"Kondisinya terus memburuk! Pasien tidak bisa bertahan lebih lama lagi!"
"Jadi, bagaimana keputusanmu sensei?"
"Aku menyetujuinya."
"Yoharu, apa tak apa-apa? Bagaimana jika tubuhnya tak bisa menerimanya?"
"Tenang, Mizuri. Aku percaya ia bisa mengendalikannya dengan baik."
"Ta, tapi..."
"Hanya inilah satu-satunya cara untuk menyelamatkan nyawa anak kita. Meskipun..."
.
.
.
"Ia harus menanggung beban keegoisan kita."
.
.
.
Kuroko no Basuke fanfiction
.
.
Desclaimer : Tadatoshi Fujimaki-sensei^^
.
.
Warn : AU, OOC, typo(s), kurang ini kurang itu, kelewat absurd, abal-abal, dll.
.
.
Helo, helo, heloooooooo! #mendadakdangdut *digampar*
Fanfic baru nih, yang lama?
Etto, bagaimana ya? *nunduk sambil mutar-mutar jari telunjuk kanan & kiri*(Akashi : bilang aja lagi gak ada ide #jleb. Shiroi : Authornya nambah utang nih #jlebjleb. Kuroko : Io-san gak konsisten #jlebjlebjleb)
Io : Ku, Kuroko-kun juga?! HUWEEEEEEE *nangis sambil mundung*
Untuk readers, selamat membaca *masih nangis*
.
.
.
.
.
Ch. 1 "First reaction"
.
.
.
"Tiiiit, tiiiiit, tiiiiit, tiiiit."
Bunyi alarm jam digital menggema di seluruh sudut-sudut sebuah kamar yang gelap dengan intensitas yang cukup membuat telinga sakit jika dalam waktu yang lama. Pemuda dengan surai biru langit yang sebenarnya ingin berlama-lama terbuai dalam dunia imajinasinya, terpaksa harus menghentikan kuatnya frekuensi alarm dengan sedikit membuka iris birunya dan mengeluarkan tangan dari balik selimut tebal untuk mencari tombol OFF dari alarm itu.
Alarm pun berhenti dan suasana kamar kembali sunyi. Pemuda itu lalu mengarahkan layar jam digital yang terpampang beberapa digit-digit angka agar bisa dilihat oleh matanya.
"Jam 06.30," gumam pemuda itu sebelum akhirnya ia bangkit dari posisi berbaring menjadi duduk di tepi ranjang. Beberapa kali ia mengerjapkan dan mengucek-ucek matanya. Disela-sela ia memfokuskan penglihatannya yang kabur akibat tidur 8 jam, telinganya menangkap suara cicitan-cicitan burung yang berasal dari arah jendela kamar yang berada di samping ranjang tidurnya. Sehingga memudahkan ia untuk membuka tirainya meskipun ia harus sampai memicingkan kedua irisnya akibat sinar matahari yang masuk ke retinanya terlalu terang.
Sadar bahwa ia banyak menghabiskan waktu paginya untuk sesuatu yang tak berguna, pemuda itu memilih bergerak dan bersiap-siap. Segera ia pakaikan seragam musim panasnya dan merapikan rambutnya yang berdiri tak beraturan. Memang harus memerlukan waktu yang lama, tapi itu lebih baik daripada ia datang ke sekolah dengan keadaan rambut yang kacau balau. Lagipula ia masih sempat untuk membuat sarapan dan bekal, ditambah dengan makan pagi anjing lucu peliharaannya, Nigou.
"Maaf menunggu, Nigou," ucapnya pada seekor anjing kecil yang sedari tadi sibuk mengibas-ngibaskan ekor mungilnya sembari memberinya makan. Muncul senyum tipis dari bibir merah mudanya karena tingkah laku Nigou yang rakus. Wajar saja, ia lupa memberinya makan semalam sehingga sang anjing kesayangan bertindak sangat agresif pagi ini.
Kegiatan selanjutnya hanyalah mengambil tas dan langsung berangkat. Namun sebelumnya, pemuda itu selalu melakukan kegiatan rutin yang ia lakukan setiap hari sebelum berangkat, bersimpuh di depan sebuah altar yang berada di ruang keluarga dan berdoa untuk sepasang foto yang diletakkan di sana. Foto yang ia kenal sebagai foto ayah dan ibunya.
"Itterasai," salam keberangkatan ia ucapkan untuk kedua orang yang tergambar dalam foto tersebut. Walaupun ia tahu mereka tak akan pernah membalas salamnya, tapi hanya inilah yang bisa ia lakukan untuk menghormati orang tuanya. Karena ia dulu tak sempat menghormati ayah dan ibunya sebelum mereka meninggalkan dunia.
"Whoooof," Nigou yang sudah menyelesaikan sarapannya, menggonggong pada tuannya memberi ucapan selamat jalan.
"Itterasai, Nigou. Jaga rumah baik-baik," balasnya memberi perintah pada sang anjing.
"Whooof," dengan mantap Nigou sigap menjawab perintah sang tuan. Dipandanginya pemuda itu yang mulai meninggalkannya dan pergi dengan tatapan datar nan polos. Ia terus memperhatikannya sampai ia tak melihat lagi sosok tuannya.
oOoOoOo
Sang surai biru sampai di ruang kelasnya dengan sedikit terburu-buru. Ia mengira dirinya akan terlambat di hari pertama semester kedua ini. Namun untungnya, ia masih punya waktu 5 menit sebelum bel berbunyi pada jam 07.30 sehingga ia masih bisa mengatur napasnya akibat berlari-lari kecil disepanjang koridor sekolah.
Sebenarnya, kegiatan datang terlambat merupakan rutinitas rutin yang ia lakukan setiap hari. Jarak rumahnya yang terbilang cukup jauh dan juga kondisi fisiknya yang lemah, memaksanya harus memakan banyak waktu diperjalanan. Guru-guru tahu dan mengerti dengan alasan keterlambatannya, sehingga ia tak dijatuhi hukuman apapun. Tapi, ia tak ingin terus-menerus merepotkan banyak orang hanya gara-gara ia memiliki kelainan pada salah satu organ tubuhnya. Ia juga ingin disetarakan dengan anak normal lainnya tanpa harus memandang keterbatasan dirinya.
Ah, ia hampir lupa bahwa ia belum memasuki ruangan, padahal bel sekolah sudah berbunyi. Ia lanjutkan lagi langkahnya yang tadi tersendat menuju bangkunya yang berada di tengah-tengah kelas. Ditaruhnya tas di samping meja dan ia memposisikan tubuhnya duduk di atas kursi sembari menunggu wali kelasnya datang.
"Selamat pagi semua," suara bass pria paruh baya terdengar di penjuru kelas tak lama setelah bel berbunyi. Para siswa yang tadinya ribut kini terdiam dibangku mereka masing-masing begitu sang wali kelas mulai memasuki kelas. Kemudian pria itu berdiri di belakang sebuah meja yang terletak di depan kelas dengan membawa sebuah kotak yang lumayan besar. Yang berada dikelas itu pun bingung dan bertanya-tanya akan maksud wali kelas mereka membawa benda itu.
"Pagi."
"Untuk jam pelajaran pertama semester ini, kita gunakan untuk pemindahan posisi bangku."
"Yaahh," mayoritas siswa dikelas mengeluh dan protes mengenai keputusan ini. Terkecuali bagi si iris biru langit yang konsen pada buku yang ia baca. Bukan masalah besar baginya untuk pindah dari bangkunya sekarang, karena pemindahan posisi ini tak terlalu mempengaruhinya.
"Mikaru-san, ambil alih kegiatan ini. Dan Hinagawa-san, tolong gambar denah bangku ini di whiteboard," sang wali kelas memindahkan komandonya pada sepasang pemuda dan pemudi yang diketahui memegang jabatan sebagai ketua kelas dan sekretaris.
"Hai," sahut mereka berdua sambil berdiri dan kemudian ia berjalan menuju depan kelas. Pria itu lalu memberi instruksi kepada sang ketua kelas sementara sang sekretaris sibuk menyalin gambar denah bangku dari selembar kertas ke whiteboard.
"Baiklah minna, kita mulai kegiatan ini dari absensi pertama," satu-persatu ketua kelas memanggil nama-nama siswa kelas 1-B dari daftar absensi untuk mengambil nomor undi bangku mereka. Sampai akhirnya, nama sang pemuda bluenette di panggil.
"Kuroko Tetsuya," hening. Lalu ketua kelas itu mencoba memanggilnya lagi.
"Kuroko Tetsu-"
"Aku di sini."
"HUWAAAAA!" yang memanggilnya sampai terjatuh dengan cara tak elit akibat kaget yang disebabkan oleh hawa keberadaan tipisnya Kuroko. Demi menjaga martabat, sang ketua bangkit dan kembali menjalankan tugasnya.
"Ehem, tolong ambil nomor undinya," Kuroko mengikuti aba-abanya dan ia memasukkan tangannya pada lubang di kotak itu. Tak lama, ia tarik kembali tangannya yang kini menggenggam sebuah kertas yang terlipat-lipat. Ia pun membukanya.
"12," mendengar nomor yang diucapkan Kuroko, serentak seluruh siswa memandangnya. Sedangkan Kuroko sendiri hanya memasang wajah tanpa emosi meskipun ia sendiri bingung dengan reaksi siswa lainnya.
"Hei, bukannya bangku itu di sebelah Mizuhashi-san?"
"Enaknya bisa duduk bersebelahan dengan idola sekolah."
"Aku juga mau duduk disebelahnya."
"Kalau saja aku yang dapat nomor itu."
Suasana kelas semakin memanas akibat desas-desus Kuroko yang mendapat nomor itu. Kuroko sendiri dengan santainya tak menggubris bisikkan-bisikkan yang ditujukan padanya.
"Ehem. Kuroko-san, silahkan menuju tempatnya," dikarenakan situasinya makin gak enak, ketua kelas pun mengambil tindakan. Kuroko lalu mengikuti perkataannya dan melangkah menuju bangku barunya yang terletak paling pojok dan belakang dengan jendela tepat di sampingnya. Namun ia berhenti karena jalan menuju bangkunya terhalang oleh bangku pasangannya yang sudah diduduki oleh seorang gadis belia yang sedang melamun.
"Anoo, boleh aku lewat?" tanyanya dengan datar. Sampai-sampai ia membuat sang gadis sadar dari lamunannya dan tersentak kaget karena pemilik surai biru muda itu sudah berdiri di depannya dengan tiba-tiba.
"Ah, eh, boleh kok," gadis itu menenangkan dirinya dan menggeser kursinya sedikit agar tak menghalangi jalan. Kuroko lalu kembali melanjutkan aktivitasnya sampai ia akhirnya bisa duduk tenang di bangku barunya.
Pandangan-pandangan tak suka masih bisa ia rasakan. Ia cukup risih namun masih bisa mengacuhkannya. Kemudian sedikit lirikan ia berikan kepada sosok gadis yang kini menjadi teman sebangkunya yang membuat dirinya menjadi rumor di kelas. Lirikan itu adalah awal dari usaha mencairkan suasana canggung di antara mereka sebelum akhirnya ia memberanikan diri membuka mulutnya.
"Maaf tadi sudah membuatmu kaget," Kuroko mulai untuk membuka pembicaraan.
"Ah, gak apa-apa kok. Jangan dibawa serius," sang gadis bersedia menyambut permintaan maaf Kuroko.
"Tapi, rasanya aku belum pernah melihatmu."
"Aku jarang masuk sekolah."
"Heeee, kenapa?"
"..." Kuroko terdiam begitu ditanya alasannya. Ia tak ingin menjawab pertanyaan itu karena, ia tak mau orang lain tahu rahasia pribadinya dengan jelas.
Gadis disebelahnya tahu pertanyaannya menyinggung. Sehingga ia merasa bersalah akan tingkah lakunya yang blak-blakkan.
"Ma, maaf kalau aku menyinggungmu."
"Tidak apa-apa. Bukan masalah yang besar."
"Yokatta. Ja, kalau begitu boleh kutahu siapa namamu? Aku Mizuhashi Yuzuha, yoroshiku."
"Kuroko Tetsuya desu, yoroshiku."
Yuzuha menawarkan tangannya untuk berjabat tangan. Melihatnya, Kuroko membalasnya tanpa ragu.
"DEG"
Tiba-tiba Kuroko merasakan sesuatu dalam dadanya ketika tangannya bersentuhan dengan tangan Yuzuha. Sesuatu yang sangat menyesakkan pernapasannya dan membuat nyeri jantungnya. Napasnya langsung tersengal-sengal dan penglihatannya memburam akibat rasa sakit yang luar biasa yang ia rasakan di dadanya. Ia berusaha menahannya, namun ia harus menyerah. Tapi sebelum manik birunya menutup penuh, ia melihat sebuah gambaran yang samar-samar bahwa ia melakukan prosesi jabat tangan sama seperti yang ia lakukan sekarang. Sayangnya gambaran itu tak menampilkannya lebih jelas sebelum akhirnya ia jatuh pingsan akibat kelelahan.
oOoOoOo
"Eng..." manik blue skynya membuka sedikit-demi sedikit ditambah sebuah erangan kecil. Membiarkan cahaya yang masuk ke retinanya dengan perlahan dan menangkap gambaran langit-langit putih di hadapannya. Sejenak ia terdiam sebelum akhirnya ia menyadari bahwa kini ia berada di ruangan yang berbeda dari sebelumnya dengan posisi berbaring.
Dengan cepat ia bangkit dari tidurnya, membuat dirinya kembali merasakan nyeri yang kuat dari dalam dadanya hingga ia harus mengeratkan tangan kanannya pada kemeja putih yang ia kenakan di depan dadanya demi meredakan rasa sakit.
"Jangan dipaksakan. Beristirahatlah lebih lama," muncul suara sekaligus sosok seorang wanita dengan surai coklat pendek dan jepit rambut yang menghiasi sang mahkota dari ambang pintu ruangan itu. Ia kemudian mendekati Kuroko yang terduduk di tepi sebuah ranjang putih.
"Aida-senpai."
"Biar kutebak, lupa meminum obatmu lagi?" tanya Aida Riko penuh selidik. Kuroko sendiri hanya mengangguk kecil sambil menunduk.
"Hai, sumimasen."
Ada jeda setelah ucapan maaf dari Kuroko yang kemudian diakhiri oleh Riko dengan helaan napasnya.
"Hah, meskipun sudah dibantu dengan alat, masih ada kemungkinan terkena aritmia jika kau tak meminum obatnya. Untungnya aku pengurus UKS, jika tidak aku tak tahu lagi siapa yang akan mengurusimu."
Kuroko cuma duduk manis ditemani oleh omelan sang senior satu tingkatnya. Namun Riko bukan hanya sekedar senpai di sekolahnya saja. Ia adalah kerabat jauh Kuroko dan kedua orang tua mereka saling bersahabat, sehingga Riko tahu rahasia terbesarnya dengan baik.
Sebenarnya sewaktu orang tuanya meninggal, ia dititipkan pada keluarga Riko sampai 3 tahun yang lalu, ia memutuskan untuk kembali ke rumah lamanya. Awalnya Riko dan keluarganya menolak menyetujui keputusannya. Mengingat kondisi tubuhnya yang tak memungkinkan untuk tinggal sendiri. Tapi dengan paksaan dan permohonan, akhirnya ia diperbolehkan dengan syarat seminggu sekali, Riko memeriksa keadaan dirinya dan rumahnya.
"Lain kali jangan lupa minum obat lagi, mengerti?"
"Hai," Riko sampai sweatdrop mendengar jawaban Kuroko dengan wajahnya yang datar bak aspal jalanan tol. Entah apakah ia mengerti tentang rasa bersalah atau tidak, yang penting ia sudah memperingatkannya sebelum hal yang lebih buruk lagi terjadi.
"Ya udah, aku ada urusan. Istirahatlah sampai jam makan siang," lalu sang surai pendek menjauhinya dan keluar dari ruang UKS. Sementara Kuroko kembali berbaring dan beristirahat sesuai instruksi senpainya.
oOoOoOo
Riko yang baru saja beberapa langkah dari UKS, dihadang oleh 2 pemuda dengan tinggi yang abnormal. Sepertinya ia tahu apa yang 2 orang itu lakukan padanya.
"Jadi, bagaimana kondisinya sekarang?" tanya pemuda kacamata dengan tampang serius.
"Tubuhnya sudah mulai bereaksi dengan Yuzuha," Riko menjawab sambil melirik kearah ruang UKS.
"Bukannya itu bagus?" kali ini pemuda dengan surai coklat gelap bertanya dengan wajah santai.
"Apanya yang bagus, Kiyoshi!" Riko emosi lalu mengeplak kepala pemuda bermuka tak kenal suasana serius itu. Untuk yang digeplak, hanya mengusap-usap kepalanya yang sakit.
"Lalu?"
"Meskipun kode itu berhasil menyesuaikan dan bereaksi, bukan berarti dia bisa mengendalikannya. Belum lagi jantungnya yang lemah, itu akan memperburuk keadaannya sewaktu menggunakannya."
"Tapi sayangnya, kita tak bisa menunggu lebih lama lagi. Rakusen berhasil mengetahui keberadaan kode itu."
"Apa?!" Riko terhenyak begitu mendengar fakta dari pemuda surai hitam itu.
"Kita harus memaksanya menggunakan kode utama."
"Ta, tapi dia bisa-"
"Tenang saja, Riko-senpai," mendadak mereka bertiga mengalihkan pandangannya pada seorang gadis surai violet yang berjalan menuju tempat mereka berdiri dengan tatapan tenang dan senyum yang mengulum bibirnya.
"Yuzuha!" serempak para senpai mengucapkan nama gadis itu.
"Konnichiwa Riko-senpai, Hyuuga-senpai, Kiyoshi-senpai," Yuzuha tak henti-hentinya memberi senyuman pada mereka.
"Tapi, Yuzuha-"
"Akan kubantu dengan Existent Code-ku," seketika ekspresi Yuzuha berubah. membuat ketiga seniornya menelan ludah akan keseriusannya yang tak main-main.
"Kau yakin, Yuzuha?" Kiyoshi juga ikut serius setelah melihat wajah keyakinan dari idola Seirin itu.
"Tentu saja. Lagipula, aku tak mau mereka mengambil peninggalan orang tuaku yang susah payah dibuat ini," Yuzuha memandang langit dari balik jendela koridor. Merasakan suatu firasat yang cukup membuat hatinya gelisah. Namun, ia sudah mempersiapkan diri dengan kemungkinan yang terjadi. Termasuk hal yang terburuk sekalipun.
oOoOoOo
Terpaan angin yang kuat menerjang tubuh pemuda itu. Mengibarkan seragamnya tak tentu arah. Irisnya yang sinis dan licik, memandangi sosok yang sedang tertidur yang kini menjadi target perburuannya. Tiba-tiba saja, ia menerima sebuah panggilan yang berasal dari handphonenya.
"Ada apa?" tanya pemuda itu pada seseorang yang menelponnya. Nampaknya sang penelpon memberikan waktu bicaranya agak lama dari sang pemuda sehingga yang ditelponnya sudah menunjukkan ekspresi kesal.
"Baiklah, aku mengerti. Hanamiya Makoto, pasti mendapatkan Phantom Code itu."
.
.
.
.
T B C
Apaan nih? #kesambetbangJajaMiharja
Bener katanya si mata belang Akashi #Oi, untuk Duplicate Io lagi mandek ide #huhuhuhu (Akashi : kan udah ku bilang, aku itu selalu benar. Io : Iya, iya, tukang maniak kebenaran *julurkan lidah ke Akashi* #dihajar)
Ya udah deh, Io minta saran & pendapat buat fanfic gajeh ini. Kalo seneng mohon direview, kalo kurang suka Io delete ajah deh #eh
WANT TO REVIEW?
