Disclamer : Naruto at Masashi Kishimoto always

Pairing : Sasuke U. X Hinata H.

Rated : T

Warnings : OOC, AU/AT, Miss Typo(s), Abal-isme, PLOT Campur aduk,,

Semua warning berkumpul disini,,,
.

.

Story by Ric-chan

Ide : Maria A.S

.

.

Jika ada kesamaan Judul, Ide, Latar, Setting, dll dengan Author lain nya ini hanya fiktif belaka yang muncul dari otak saya yang paling dalam dan sedikit agak terbentur tadi...

DON'T LIKE, DON'T READ !


.Ric-chan Present.

*§*Back To Last *§*

Capther 1


Mobil terus melaju dan menyusuri jalan yang mulai berbelok, sementara rumah dan bangunan di kiri-kanan jalan raya mulai tampak kepadatannya. Pandangan mataku pun mulai terfokus pada jalanan yang mulai terbebas dari kata "Sepi" disebelah kiri dan kanan jalan yang kami lalui.

"Pemandangannya sudah mulai hilang ya, Kaa-san?" Suara bocah lelaki yang duduk disampingku meraih kembali perhatianku dari jalan raya yang padat. "Jalannya juga ramai. Tidak seperti tadi."

"Ya. Sayang. Karena kita sudah mulai memasuki daerah Kota Tokyo, dengan demikian, jalan-jalannya juga tidak sesepi tadi. Orang-orang disini senang sekali bekerja, maka dari itu disini banyak sekali gedung-gedung yang tinggi." Aku menjawab pertanyan bocah itu sambil tersenyum.

Karena kita sudah memasuki daerah perumahan yang bebas dari jalanan yang padat itu, kubuka jendela mobilku lebar-lebar, kubiarkan udara sejuk pagi hari dengan rakusnya menyerbu masuk kedalam mobil. Rambutku mulai terbuai dipermainkan angin, sebagian menutupi mata dan hidungku. Cepat-cepat rambut panjang yang menutupi pandangan mataku kusingkirkan dengan telapak tanganku. Aku tidak ingin kewaspadaanku terganggu. Kini hanya tinggal poni rata sedahiku yang bermain. Kerena tidak terlalu menggangu maka kubiarkan.

Sudah sangat lama aku tidak pernah melewati tempat ini. Mungkin ada bagian-bagian yang dulu akrab denganku kini terlupakan. Atau berubah.

"Pemandangannya meski tidak seindah tadi, tapi yang ini tetap bagus." Kudengar bocah lelaki itu berkata dengan suaranya yang bening.

"Kau senang melihatnya?"

"Iya. Kaa-san!" Ku lirik anak itu yang berbicara sambil menganggukan kepalanya yang mungil.

"Sahi juga suka sekali akan melihat rumah Ojii-san dan tempat yang pernah Kaa-san ceritakan."

Aku tersenyum mendengar celotehan anak itu. Sahi anak yang menyenangkan. Wajahnya tampan, otaknya cerdas. Untuk usianya yang hampir sembilan tahun, ia mempunyai pemahaman dan daya tangkap lingkungan sekitar lebih cepat daripada anak-anak sebayanya.

"Sewaktu masih kecil, Kaa-san juga tinggal dirumah itu?" tanya Sahi lagi. Seperti aku, tatapan mata riangnya. Namun rambutnya lebih kewarna berwarna Raven.

"Betul, sayang."

"Kalau begitu kita nanti bertemu dengan teman-teman Kaa-san dulu?" karena pertanyaan itulah senyum dibibirku lenyap seketika. Tetapi meskipun senyumku telah lenyap dan perasaanku menjadi kacau dengan tiba-tiba, pernyataan Sahi itu kujawab.

"Barangkali, Sayang." Itu memang benar. Barangkali saja aku akan bertemu dengan beberapa diantara mereka.

"Kaa-san..." untuk kesekian klai kudengar suara renyah disampingku. Kutolehkan kepalaku sesaat lamanya.

"Apakah Kaa-san masih ingat nama-nama mereka?"

"Tidak semuannya Kaa-san ingat."

"Siapa sajakah yang Kaa-san masih ingat?"

"Yah, hanya beberapa saja yang Kaa-san ingat, ehm. Kiba-kun, Naruto-kun, Ino-san, dan.." Aku hampir tersendak ketika nama Sasuke nyaris meluncur keluar dari mulutku. Karenanya capat-cepat kulanjutkan mengatakan sesuatu, "Dan masih banyak lagi."

Sasuke, lanjutku dalam hati. Ternyata nama itu masih bisa membuatku gugup. Bahkan kacau. Sesungguhnya sulit bagiku untuk merumuskan secara tepat apa yang berkecambuk dalam batinku setiap nama itu singgah disana. Bahkan aku juga tidak tahu apakah aku membencinya, menyukainya, atau yang lainnya.

Sasuke adalah teman Neji-nii. Meskipun kami tetengga tapi jarak rumahnya dan rumahku tidak terlalu jauh. Karena rumahnya terletak beberapa blok dari rumah kami. Ia juga sering menginap dirumah kami, entah itu untuk mngerjakan tugas ataupun untuk bermian. Secara otomatisa aku dan dia sering bertemu, bahkan hingga bersahabat.

"Kaa-san apakah dirumah Jii-san dingin?" Untuk kesekian kali kudengar lagi pertanyaanya.

"Tidak. Hanya saja sejuk."

Sahi mengaggukan kepalanya. Matanya bergerak lincah menangkap seluruh panorama yang tersaji. Kubiarkan dia dengan asiknya. Dan ingatanku kembali pada masa lalu.

Sejak kecil aku memang sudah menyukai Sasuke, Sasuke Uchiha. Wajahnya yang memang tampan juga ramah di mataku membuat aku menyukainya. Kami sering sekali bermian bersam dihalaman belakang rumahku. Waktu itu aku menduga rasa sukaku terhadapnya hanyalah sebatas pertemanan saja, sama seperti anak-anak seusia kami. Tapi ternyata tidak, aku tetap menyukai pemuda Uchiha itu seiring kami tumbuh dewasa. Bahkan dia termasuk murid yang cerdas. Begitu lulus SMA ia diterima di Konoha Internasional University di Fakultas Ekonomi.

Meskipun dia sedikit berubah, tidak lagi seperti dulu, yang selalu meluangkan waktu untukku. Entah sekedar mampir atau bertemu denganku. Namun kerena dituntut untuk lebih serius menjalani kuliahnya karena suatu saat nanti dia harus memimpin perusahaan besar milik Ayahnya, Fugaku-sama. Tapi meskipun begitu sibuknya, aku tetap menyukainya.

Namun lepas dari itu semua, kesibukkan Sasuke dari hidupku meninggalkan sesuatu yang amat perih. Sempat beberapa hari aku tidak selera makan. Konsentrasiku sering buyar. Tetapi untunglah aku lulus juga SMA. Hanya saja semangatku untuk mencari tempat melanjutkan studiku merosot dengan drastis. Untunglah Ayah dan Neji-nii memberiku semangat agar aku tidak hanya memfokuskan pada Universitas di luar negeri saja.


.

*§*Back To Last *§*

.


"Kaa-san, apa dirumah Jii-san nanti Sahi akan mempunyai teman?" Kudengar suara anakku merebut kembali ingatanku.

"Semoga saja, Sahi. Okaa-san tidak tahu apa sekarang disekitar rumah Ojii-san ada banyak anak kecilnya." Saat ini aku sedang tidak ingin banyak bicara. Kenangan masa lalu terus membayangi pikiranku dengan segarnya. Terlebih karena yang terpeta dalam ingatanku tadi punya kaitan dengan kehidupanku dimasa lalu.

*FLASBACK ON*

Sepuluh tahun lalu..

Aku masih ingat saat aku jatuh sakit karena kahujanan mengurusi keperluan tentang studiku di beberapa Universitas, selama satu minggu seluruh tubuhku teras ngiliu. Kepalaku sakit. Suhu tubuhku tinggi sekali. Sejak saat itu Tou-san sangt ketat mengawasi setiap gerakanku, kerena dia khawatir. Tak heran kalau sekarang ia begitu mencemaskan diriku, "Mau kemana lagi?" tanyanya. "Jangan pergi sendirian, Hinata. Mintalah Neji untuk mengantarmu kesana!"

"Tapi.."

"Langit mendung, dan sebentar lagi akan hujan."

"Aku tidak mau merepotkan Neji-nii." Tapi sebelum aku beranjak pergi, Sasuke berdiri didepanku dan menghalangi jalanku. "Bagaimana kalau aku yang mengantarmu pergi?" Sasuke menyela tiba-tiba.

"Bukannya Sasuke-kun sibuk. Tidak usahlah." Baru saja aku berhenti bicara, tiba-tiba hujan mulai turun. Kulihat Tou-san melihatku dengan tatapan menuntut. Dan aku 'pun menurut.

"Nah, ayo kita berangkat sekarang!" Kata Sasuke padaku. Di menarik tanganku, hingga kami sampai di mobil sport Biru milik Sasuke yang terparkir di depan rumahku.

"Hinata, Kau membenciku?" tanya Sasuke setelah mobil berjalan sekitar sepuluh menit sejak ia masuk dan menyalakan mesinnya. "U-untuk alasan apa?" Tanyaku kembali.

"Entahlah." Sasuke diam sejenak, "Karena aku tidak lagi ada waktu untukmu, mungkin." Lanjutnya membuat tenggorokanku hampir tercekat.

Aku tersenyum sebagaimana mestinya, "Kalau aku marah tidak mungkin, karena kehidupan Sasuke-kun 'kan bukan hanya aku.

"Cemburu dengan kesibukanku?"

"Ka-kalau itu aku tidak bisa." Sasuke menatapku sejenak, tanpa mengatakan apapun aku tahu arti tatapannya, "Itu karena kita bersahabat bukan? Bukan kekasih." Aku tersenyum getir. Sasuke melirikku sesaat lamanya.

"Berani taruhan, Hinata?" Sasuke menoleh kearah ku lagi. "Ku akan kujadikan milikku." Napasku hampir tersangkut demi mendengar perkataan Sasuke itu.

"Ti-tidak perlu."

"Kenapa." Katanya dingin. Bahkan dalam pertanyaannya saja tidak ada tanda tanya. Apa itu bisa dibilang pertanyaan?!

"I-itu buang-buang waktu saja."

"Kau lucu," Sasuke masih berkata dengan sikap dinginnya. "Aku cuma bertanya padamu berani taruhan atau tidak? Tidak berani, ya sudah!"

"Si-siapa bilang tidak berani?" Aku mencibir.

"Kalau begitu coba katakan padaku sacera jujur, apa aku menyukaiku?" Balas Sasuke. Oh, yang benar saja lagi-lagi napasku berhenti walau hanya sejenak mendengar perkataan Sasuke yang memebuat jantungku berdebar kencang.

"Lupakan!" Sergahku, kulirik sebentar kearahnya dan sialnya Sasuke tersenyum tipis dengan pandangan tetap kearah depan. Dia berhasil membuat wajahku merah padam hingga kebagian kedua telingaku.

"Rencanamu, akan kuliah dimana?" tanyanya mengalihkan pembicaraan.

"Disini mungkin. Atau diluar negeri, ikut dengan Kurenai-ba-san."

"Hn." Hujan semakin lebat sehingga perhatian Sasuke mulai tercurah sepenuhnya kejalan yang mulai berkabut.

"Arigatou Sasuke-kun." Kataku sambil turun dari mobil. Sasuke menepikan mobil sampai ketepi teras universitas yang kudatangi.

"Sasuke pulang saja. Nanti aku pulangnya gampang kok." Sasuke mengangukan kepalanya. Tapi ketik aku keluar dari halaman kampus itu dua jam kemudian aku masih melihat mobil Sasuke ada dihalaman parkir. "Ayo naik!" kata Sasuke. Wajahnya muncul dari balik kaca mobil yang tiba-tiba diturunkan.

"Kenapa masih disini?"

"Cepatlah masuk!" perintahnya. "Hujan bisa turun kapan saja." Lanjutnya.

*FLASBACK OFF*


.

*§*Back To Last *§*

.


Aku terbangun oleh suara berisik dari arah dapur. Kulirik tubuh mungil anakku yang tidur bergelung dibalik selimut disisiku nyenyak dalam tidurnya. Setelah perjalanan panjang dari luar negeri sejak kemarin.

Lebih-lebih karena sepanjang sore hingga malam kemarin ia diajak mengobrol dan bermain oleh Otou-san dan Neji-nii. Pelan-pelan kusigap selimutku dan sepelan itu pula kutapakkan kakiku yang talanjang kelantai. Dingin rasanya. Masih dengan gerakan pelan kerena takut membangunkan Sahi, kubuka jendela kamarku.

Kulihat beberapa bunga tumbuh di pekarangan depan rumahku. Daunnya yang hijau dan bunganya yang putih menyebarkan aroma wangi luar biasa yang rasanya seperti mengharumi seluruh sudut rumah.

*FLASBACK ON*

Entah mengapa Kurenai-ba-san mendukungku untuk berkuliah diluar negeri dan tinggal bersamanya bersamaan denganaku di terimannya di salah satu Universitas disana. Berhubung disini tidak ada yang meloloskan namaku dalam tes beberapa waktu lalu, jadi ku iyakan ajakannya. Meski dengan berat hati kutinggalakan keluargaku dan... Sasuke.

Sasuke rela meluangkan waktu untuk menemaniku berbelanja pakaian, katanya itu untuk yang terakhir kali sebelum aku pergi.

"Entah nanti kau ingin kuliah atau tidak, jelas kau membutuhkan pakaian baru untuk penampilan sebagai orang yang menginjak masa dewasa." Jadi begitulah, hari itu Sasuke benar-benar bersamaku, dan aku bahagia.

Hingga suatu kejadian yang membuatku benar-benar membencinya setelah sekian lama aku menyukainya.

"Sekarang kita kemana?" Tanyanya.

"Pulang." Sahutku.

Beberapa menit setelah Sasuke menyalakan mesin mobil dan kami kembali hujan turun sangat lebat sehingga membuat jalanan menjadi licin dan tentu saja berkabut. Kala itu kabutnya cukup tebal hingga membuat kami menepi sebentar setidaknya hingga kabut itu hilang. Didalam mobil aku meminta Sasuke untuk segera pulang karena hari sudah malam.

"Tapi kabutnya masih menutupi pandangan, Hinata. Dan hujannya sangat lebat. Memangnya senang berada dijalanan yang sepi dalam keadaan begini?"

"Ta-tapi..."

"Lagipula hantu-hantu disini tidak akan mengaganggu kita."

"Kau sengaja menakutiku!" gerutuku

"Untuk apa? Aku sendiri juga takut kok!"

"Ja-jangan bicara hal-hal semacam itu, Sasuke." Aku membantaknya. "A-palagi disini!"

Sasuke tertawa tipis. "Sudahlah," katanya kemudian.

Setelah itu menjadi sehing, tanpa ada yang memulai bicara aku merasakan kedinginan yang hebat disekujur tubuhku. Mengigil, dan semacamnya. Tetapi entah apa pun itu yang jelas didalam mobil kehilangan udara yang hangat. Sebagai gantinya udara yang mengambang diatas kepala kami seperti mengandung arus listrik tegangan tinggi, tiba-tiba tubuhku makin mengigil.

Sasuke mendekatkan dirinya untuk melihat keadaanku, "Dingin?" kulihat matanya berubah menjadi sayu, "Akan kuhangatkan." Sasuke bersuara lagi. Tubuhnya semakin condong kearahku. Tapi aku masih belum mampu berkata apa pun. Tak pernah kusangka aku akan menghadapi Sasuke yang bersuara lembut, dan tidak lagi berkata dingin dan cuek.

Seperti patung aku hanya mampu menatap wajah tampan Sasuke dengan mata berkedip-kedip mirip orang yang kehilangan akal.

Perlahan wajah Sasuke sudah sedemikian dekatnya dengan wajahku. Aku memandang mata Sasuke dalam-dalam. Kini dengan hadirnya telapak tangan Sasuke yang kini tengah membelai lembut permukaan bibirku. Aku mempererat cengkeraman tangannya pada kemeja pria yang kini semakin dalam menciumku.

Tubuhku semakin mengigil dan rasanya seluruh tulangku lenyap. Sasuke memelukku. Lembut sekali ia menciumi bibirku. Dan selembut itu pula tangannya mengelus rambutku, leherku, dan juga bahuku. Seperti sedang mimpi, kurasakan bibirnya yang hangat menelusuri leher dibawah daguku. Kubiarkan Sasuke mengelusi apa saja yang bisa dielusinya.

Jemari-jemari ku mulai merayap menuju leher Sasuke. Aku berusaha mengimbangi permainan Uchiha Sasuke yang selalu saja berhasil mendominasi diriku. Kecupan-kecupan yang semula teratur kini merayap tidak terkendali. Aku maupun Sasuke sepenuhnya sadar akan ke arah mana jika kami nekat melanggar batasan kontak fisik. Logika memang masih terus berjalan. Namun jika sudah hasrat yang berbicara, maka logika 'pun akan mengalah dengan sendirinya.

Aku lupa segala-galanya. Aku tidak ingat apa pun kecuali keberadaan Sasuke dengan segala belaian dan pelukannya. Sudah terlambat bagiku untuk menyurutkan langkah. Aku sudah kalah.

*FLASBACK OFF*

.

.

*§*Back To Last *§*

つづく

- To Be Continue -

.

.

Yuhuuu ,,

Holla,,, ^^

Gimana? Gimana? dilanjut gak nih...

Atau emang bener-bener rada,,, entahlah.