus di lapangan setelah dites mengangkat tongkat Color Guard dan menjaganya tetap 'termainkan' di udara.

.

.

Di waktu senggang, Sakura berjalan-jalan ke mall, mengitari kota Tokyo sendirian dengan bermodalkan peta yang ia punya dari internet. Ia tak bisa mengajak Riko yang sedang fokus melatih tim basket putera Seirin. Dalam petualangannya jalan-jalan keliling Tokyo, Sakura terkadang ingat Sasuke bila di jalan melihat laki-laki mengenakan kemeja dengan kerah terangkat, atau rambuk spike hitam. Tak jarang, Sakura pun mengingat ramalan seorang Nenek yang ditemuinya di kereta. Jodohnya di Tokyo seorang pria berambut cokelat. Mungkinkah itu benar? Sakura tak ingin terlalu memikirkannya apa lagi berharap.

Sakura banyak mengunjungi butik, salon dan beberapa café. Uanganya yang tak seberapa ia gunakan dengan efisien. Karena tak mungkin baginya kembali ke Konoha untuk mengerjakan misi dan mendapatkan penghasilan, Sakura pun mencari pekerjaan paruh waktu. Ia mendapatkannya selagi jalan-jalan di sebuah mall.

Terdapat manga café yang sedang butuh staf. Manga café tersebut ramai dengan pengunjung anak muda. Sakura mengambil shift sore di hari-hari yang sebenarnya agak bentrok dengan ekskulnya. Tapi apa Sakura punya pilihan? Kan dia juga butuh uang.

"Bagus, Haruno!" menejer manga café yang cantik itu menepuk bahu Sakura. "Kau sangat ulet, kuharap kau betah bekerja di sini."

Sakura mengangguk menerima pujian menejer. Baginya, pekerjaan di manga café itu sangat mudah, hanya saja melelahkan. Ia harus melayani pengunjung dan siap ditanyai. Menjelang pulang ia dan rekannya membuat laporan harian tentang berapa banyak buku yang terjual, yang tersewa dan semua jatuh tempo pengembalian yang seharusnya. Semua teori perhitungan itu nyaris tidak ada apa-apanya ketika Sakura diberi satu unit komputer di tempatnya bekerja.

Wah, pekerjaan sebagai gadis biasa itu sangat mudah ya. Batin Sakura. karena yang melelahkan itu justru menghadapi pengunjung dan melayani mereka.

"Jangan pulang larut, Sakura-chan. Kautahu paman akan menanggung semua biaya pendidikanmu." Ayah Riko menunggu Sakura di depan pintu. "Aku tahu kau anak yang mandiri, tapi kau masih remaja, bersenang-senanglah."

"Paman… terima kasih, tapi aku ingin belanja ke mall dan bersenang-senang dengan hasil keringatku sendiri." jawab Sakura sopan.

"Ah, kedua anak gadisku gemar meninggalkan pria tua yang kesepian ini…" Ayah Riko berpura-pura menggerutu. Riko memang sibuk dengan tim basketnya. Dan Sakura sama sibuknya.

"Well, kapan-kapan kita bertiga bisa makan di luar, Paman. Aku kan belum tahu restoran kesukaan Paman dan Riko."

"Ide yang bagus! Tolong bujuk Riko-tan, ya! Aku mengandalkanmu, Sakura-chan!"

Wajah terharu Ayah Riko menjadi beban pikiran Sakura, merayu Riko meninggalkan pikirannya tentang tim basket bahkan hanya untuk sehari? Mimpi saja.

.

.

"Stamina Haruno sangat bagus sebagai color guard. Teknik dasar balet pun mudah dikuasainya." Tim Marching Band Seirin dicerahkan dengan kehadiran Sakura. Karena bukan hal mudah mencari Color Guard perempuan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

"Berjuanglah, Sakura!" bisik kakak kelas laki-laki tersebut, "Aku malu kalau jadi color guard, karena gerakan balet dasar bukan bidangku!"

Sakura mengangguk memberikan jempol terbaiknya.

Namun, secercah kecerahan itu pun tak panjang umur karena lagi-lagi…

DUAKKK!

Kakak kelas yang membela Sakura terkena lemparan tongkat Color Guard yang beratnya lumayan tersebut, apa lagi yang Sakura coba kali ini adalah Air Blade. "Ha…runo…!"

Plakk!

Sakura juga sempat tak sengaja menampar sensei Marching Band dengan tongkat Color Guard berjenis flag. "KAU. KE-LU-AR!"

Kesempatan Sakura dua bulan bersama Marching Band telah habis. Mereka akan mengikuti lomba yang merupakan kesempatan emas dan mereka tak ingin mengambil resiko. Posisi color guard Sakura digantikan dengan kakak kelas yang sempat membelanya. Sakura resmi dikeluarkan.

.

.

"Aku rasanya ingin bunuh diri saja." Kalimat familiar itu terdengar lagi oleh Riko.

"Jangan bercanda, Sakura!" Sahut Riko yang sebenarnya memerhatikan kesibukan Sakura di luar kesibukannya sebagai Coach tim basket. "Esktrakulikuler kan gak cuma Marching Band. Ayolah, jangan gagal sedikit maunya bunuh diri."

Sakura menghela napas. "Kau benar, sejak ditinggal Sasuke-kun aku jadi pengen bunuh diri mululu. Padahal sebelumnya, aku pantang menyerah untuk belajar demi menyusul prestasi teman-temanku." Ucapan Sakura tersebut sangatlah jujur, karena yang dimaksudkan adalah prestasi Naruto dan Sasuke selakon teman setimnya dulu, di tim tujuh. "Aku tidak boleh merusak diri seperti ini! Aku akan lebih cantik jadi gadis metropolitan dan aku akan, harus, bahagia!"

"Nah, begitu dong." Sambut Riko adem. "Selagi mencari kegiatan sekolah yang baru... Bagaimana kalau kau ikut aku melatih basket sepulang sekolah? Bukannya kau mau lihat kemachoan tim basket putera?"

"Hooo…" Sakura merapat dengan mata lapar, "Boleh juga tuh bahan mimisan."

"Kau ini…!"

"Hihihi. Janji, ya, bikin mereka topless?"

Riko menyeringai, "Well, karena hari ini aku sedang bergembira hati… OKE DESU!"

Riko tertular jempol dan kedipan mata Sakura yang sebenarnya Sakura salin dari Rock Lee.

"Senang kenapa, ngomong-ngomong?" tanya Sakura.

meanwhile di tempat Hyuga dan teman setimnya berada …

"Apa? Coach berjalan sambil melompat dengan ekspresi SENANG?"

"Iya, memangnya kenapa?"

Hyuga menghela napas, "Kalau seperti itu… bersiaplah, minna-san, lawan kita kali ini pasti bukan sembarangan."

.

.

"Kau kok telat, sih?" Riko beranjak malas dari sandarannya.

"Maaf, maaf~!" Sakura mengatur napas. "Aku tadi daftar ekstrakulikuler Cheerleader."

"Memangnya kau bisa nari?" Riko memulai langkah yang diiringi Sakura di sebelahnya, mereka menuju lapangan indoor Seirin, tempat tim basket putera berlatih.

"Eum, gak ngerti juga, sih. Tapi kata kakak Marching Band aku lebih baik masuk Cheerleader soalnya diajari teknik dasar balet aku cepat gitu."

"Balet sama cheerleader itu beda. Kenapa kau gak masuk kelas balet sekalian? Kan ada."

"Aku kurang suka, gerakannya terlalu halus. Aku cenderung memilih sesuatu yang liar dan sadis."

"Kaupikir koreografi cheerleader liar dan sadis? Masuk dance modern saja kalau gitu. Aku gak ngerti deh dengan jalan pikiranmu!"

"Ih, tapi aku suka cheerleader, mereka unyu gitu gerakannya."

"Meh, terserah kau saja."

"Memang terserah aku…" Sakura jawab enteng dengan roti melonnya. Rasanya tadi pas makan siang Sakura telah menghabiskan seporsi bento lengkap dengan sebotol susu yang membayangkannya saja sudah bikin kenyang.

"Kau banyak makan juga ya…" komentar Riko.

"Hehe. Di samping itu, Riko, aku juga daftar ekstrakulikuler PMR, Palang Merah Remaja. Kulihat definisi dan kerjaan mereka itu sejalan dengan hatiku." Yaiyalah, secara, ninja medis… lanjut inner Sakura sweatdrop sendiri.

"Kau daftar dua kegiatan?"

Sakura mengangguk mantap, selagi Riko membuka pintu lapangan indoor.

"Yap, habis PMR kegiatannya sedikit gitu. Aku butuh kesibukan."

"Kenapa gak kerja sam—"

"OIIII!"

DAKKK! Brakkk!

"Hei, hati-hati dong!" protes Sakura setelah menonjok bola yang terlempar jauh dan rusak tertabrak bangku lapangan indoor yang ikut retak.

Riko terbengong, apa yang baru saja terjadi? Semuanya begitu cepat. Perasaannya sangat tidak enak, perasaan yang dirasakan Riko seperti saat dulu melihat skill Kuroko.

"Reflekmu… bagus juga, Sakura." komentar Riko setelah sadar diri dari keterkejutannya. Di sisi lain, Sakura mulai keringat dingin melihat bola basket yang rusak sekaligus bangku yang retak.

Gawat, aku kelepasan! Batin Sakura setengah panik. Ia mengigit bibirnya. "Ano, maaf bolanya, aku gak sengaja."

"Suge…" bisikan tipis terdengar entah dari siapa. Sakura tidak berani menatap tim basket putera-nya Riko tersebut.

"Jangan khawatir, kita punya banyak bola. Lagian itu sepertinya sudah tua." Riko menggandeng Sakura mendekat ke pinggir batas lapangan. Mendengar '(bola) itu sepertinya sudah tua' dari Riko membuat Sakura bernafas lega, semoga saja yang lain ikut berpikir seperti itu. Huft, ingat, dia adalah gadis polos nan ceria dari desa yang siap menerima cinta yang baru di kota. Tenang, Sakura, santai saja.

"YOSH! Untuk cek rutin, minna-san, buka baju kalian!" Riko memberi perintah, Sakura menoleh patah, RIKO UDAH GILA? Yang bikin heran, anggota tim basket melepas kaos begitu saja.

"Oi Riko, kau sedang bawa temanmu. Gak salah cek rutin sekarang?" tanya Hyuga lalu melepas kaosnya, bagi laki-laki sih santai saja, biasanya kan yang histeris itu wanita.

"Oh ya," Riko melirik Sakura. "Kenalin, sepupuku dari desa, Haruno Sakura."

"Haruno Sakura desu." Sakura membungkuk kikuk tidak berani mentap siapa pun sampai Riko membisikkinya, "kutepati janjiku, kok kau jadi pengecut gak mau menikmati suguhanku?"

"Sial," umpat Sakura pelan sekali hingga hanya Riko yang dengar dan tertawa.

"Oh, teman sekelas Kuroko dan Kagami, ya?" Hyuga, senpai yang pakai kacamata, memecah tawa Riko.

"Kok tahu?" tanya Sakura balik sambil mengangkat kepala. Sakura tahu Kuroko, tapi Kagami… yang mana? Kan Sakura duduk paling depan jadi tidak memerhatikan yang belakang. Ia terlalu memeras otak dengan Marching Band begitu masuk SMA Seirin ini. Kalau dipikir-pikir aku despicable juga gak ngenalin teman sekelas sendiri, batin Sakura.

"Yah, kau agak populer sejak melempar Air Blade ke kepala Color Guard senior." Sambung senpai beralis tebal nan tampan, Mitobe.

Seketika Sakura merasa ditiban barbel ratusan kilo. "Eh… etto, aku tidak sengaja."

"Tenang, gak seburuk itu citramu kok. Kau agak terkenal karena rambut pink-mu," kata Kagome si senpai berwajah kucing, "Apa lagi Marching Band menggunakan lapangan outdoor, semua kelas bisa melihatnya."

Hm, Sakura mulai menikmati pemandangan sambil ber-hehe ria dengan muka mesumnya selagi Riko mengeluarkan papan berkertas dan pena.

"Well, Sakura, kenalkan, ini Hyuga, Mitobe, Kagone," Riko mulai menyebut satu persatu anggota tim basket putera yang dilatihnya, "Terakhir, ini pasti sudah kautahu kan… Kagami, teman sekelasmu—" Riko terlonjak kaget melihat ekspresi mupeng Sakura yang entah sejak kapan pecah mimisan.

Kedua iris hijau emerald gadis pinky itu sudah terbentuk hati merah muda, sedikit liur di sudut bibir dan darah segar mengalir.

DEMI APA ADA COWOK SEGAGAH INI DI KELAS GUEH. Inner Sakura menggila. Taiga Kagami: tinggi, kekar dengan otot bidang yang manggil-manggil minta dipeluk-sandari dengan eratnya. Belum lagi mata sadis mengiris dan alis tajam terbelah bak naga.

I'm ready, baby, please take me… entah lagu durjana mana yang terputar di fantasi Sakura.

"Sakura…! Sakura…!"

"SAKURA!"

"Ya, ya?"

Ah, move on ke kota membuahkan hasil ternyata. Riko mengela napasnya, Sakura kampret, segala space out gitu liat Kagami topless.

"Ano, aku Kuroko Tetsuya desu."

HEEEEEEEEEEEEE?

"SEJAK KAPAN KUROKO DI SITU?!"

.

.

A/N:

Sejak nonton Kuroko no Basket season 1, draft Sakura no Basket ini sudah ada. Penulis putuskan untuk kembali meneruskan dan mempublikasikannya ketika tahu season 3 sedang tayang.

Judul "Sakura no Basket"-nya tidak hanya sekedar judul kok :D

Karena penulis punya beberapa cabang plot, pembaca bisa membantu voting untuk pairing Sakura di halaman profil penulis. Semoga pembaca mau merekomendasikan pada fans Sakura (yang sekaligus fans Kuroko no Basket) lainnya. Kritik dan saran sangat diterima, terima kasih ;)