Notes:

Sasuke = 25

Naruto = 20

Iruka = 32

-ii-

NARUTO © Kishimoto Masashi

Warns : Mature lines, slow updates (Ha!)

-ii-

RECTITUDE

RECount

-ii-

Bunyi-bunyian yang didengarnya bukan berasal dari mimpi.

Suara itu, terdengar seperti gedoran kasar, diinterpretasikan oleh alam bawah sadar Sasuke sebagai gebrakan ranjang beradu dengan dinding; membuatnya semakin menyusupkan tubuh dalam kasur dan menyeringai dalam bantal. Satu nama muncul dalam pikirannya; lalu beberapa nama… dia hampir bisa mencium bau parfum wanita yang masih menempel di sarung bantal…. Hn, mimpi indah.

Itu sebelum suara kasar laki-laki turut terdengar bersamaan dengan… fantasi liarnya.

Sasuke tidak bisa mendengar dengan jelas apa yang dikatakan oleh suara itu tapi dia tahu (dan merasa) namanya disebut. Suara ini cukup persisten, membuat alam bawah sadar a.k.a fantasi Sasuke yang terbilang rumit dan tangguh menjadi agak goyah; dari tidur sepenuhnya menjadi setengah terbangun.

Dia mengerjapkan mata di dinding yang biasa, mengharap informasi waktu dari penunjuk di atas sana lalu dia sadar kalau belum mengganti baterai jam tersebut. Lagipula dia tidak bisa melihat angka dalam jarak dan intensitas cahaya seperti itu. Maka Sasuke memaksakan diri untuk mengangkat tangan, merogoh dalam keremangan kamar pada meja di samping tempat tidur, menyambar jam meja-nya (yang dilengkapi fitur layar-menyala, tentu saja)—lalu mengumpat.

Sasuke memutuskan saat ini antara jam 'terlalu cepat bangun' dan jam 'Goukakyu no jutsu untuk siapapun itu yang membangunkanku'. Dia menendang selimutnya ke pinggir dan, untuk berjaga-jaga, menyambar sebilah kunai yang kemudian dia selipkan di pinggang boxer. Mutilasi tamu-pengganggu-tidur-setelah-misi-super-melelahkan di depan pintu rumah Jounin peringkat misi-S mungkin masih bisa ditoleransi departemen ANBU. Setidaknya dia malah lega jadi nuke-nin agar bisa berpisah dari porsi monster misi-misi dari Hokage.

Dia melangkah timpang dari kamar tidur menuju pintu depan, masih mencoba beradaptasi dengan kesadaran yang masih tipis serta otot-otot lelah. Ketika mencapai gedoran bermasalah itu, Sasuke menempelkan dahinya di media suara; getaran yang ditimbulkan oleh pintu kayu kokoh tersebut terasa hingga tulang belakangnya.

Sekarang dia sudah tahu siapa yang ada di balik pintu; lebih dari siap untuk segera memutilasi yang bersangkutan.

Apa yang diinginkan orang itu di jam sialan ini?

Dia menyentak pintu hingga terbuka tepat sebelum satu gedoran dari kepal tangan seseorang mencapai permukaan kayu. Sasuke meraba dinding dan memencet tombol lampu teras dengan kekuatan berlebih, menyorongkan tubuhnya ke depan sambil berpegangan pada bingkai pintu.

"Hn, apa maumu jam segini? Puas membangunkan seisi kompleks? Kenapa Kau datang padaku lagi? Jangan bilang kunci rumahmu hilang! Pasti Iruka akhirnya membuangmu, hn? Apa yang Kau inginkan?" Sasuke berharap tatapan-bangun-tidurnya cukup mengintimidasi, tapi seperti yang sudah diduga malah berlaku sebaliknya.

Naruto menyeringai senang dalam benderang lampu teras, rambut pirangnya kusut di berbagai tempat, mengepit ransel berukuran sedang di lengan yang tidak digunakan untuk menggedor pintu. Dia kelihatannya belum bercukur dalam waktu lama dan Sasuke menduga Naruto jauh lebih bau bila didekati.

"Aku tak sengaja mengembara sampai sini," Naruto berkata ceria, "dan kupikir lebih baik mengunjungi rekan lama—komandan tim tujuh, Sasuke-senpai..."

"Berhenti memanggilku 'senpai', mengerikan… dan jangan nyengir setelah hampir mendobrak pintu—SIAL! Ini…" Sasuke meraih bahu Naruto yang lebih rendah beberapa senti darinya, "…cepat masuk sebelum mereka melemparimu dengan kunai!"

Naruto mengerling sekitarnya lalu mengangguk; berbagai teras rumah telah menyalakan lampu masing-masing dan terdengar gerutuan jengkel dari beberapa tempat.

Naruto membiarkan dirinya setengah diseret melalui jaket kulit oranye yang dia kenakan. Sasuke segera menutup pintu setelah mematikan lampu teras dan berkata dengan nada mengancam, "Kalau saja ada rombongan patroli, Naruto… aku bersumpah akan menyuruh mereka menangkapmu!"

"Hmm… aku pernah diancam begitu kemarin dulu," Naruto melepaskan tangan Sasuke dari bahunya dan melangkah ke sofa terdekat, melempar ranselnya asal-asalan di lantai dengan bunyi debam (Sasuke tak mau menduga-duga apa isi ransel itu) lalu mulai melepas jaket oranye-nya.

"Tunggu," Sasuke berkata, bergerak kearah sofa, "Siapa bilang boleh nginap? Jangan langsung nyaman, pulang sana! Mau kopi? Apa Iruka tahu Kau disini?"

Naruto setengah mengangkat bahu dalam posisi melepas jaket.

"Biarkan aku tidur di sofa," Naruto mendengus, membiarkan jaketnya jatuh di dekat kakinya, "Capek. Iruka bukan ibuku… dan ya, aku mau kopi."

Sasuke terpaku selama beberapa saat, tindakan paling bijaksana adalah membuat Naruto tak pernah tahu kalau dirinya juga secapek itu. Maka dia bergerak ke arah dapur, mencabut kunai dari pinggangnya dengan brutal (syukurlah tak meninggalkan apapun kecuali goresan tipis di lapisan karet boxer), lalu meraih dua buah mug dari rak di samping tempat cuci piring.

Selalu argumen yang sama, selalu membiarkan Naruto menetap pada akhirnya... Sasuke mengerumbel saat menghidupkan kompor; Itachi bisa menertawakannya kalau tahu masalah ini.

Dia adalah Jounin peringkat-S yang berkepala dingin saat menjalankan misi tapi lunak—terlalu lunak malahan—pada mantan anak buahnya. Tapi dia tidak bisa mendiamkan Naruto sejak mereka berpisah dalam tim yang berbeda. Hampir setahun lalu Sasuke naik pangkat hingga sejajar dengan Kakashi, mantan Jounin pengajarnya, sementara Naruto bergabung dalam resimen Jounin yang melaksanakan misi secara bebas; sejak saat itulah Naruto mendeklarasikan 'kemerdekaan'-nya.

Dan... sejak saat itu pula Naruto tidak pernah terlihat di kantor Hokage maupun di area Konoha—bahkan di warung ramen favoritnya sekalipun. Dia hanya pernah muncul sekali-sekali dan menginap beberapa kali di rumah Sasuke bila misi yang dia terima menyangkut masalah Konoha. Naruto itu, seperti yang sudah disimpulkan secara sepihak oleh Sasuke sendiri; ceroboh, tak pernah merasa puas, tak bisa diatur, namun entah mengapa seluruh aksinya bisa dipertanggungjawabkan.

Mungkin dia hanya sedikit khawatir.

Tiga minggu lalu Sasuke membuat Naruto berjanji untuk menghentikan ide-ide tak berguna soal kemerdekaan-nya dan, di luar sifat 'tak bisa diatur', agar pulang ke rumah yang dia tempati bersama Iruka. Sasuke mengira posisinya sebagai penjaga sudah selesai; mungkin… hingga dilihatnya kondisi Naruto sekarang dan hari-hari sebelum ini.

Sasuke merasa tahu alasan Naruto ada di sini; Iruka.

Naruto sudah pasti tidak mengikuti anjuran Iruka (mungkin lebih tepat disebut perintah) dan menggelandang lagi entah kemana, meninggalkan Iruka seperti biasa. Bila dia pulang dalam kondisi seperti orang kurang makan seperti saat ini dia akan membuat Iruka khawatir. Kadang Sasuke tidak tahu jalan pikiran Iruka; Naruto adalah Jounin Konoha yang diberi beban misi, jadi sebenarnya pulang dalam kondisi sekarat-pun tidak begitu mengejutkan.

Tapi dia agak setuju dengan Iruka selama kondisi buruk Naruto bukan gara-gara melaksanakan misi tapi hanya untuk menyenangkan ego kemerdekaan yang dia anut.

Sebenarnya apa yang diinginkan Naruto dari paham itu? Dan kenapa, demi Sandaime di surga sana, dia selalu berakhir di rumahnya?

Sasuke menyambar bungkusan gula sachet, mematikan kompor, lalu menuang air panas ke dalam mesin pembuat kopi. Naruto telah mengikutinya di dapur; melipat kedua lengan di depan dada sambil bersandar di dinding di seberang Sasuke.

"Jadi kapan Kau akan menghubungi Iruka?" Sasuke berkata, mempersiapkan dua mug tadi di dekat cairan hitam pekat dalam teko.

"Heh… tak usah khawatirkan aku dan dia—Oke? Tak ada masalah diantara kami. Dia sudah cukup sibuk dengan... misi-misi dari Konoha. Kau pasti tahu 'kan," Naruto mengulik kotoran di jempol kanannya dengan kuku di tangan lain, "... dia sama sibuknya denganmu. Jadi tinggalkan masalah kami dan-jangan-ikut-campur. Lagipula untuk apa ikut-ikutan? Ini 'kan masalah keluargaku. Urus keluarga Uchiha-mu sendiri."

Sasuke menjauh dari mesin kopi dan menyambar bahu Naruto (lagi) hingga yang bersangkutan berputar ditempat. Lalu dia memegang leher belakang serta punggung Naruto; mendorongnya hingga pintu depan, menahan pinggang Naruto dengan lutut serta telapak tangannya hingga menempel sejajar dengan dinding di sebelah ambang pintu, membuka gerendel pintu dengan tangan lain, menghiraukan teriakan dari yang bersangkutan hingga mereka mencapai teras luar, dan mendorong tamu tengah-malamnya itu agar menjauh dari teras.

Tidak lupa, sebagai pengganti salam 'go fucking away', membanting pintu hingga menutup—saking kerasnya sampai-sampai menggetarkan kaca jendela.

Beberapa detik kemudian Sasuke melempar keluar ransel beserta jaket oranye sebagai impresi bahwa Jounin pirang itu benar-benar diusir.

-ii-

Setelah kembali tidur selama hampir dua jam penuh, Sasuke memaksa mata untuk kembali terbuka dan menjalani aktivitas pagi-nya seperti biasa.

Dia setengah-menyeret langkah menuju pintu depan sambil membatin apakah nanti bisa mencuri kesempatan tidur siang saat pertemuan rutin dengan departemen informasi... Saking asyiknya dengan penyusunan rencana tidur-tanpa-ketahuan, Sasuke tak menyadari kakinya menyenggol sesuatu di lantai teras. Dia sedikit terjerembab, tepat waktu menyambar ambang pintu sebelum jatuh, lalu menatap arah lantai... merasa tahu apa yang mungkin tergeletak di situ.

"Heiii... hati-hati kaki!" Naruto menggerumbel dari bawah selimut jaket kulitnya. Dia merangkak, lalu duduk. Sasuke masih mengawasi dengan ekspresi yang sulit ditebak, "...jangan menatapku begitu! Memang apa lagi yang bisa kulakukan setelah dilempar keluar?"

"Pulang." Sasuke menggeram, melangkah menghindar lalu menutup pintu di belakangnya, "Pulang. Jangan menggelandang di terasku. Ada papan larangan masuk untuk gelandangan di kompleks ini."

"Oh… ayolah, biarkan aku pinjam toiletmu sebentar…. Atau aku akan melakukannya di depan rumahmu! Tetangga sebelah bisa melihat—"

Sasuke berhenti, membalik tubuhnya dengan kekaleman yang cukup membuat bulu kuduk siapapun berdiri; lalu dia mengangkat tangan untuk mendemonstrasikan segel Chidori. Naruto, agak terkejut, namun turut mengangkat tangannya dan bersiap melakukan segel Kagebunshin... Sepasang warna hitam balik menatap warna biru dengan kepercayaan diri dan keangkuhan yang membuat muak.

Naruto tahu dia takkan menang.

"Oke… OKE! Aku pulang. Puas?"

Sasuke menggerakkan rahangnya, tapi tidak tersenyum, hanya mengangguk cepat. Dia menunjuk Naruto tanpa mengatakan apapun sebelum berbalik lagi dan melompat ke atap gedung terdekat.

-ii-

Dia berdiri di depan rumahnya dan menemukan pemandangan yang sama.

Pikirannya tercabik antara jengkel dan kagum; Naruto, duduk di posisi yang sama di teras sejak sembilan jam lalu, menatap padanya dengan keras hati. Sasuke hanya mengawasi saat Naruto berdiri dan menggaruk belakang kepalanya, balik menatap dirinya setelah mendengus keras.

Bagi Sasuke, Naruto sudah memberi tantangan duel; terang-terangan.

Dia mengeraskan rahang dan mulai melangkah ke arah Jounin bermata biru itu. Naruto, di lain pihak, menyeka hidung dengan lengannya dan bersiap pada apapun yang akan dia terima. Semakin mengeratkan kuda-kuda pada tiap langkah Sasuke yang kian mendekat—Sasuke sendiri terlihat sangat kalem dan meyakinkan walaupun sebenarnya luar biasa jengkel.

Dia berhenti tepat di depan Naruto dan tak mengatakan apapun, hanya menatap langsung padanya.

Sasuke tahu Naruto tidak suka keheningan. Dia benci merasakan udara tegang di antara mereka, yang padahal bisa digantikan dengan kalimat… Teriakan, kalau perlu.

Sesuai dugaannya, Naruto-lah yang pertama kali bersuara setelah menyeka hidung sekali lagi, "Ngg… jadi aku menunggumu—Lalu... lalu... aku kencing di halaman belakang jadi tak ada yang melihat."

Sasuke membuka mulut hanya untuk menutupnya kembali. Tindakan bijak kali ini adalah diam dan lihat-apa-yang-akan-terjadi... Sebenarnya dia sudah melihat; sosok cemberut dan lusuh, tapi dia belum sepenuhnya mengerti apa yang sedang terjadi.

Dia pertama kali mengenal Naruto pada masa-masa Chunnin... calon Genin liar yang terlalu riang tapi juga sangat tabah di masa-masa berat. Sbenarnya Naruto masih seperti itu hingga keluar dari tim kerja mereka; seakan dia berganti karakter.

-ii-

Naruto nyaris tersenyum saat Sasuke membuka pintu. Namun lengkungan bibir itu berganti dengan umpatan saat daun pintu menutup keras di depan hidungnya.

-ii-

Sasuke sudah menghabiskan porsi makan malam saat dia mengintip dari balik kerai untuk yang keempat kalinya malam itu. Naruto masih ada di teras dalam posisi memeluk lutut seolah hanya dirinya-lah yang hidup di dunia ini.

Naruto, Sasuke kembali berasumsi, luar biasa persisten, sangat tabah, dan Sasuke sendiri merasa dirinya melemah.

Menyedihkan.

Setelah limabelas menit berlalu dan karena dia masih ingin diakui sebagai manusia juga karena dia (sedikit) peduli pada Naruto dalam berbagai sudut pandang yang bahkan dia sendiri tak mengerti, Sasuke memutuskan untuk membuka pintu.

Naruto berputar di tempat dan menatapnya dari bawah lantai seperti kucing liar yang mengharap belas kasihan.

"DIAM. Buka mulut, saat itu kupanggil tim Kakashi untuk menangkapmu," Sasuke memberikan peringatannya, "Masuk, mandi, ke dapur kalau sudah selesai."

Naruto langsung menutup mulut, merangkak berdiri dan berlari melewati Sasuke sebelum sang pemilik rumah berubah pikiran. Sasuke mendengar pintu kamar mandi-nya tertutup, merasa sangat puas, dia melangkah ke dapur untuk menyiapkan makanan.

Naruto berjingkat ke dapur duapuluh menit kemudian. Rambutnya basah dan menempel di tengkuk serta dahinya, selembar handuk dilingkarkan di pinggang. Sasuke menatapnya sekilas, lalu menunjuk kursi dapur dengan dagu dan Naruto duduk diatas kursi tersebut dalam diam.

"Aku boleh 'buka mulut' sekarang?" Naruto berkata hati-hati namun langsung dibalas dengan tatapan kejam. Jadi dia memutuskan saat ini bukan waktu yang tepat untuk ngobrol santai.

Sasuke meletakkan sebotol air mineral dan lima potong roti isi dalam piring kecil di depan hidung Naruto yang tiba-tiba kehilangan kemauannya untuk membuka mulut selain memasukkan potongan besar roti. Dia menghabiskan separo botol airnya dalam dua tegukan, matanya terpaku pada sebungkus roti yang bertengger di dekat rak gelas.

"Kapan terakhir kali Kau makan?" Sasuke bertanya, melipat lengannya sambil mengawasi aksi Naruto menelan dua potong roti sekaligus.

"Aku bukan Genin berumur duabelas yang—," Naruto mulai

"KAPAN terakhir kali Kau makan?" Sasuke bertanya, sekali lagi.

"Aku sudah bukan anak buahmu. Tak usah—" Naruto melanjutkan, sedikit lebih keras dari seharusnya.

Sasuke mencondongkan tubuhnya, membuat Naruto bergeser mundur—tampak terkejut, "Aku bertanya dan Kau menjawab. Aku menganjurkanmu untuk keluar sekarang juga dari rumahku kalau tidak mau mematuhi permintaan sederhana ini."

"Dompetku hilang… beberapa hari lalu," Naruto menyerah, tahu benar keseriusan ancaman tersebut walau dia menjawab dengan enggan dan pelan.

"Dan tidak pulang karena...?" Sasuke bertanya lagi, merasa superior sekarang setelah menangkap satu kelemahan Naruto.

"Aku tidak mau Iruka menceramahiku, oke? Aku hanya—malas berurusan dengannya saat ini," Naruto mengerling pada bungkus roti lagi. Dia memang tidak meminta tapi Sasuke memutuskan dia sebaiknya membuat roti isi lagi.

Sasuke tahu, sebagai orang yang jauh lebih dewasa dia seharusnya menasehati Naruto agar berhenti main-main. Bagaimana dia telah membuat khawatir semua orang, mengabaikan semua kesempatan emas yang datang... Sebelumnya dia menganggap Naruto sudah dewasa dan bisa mengambil langkah sendiri (walau selisih lima tahun sebenarnya tidak berarti apapun), itu karena dia ingat dirinya dulu juga seperti itu; hanya saja dia tumbuh di keluarga shinobi elit di bawah bayang-bayang nama seorang jenius jadi Sasuke bisa melangkah maju karena memiliki beban dan tanggung jawab yang besar.

Dia tidak bisa memaksakan paham radikal itu dalam idealisme kebebasan Naruto. Tapi sekarang... anak ini benar-benar butuh bantuan.

Dia mengawasi Naruto memakan roti isi kelima-nya dan Sasuke memutuskan untuk mengajak anak itu bicara, besok pagi.

-ii-

Sasuke terbangun oleh sense siaga-shinobinya di pagi hari pukul empat. Dia merasa seseorang membuka gerendel pintu depan, langsung sadar siapa yang sedang mengutak-atik pintu rumahnya.

Dia hanya terpaku di ranjang setelah pintu tertutup. Berharap Naruto akhirnya pulang dan membereskan masalahnya dengan Iruka. Dia bisa berharap….

-ii-

Siang ini dia sadar kalau Naruto tidak melakukan apapun.

Dia langsung tahu begitu berpapasan dengan Iruka di koridor kantor Hokage. Chunnin itu memojokkannya di sudut sebelum dia sempat berputar balik.

"Jadi…," Sasuke memulai, "…bisa kulihat Naruto belum bertemu denganmu?"

"Kau bertemu dengannya?" Iruka kelihatannya sangat lega, "Bagus… Sebenarnya aku agak khawatir—maksudku, yah… aku tahu dia sangat bisa menjaga diri. Tapi Kau tahu? Aku cuma memastikan ada saksi mata yang tahu keberadaan anak itu."

"Kupikir dia sudah pulang. Dia pergi dari tempatku pagi-pagi sekali," Sasuke menambahkan, "Dia seharusnya sudah sampai di tempatmu."

Iruka diam sejenak, lalu dia berdehem pelan, "Oh. Dia belum memberitahumu."

"Mengenai...?" Sasuke terdiam sejenak sebelum melanjutkan, "Ada apa? Dia kelihatan sehat… walau agak bau. Hn, dia juga kehilangan dompetnya—atau mungkin tidak benar-benar kehilangan dompetnya… Apa dia masih main di bar Iwagakure?"

"Aku sudah protes soal ini sejak berbulan-bulan lalu, tapi dia tidak mendengarkan dan masih pulang dalam kondisi mabuk dan…" Iruka mendesah lelah, "… tapi Kau tak perlu mendengarku ngomel saat ini."

"Kalau tingkahnya itu karena tidak puas dengan misi... aku bisa meminta Itachi untuk mencarikan tugas di departemen kami," Sasuke kembali berkata setelah hening agak lama.

"Yah, tentu saja kami sudah membicarakannya—aku dan Naruto," Iruka menggaruk hidungnya tepat di bekas luka, "Dia malah jadi jengkel saat kusodorkan daftar misi dari Hokage. Anak itu bukannya tidak puas oleh kualitas misi… sepertinya dia tidak puas karena selalu dibantu," lalu dia menambahkan pelan setelah menarik nafas panjang, "Dengar… dia sudah benar-benar diluar kontrol dan… aku mengusirnya dari rumah. Untuk kebaikannya—juga kesehatan jiwaku, setidaknya untuk sementara waktu saja. Walau bisa kaulihat aku mulai khawatir… lagi."

"Mengusirnya dari rumah—kalian?" Sasuke tahu suaranya mengambang di udara di antara mereka. Dia masih tidak percaya Iruka bisa setega itu.

"Aku tahu kalau… yah, percayalah Sasuke. Dia jauh lebik baik bila dibebaskan," Iruka berdehem lagi, "…dia sedang mencari sesuatu, bukan tugas kita lagi untuk mengarahkannya. Selain itu aku tak tahu persis apa yang sedang dia cari."

Sasuke menyentuh dagunya tanpa sadar. Mungkin benar apa yang dikatakan Iruka.

"Aku bukan pihak yang tepat untuk mencari tahu, Sasuke… itu bagianmu."

Sasuke tersentak dari lamunannya, "Aku?"

"Tanyakan apa yang dia mau. Aku sudah coba tapi dia tak mau jawab."

Sasuke berpikir, jika Iruka sudah mencoba dan gagal, kecil kemungkinan dia tidak akan mendapat hasil yang sama.

-ii-

Jadi sekarang dia menunggu.

Dia menunggu kedatangan Naruto di rumahnya beberapa hari setelah pertemuan dengan Iruka. Dia terus menunggu, dan bahkan mengharap Naruto akan menggedor paksa pintu rumahnya di dini hari seperti saat terakhir mereka bertemu.

Ketika bosan menunggu dia mulai melakukan patroli di seluruh Konoha walau peringkat tugas itu hanya untuk anggota Chuunin departemen keamanan.

Dan ketika dia sudah bosan melihat Konoha di malam hari, dia beranjak ke Iwagakure—berkeliling tanpa arah di kawasan bar-bar malam yang jarang sekali dia kunjungi untuk sekedar santai. Lalu saat dia akhirnya menyerah dan bermaksud pulang, dilihatnya punggung seseorang yang memakai jaket oranye dari kerumunan massa yang berbaris di bar paling ramai. Kalau saja Sasuke melihat warna pirang—bukan hitam—dia pasti langsung meluncur untuk menyeret sosok itu. Tidak, dia hanya orang yang memakai jaket Naruto. Lagipula... Naruto sudah berusia duapuluh, tahun ini. Jika dia bermaksud menghabiskan malam di bar tertentu—yah, itu urusan Naruto, bukan urusannya….

…jika Naruto bermaksud menyia-nyiakan bakat shinobinya dengan minum-minum (Sasuke teringat nasehat seorang tua dari klan Hyuuga mengenai tiga pantangan Shinobi yang mencakup sake, wanita, serta uang), itu adalah hak prerogatif yang bersangkutan dan Sasuke tak punya hak untuk ikut campur…

…tapi bila diijinkan, Sasuke lebih memilih untuk mengarahkan bakat itu ke arah yang tepat; dia akan memelihara bakat tersebut, mendukungnya dengan segala otoritas yang dia milliki, lalu mengawasi saat bakat yang dimaksud dapat mengatasi berbagai misi pelik. Dia memang tak punya hak untuk ikut campur tapi dia berhak untuk sekedar mengawasi. Dia telah berinvestasi dengan bakat tersebut sejak si pemilik menjadi anak buahnya. Dia akan sangat menyesal jika bakat tersebut terbuang sia-sia hanya karena pengaruh sake murah dari bangunan bobrok yang berada di gang kecil gelap, di kawasan memuakkan.

Maka Sasuke menyimpan ikat kepala Konohanya dan merapatkan mantel bepergian sebelum melangkah ke dalam bangunan tersebut.

Orang-orang berkerumun di barisan bartender sementara yang lain tersebar merata; berdansa seperti orang gila di lantai, saling memangku satu-sama lain di deretan sofa, saling mengumpat di depan wajah masing-masing... Sasuke mencoba menghiraukan semua itu; dia mulai mencari kepala pirang di antara warna hitam dan merah atau paling tidak orang yang memakai jaket oranye menyolok. Dia menyelip di antara barisan bartender dan tak menemukan baik rambut pirang maupun jaket oranye, sambil menolak apapun itu—dalam botol yang disodorkan oleh seorang wanita padanya.

Dua wanita lain (tidak penting bagaimana bentuk mereka dan Sasuke agak yakin jenis kelamin keduanya perempuan, dia tidak kenal mereka jadi akan lebih menyenangkan kalau menganggap keduanya perempuan), mengajak bicara saat dia lewat. Tapi Sasuke hanya melambaikan tangannya dengan tak-sabar.

Jadi setelah beberapa menit berkutat dalam keremangan serta kerumunan ketat, Sasuke memutuskan tidak hanya Naruto saja yang punya selera aneh dalam pemilihan jaket.

Dia nyaris mencapai pintu keluar saat dilihatnya kepala pirang menyembul dari deretan sofa di ruang atas. Bagus, dirinya, seorang Jounin misi-S, tidak sadar bar itu punya ruang atas.

Sekarang setelah menemukan Naruto dia bingung bagaimana menjelaskan keberadaannya di bar ini. Sasuke cukup yakin Naruto akan semakin keras kepala kalau tahu dirinya sedang diawasi, dan mungkin... bar tersebut akan menjadi arena pertempuran dua ninja Konoha kalau Naruto bisa lebih tidak puas lagi. Dari tempatnya berdiri dia bisa melihat sosok laki-laki berbadan tegap berjalan menjauh dari kepala pirang yang dimaksud dan menuju deretan bartender untuk memesan sebotol sake.

Sepertinya Naruto tidak lagi membutuhkan dompetnya yang hilang.

...dan tentu saja Naruto memiliki wajah yang menarik lalu dia...

Sasuke melangkah cepat, naik melalui tangga di samping bar, mendengus keras agar bisa didengar oleh Naruto—yang tentu saja langsung melirik kaget. Dia melipat lengan, menatap si pirang dengan tatapan tajam khas Uchiha sebelum-mengeluarkan-sharingan, sementara Naruto balik menatap seolah Sasuke sudah gila.

"Ehm, Sasuke?" Naruto berkata pelan, tampak luar biasa heran.

"Naruto, apa yang sedang Kau lakukan di sini?"

"Ehm, cari minum?" Naruto menjawab, sekarang agak bingung.

"Bukan itu maksudku... dengar, aku bicara dengan Iruka—beberapa hari lalu," Sasuke nyaris kedengaran seperti sedang mendesis, semakin mendekat, tapi Naruto mengarahkan pandangannya melampaui bahunya. Laki-laki yang tadi memesan sake sudah datang, membawa dua cawan di tangan yang tidak dia gunakan untuk mengepit botol sake. Dia memandang Sasuke dengan tatapan menilai, mendengus, lalu mengambil tempat duduk di samping Naruto setelah meletakkan cawan serta botol sake di atas meja—kelewat kuat karena isi sake sedikit tumpah di tangannya. Dia menjilat tangannya yang terkena sake, menyeringai pada Naruto.

Sasuke tidak tahu persis bagaimana ekspresi wajahnya, tapi Naruto memberinya pandangan gelisah. Lalu saat laki-laki itu beringsut dan melakukan sesuatu pada telinga Naruto dengan mulutnya... dan Sasuke setengah percaya dirinya telah dideportasi ke dunia Mangekyou Itachi.

Dia tidak begitu yakin bagaimana tangannya menemukan kerah baju laki-laki itu, atau kenapa dia menjadi lepas kontrol.

"HEII! DIA BELUM LEGAL!" Sasuke agak yakin itu suaranya.

"Apa-apaan? UMURKU DUAPULUH!" itu suara Naruto

"MENJAUH DARINYA. DIA MILIKKU!" teriakan ini, Sasuke tak begitu yakin milik siapa.

Lalu dia merasakan seseorang memukul rahangnya—menjadi shinobi, dan Jounin elit Konoha, dia benar-benar ceroboh kali ini karena dia tidak bisa menghindar dari serangan sederhana semacam itu… atau ketika seseorang menjambret bagian belakang mantel dan melemparnya keluar dari gedung. Atau saat didengarnya suara Naruto dari kejauhan, "OKE. DIA SUDAH TERIMA LEBIH DARI CUKUP!"

"Ada apa?" Sasuke bertanya, agak sedikit pusing.

"ADA APA? SEHARUSNYA AKU YANG TANYA; ADA APA DENGANMU?"

Sasuke sempat ragu saat Naruto membantunya berdiri; kenapa posisi mereka jadi terbalik? Sekarang siapa diurus siapa.

"Aku sedang jalan-jalan malam…."

Walaupun dia tidak mendongak untuk memastikan, Sasuke tahu Naruto tengah memberinya tatapan tak-percaya.

"Kau menguntitku."

Sasuke pernah sekali berkelahi dahulu kala saat dia masih jadi siswa akademi, dan ayahnya dipanggil untuk menjemput. Dia berjalan timpang dan diam sepanjang perjalanan pulang, takut pada berbagai kemungkinan hukuman yang akan diterimanya dari sang ayah yang juga berjalan diam-diam di sampingnya.

Mirip dengan situasi kali ini.

"Ya. Mungkin," Sasuke memutuskan untuk jujur. Mereka melangkah ke taman kota yang lebih ramai dan lebih... terang. Naruto menunjuk satu bangku di dekat lampu jalan. Mereka berdua duduk.

"Lucu. Kemarin dulu tak mau tahu, sekarang coba cari tahu," Naruto menggeram pelan sambil melempar pandangan galak pada dua pemabuk yang melewati mereka.

"Hn, beginilah cara kerjaku," Sasuke membalas, memeriksa apakah hidungnya masih utuh—laki-laki yang memukulnya jelas sekali shinobi. Mungkin Chuunin Iwagakure, "…dan Kau tahu sendiri aku tidak terima kritikan."

-ii-

Diktionari:

Rectitude : (k.s) kejujuran.

Recount : () menceritakan /kembali/.

A/N: Hula~! Sebut Saya munafik karena tidak menyelesaikan apa yang harus diselesaikan malah menambah beban lain (nunh... nunh...). Well, tipikal moody sih (heh, heh). Kita sebut saja fict ini 'by order'. Tapi kalau Saya lebih milih istilah 'ego author'. Hahahaa.