The Princess That Sleeps in the Tower of Roses
[薔薇の塔で眠る姫君]
Naruto © Masashi Kishimoto
(NaruHinaSasu, fantasy/scifi/crime/mystery/supernatural/romance, T, AU)
-This fanfic is for nothing but fun. I do not gain any profit for making them. Read it, or just leave it-
.
.
.
Alkisah, seorang raja dan ratu hidup dengan bahagia di negeri terpencil. Dikelilingi bukit-bukit hijau sewarna zamrud dan sungai yang meliuk-liuk, negeri tersebut sering luput dari pandangan orang-orang awam yang sedang melintas. Namun, para penduduknya hidup dengan damai dan tentram di bawah kepemimpinan raja tersebut, serta tak pernah kekurangan berkat sumber daya alam yang sangat melimpah. Kebahagiaan keluarga kerajaan ini bertambah ketika mengetahui sang ratu sedang mengandung anak pertama, calon penerus kekuasaan berikutnya. Sang raja yang bahagia, meskipun belum mengetahui jenis kelamin anaknya, langsung mengadakan pesta besar-besaran. Diundangnya seluruh penyihir kenalannya beserta seluruh rakyatnya yang ia kasihi, disuguhinya dengan makanan-makanan lezat nan mewah. Semua orang berbahagia. Para penyihir mengucapkan mantra andalannya untuk sang janin, memberinya berkah agar ia hidup sejahtera setelah menghirup napas di muka bumi.
"Saya persembahkan keelokan tiada tara untuk anak Yang Mulia, jika ia perempuan maka tak ada seorangpun yang mampu menandingi kecantikannya, jika ia lelaki maka ketampanannya mampu melelehkan hati setiap wanita yang melihatnya." Penyihir pertama, wanita berusia senja namun terlihat seperti kembang desa, mengayunkan tongkat sihirnya.
"Terima kasih, Tsunade," sahut Hiashi sambil tersenyum. "Berikutnya."
"Untuk anak Yang Mulia, saya persembahkan kemudahan untuk menyerap ilmu dengan baik dan pemahaman yang cepat sehingga ia mampu menjalankan kerajaan ini dengan baik nantinya," rapal penyihir kedua, pemuda berambut perak yang mengenakan jubah hitam gelap, segelap masker yang menutupi sebelah mata dan separuh wajahnya.
"Disampaikan dengan baik, Hatake," komentar raja tersebut tanpa menghilangkan senyum bahagianya. "Berikutnya."
"Saya tidak bisa memberikan apa-apa untuk anak Yang Mulia, kecuali kerendahan hati dan kebaikan yang selalu menyertai setiap langkahnya, agar seluruh rakyat menyayanginya dan selalu mendoakannya," ucap penyihir ketiga sambil membungkukkan tubuhnya penuh hormat, yang disambut dengan tepukan di punggung oleh sang raja.
"Tak perlu sampai seformal itu, Jiraiya." Hiashi tertawa. "Kita toh masih teman dekat, dan aku sangat bersyukur dengan sihir yang kauberikan untuk anakku. Terima kasih."
"Sebuah kehormatan bagitu, Yang Mulia –"
WHUUUUUSSSSSS
Angin kencang memutus kalimat penyihir separuh baya tersebut, disambung dengan hawa gelap serta suasana yang mencekam. Suasana pesta mendadak padam, tak ada yang berani bersuara, semua hadirin diam di tempat dengan tubuh gemetaran. Asap hitam muncul dari ketiadaan, dan sesosok penyihir dengan rambut hitam sepunggung tersenyum lebar ketika asap tersebut memudar.
"Selamat malam, Yang Mulia. Bolehkah saya, satu-satunya penyihir yang tidak Anda undang ke pesta, turut meramaikan suasana?"
"Orochimaru?"
Semua ilmuwan yang ada di laboratorium raksasa tersebut melepaskan fokusnya dari objek yang mereka teliti ke seseorang yang familiar. Pria berambut hitam sepunggung itu telah berdiri di belakang punggung mereka, tersenyum licik seperti yang pernah mereka kenal. Kedua tangannya dimasukkan ke saku jas sementara Orochimaru berjalan masuk ke dalam ruangan untuk menginterupsi kegiatan mereka.
"Sebagai kawan lamamu, Hiashi, aku sangat kecewa karena aku tidak diikutsertakan dalam proyek kecil-kecilanmu bersama yang lain." Pria dengan wajah mirip ular itu pura-pura memasang mimik sesuai yang dikatakannya, hanya untuk menjatuhkan mental sang lawan bicara. "Bisa kulihat embrio mungil yang ada di dalam tabung itu sudah hampir terbentuk. Seharusnya aku tidak meragukan kemampuanmu, Kawan."
"A-apa maumu?" Hiashi sebagai pemimpin proyek yang dimaksud oleh Orochimaru akhirnya angkat bicara, berusaha mendekatkan diri ke pria tersebut meski nada suaranya tak bisa dibohongi oleh ketakutan. Keempat rekan Hiashi yang seakan-akan mengerti maksud pria Hyuuga itu pasang badan, melindungi tabung setinggi dua kaki dengan panel kontrol dan kabel-kabel yang menghubungkan kedua objek tersebut. Embrio yang dimaksud Orochimaru melayang di dalamnya, diselimuti oleh cairan antiseptik khusus yang memenuhi seisi tabung.
"Kau sangat lucu, Hiashi. Tentunya kau, bahkan kalian semua disini tahu apa yang kuinginkan, tapi tak apa, biar kukatakan sejelas-sejelasnya. Mumpung aku sudah menghadiri 'pesta' kalian, bukankah tak sopan jika aku turut memberikan hadiah untuk tuan rumah?" jawab Orochimaru sambil tersenyum licik, sebelah tangannya mengeluarkan sebuah suntik berisi cairan berwarna hitam pekat dari sakunya. Hiashi tercekat.
"I-itu..."
"Oh, ini? Maaf, aku lupa memberitahu. Ini adalah penemuan yang dulu pernah kami –maksudnya aku dan Hiashi –lakukan saat masih muda. Saat itu kami menamainya 'Life Detonator' alias detonator hidup. Jika cairan ini diinjeksikan ke dalam tubuh seseorang, maka pemicu eksternal dapat membuat cairan ini bekerja, membuat seluruh pembuluh darah pecah bersamaan. Bukankah itu keren? Apalagi rencananya kami akan mengomersialkan penemuan ini sebagai senjata biologis untuk para petinggi militer –mereka seperti tak pernah kehabisan dana untuk membiayai penelitian kami," terang Orochimaru. "Tapi sayang, kawan lamaku tercinta ini berubah pikiran sehingga aku harus menyelesaikannya sendiri."
"Itu karena kau akan menggunakan calon anakku sebagai bahan eksperimen kita, Orochimaru!" bentak Hiashi. "Padahal aku sudah membuatnya dengan susah payah –menggunakan gen istriku yang sudah meninggal, digabungan dengan tubuh android yang sudah dikembangkan oleh mereka bertiga, aku akan menciptakan manusia setengah android pertama di dunia! Bagaimana bisa aku membiarkan penemuan yang akan mengubah sejarah umat manusia ini dihancurkan oleh pembunuh sepertimu?"
"Pembunuh? Aku?" Pria berambut hitam sepunggung itu terkikik lagi, jelas-jelas ditujukan untuk mengejek Hiashi. "Kalau aku pembunuh, lalu kau sendiri apa? Tuhan? Yang bisa menciptakan manusia serba sempurna baik jiwa dan raga, seperti membuat avatar di game?"
"Kau..."
Orochimaru bertindak cepat, bahkan seluruh ilmuwan yang sudah siap siaga dalam upaya mengamankan embrio tersebut tak sanggup menghentikannya. Dalam waktu sepersekian detik, jarum suntik itu telah menancap di salah satu layar transparan di panel kontrol itu, tempat Hiashi dan rekan-rekannya biasa menginjeksikan antibiotik dan obat-obatan lain ke bahan eksperimennya. Perlahan-lahan, cairan hitam itu tersedot ke dalam tabung, membaur bersama cairan antiseptik yang semula berwarna bening hingga isi tabung tersebut tak bisa dilihat dari luar. Terlalu buram.
"Orochimaru! Apa yang telah kaulakukan?" jerit Tsunade panik, sementara Hiashi jatuh terduduk tanpa bisa melakukan apa-apa. Pandangan matanya tak lepas dari isi tabung yang semakin gelap, sementara Hatake dan Jiraiya langsung menghambur ke panel kontrol tersebut, berusaha sebisa mungkin mencegah penyebaran racun tersebut meski sebenarnya percuma. Orochimaru tertawa puas, kentara sekali ia menikmati pemandangan putus asa yang ada di hadapannya sekaligus rasa balas dendam terhadap sang pemilik proyek. Setelah isi tabung itu benar-benar berwarna hitam, pria berambut hitam tersebut undur diri dengan angkuhnya.
"Baiklah, terima kasih atas waktunya. Senang bisa reuni dengan kalian lagi, hihihihi~"
Tak ada yang mampu berkata-kata, apalagi mencegah ilmuwan brengsek itu dari kejahatannya. Bahkan Hiashi yang tak segan-segan meninju orang di tempat jika ia kesal tak sanggup berdiri dari posisi berlututnya, terlalu syok untuk mengambil keputusan berikutnya. Hancur sudah penemuan mulianya sekaligus keinginan terpendamnya untuk memiliki anak –karena istrinya sudah berpulang sebelum mereka sempat melakukannya. Hiashi yang kalap saat itu langsung mengontak teman-teman lamanya, membuka kubur istrinya, mengais sesuatu yang mungkin tersisa dan dapat digunakan sebagai inti dari anak yang akan dibuatnya secara ilmiah. Dengan tubuh artifisial yang persis dengan manusia aslinya, bahkan fungsi-fungsi organ yang ada di dalamnya bekerja dengan sempurna, Hiashi akan meletakkan embrio yang sudah mereka kembangkan di dalamnya, sehingga anaknya nanti tak perlu mengalami proses pertumbuhan mulai bayi hingga balita yang memakan waktu cukup lama. Sekarang tubuh berwujud wanita dewasa yang sama-sama terendam di tabung sebelah terpekur dalam kebisuan, takkan ada sesuatu yang mengisinya seperti yang diharapkan.
Satu-satunya ilmuwan yang sedari tadi belum melakukan apa-apa memberanikan diri untuk angkat suara, berharap pendapatnya bisa dijadikan acuan untuk menyelamatkan keadaan.
"Ma-maafkan saya, Hyuuga-san, tapi kurasa saya bisa membantu Anda."
"Haruno?"
Penyihir berambut merah muda itu mengangguk takut-takut, digenggamnya tongkat sihir itu hingga sedikit basah karena keringat. "Mungkin saya tidak bisa menghentikan kematian yang telah ditentukan oleh Orochimaru, tapi saya bisa memanipulasinya sehingga bayi yang sedang Ratu kandung hanya tertidur pulas ketika sihir itu bekerja."
"Be-benarkah? Bisakah kau melakukannya?"
Sakura mengangguk. "Sayangnya sihir Orochimaru sangat kuat, saya tidak dapat menangkalnya sendiri. Satu-satunya yang bisa mematahkan sihir itu adalah manusia yang mencintai anak Yang Mulia, ia akan datang saat waktunya tiba dan membuat anak Yang Mulia kembali seperti sediakala. Tapi karena saya tidak tahu pasti kapan ia akan datang, jadi... sebagai tindakan preventif, saya menyarankan Yang Mulia untuk menyingkirkan seluruh jarum di lingkungan istana. Sebisa mungkin jauhkan anak Yang Mulia dari benda-benda tajam atau apapun yang berpotensi sebagai jarum. Hanya ini yang bisa saya lakukan, Yang Mulia, tolong maafkan saya."
"Tidak apa-apa, Haruno, saya justru berterimakasih padamu karena telah memberikan kami sedikit harapan di tengah musibah seperti ini," kata Hiashi sambil mengusap perut istrinya. "Saya akan melaksanakan apapun demi kelangsungan hidup anak kami, sampai manusia yang dimaksud datang menyelamatkannya."
"Saya harap anak Yang Mulia lahir dengan selamat dan hidup bahagia sampai saat itu tiba."
"Amin," sahut Hiashi cepat. "Nah, kalian dengar apa perintah Sakura? Musnahkan semua jarum dan benda-benda tajam di istana ini! Lebih baik anakku tak pernah melihatnya seumur hidupnya daripada nyawanya terancam karena itu!"
Putih.
Mulai Hinata membuka mata hingga menutup mata, hanya ada satu warna itu yang menyapa pandangannya. Putih di dinding, putih di lantai, putih di seragam rumah sakit yang ia kenakan... hanya sesekali hijau dilihatnya lewat masker yang dikenakan para dokter, dan coklat bening sebagai warna botol obat-obatan yang ia minum setiap hari. Gadis dengan rambut indigo sepunggung itu tak mengerti, sejauh pengetahuannya rumah sakit itu ditujukan oleh orang yang sakit, namun ia tak merasakan sakit sama sekali.
"Kau menderita penyakit langka, Hinata," kata dokter berambut merah jambu itu dengan senyum yang sedikit dipaksakan waktu itu. "Bahkan penderitanya sendiri tidak sadar kalau mereka sakit sampai dokter mendiagnosanya. Persentasinya satu banding sepuluh juta, bisakah kaubayangkan itu, Hinata? Sampai saat ini para dokter mengupayakan kesembuhanmu dengan menguji coba berbagai metode, karena hanya kaulah satu-satunya manusia yang bisa bertahan hidup sampai sejauh ini. Bahkan ibumu saja meninggal demi perjuangan dalam melahirkanmu."
"Ta-tapi..."
"Maafkan aku, Hinata, tapi aku harus mengecek kondisi pasien lain. Nanti malam saja kita lanjutkan," potong Sakura sambil membawa mapnya pergi, sementara gadis itu hanya menatap pintu yang tertutup dengan pandangan bertanya-tanya. Mungkin ia dikelilingi oleh orang-orang sakit, sehingga perspektifnya tentang kesehatan bisa saja berubah. Tapi Hinata tahu persis kalau dirinya jauh dari kata sakit, bahkan melebihi sempurna. Disaat para pasien terlalu lemah untuk membaca koran, Hinata menumpuk ensiklopedia dan buku-buku pengetahuan lainnya di samping ranjang sebagai pengantar tidur. Disaat para pasien menikmati senja di taman belakang dengan kursi roda yang didorong oleh suster, Hinata berlari riang sambil melompat-lompat di sana seharian (tentu saja tanpa sepengetahuan dokter maupun suster yang merawatnya). Wajahnya tak tampak pucat atau lemas, malah sebaliknya, rona merah seringkali mencerahkan pipinya setiap kali ia tersipu malu atau tersenyum bahagia.
Gadis itu seperti angsa yang tersasar di kandang itik.
Tentu saja Sakura tak mengatakan yang sesungguhnya, karena kenyataan yang terjadi jauh lebih utopis daripada semua imajinasi yang pernah dibayangkan oleh Hinata, bahkan oleh manusia normal. Ya, embrio yang mereka kembangkan lima tahun lalu dapat mereka selamatkan dan berhasil ditransplantasikan ke tubuh android seperti rencana semula, terima kasih untuk antidote racikan Sakura yang biasanya menjadi solusi terakhir dalam menyembuhkan penyakit seganas apapun, meskipun efek sampingnya lebih berbahaya karena dibuat dari campuran narkotika dan psikotropika. Awalnya dokter berambut merah jambu itu tak yakin kalau kasus yang satu ini dapat disembuhkan dengan obat buatannya, namun mereka tidak punya pilihan lagi selain mencoba. Diluar dugaan, cairan hitam yang sempat meracuni Hinata waktu itu perlahan-lahan memudar, dan kembali bening seperti semula. Dengan durasi yang tak terpaut jauh antara penyebaran racun dengan penawarnya, semua ilmuwan yang berpartisipasi dalam proyek tersebut berharap Life Detonator tidak sampai mengenai organ-organ vital. Sejak saat itu, Hinata wajib absen ke laboratorium khusus setiap malam untuk menerima antidote buatan Sakura dengan dosis berbeda-beda dan mengecek keadaannya, dan ia tidak boleh meninggalkan rumah sakit agar tidak terkontaminasi oleh bakteri dan virus yang mungkin dapat mengganggu pengobatannya. Gedung raksasa bernama 'Tower of Rose' itu memang terlihat seperti rumah sakit internasional biasa, jadi Hinata bisa menyamar sebagai pasien rawat inap dan bebas berkeliaran di areal tersebut tanpa ada yang curiga kalau lantai ruang bawah tanahnya telah dialihfungsikan sebagai proyek rahasia dan berbahaya. Bahkan tak ada yang sadar kalau Hinata bukan manusia sungguhan yang lahir dari rahim wanita –saking luwesnya tubuh android yang gadis itu tumpangi dan sifat pemalunya yang terlihat sangat manusiawi.
"Halo, Hinata."
"Ha-Hatake-sensei!" seru Hinata, tak bisa menyembunyikan kegirangannya ketika melihat dokter berambut perak itu masuk ke dalam kamarnya sambil melambaikan tangan. Hatake tersenyum.
"Ada apa, Hinata? Kau tampak lesu dari tadi," sapa Hatake yang kini menginvasi seperempat ranjang gadis berambut indigo itu, lalu menepuk puncak kepalanya dengan penuh perhatian. Hinata pura-pura merajuk, pipinya digembungkan dan bibirnya dimajukan.
"Aku bosan berada di sini."
"Itu bukan berita baru, Hinata." Hatake hanya tertawa mendengarnya, meskipun tidak bisa terlalu keras karena teredam oleh masker yang dikenakan. "Coba, sudah berapa kali kau mengatakan itu padaku?"
"Tapi aku bosaaaaaaaaaaan," keluh Hinata sambil berguling-guling di ranjang layaknya anak kecil. Memang secara usia, gadis dengan iris seperti mutiara itu baru tujuh tahun jika dihitung sejak transplantasinya ke tubuh manusia, tapi Hiashi sudah memprogram pola pikirnya agar setara dengan tubuh gadis berumur tujuh belas tahun yang sedang ditumpangi Hinata. Bahkan umur tersebut tidak akan bertambah, karena tubuh artifisial gadis itu tidak bisa mengalami regenerasi seperti manusia pada umumnya. Hiashi nyaris menciptakan makhluk immortal jika penemuannya tidak diganggu oleh Orochimaru –dan kini ia harus menjaga Hinata yang rentan menemui ajal sewaktu-waktu.
"Lho, bukankah sudah kubelikan novel untuk menghabiskan waktu luangmu?"
Hinata memutar iris sewarna mutiaranya bosan. "Maafkan aku yang tidak tertarik untuk mengikuti jejak mesummu dengan membaca Icha-Icha Paradise, Hatake-sensei."
Hatake tertawa lagi. Hinata masih manyun.
"Hei, mau kuberitahu satu rahasia?"
Telinga gadis berambut indigo itu langsung berdiri. "Rahasia apa?"
"Cara untuk keluar dari rumah sakit jelek ini."
"Be-benarkah?"
Mata Hinata membulat dan kerlip bintang seolah-olah mengapung di dalamnya setelah mendengar bisikan dari penyihir sekaligus kawan baik ayahnya.
"Apa saya pernah berdusta?" balas Hatake sambil tersenyum di balik masker hitamnya, tapi setelah itu telunjuknya diletakkan di depan bibir. "Berterimakasihlah ke Sakura yang telah menyelamatkan Tuan Putri, dia sendiri yang mengatakannya. Tuan Putri boleh mengkonfirmasinya langsung, tapi jangan tanyakan pria seperti apa yang akan menyelamatkan Tuan Putri nanti, karena Sakura sendiri juga tidak tahu."
"Hm... begitu," gumam Hinata pelan. "Ta-tapi pasti pria itu sangat gagah dan tampan seperti yang ada di buku ceritaku!"
"Haha, saya harap begitu," sahut Hatake seraya berdiri dari kursinya, lalu mengenakan jubah hitam yang tersampir di punggung kursi tersebut. "Baiklah, saya masih memiliki urusan yang harus diselesaikan. Sampai bertemu lagi, Tuan Putri."
"Hati-hati, Hatake."
Senyum Hinata masih mengembang, bahkan setelah pintu kamarnya tertutup untuk kali kedua. Dibayangkannya pria yang akan menyelamatkannya dari kutukan itu adalah pangeran dari negeri seberang, menunggang kuda putih yang gagah serta pedang di tangan. Sambil membuka jendela kamarnya, manik mutiara itu memandang taman mawar yang terhampar dengan indah di bawahnya. Sepintas taman itu terlihat seperti labirin yang rumit, namun sebuah meja dan kursi taman terletak di pusat sebagai 'hadiah' bagi siapapun yang telah menyelesaikannya. Biasanya Hinata menghabiskan waktunya di sana sambil minum teh atau membaca buku, kadang sendirian, kadang ditemani pula oleh dayang-dayangnya. Merah mendominasi di setiap dinding-dinding labirinnya yang terbuat dari rumput, namun ada pula mawar kuning dan putih meski jumlahnya tidak seberapa dan lebih banyak ditemukan di kursi taman tersebut. Hinata sampai hapal di luar kepala bagaimana cara memasuki labirin tersebut dan cara keluarnya, bahkan ia tahu kalau ada jalan rahasia yang menembus hutan gelap di belakang sana. Bukan sekali-dua kali gadis itu merencanakan pelariannya melalui jalur tersebut, namun niatnya selalu diurungkan ketika melihat gelap dan suramnya hutan itu. Se-frustasi apapun Hinata ingin keluar, ia masih punya akal untuk tidak melakukan hal berbahaya tersebut.
Seorang pria tak dikenal memasuki labirin itu.
Mata Hinata membulat untuk kedua kalinya. Dicondongkan tubuhnya keluar jendela untuk memastikan pandangannya tak salah. Kuda putih yang berderap di imajinasinya kini seakan-akan hadir di dunia nyata, lengkap dengan penunggangnya yang tampan dan gagah. Jubah berlambang kipas berkibar di punggung tegapnya, begitu pula dengan rambut hitam yang mencuat ke belakang. Raut dingin dan rahang tegas menjadi ciri khas wajahnya, menambah nilai plus dari penampilan pangeran tersebut. Cepat-cepat Hinata keluar dari kamar dan menuruni tangga sambil mengangkat rok gaunnya, berharap pria yang ia lihat bukan ilusi semata. Tubuhnya yang gesit mampu menyelinap dengan mudah ke dalam labirin tersebut, jika tak dihalangi oleh gaun dan petticoat-nya yang mengganggu. Sampai di tujuan, napasnya terengah-engah, namun setidaknya manik mutiara itu tak mengkhianatinya.
Sepasang mata merah dengan tiga koma menatapnya.
Hinata seolah kehilangan kemampuannya untuk berkedip dan merangkai kata-kata. Seluruh anggota tubuhnya terpaku di tempat, terpesona oleh ketampanan dan kegagahan sang pangeran yang jauh lebih sempurna daripada bayangannya. Pangeran tersebut juga sepertinya terpukau oleh penampilan Hinata meski bulir-bulir keringat terbit di sepanjang pelipisnya. Selama beberapa menit, tak ada yang bersuara hingga pihak pria harus mengambil alih suasana.
"Ehm... maaf, apa Anda yang bernama Hinata Hyuuga?"
"Y-ya," jawab Hinata gugup, bahkan ia tak mengenali suara yang keluar dari mulutnya sendiri. Apa pangeran yang ada di hadapannya ini adalah kesatria penyelamatnya? Membebaskan dirinya dari kutukan jahat selama bertahun-tahun lamanya? "Kalau boleh tahu, siapa Anda dan apa keperluan Anda terhadap saya?"
"Ma-maaf, saya belum memperkenalkan diri. Nama saya Sasuke, pangeran yang berasal dari negeri Uchiha. Saya datang kemari karena saya mendengar kabar kalau siapapun yang bisa membebaskan Tuan Putri dari kutukan jahat, maka saya berhak menikahi Tuan Putri. Maafkan kelancangan saya," ujar Sasuke sambil turun dari kudanya dan menggenggam tangan Hinata dengan posisi berlutut. Diperlakukan demikian manis oleh pria tampan seperti sang Uchiha, wajah gadis bermanik mutiara itu langsung memerah.
"A-a-a-a-a-a-ku –"
Penyakit gagapnya semakin parah. Sasuke justru mengindahkannya dan mengurangi jarak diantara mereka secara perlahan. Tak tahan lagi dengan situasi ini, Hinata mendorong bahu Sasuke lemah, membuat sang pangeran bertanya-tanya dalam hati.
"A-apa yang akan Tuan lakukan?"
"Ng? Tentu saja, membebaskan kutukan Tuan Puteri," jawab Sasuke santai, seraya membuka tangan yang tadinya menggenggam milik Hinata. Sebuah jarum berbaring dengan manis di atas telapak tangan sang putri, membuat Hinata kebingungan.
"Apa ini?"
"Genggam saja. Itu adalah alat tajam yang biasa kami gunakan untuk menjahit, namanya jarum. Apa Tuan Puteri tidak tahu?"
Hinata menggeleng, sambil menatap lekat-lekat benda yang bernama jarum itu di atas telapak tangannya. Sinar mentari senja memantul pada ujungnya yang runcing. Putri berambut indigo sepunggung itu bergidik ngeri.
"Sakitkah?"
"Sedikit," sahut Sasuke, merasa kalau ia butuh campur tangan agar semuanya cepat selesai. Dibantunya gadis itu untuk menggenggam jarum tersebut dengan tangannya sendiri, sambil dagunya diarahkan ke atas agar Hinata dapat menatap matanya secara langsung dan melupakan rasa sakit yang sedang dideranya. Hanya butuh beberapa detik untuk membuat sang puteri Hyuuga melepaskan genggaman tangannya dan jarumnya, lalu ambruk ke tanah. Setitik darah berwarna hitam menodai telapak tangan putihnya.
.
"Keluarlah, Orochimaru!" seru Sasuke sambil memapah Hinata yang kolaps. "Aku sudah melaksanakan perintahmu! Sekarang waktunya giliranmu untuk memberikan kekuatan padaku sesuai perjanjian kita!"
Suasana taman mawar yang awalnya sepi itu langsung ramai oleh suara gemuruh, serta kabut gelap yang berputar-putar disekeliling mereka. Sosok serbagelap yang dipanggil Sasuke akhirnya memunculkan diri dari pusaran kabut tersebut, senyum liciknya seakan tak pudar ditelan waktu. Malah sebaliknya, aura gelapnya jauh lebih berkuasa daripada saat Hinata belum lahir dulu. Jubah mewah dan kuda putih yang dikenakan Sasuke perlahan-lahan lenyap, bersamaan dengan kabut hitam tadi. Penampilan pemuda berambut hitam itu kini tak ada bedanya dengan Orochimaru –penyihir berjubah hitam dengan tongkat sihir di tangannya.
"Baiklah, Sasuke... menunduklah, bersiaplah untuk menerima kekuatan yang amat besar!"
Saat Sasuke berlutut, Orochimaru mengarahkan tongkat sihirnya dengan kedua tangan, karena cahaya merah yang keluar dari ujung tongkat tersebut terlalu besar untuk ditangani dengan satu tangan. Cahaya merah itu menghantam dahi Sasuke tanpa ampun, membuat tubuh sang pemuda Uchiha semakin membesar, dan semakin membesar... kulitnya juga mengelupas, memperlihatkan sisik-sisik berwarna merah seperti reptil raksasa. Tumbuh ekor dan sayap di punggungnya, kepalanya menonjol ke depan, bertransformasi menjadi moncong, lengkap dengan gigi-gigi tajamnya.
Orochimaru harus mendongak untuk melihat sosok Sasuke yang telah berubah seutuhnya menjadi seekor naga.
Sasuke menggeram. "Mengapa kau mengubahku menjadi naga, Orochimaru?"
"Lho, bukankah tadi kaubilang kalau kau menginginkan kekuatan?" balas Orochimaru sambil mengangkat kedua bahunya.
"Tapi bukan berarti aku minta untuk diubah menjadi naga! Aku takkan bisa menikahi Hinata jika penampilanku seperti ini!" gertak Sasuke dengan suara naganya yang menggelegar. Sebuah rencana mega yang terlontar begitu saja, mengingat tujuan awal penyihir itu melaksanakan tugas Orochimaru adalah demi mendapatkan kekuatan yang cukup besar untuk membalas dendam ke kakaknya. Pria setengah baya yang dulunya dikenal sebagai satu-satunya penyihir gelap yang mampu menerobos masuk ke dalam kastil Hyuuga, bahkan menyerang calon penerus kerajaannya, menyambut baik niat baik Sasuke karena dirinya sendiri kini hidup terasingkan tanpa kekuatan yang bisa diandalkan. Dengan datangnya penyihir muda itu, ia bisa memperalat Sasuke untuk membalaskan dendamnya ke Hiashi dengan kedok menjadi guru bagi pemuda berambut gelap itu. Selama bertahun-tahun, Sasuke menyerap semua ilmu yang diperoleh Orochimaru dengan baik, hingga hari yang dtentukan tiba. Dengan menggunakan penyamaran layaknya pangeran dari negeri seberang untuk memikat hati sang putri, Sasuke berangkat duluan yang nantinya akan disusul oleh gurunya. Sayangnya, penyihir berambut gelap itu harus menjilat ludahnya sendiri ketika ia bertemu langsung dengan Hinata. Cinta yang tak diharapkan menelusup ke dalam kalbunya, membuat ia tak tega membunuh belahan jiwa yang saat itu tersipu malu di genggaman tangannya. Diam-diam, ia menukar jarum berlumur racun yang sudah disiapkan oleh Orochimaru (karena penyihir berwajah ular tahu kalau jarum biasa hanya akan membuatnya tidur) dengan jarum biasa. Lagipula Orochimaru takkan bisa melihatnya karena tertutup oleh tangan Hinata sendiri. Rencana dadakannya yaitu membawa pergi sang putri keluar istana sambil menempuh perjalanan untuk membalas dendam kakaknya hancur berantakan. Mungkin ia bisa berangkat dan menuntaskan dendamnya secepat yang ia bisa, tapi siapa menjamin kalau Hinata yang dicintainya akan baik-baik saja selama ia pergi? Apalagi kalau Orochimaru nanti mengetahui kalau selama ini putri Hiashi tidak mati seperti keinginannya, pasti masalahnya akan menjadi semakin runyam.
"Sayangnya, Sasuke, menikah tidak termasuk dalam perjanjian kita," elak Orochimaru, tongkat sihirnya terangkat ke udara untuk menciptakan pusaran gelap yang sama saat ia datang. "Nah, karena kau sudah berhasil membunuh putri Hiashi itu demi membalas dendamku sementara aku masih mengumpulkan kekuatan untuk hari ini, dan kau juga sudah menerima imbalanku, kurasa tugasku sudah selesai di sini. Selamat tinggal, Sasuke, semoga sukses dalam pembalasan dendam ke kakakmu."
"Tidak! Aku akan terus menjaga Hinata sampai aku kembali menjadi manusia! Tidak ada yang boleh memiliknya selain aku!" teriak Sasuke marah, api sampai menyembur di tempat Orochimaru berdiri, meski orang yang bersangkutan sudah pergi. Dengan perasaan marah dan kecewa, Sasuke yang telah berwujud naga itu mengangkat tubuh Hinata ke kamarnya dengan hati-hati, meskipun ia tak bisa melakukannya seperti manusia biasa. Tak apa ruangan putri bermata mutiara itu separuh hancur karena tangannya yang raksasa, asal Hinata dapat tidur dengan tenang di dalamnya. Baru saja ia berbalik badan, seorang pelayan memergokinya dan menjerit keras-keras. Sasuke lupa kalau tubuhnya yang sekarang akan menimbulkan keterkejutan bagi siapapun yang diduga, semburan api yang besar membakar pelayan tersebut, bahkan Sasuke sendiri juga kaget dengan kekuatan barunya yang menyebabkan wanita di hadapannya kini tak bernyawa.
Sebesar itukah kekuatan gelap yang diberikan Orochimaru?
Meskipun masih dendam setengah mati terhadap gurunya itu, namun dengan fisik dan kekuatan barunya, pemuda naga itu mendapat ide yang cemerlang agar ia bisa melindungi Hinata sepenuh jiwa tanpa ada yang mengintervensi mereka berdua.
Tower of Rose, sebuah rumah sakit yang kini telah tidak terpakai setelah tragedi sepuluh tahun lalu. Tidak ada yang tahu penyebabnya, namun seluruh dokter dan pasien tewas dengan mengenaskan. Konon kabarnya, hanya ada satu orang yang berhasil lolos dari pembantaian massal tersebut, dan orang tersebut adalah kelinci percobaan para ilmuwan yang disamarkan sebagai salah satu pasien rumah sakit. Menurut kabar itu pula, orang tersebut yang menyebabkan tragedi tersebut, dan keberadaannya sedang dipertanyakan. Melihat kondisi yang telah diperbuat, besar kemungkinan kalau orang tersebut memiliki kekuatan khusus –mengingat tema penelitian yang diangkat oleh para peneliti itu adalah menciptakan manusia sempurna dengan memasukkan DNA manusia ke dalam tubuh android...
"Bacaan yang lumayan berat untuk pagi hari, Naruto?" sapa Iruka ketika pria berambut pirang jabrik membanting koran merahnya ke atas meja. Untung saja Iruka belum meletakkan kopi pesanan Naruto saat koran itu tengkurap dengan posisi absurd, sehingga tidak ada insiden yang perlu dikhawatirkan. Judulnya yang sempat tertangkap di mata pelayan itu cukup menarik perhatian, sementara mood Naruto langsung jeblok begitu saja meskipun belum membaca keseluruhan isi berita.
"Yang benar saja! Selama sekian tahun aku bekerja praktek biasa di rumah sakit biasa, dan inikah tempat dimana aku akan dipindahtugaskan?"
"Tenang, Naruto. Mungkin hanya ada suatu kesalahpahaman –"
"Tidak ada kesalahpahaman, Iruka," tegas Naruto sambil berdiri dari kursinya. "Sudah jelas-jelas ini penipuan. Aku akan segera berangkat ke sana dan melabrak orang yang bertanggung jawab akan semua ini –"
"Meskipun orang tersebut adalah pembunuh yang dimaksud di koran tersebut?"
"Aku tak peduli meski dia pembunuh atau presiden sekalipun –ARGH, mengapa kau masih percaya dengan koran itu, sih?" omel pria berkulit gelap tersebut sambil mengenakan jas lab yang tersampir di punggung kursi. Iruka hanya tertawa ketika pelanggan tetap sekaligus teman karibnya tak sadar kalau ia telah dipermainkan.
"Mengapa juga kau percaya dengan desas-desus yang diberitakan koran itu?" Iruka balik bertanya, membuat Naruto bungkam. "Siapa tahu Tower of Rose hanyalah rumah sakit biasa, ataupun mungkin dulunya pernah ada kejadian seperti itu namun bangunannya telah direnovasi sehingga berfungsi seperti semula, atau bisa juga Tower of Rose hanyalah rumah sakit biasa yang sengaja ditambahi bumbu-bumbu seram agar dapat menarik perhatian. Mengapa tidak kaupikirkan kemungkinan itu, Naruto?"
"Benar juga... baiklah, aku berangkat dulu, Iruka! Doakan aku bisa menjalani semuanya dengan lancar!" Naruto langsung berlari keluar restoran kecil di pinggir kota dan menuju stasiun bawah tanah terdekat. Iruka menggeleng-geleng kepala ketika melihat kelakuan pria berumur dua puluh tahun yang suka berubah-ubah secara drastis, tergantung situasi dan kondisinya. Sambil mengangkat piring dan gelas kotor bekas pelanggan setianya, iris hitam itu tak lepas dari lintas berita yang baru saja tayang di televisi. Sebuah gedung yang familiar menjadi pemandangan utama, membuat Iruka menahan napas. Gedung itu sama persis seperti yang baru saja dilihatnya di koran.
.
Naruto menelan saliva. Kemungkinan terburuk yang dibayangkannya benar-benar terjadi di depan matanya. Padahal sepanjang perjalanan pria berambut pirang itu sudah berdoa agar ia bisa bekerja sebagai dokter yang normal di tempat yang normal –bukannya reruntuhan tua seperti yang digunakan dalam syuting film horror. Cepat-cepat ditekannya nomor telepon yang terpampang di layar ponselnya, menghubungi seseorang yang ia kenal.
Calling... Shikamaru
Nada tunggu pertama.
Nada tunggu kedua.
Nada tunggu ketiga.
Hingga nada tunggu keduapuluh, masih belum ada jawaban. Naruto langsung menutup ponselnya, lalu mengganti kontak yang akan ditelepon dengan orang yang berbeda. Ino, Gaara, Temari, semuanya bernasib sama. Kalau tidak diluar area, pasti tidak diangkat ataupun ponselnya tidak aktif.
"Kami-sama... apakah aku harus masuk ke dalam?" tanya Naruto terhadap dirinya sendiri. Jujur ia merasa segan ketika dilihatnya gerbang masuk yang besar dan dulunya pasti megah itu telah berkarat pagarnya, serta rumput dan ilalang liar setinggi dua meter yang menghalangi jalannya. Belum lagi risiko diterkam binatang liar seperti ular dan semacamnya. Naruto berusaha mungkin tidak memasukkan makhluk halus apapun ke dalam daftar imajinasinya. Setelah menguatkan diri dan menggulung lengan jasnya, akhirnya sepasang kaki itu melangkah ke dalam. Disibaknya perdu-perdu mengganggu itu sambil sebelah tangan mengempit tas kerjanya. Untung matahari masih bersinar terik di atas kepala, sehingga ia tak perlu takut kekurangan sumber cahaya ditengah-tengah semak raksasa.
Setengah jam membelah jalan seperti berjam-jam lamanya.
Naruto menghela napas lebar-lebar ketika ia telah sampai di depan pintu masuknya, meskipun keadaannya tak lebih baik daripada apa yang telah dilaluinya. Rupanya halaman depan tadi juga berfungsi sebagai tempat parkir, terbukti dari mobil-mobil keluaran lama yang teronggok begitu saja, dan pria berkulit gelap itu baru bisa melihatnya dari sini karena area sekitar pintu depan yang lebih lapang daripada dekat gerbang tadi. Entah ini suatu ironi atau apa, tapi sulur-sulur mawar tumbuh merambati nyaris seluruh dinding rumah sakit itu saat Naruto mendongakkan kepala, sama persis seperti namanya. Merah yang seharusnya cantik untuk dipandang itu mendadak terlihat menyeramkan ketika tumbuh di tempat yang tak seharusnya. Sambil bergidik, pria itu cepat-cepat masuk ke dalam.
"HUAAAAAH!"
Teriakan kaget Naruto sukses bergema ke seluruh dinding-dinding ruangan, disertai dengan suara keretakan tulang yang baru saja ia injak. Bagaimana tidak kaget apabila pemandangan yang ia temukan pertama kali adalah mayat yang nyaris menjadi tulang-belulang di bawah kakinya? Apalagi jumlahnya tidak hanya satu, namun lebih dari sepulu dengan kondisi dan posisi yang berbeda-beda. Jenasah yang tersungkur di kursi ruang tunggu, tengkorak yang tergeletak di meja resepsionis, ataupun mayat yang bersandar di dinding dengan bercak darah kering sebagai penghias. Hawa dingin menyerang tulang-belulang Naruto tanpa ampun, menyebabkan sang dokter muda itu menggigil dan mengingat statusnya sebagai satu-satunya makhluk hidup di tengah kuburan raksasa ini.
"Sial!"
Dikuasai oleh rasa ketakutan yang hebat, kaki itu berlari tanpa tujuan, lupa bahwa pintu kelar seharusnya ada di belakang punggungnya. Mayat-mayat itu masih menatapnya tanpa suara, meskipun sebagian dari mereka sudah tak memiliki bola mata. Suara derap sepatunya kembali menggema, berpacu dengan detak jantung Naruto yang semakin menggila dan tarikan napasnya yang tidak beraturan. Semakin ia berlari, semakin ia merasa kalau ia semakin tersesat ke dalam. Pria berambut pirang itu nyaris saja jatuh dalam kelelahan dan keputusasaan jika manik safirnya tak menemukan sebuah pintu yang berbeda dari pintu-pintu yang sebelumnya ia lewati. Aluminium yang masih mengkilat itu benar-benar menjadi tanda tanya besar di kepala Naruto, bagaimana bisa pintu itu lolos dari proses korosi yang memakan nyaris seluruh furnitur berbahan besi di seluruh ruangan di rumah sakit ini?
Krieeeet
Tanpa perlu mengerahkan tenaga besar, pintu itu langsung terbuka hanya dengan dorongan ringan. Rahang Naruto jatuh, tak sanggup mendeskripsikan apa yang tertangkap dalam pengelihatannya. Separuh ruangan yang disinyalir sebagai laboratorium lengkap dengan peralatannya itu hancur separuh, mempersilakan sinar matahari menerobos ke dalam tanpa ampun. Lebih tepatnya, ke arah sebuah tabung kaca yang berdiri di pusat. Panel kontrolnya sudah berdebu, namun ketika Naruto mencoba mengaktifkannya, lampu notifikasi menyala sebagai pertanda alat itu telah aktif, begitu pula dengan lampu di dalam tabung kaca tersebut, memperlihatkan dengan jelas sesuatu yang awalnya disangkal mati-matian oleh sang dokter muda.
Seorang gadis cantik dengan rambut indigonya yang panjang, melayang oleh cairan antiseptik khusus yang mengisi seluruh tabung.
Naruto menangkupkan tangannya ke dinding tabung transparan itu, tak percaya kalau gadis yang ada di hadapannya benar-benar nyata. Ia nyaris tak bisa mengetahui kalau gadis itu masih hidup atau sudah mati seperti mayat-mayat yang ia temukan sebelumnya, karena fisiknya yang masih terawat. Kalaupun sudah mati, pasti tabung kaca ini semacam alat untuk mengawetkan jenasah yang sering pria berambut pirang itu lihat di ruang otopsi dulu saat kerja praktek. Tanpa sengaja, sebelah tangannya menekan sebuah tombol di ujung panel, menyebabkan cairan antiseptik itu perlahan-lahan surut hingga kosong sama sekali, lalu pintu tabung itu terbuka.
Tanpa perlawanan, gadis yang tidak mengenakan sehelai benangpun untuk menutupi tubuhnya langsung jatuh begitu saja, kalau Naruto tidak sigap menangkapnya dengan kepala terkulai di buaian. Meskipun samar, namun dokter muda itu dapat merasakan detak jantung dari gadis yang sedang ia gendong, sebuah bukti absolut kalau ia masih hidup.
Tapi... bagaimana bisa?
Naruto tercekat begitu ia mengingat kembali potongan berita dari koran merah yang sempat ia baca. Meskipun tak dapat dipercaya, namun fakta yang ada di lapangan justru menyatakan sebaliknya. Inikah kelinci percobaan para ilmuwan yang diduga menjadi penyebab terbunuhnya seluruh penghuni rumah sakit Tower of Rose? Gadis secantik ini?
Tangan kekar itu membelai wajah sang gadis dengan halus, lalu merambat ke lehernya untuk mencari urat nadi. Ia bisa merasakan udara yang halus dan teratur berhembus dari lubang hidung mungil itu, begitu pula dengan detak jantungnya yang terus bekerja dengan konstan. Manusia biasa takkan mungkin bisa bertahan hidup selama ini, kecuali kalau gadis itu benar-benar manusia setengah android yang nyaris immortal seperti berita di koran. Naruto tak percaya kalau para ilmuwan itu berhasil menemukan sesuatu yang seharusnya dapat mengubah sejarah umat manusia, bahkan di era lampau seperti itu. Mengingat betapa berharganya gadis itu daripada harta benda apapun, pria berambut pirang itu buru-buru melepaskan jas lab-nya untuk menutupi tubuh sang gadis, lalu menggendongnya ke ranjang terdekat.
Naruto kembali mengelilingi ruangan, mencari sesuatu yang dapat menjadi petunjuk bagi semua ini. Mengingat kondisi laboratorium yang hancur separuh, termasuk lemari berisi arsip-arsip penting, kecil kemungkinan kalau ia akan menemukan informasi mengenai penelitian berbahaya ini. Hanya ada nama sang gadis yang tertulis di depan ranjang, beserta umur dan kondisi yang dialami.
Hinata Hyuuga
17
Unknown
Kenapa kolom penyakitnya tidak ditulis? batin Naruto penasaran, sebelum ia menepuk dahinya sendiri. Pada dasarnya Hinata tidak sakit, dan tak mungkin menulis 'eksperimen menciptakan manusia sempurna' di kolom yang tertera, sehingga dibiarkan kosong apa adanya. Pemuda berambut pirang itu berjalan lagi, kali ini mendekati rak berisi peralatan-peralatan laboratorium. Bahkan di masa lampau, alat-alat tersebut terlalu canggih. Tak heran kalau Hinata benar-benar disembunyikan dari masyarakat umum, selain karena menentang takdir dan risiko yang mungkin terjadi jika rahasia tersebut bocor ke dunia, peralatan itu juga diperolehnya secara ilegal. Produsen penyedia peralatan laboratorium normal tak mungkin menjual barang-barang seperti yang dilihat Naruto, kecuali kalau mereka memiliki akses khusus ke pihak-pihak tertentu. Baru saja ia kembali ke tempat Hinata berbaring, hawa dingin yang sama kembali menyergapnya.
Naruto menoleh.
Tidak ada siapa-siapa di ruangan itu kecuali dirinya, Hinata yang tertidur pulas (kalau tidak bisa dibilang koma), dan sesosok mayat yang bersandar di sudut ruangan. Dilihat dari kondisinya, tubuh mayat itu tak separah yang ia temui sebelumnya, sehingga Naruto bisa mengidentifikasi sedikit ciri-ciri dari mayat tersebut. Kulit putih, rambut hitam mencuat, dan pakaian serbahitam meskipun terkoyak disana-sini. Naruto kembali menghadap Hinata dan bersiap-siap menggendongnya, namun sebuah suara menunda aksinya.
"Kembalikan..."
"Siapa?!" teriak Naruto tanpa tujuan, iris biru lautnya berkeliling liar. Punggung dan tangannya kini sudah menopang Hinata, sehingga ia lebih mudah membawanya jika terjadi apa-apa pada diri pria berkulit gelap itu.
"Kembalikan..."
Suara itu menggema lagi secara mistis, suasana rumah sakit yang terlalu sunyi ini justru menyulitkan Naruto dari usahanya dalam mencari asal suara.
"KEMBALIKAAAAAANNN!"
Meja operasi berkarat tiba-tiba melaju dengan kecepatan tinggi ke arah mereka, membuat Naruto mengelak ke sudut ruangan dengan membopong Hinata di punggungnya. Belum sempat ia pulih dari rasa terkejut, benda-benda tajam seperti gunting dan pisau sudah melayang di udara, ujungnya yang berkilat bersiap untuk menyerang sang dokter muda tanpa ampun. Buru-buru ia berdiri sambil berlari sekuat tenaga, sementara benda-benda tajam tersebut masih mengejarnya. Ia tak peduli lagi kemana kakinya melangkah, asalkan Naruto dan Hinata bisa lolos dari serangan misterius tersebut. Mayat-mayat di sepanjang lorong yang tadinya membuat pria itu takut setengah mati, sekarang hanya sebagai ornamen belaka karena jelas-jelas di belakangnya ada sesuatu yang mengancam nyawa.
"APA MAUMU?" teriak Naruto sambil menghindari gunting yang nyaris mengenai tubuhnya.
"Kembalikan..."
Suara tanpa rupa itu terus mengulang kata-kata yang sama, hingga Naruto menyadari kalau makhluk halus yang mengejarnya itu menginginkan Hinata.
"Tidaaak!"
Naruto berteriak di sela-sela napasnya yang terengah-engah, tak rela melepaskan gadis yang tertidur lelap di punggungnya untuk sesosok makhluk tak kasatmata. Lagipula, bisa apa dia jika sang dokter muda meninggalkan Hinata? Toh wujudnya juga bukan lagi manusia, lagipula Hinata juga harus mendapatkan penanganan lebih lanjut daripada terus-menerus tidur di tempat seperti ini. Tak disangka, pintu masuk yang familiar sudah berada di depannya, membuat semangat Naruto yang nyaris pupus kembali meningkat, bahkan berkobar-kobar dari sebelumnya. Dengan tenaga terakhir, disusurinya ladang rumput itu sesuai dengan jalur yang tadi dibukanya, hingga mereka berdua benar-benar keluar dari Tower of Roses.
"GRROOOAAAAAAAAAHHHHHH!"
Suara raungan yang sangat keras itu mengejutkan Naruto yang kini terkapar tak berdaya di atas trotoar, disusul dengan suara ledakan yang keras. Pria berambut pirang itu berusaha bangkit, dan mendapati bangunan yang tadi ia masuki kini rata dengan tanah, kondisinya lebih parah daripada sebelumnya. Naruto kembali membopong Hinata yang terbaring dan melanjutkan pelariannya, berharap benar-benar bebas dari kejaran makhluk halus itu sementara raungan yang sama masih terdengar dari bekas reruntuhan meski suaranya semakin pudar.
Apa hantu itu berasal dari mayat lelaki berambut hitam yang ditemuinya saat ia membawa Hinata?
Naruto tersenyum miris ketika kemungkinan itu mampir ke otaknya. Sambil memandang wajah Hinata yang masih terpejam di atas bahu kanannya, sang dokter muda itu menggelengkan kepala. Kalaupun benar, berarti hantu yang mengejarnya itu juga memiliki perasaan yang sama dengan dirinya. Sambil terus berlari, Naruto berusaha memikirkan tindakan berikutnya. Kemana dia akan pergi? Dan bagaimana nasib Hinata yang sudah jelas ditolak oleh masyarakat luar?
Sinar matahari senja menerpa sosok Naruto yang terus berlari.
Kemanapun aku pergi, asalkan kau bersamaku, pasti semuanya akan baik-baik saja, batin Naruto sambil menentang sang mega dan dunia.
.
.
TO BE CONTINUE
[bersambung]
.
.
.
-Behind the Scene-
[for those who have much free time and/or just curious about everything that happened when I wrote this fanfic]
Ini adalah fanfic dengan genre paling random yang pernah saya buat Q_Q coba, kapan lagi bisa menemukan naga, penyihir, android, dan hantu kalau tidak di fanfic ini? Bahkan saya saja ga tau mau naruh di genre mana. Ini pasti efek dari mbaca certain novel from famous writer yang emang terkenal banget dengan deskripnya yang super ndewa tapi plothole dimana-mana /HEH. Bahkan endingnya juga absurd asdfghjkl, padahal maunya saya bikin adegan mereka berdua bertempur dulu layaknya lelaki sejati sebelum Naruto berhasil bawa mereka kabur :"))
Oh iya, saya belum menjelaskan konsep fanfic ini. Sebenarnya ide berasal dari dongeng Sleeping Beauty, judulnya dari salah satu lagunya Sound Horizon yang di album Marchёn (coba dengerin lagunya sambil baca fic ini biar dapet feelnya 8D), dan sisanya tergantung imajinasi saya. Bagian yang italic itu bagian fantasy-nya, sementara yang normal itu itu scifi-nya, meski di ending rada kecampur sama supernatural. Maksud saya tiap bagian gonta-ganti antara fantasy & scifi secara seimbang, namun entah kenapa semakin ke tengah semakin ga kekontrol panjangnya ;w; apalagi pace-nya juga beda-beda tiap bagian. Kalo ada yang nyadar, itu karena pas awal-awal ngetik saya pengennya ngejar deadline biar bisa dimasukin ke challenge-nya Ambu yang Science (Fan)Fiction Day, tapi karena kayaknya udah ga cukup waktunya, akhirnya saya pasrah dan pace-nya kembali seperti basa. Maaf kalau ada deskripsi yang luput saya masukkan di awal cerita, saya gatau mau masukkin dimana karena emang susah banget, tapi semoga saja masih memuaskan :"3
Review? /terbang
EDIT: possible chapter coming up! thanks for all of you, my beloved readers and reviewers! XD/
