A/N : Hai semuanya! Ketemu lagi dengan saya di fanfic baru ini. Namun ada satu hal yang saya tegaskan, bahwa fanfic ini bukan murni milik saya. Fanfic baru saya kali ini memang terkesan unik, karena merupakan terjemahan dari fanfic orisinil karya 'ReNeVIerE07', dan tentunya saya juga sudah mendapat izin dari pihak yang bersangkutan. Saya memutuskan untuk melakukan ini karena saya merasa bahwa fanfic nya sangat bagus meski simpel. Sehingga saya ingin sekali menerjemahkannya dan berbagi dengan anda-anda semua. Kalian bisa ke profilnya untuk melihat fanfic-fanfic lain.
Disclaimer : FF VII adalah milik SquareEnix, sementara fanfic orisinil ini adalah milik'ReNeVIerE07'. Saya hanya penggemar berat mereka berdua.
CATATAN 1
SECANGKIR KOPI
Dear diary,
Hari ini begitu dingin ... sangat dingin malah. Aku baru saja pulang sekolah, dan menurutku, sekolah sangat menyenangkan!
Aerith dan Zack baru saja merayakan satu tahun mereka berpacaran, selamat! Sementara Yuffie, dia masih berusaha untuk menarik perhatian Vincent. Dan seperti biasa, Reno juga tidak kalah genitnya untuk menarik perhatian Yuffie.
Elena juga sedang menyukai seorang pria, kalau tidak salah namanya ... Tseng? Ya, kalau tidak salah memang itu namanya.
Sejujurnya, aku merasa iri. Karena mereka bisa memiliki waktu untuk mereka sendiri, bahkan beberapa di antaranya termasuk yang terbaik.
Bahkan adikku, Marlene, dia 'ditembak' oleh temannya! Dan dia baru delapan tahun!
Aku sudah enam belas tahun, tapi masih nol dalam percintaan! Tetapi setidaknya sampai ... beberapa saat yang lalu.
Ketika naik kereta, sialnya, semua ruangan sudah terisi. Aku harus mencari ruangan yang didiami lebih sedikit orang, dan saat itulah, aku bertemu dengan DIA.
"Anu..."
Tifa hendak bertanya pada seorang laki-laki untuk berbagi ruangan berhubung koridor kereta terasa begitu dingin. Tetapi sebelum dia mengetuk, dia menatap pria yang ada di dalamnya dengan kagum. Rambutnya pirang dan jabrik, seperti membeku namun kelihatannya memang dari sananya seperti itu. Tubuhnya berotot, mengenakan mantel di bawah lapisan-lapisan pakaian, dan dia kini tengah menatap pemandangan di luar.
"Permisi," kata Tifa sambil mengetuk lagi. Meskipun untuk sementara dia terlupa untuk mencari tempat duduk, namun rasa menggigil masih menyerangnya.
Ketukan Tifa membuat Sang pria menoleh, ekspresinya serius namun juga terlihat lembut di saat bersamaan. Tangan kanannya tengah memegang secangkir kopi, sementara di pangkuannya terdapat pen dan buku catatan kecil.
"Anu, semua ruangan penuh, bolehkah kalau masuk?" tanyanya, sambil mencoba untuk mengalihkan pandangannya dari wajah si pria. Harus diakui, dia adalah pria yang tampan. Dan meski kelihatannya dia bukan tipe yang begitu periang, namun ketika dia tersenyum dia terlihat begitu menawan. Setidaknya, begitulah menurut Tifa.
"Tentu," balas si pria yang kemudian kembali menatap pemandangan di luar. Tifa mengangguk dan masuk, lalu duduk di hadapan si pria. Setelahnya, dia meletakkan semua barang-barangnya ke samping, membuat tangannya yang sedari tadi membawa buku-buku terasa lega. Tifa melepas sarung tangannya, lalu meniup dan menggosok-gosok kedua tangannya. Sayangnya, napasnya terasa dingin dan membuat dia merasa sedikit menggigil. 'Cara yang salah untuk menghangatkan diri', begitulah pikirnya.
Tifa mengalihkan pandangannya dan mendapati bahwa si pria tengah menatap dirinya. Dia menyesap kopinya, dan kemudian menulis sesuatu di catatannya. Tifa merasa penasaran dan bertanya-tanya apakah buku catatan itu juga merupakan buku harian. Setelah selesai menulis, Tifa dibuat kaget ketika si pria tiba-tiba melepas mantelnya dan memakaikannya pada Tifa.
"Siapa namamu?" tanya si pria dengan suara yang tidak terlalu tegas dan tidak terlalu lembut. Bisa dibilang, Tifa tidak tahu juga sebutannya apa.
"Tifa," jawabnya sambil melamun. Wajahnya memerah, dan sebabnya bukan karena ruangan yang terasa begitu dingin. Tifa terus menatap mata si pria. Matanya berwarna biru, biru dan hangat. Sedalam lautan dan seindah langit, sesuatu yang tidak pernah dia temukan pada teman-teman pria nya yang bermata biru.
"Kalau begitu Tifa, kau boleh meminjam itu sekarang," kata si pria lagi sambil tersenyum kecil. Dia terlihat mengagumkan seperti artis atau semacamnya, setidaknya begitulah menurut Tifa. Dia sepertinya juga masih muda, seorang pelajar malah. Dia mengenakan seragam, tetapi Tifa tidak begitu peduli dari sekolah mana. Dan kemudian, Tifa lagi-lagi terkagum pada mata biru si pria.
"Terima kasih," jawab Tifa sambil menundukkan kepalanya,dan tanpa beralih dari sepasang mata biru itu.
Si pria lagi-lagi menatap jendela sambil menatap pemandangan. Dia terlihat begitu ... keren, dan juga misterius. Sesuatu yang tidak dapat dilihat setiap hari. 'Kuharap ini tidak akan berakhir', pikirnya. Rasanya konyol, tetapi di saat bersamaan juga memberinya rasa hangat. Mantel miliknya seolah masih memiliki panas tubuh dan baunya, baunya bagaikan hujan yang baru reda di musim semi. Tidak lama setelahnya, mata si pria sedikit melebar dan beralih menatap Tifa. Tifa langsung merasa tubuhnya menjadi kaku. Dan dia berpikir 'apa dia sadar kalau aku terus melihatnya?'
Mereka berdua saling bertatapan untuk beberapa saat, hingga tiba-tiba terdengar sebuah pengumuman.
"SEKTOR TUJUH ... PEMBERHENTIAN SELANJUTNYA, SEKTOR TUJUH."
Kontak mata mereka terputus ketika si pria menulis sesuatu di catatannya dan kemudian merobeknya. Robekan itu dia letakkan di dekat cangkir kopi. Dia mengangkat cangkir itu, meminumnya sedikit, lalu meletakkannya kembali. Dia mengambil tas miliknya dan melambaikan tangan pada Tifa sambil tersenyum, sebagai ucapan selamat tinggal. Tifa menjawabnya dengan mengangguk sambil tersenyum gugup, dan kemudian menatapnya keluar ruangan. Hawa dingin masuk ketika pintu dibuka, sehingga Tifa harus mendekam dalam mantelnya.
Eh, tunggu dulu, mantelnya? Astaga, Tifa lupa bahwa mantel yang dikenakannya adalah milik si pria tadi! Dengan terburu-buru, dia langsung pergi keluar untuk menyusulnya. Beruntung, si pria itu masih menunggu di depan pintu otomatis, menunggu kereta untuk berhenti.
"Hei!" teriak Tifa sambil berlari. "Mantelmu ter—"
Teriakan Tifa terhenti ketika dia tersandung dan terjatuh dengan wajah menghadap lantai. Tetapi untungnya, si pria pemilik mantel ini masih sempat menyelamatkannya.
"Mantelmu," kata Tifa sambil menyerahkan mantelnya, yang direspon oleh tangan si pria yang mengambilnya. Setelah itu, si pria melepaskan tangannya dari pinggang Tifa dan tubuhnya tiba-tiba condong ke arah Tifa. Tifa mengira bahwa dia akan mendapat ciuman di pipi, tetapi sialnya tidak.
"Terima kasih," bisiknya. Kemudian kereta berhenti, dan dia langsung bergabung dengan kerumunan orang-orang di luar.
Tifa berjalan masuk ke ruangan tadi. Entah mengapa, dia langsung merasa kangen dengan kehangatan mantel dan juga napas si pria tadi. Dan tiba-tiba saja, Tifa langsung merasa malu akan pikirannya itu, sehingga dia langsung mengalihkan pikirannya dengan memikirkan cara lain untuk menghangatkan diri. Ketika dia duduk, dia melihat secangkir kopi dan sebuah robekan kertas yang tadi ditinggalkannya. Tifa segera melihat tulisan yang tertera di catatan itu.
Kelihatannya kau masih kedinginan, jadi aku meninggalkan kopi di sana, masih hangat. Jangan lupa untuk diminum, Teef.
Cloud.
"Cloud," kata Tifa yang mengucapkan nama si pria, rasanya menyenangkan ketika menyebutkan nama itu. "Cloud, Cloud, Cloud."
Tifa menyebutkan nama itu berkali-kali sampai ketika dia menyadari ada tambahan di catatan itu.
PS :
Kau terlihat begitu lucu ketika kau menatapku selama perjalanan. Semoga kita bisa bertemu lagi.
Tifa merasa malu, ternyata Cloud menyadari bahwa dia terus memandangnya. Tifa melipat robekan catatan itu dan kemudian menyimpannya di kantong dengan hati-hati. Lalu dia mengambil cangkir kopi yang ada di hadapannya dan menyesap kopinya.
"Enak," katanya sambil menikmati sisa perjalanan sambil melihat awan.
Sekali lagi, saya mau mengucapkan terima kasih pada ReNeVIerE07 yang sudah mengizinkan saya untuk menerjemahkan fanfic ini dan menjadikannya fanfic berbahasa Indonesia. Mohon isi kotak review di bawah ya, terima kasih.
