The Beloved Crow
Cerita ini tentang percintaan cowok dengan cowok (buat kalian yang ga suka, just leave it before you get a headache)
Pairing : Kageyama Tobio x Hinata Shouyou
Warning : cerita yang menclek {menyimpang, } jauh cerita dari haikyuu yang asli, typos, ooc, dan lain-lain.
.
.
.
.
enjoy
Hinata berjalan lemas siang itu, menggaruk-garuk kepalanya yang berkeringat terkena paparan sinar matahari yang menyorot langsung tanpa penghalang ke rambutnya. Adalah sebuah pemandangan langka melihat seorang Hinata terlihat lesu seperti itu. Tas kuliahnya digantung serampangan di pundaknya, mukanya masam, dan masam itu datang dari lembaran kertas hasil ujian hariannya sewaktu di kampus. Barisan angka di sana benar-benar tak memuaskan dia.
Hinata mengadah ke atas sambil menutupi sebagian mukanya dengan tangan karena silau, langit biru itu bahkan tak dinodai oleh awan sedikitpun. Ia mengeluh, lalu memasukkan hasil ujiannya ke dalam tas.
Di saat ia kembali memandang ke depan, ujung atas matanya menangkap sesuatu di atas langit membuatnya kembali terngadah.
"Gagak?"
Gagak itu terbang lalu hinggap di atas kabel listrik tepat di atasnya, Hinata memelankan langkah kakinya karena sedikit terpaku dengan gagak itu.
DOOOR!
Hinata terkejut dengan munculnya suara senapan di siang bolong, gagak itu terbang menyingkir. Terdengar suara senapan untuk kedua kalinya "DOOR!" Hinata melihat gagak itu oleng.
"Eh?!"
Gagak itu jatuh meluncur dengan kencangnya sekitar 10 meter dari tempatnya berdiri. Entah ada angin apa yang membuat ia berlari spontan.
"Hei! kau tidak apa-apa?! Siapa yang menembaki mu?!"
Ia melihat sayap gagak itu terluka, darahnya menetes, Hinata kebingungan dan langsung berusaha memegangnya. Burung gagak itu melihatnya, mencoba terbang lagi, namun tidak bisa karena sayapnya terluka.
"Bodoh jangan bergerak, nanti darahmu semakin menetes!" Hinata akhirnya berhasil menangkap gagak yang sedari tadi berusaha lari darinya itu.
"Kemana jatuhnya tadi?!" Terdengar suara seseorang dari ujung jalan.
"Ke arah sana!"
Hinata gelagapan, ia mencari tempat persembunyian. Gagak di tangannya terus meronta dan berbunyi-bunyi.
"Sial, kalau bersembunyi tentu saja akan ketahuan, gagak ini tidak bisa diam."
Hinata akhirnya memutuskan untuk melepas kemeja luarnya, lalu menyelimuti gagak itu di sana. DIa kabur ke arah yang berlawanan. Yang itu artinya ia harus jalan memutar lagi untuk sampai di apartemennya.
Hinata mengendalikan nafasnya. Burung gagak itu sudah terdiam di balik kemejanya, menggigil dan mengeluh kesakitan. Hinata melihat kemejanya sudah bercampur warna merah karena darah burung gagak itu. Ia ketakutan sendiri, berharap burung itu belum kehabisan darah sampai dia bisa menolongnya.
"Ah bagaimana ini?! Jangan mati!"
Kemudian ia ingat seseorang yang mungkin bisa membantunya. Dengan cepat Hinata mengambil handphondnya
"Halo, Sugawara-san?"
"Hinata? Tumben ada apa?"
"Sugawara-saaaan tolong akuuu! Tolong akuuu!"
"Eh, eh iya ada apa? Cerita dulu!"
"Anu.." Hinata menarik nafas panjang, berusaha tenang, "Sugawara-san ada di tempat praktek?"
"Ah, tidak. Aku sedang di rumah. Kau ada perlu?"
"Iya, ada hewan yang perlu diobati."
"Oh, datang langsung saja ke rumah. Tidak pa-apa kok. Aku sedang tidak ada kerjaan."
Hinata menutup telepon tanpa menjawab. Segera membetulkan posisi gagak itu di dekapannya "Kau bertahanlah sedikit ya?"
Ia kembali lari sekencang mungkin, menuju rumah Sugawara, seorang dokter hewan kenalannya.
"Di tembak?"
"Iya, aku tidak tahu kenapa dia diburu." Hinata memeriksa kemejanya yang sudah berlumuran darah, setengah kebingungan mencari cara membersihkan darah itu. "Aku juga tidak tahu kenapa aku malah menolongnya."
Sugawara menggumam sambil membalutkan perban ke sayap si gagak, "Lukanya lumayan terbuka. Tadi aku harus menjahitnya beberapa. Tapi jujur saja, ini pengalaman pertamaku mengobati gagak. Aku tidak menyangka gagak itu penurut sekali."
Hinata melihat si gagak itu terdiam, matanya menutup dan ia hanya meringkuk bergerak sesekali. Dipegangnya kepala gagak itu dan mengelusnya perlahan.
"Apa dia baik-baik saja?"
Sugawara mengangguk "Untung saja kau segera membawanya ke sini."
Sugawara bisa melihat mata Hinata berbinar senang mendengar jawabannya. Pemuda 19 tahun itu lantas berbicara dengan si gagak berkali-kali sambil terus mengelus-elus kepalanya.
"Bagaimana keadaanmu?!"
"Sudah baikan kan?!"
"Cepatlah sembuh! Aku ingin lihat kau sembuh!"
"Kau tahu tidak, aku suka sekali melihat gagak terbang! Kalian keren sekali kalau terbang bebas!"
"Makanya kau cepat sembuh!"
Sementara Hinata terus asyik berbicara dengan si gagak seperti seseorang yang tengah menghibur temannya yang sedang mengalami kecelakaan, Sugawara membungkuskan beberapa perban untuk dibawa pulang oleh Hinata.
"Hei Hinata. Kau bermaksud merawatnya bukan?"
"Iya, mau bagaimana lagi. Aku tidak ingin merepotkan Sugawara-san."
"Gagak itu hewan karnivora."
Hinata baru mengerti arah pembicaraan itu, dia berpikir sejenak. "Berarti dia mau ikan kan?"
"Apa tidak apa-apa?"
"Eh?"
"Kau harus kuliah juga."
Hinata melihat gagak itu, mata gagak itu terbuka menatapnya balik. Entah kenapa, gagak itu seperti menanti jawaban Hinata. Hinata mendekatkan wajahnya dan menggembungkan pipinya hingga ia terlihat lucu di mata gagak itu.
"Kau bisa makan sendiri 'kan? Akan kusiapkan makanan yang cukup untukmu pagi dan siang. Nanti kalau malam, aku ada di apartemen jadi aku bisa menjagamu."
Dan sekali lagi, dia terus berbicara dengan si gagak tanpa henti. Sugawara hanya tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Jujur saja, bukan hal mudah bagi Hinata untuk menjaga gagak itu. Gagak itu memang makan dengan lahap dan terlihat suka dengan ikan yang diberikan oleh Hinata. Tapi tak bisa dipungkiri Hinata, gagak itu cukup merepotkan. Ia harus rela bangun tengah malam karena gagak itu terus berbunyi dan mengagetkan tidurnya. Dan tidak hanya itu, sering kali juga Hinata tersentak karena si gagak mendadak melompat ke mukanya saat ia sedang tidur. Juga berkali-kali Hinata harus mau keluar, mencarinya tengah malam karena gagak itu berusaha kabur dengan kondisi sayap yang sama sekali belum sembuh benar.
Kadang dengan seenaknya gagak itu mengambil ikan dari piring Hinata. Hingga akhirnya mereka bertengkar dengan lucunya, si Hinata protes sambil terus berusaha menyingkirkan si gagak dengan cara menghalang-halanginya dari piring, sedangkan si gagak terus melompat kesana kemari untuk mencuri jatah Hinata. Hinata sering merasa si gagak memang sengaja mengerjainya.
Berkali-kali Hinata mendapat cakaran dari si gagak, cukup membuatnya emosi dan akhirnya membentak gagak itu, yang kemudian berakhir dengan si gagak berusaha menyerangnya balik dan mematuk-matuknya. Hinata sadar, ia mengasuh gagak itu benar-benar tanpa pertimbangan sama sekali.
Hingga suatu hari, seperti biasa ia kembali mendapat cakaran dari si gagak saat Hinata berusaha mengganti perbannya. Hinata yang sedari tadi sedang badmood karena kuliahnya, bertambah emosi karena gagak itu menyerangnya.
Dengan terpaksa dan marah yang sudah memuncak, Hinata memeganginya dengan sedikit erat, sambil menahan rasa sakit dan menahan aliran darah di tangannya karena cakaran si gagak, Hinata menatapnya tajam, langsung membentaknya tanpa ampun.
"Kau ini! Kalau memang sayapmu sudah sembuh, silahkan bergerak sesukamu kau mau terbang kemana! Tapi lihat sekarang, aku yakin pasti masih ada rasa sakit saat kau berusaha menggerakkan sayapmu kan? Menurutlah sedikit saja! Kau tidak tahu berapa kali aku mendapat larangan dari Sugawara-san untuk merawatmu terus karena melihat luka-luka di badanku yang kau timbulkan, dan juga protes dari orang-orang di kamar sebelah karena terganggu dengan suara yang kau buat!"
Entah kenapa, dan seolah mengerti, dan cukup mengagetkan Hinata, gagak itu terdiam. Menurut. Seolah ia mengerti dengan apa yang dikatakan Hinata. Tapi di tengah kekagetan itu Hinata bersyukur. Semenjak saat itu, si gagak lebih jinak padanya.
Hingga pada akhirnya, dua minggu cukup untuk membuat gagak itu sembuh total, Hinata melepas perban di sayap si gagak dan si gagak langsung terbang bebas berkeliaran di atas kamarnya. Hinata tertawa bahagia.
"Akhirnya kau bisa bebas juga ya."
Hinata menarik nafas, memikirkan bahwa itu artinya ia harus rela membiarkan si gagak terbang kembali ke alamnya sendiri.
"Kau sudah rela melepasnya?"Sugawara yang masuk ke apartemen Hinata langsung disambut si gagak yang hinggap di kepalanya "Wah, sepertinya dia juga mulai menyukaiku."
Hinata tersenyum kecut, "Mau bagaimana lagi Sugawara-san?"
"Aku pasti akan merindukannya." Sugawara menyahut.
"Apalagi aku."
Ia memegang si gagak dan membuka jendela. Gagak itu meronta dengan cepat begitu tahu udara luar terbuka untuknya. Hinata menahan sesaknya dan melepaskan genggaman itu. Si gagak terbang, lalu hinggap sejenak di ranting pohon dekat apartemen Hinata, memandangi Hinata.
"Dah…" Hinata melambai perih. Diiringi dengan lepasnya si gagak ke langit sore hari itu. Sugawara bisa melihat air muka sedih Hinata dengan jelas pada saat itu. Digosok-gosoknya kepala Hinata.
"Kau melakukan hal bagus. Ayo keluar, aku akan membelikanmu bakpao di toko Sakanoshita." Sugawara tersenyum lebar, disambut dengan anggukkan semangat dari Hinata.
Mata Hinata membuka perlahan, kepalanya pening. Memeriksa jidatnya sendiri, lalu mengeluh lemas.
"Sudah hari ketiga, dan aku belum sembuh juga."
Sebulan setelah gagak itu pergi, Hinata menjalani hari normalnya kuliah. Hingga akhirnya ia terkena flu dan demam. Tidak ada hubungannya dengan si gagak sama sekali. Hinata memang kesepian karena gagak itu pergi, tapi demamnya murni karena ia pulang dari kuliah dalam keadaan kehujanan. Tapi tak bisa ia pungkiri, Hinata sendiri heran, ia tidak terbiasa sakit. Baik, tidak hanya Hinata, tapi Sugawara dan seluruh teman-temannya yang mengenal Hinata terkejut karena Hinata yang biasanya begitu kuat, berisik, bersemangat dan selalu fit, tiba - tiba roboh tiga hari hanya karena hujan.
"Kau masih belum sembuh?" Izumi, teman sekelasnya di kampus menelponnya.
"Entahlah, sepertinya belum berubah dari kemarin"
"Kau ini tidak biasanya. Sudah periksa ke dokter belum?"
"Aku tak apa. Maaf sudah membuatmu khawatir"
Hinata mengeluh kembali. Dia memeriksa thermometer yang terselip di ketiaknya. Benar saja, sama sekali tidak ada perubahan dari hari sebelumnya.
"Ah ayo sembuh! Ayo sembuh! Ayo sembuh!"
Dia mengguling-gulingkan badannya, tapi hanya sebentar, kepalanya tak sanggup menahan sakit. akhirnya ia memilih diam sambil berharap kesembuhan cepat datang.
Dan malam hari pun tiba…..
Hinata mendengar bel pintunya berbunyi berkali-kali. Semula ia berniat membiarkannya begitu saja dan berharap seseorang tamu itu pulang, tapi bel itu sama sekali tidak mau berhenti walau Hinata membiarkannya lama. Dengan lemas dan setengah menahan pusingnya ia mendatangi pintu itu.
Saat membuka pintu, yang hadir di hadapannya adalah seorang pemuda berambut hitam raven dengan mata biru gelap, ia berbadan besar dan tinggi, Hinata harus mendongak melihat wajahnya. Pandangannya seram, matanya langsung menuju ke Hinata.
Hinata kaget dengan kemunculan pemuda yang tak dikenalnya itu, "Siapa?"
"Kemana saja kau?!" tiba-tiba saja pemuda itu membentaknya.
"Heh?" tentu saja Hinata terkejut.
"Kenapa kau tidak keluar berhari-hari?!"
"He? Me-"
" Biasanya kau berangkat dari apartemen dengan lari-larian seperti orang bodoh, mendadak menghilang selama tiga hari tanpa terlihat keluar sama sekali, apa maksudnya itu?!"
"Memangnya kau siap-" belum sempat Hinata menyelesaikan kalimatnya, pemuda itu menerobos masuk ke apartemen Hinata.
"Hoi! Jangan seenaknya masuk rumah orang!"
Pemuda itu tidak peduli dengan teriakan Hinata. Malah langsung berprotes ria melihat apartemen Hinata yang terbengkalai selama ia sakit "Apa-apaan ruangan ini? Kenapa berantakan semuanya?!"
"Hei!"
"Kau memang biasanya berantakan dan tidak punya aturan, tapi ini sudah keterlaluan. Kau habis dicampakkan pacarmu?!"
Hinata muntab, ia berteriak "KAU INI SIAPA? JANGAN SEENAKNYA BERKOMENTAR ATAS RUMAH ORANG! KAU MASUK SECARA SEMBARANGAN BAHKAN TANPA MENGENALKAN DIRI TERLEBIH DAHULU. KAU SIAPA? APA MAUMU?!"
Pemuda itu diam, Hinata ngos-ngosan, pemuda itu bisa melihat muka Hinata merah dan keringat mengucur dari keningnya.
"Hinata, kau sakit?"
Kembali Hinata kaget. "Kenapa kau bisa tahu namaku?"
Pemuda itu mendekatinya secara mendadak, membuat Hinata ketakutan dan mundur beberapa langkah. Tapi pemuda itu tampaknya hanya mencoba memeriksa kening Hinata.
"Pantas saja. Ternyata orang berisik sepertimu bisa sakit juga." Pemuda itu melengos. Kemudian memegangi pundak Hinata dan membimbing Hinata ke kursi, "Kau duduklah kalau begitu."
"Eh?" Kebingungan Hinata semakin menjadi. Dia menoleh ke wajah pemuda itu, pemuda itu terlihat serius membimbingnya , ia menurut dan duduk karena ia memang sudah kehabisan tenaga
"Biar aku yang bereskan rumahmu."
"Eh?"
Hinata hanya mampu terbengong-bengong melihat pemuda itu benar-benar mulai merapikan buku-bukunya yang berserakan di lantai. Pemuda itu mendadak masuk dan membentaknya, lalu berkomentar soal apartemennya yang berantakan, pemuda tahu nama Hinata, sekarang ia dengan gampangnya menyuruh Hinata duduk dan mulai membersihkan apartemennya. Kepalanya semakin pening. Ia harus merintih menahannya.
"Kau sudah menelpon Sugawara-san?"
Eh, dia juga tahu Sugawara-san?
"Kenapa dengan dia? Kau kenalannya?"
"Loh, dia dokter kan?"
"Iya, tapi dia itu dokter hewan! Kau pikir aku ingin berobat di sana?!" Hinata terlihat kesal.
Pemuda itu terdiam, kemudian mengangguk-angguk.
Hinata terus memberhatikannya, pemuda itu membersihkan barang-barangnya dengan cara persis seperti yang biasa Hinata lakukan. Ia tahu tempat-tempat di mana Hinata biasa menyimpan benda itu. Bahkan laci tempat sendok dan rak-rak tempat CD biasanya ia mengumpulkannya menjadi satu, pemuda itu benar-benar hafal tanpa bertanya sama sekali.
"Hei.." Panggil Hinata.
"Hm?"
"Kau ini sebenarnya siapa?" Tanya Hinata pelan, ia sudah tak sanggup bersuara lebih keras.
Pemuda itu memandangi Hinata yang bertanya-tanya. "Kau tidak sadar siapa aku?"
"Tentu saja tidak. Bahkan ini pertama kali aku melihatmu."
"Memang tidak masuk akal ya."
"Hah? Apa maksudmu."
Pemuda itu bangkit dari duduknya, dia kembali mendekati Hinata. Ia menatap Hinata lama.
"Saat kita pertama bertemu, kau melihat aku tertembak dan membawaku kabur ke dokter bernama Sugawara-san itu."
"Heh?"
"Kau merawatku dua minggu hingga akhirnya sayapku bisa kupakai terbang kembali."
Mata Hinata melebar.
"Aku burung gagak yang kau tolong."
"Hah?"
"Aku burung gagak yang kau tolong."
"Hah?"
Pemuda itu hanya terdiam. Hinata menatapnya sambil berusaha mencerna kata-kata gagak itu.
"Kau tidak percaya'kan?" pemuda gagak itu menerka ekspresi Hinata.
"E-…eh.. Mana mungkin aku bisa percaya dengan guyonan seperti itu!"
Braaak!
Tiba-tiba dari punggung belakang pemuda itu muncul sayap hitam yang merekah. Hinata terbengong.
"Lihat, kau lihat sayap ini?" Pemuda itu mendekatkan sayapnya ke Hinata.
Tidak ada yang bisa dilakukan Hinata selain mencoba menyentuh sayap yang sedang bergerak mengarah padanya itu. Ternyata benar, sayap itu mempunyai bekas luka yang sama dengan sayap yang dimiliki gagak yang dulu telah di tolong oleh Hinata, baik bentuk bekas maupun letaknya.
"Ini…." Hinata tak mampu bicara. Dia hanya gemetar karena kaget.
"Itu bekas kemarin"
"K-kau… bisa berubah … menjadi manusia? "
Dia tak mampu menanggapi semua kondisi yang ada di sana lagi. Segala kebigungan bercampur jadi satu. Hinata oleng.
"Yah.. sebenarnya aku sudah bisa menjadi manusia se- EH HOI HINATA!?"
Pemuda berambut jeruk itu pingsan.
Saat Hinata tersadar, yang menjadi pemandangan pertama yang ia lihat adalah atap kamarnya, ia menoleh ke ruangan. Pemuda itu sedang berdiri di sana. Dia memegang kemeja Hinata yang dulu menjadi pelindungnya saat ia tertembak. Ekspresi pemuda yang sedang memandangi kemeja itu terlihat aneh.
"Hei…." Hinata berusaha bangun.
"Eh, kau sudah sadar?" Pemuda itu kaget dan langsung mendekatinya, lalu memeriksa jidat Hinata lagi.
"Ini jam berapa?"
"Jam 4 pagi. Kau pingsan semalaman. Bodoh sekali pingsan hanya karena hal seperti itu."
"Pagi-pagi jangan membuatku kesal." Sergah Hinata "Lagipula kau datang malam hari."
"Aku hanya bisa berubah wujud jadi manusia pada malam hari."
"Eh?"
Pemuda itu duduk di kursi di dekat ranjangnya,"Sebentar lagi kalau matahari sudah terbit, mau tidak mau akan berubah menjadi burung gagak lagi."
Hinata menggumam, dia sudah menyerah untuk tidak percaya. Pemuda itu langsung menunjukkan sebuah sayap yang tak mungkin dimiliki oleh manusia, dan kalaupun itu hanya sayap pasangan, pemuda itu semula tidak menyembunyikannya, dan tidak mungkin menggerakkannya seperti yang dilakukan oleh pemuda itu. Pantas saja dia tahu semua letak penyimpanan dan barang-barang Hinata, burung gagak itu pasti sering mengamatinya saat ia sedang bersih-bersih.
"Sejak kapan kau bisa berubah menjadi manusia?"
"Sejak lahir."
"Jadi saat kau tertembak waktu itu kau sudah bisa berubah menjadi manusia?"
"Tentu saja, bodoh."
"Lalu kenapa kau tidak pernah berubah menjadi manusia kemarin? Malah hobinya menggangguku tiap malam."
"Kau pikir aku seceroboh itu?! Kau orang yang baru ku kenal. Kau itu manusia. Kau masih makhluk yang sama dengan yang menembakku dulu."
Hinata tak bisa membalas perkataan itu. Mereka diam beberapa saat.
"Kemeja itu…." Pemuda itu kembali memandang kemeja yang tadi di genggamnya sewaktu Hinata terbangun.
"Hm?"
"Aku tadi mencoba memakainya. Kenapa kecil sekali?"
Hinata merasa tersindir.
"Kau mengejekku?"
"Aku tidak sadar saat menjadi gagak. Ternyata kau pendek sekali."
"Kau ini bisa tidak sih tidak membuatku kesal? Kau sama saja dengan saat menjadi gagak dulu."
"Kau lebih menyebalkan daripada aku."
"Kau yang menyebalkan! Sudah jelas-jelas aku menolongmu, kau malah seenaknya sendiri!"
Pemuda itu kehabisan kata, lalu berdiri sambil menggerutu. Hinata memandangi punggungnya, dia terlihat begitu gagah di mata Hinata.
"Hei…" Hinata memanggilnya.
"Kageyama."
"Eh?"
"Kageyama. Kageyama Tobio. Itu namaku. Jangan 'hei' terus."
Hinata hanya meng'oh' kannya saja.
"Ada apa?"
"Apanya?"
"Kau tadi memanggilku kan? Ada apa?"
"Tidak, kau sudah menjawabnya. Aku tadi niat bertanya namamu." Hinata memalingkan muka. Ia membuka tirai jendelanya. Ufuk mulai berwarna ungu kebiruan. Sepertinya matahari akan muncul.
(Pukul 08:00)
"Terima kasih atas hidangannya" Hinata mengapitkan kedua telapak tangannya. Sarapan pagi yang dia dapat dari Izumi hanya dimakan setengahnya saja. Ia menyerah untuk menghabiskan semuanya.
Kageyama yang sudah kembali berubah wujud menjadi gagak terbang mendekatinya.
"Apa?"
Gagak Kageyama berbunyi. Paruhnya mengetuk cawan kecil Hinata yang berisi obat flunya.
"Ogah." Hinata menggembungkan pipinya menolak meminum obat itu.
Gagak Kageyama berbunyi lagi.
"Aku benci obat."
Saat Hinata berdiri, tiba-tiba saja gagak Kageyama terbang dan menyerang kepalanya. Ia mematuknya beberapa kali.
"Waaah!"Hinata yang kaget langsung mundur dan terduduk kembali ke kursinya.
"Aduh .. aduh.. kau ini apa-apaan sih?!"
Si gagak mendekatkan cawan obat itu ke Hinata dengan paruhnya, lalu menatap Hinata tajam.
"Aku kan sudah bilang, aku benci obat!"
Gagak Kageyama menyerangnya lagi, kali ini ia terus mematuknya tanpa henti.
"Aduh! Aw! Hentikan bodoh! Hei! Baik! Baik! Akan kuminum! Aku akan meminumnya! Hentikan, sakit!"
Kageyama berhenti mematuknya dan kembali bertenger di dekat cawan obat Hinata. Hinata yang sedari tadi terus dipandangi mau tidak mau harus meminumnya. Hinata melihat obat itu, ia sedikit bergidik ngeri.
"Pahiiit…" rintihnya setelah semua obat berhasil masuk ke perutnya.
Tepat setelah Hinata menaruh peralatan makannya, bel pintunya berbunyi. Sebenarnya Hinata ingin langsung kembali istirahat saat itu, Tapi ia merasa harus membukanya, Kageyama sendiri juga tidak bisa membantu membukakan pintu dengan wujud gagaknya. Dengan lemas ia berjalan pelan.
"Halo, Hinata. Kau sudah baikan?" Ternyata yang ada dibalik pintu itu adalah Sugawara yang datang dengan membawa beberapa makanan di tangannya.
"Sugawara-san? Ayo masuk."
"Maaf aku mengganggu istirahatmu."
Sepertinya begitu Kageyama mendengar nama Sugawara, ia yang semula hinggap di jendela Hinata bersiap terbang, langsung masuk mendekati berdua dan hinggap di kepala Sugawara.
"Loh? Kau kembali?" Sugawara terkejut. "Kau mengunjungi tuanmu yang sedang sakit ya? Haha."
"Dia memaksaku meminum obat-obat pahit itu." gerutu Hinata kesal sembari mempersilahkan Sugawara masuk.
Sugawara tertawa, lalu mengelus gagak yang ada di kepalanya "Kau melakukan hal yang benar."
"Kenapa Sugawara-san malah membelanya?"
Sugawara tersenyum, kemudian mendekati dan mendaratkan sentilan kecil di kening Hinata."Aku juga dokter, kau harus ingat itu."
Hinata kembali menggembungkan pipinya kesal sambil memegangi keningnya yang sedikit sakit.
Mereka mengobrol cukup lama. Gagak Kageyama hanya diam sambil meringkuk manja di pangkuan Hinata yang sedari tadi asik menguyah apel yang dibawakan -sekaligus dikupaskan di sana- oleh Sugawara. Hinata sepertinya sudah kuat berlama-lama duduk meladeni tamu. Ia sadar hal itu dan ia senang. Sepertinya obat itu berefek cepat pada Hinata. Hinata memang tidak sadar selama ini karena dia malas meminumnya. Dia sempat bersyukur gagak kecilnya memaksanya minum.
"Kau masih harus sering istirahat. Minum obatmu terus. Jangan bandel." Ucap Sugawara sebelum pulang.
Hinata mengangguk, "Baik. Terima kasih Sugawara-san."
Sugawara mengelus kepala gagak Kageyama yang ada di pundak Hinata, "Jaga Hinata ya."
"Hei Kageyama," panggil Hinata setelah ia menutup pintunya, "Menurutmu apa kita cerita soal kau saja?"
Gagak Kageyama hanya berbunyi sekali, tentu saja Hinata tidak memahaminya. Hinata mengambil kertas kemudian menulis 'yes' dan 'no' di kertas itu. Kageyama langsung terbang dan menginjak kata 'no'.
(pukul 19:00)
Kageyama makan dengan lahap kare instan yang dibawakan oleh Sugawara. Ia sudah bisa berubah wujud menjadi manusia. Hinata sering memperhatikannya sosoknya lagi. Ia terkadang iri melihat Kageyama yang jauh lebih atletis dan lebih tinggi darinya.
"Kau bisa makan sayur?" Hinata membuka percakapan.
Kageyama mengangguk, "Saat aku menjadi manusia tubuhku bisa mentolerir buah dan sayur."
"Ohh.. " Hinata duduk di samping pemuda itu.
"Ini makanan apa? Kenapa enak sekali?"
"Itu kare. Kau belum pernah makan itu?"
"Kami jarang makan makanan manusia, meskipun kami bisa berubah wujud jadi manusia."
Hinata mengkerutkan alis, "'kami'? Jadi ada gagak lain yang bisa berubah wujud jadi manusia?"
Kageyama mengunyah makanannya sebentar, lalu menelannya dengan cepat, "Ada suatu golongan yang seperti itu. Hanya sepersekian persen saja dari populasi gagak yang asli."
"Lalu, kenapa kau menolak memberitahu Sugawara-san soal ini?"
"Aku bukannya tidak percaya dengan dia. Aku hanya mengambil jalan amannya saja. Semakin sedikit kita memberitahukan ini pada orang lain, semakin tipis kemungkinan berita seperti ini akan bocor ke masyarakat." Kageyama kembali melahap karenya setelah penjelasan itu, sepertinya ia akan ketagihan dengan masakan satu itu.
"Jadi kau merasa aman meski memberitahuku?"
Kageyama tersedak, ia terbatuk-batuk. Hinata ikut kaget dan langsung memberinya minum. Saat itu Hinata bisa melihat muka Kageyama memerah. Tapi ia hanya mengira karena tersedak.
"K-kau jangan mempertanyakan hal memalukan seperti itu bodoh! Semula aku tidak berniat memberitahumu! Aku begini hanya untuk membalas budi!" Kageyama menyangkalnya.
"Oh…"
Kageyama menatapnya sebentar, "Oi Hinata, Kau sudah sembuh?"
Belum sempat Hinata menjawab, Kageyama memegang kepala Hinata, menolehkan ke arahnya dan mendadak menempelkan keningnya ke kening Hinata. Sontak saja Hinata terkejut mendapati wajah mereka yang begitu dekat. Muka Hinata memerah padam. Ia meronta menjauh.
"Ka-kau ini apa-apaan?!"
"Aku hanya memeriksamu. Sepertinya demamnya sudah turun jauh."
"Kau kan bisa memakai punggung tanganmu!" Hinata tidak bisa menyembunyikan rasa malunya.
"Kurang pas." Kageyama menjawab santai.
Hinata mulai salah tingkah melihat ekspresi Kageyama yang begitu datar. Ia memutuskan berdiri dan meninggalkannya.
"Aku sudah selesai, terima kasih atas hidangannya. Tolong nanti taruh di bak cucian. Aku saja yang mencucinya."
"Loh, karemu tidak habis? Boleh aku habiskan?"
"Ambil saja."
Sebelum Hinata menutup pintu kamarnya, ia mengintip Kageyama yang tetap asik dengan Karenya. Ia menutup pintunya dengan perasaan jengkel yang tanpa sebab. Ia membanting dirinya ke kasur. Masih dengan mukanya yang memerah.
"Bodoh! Bodoh! Kenapa aku malu sekali? Apa-apaan gagak bodoh itu?!"
Ia terus menggerutu menahan malu sekaligus kesal karena Kageyama begitu santai melakukannya tadi. Ia tidak tahu, di luar kamarnya Kageyama tengah menutup mukanya yang sebenarnya sudah meluap padam sejak Hinata menutup pintunya. Menggerutu karena alasan yang sama.
"Bodoh! Apa yang kulakukan tadi?! Bisa-bisanya aku menempelkan wajahku ke wajah Hinata tanpa sadar tadi?! Aku malu sekali, bodoh!"
Delapan bulan berlalu dengan cepat. Mereka sudah mengenal satu sama lain begitu dekat. Hinata mulai terbiasa dengan sifat dan kepribadian Kageyama. Secara jujur dalam hati ia mengakui bahwa ia lebih suka saat Kageyama menjadi manusia pada malam hari dari pada tetap memutusnya menjadi gagak meskipun Kageyama bisa saja berubah semaunya (meski tapi ia tak mengatakannya pada Kageyama). Tak terhitung jumlah dimana mereka bertengkar pada malam hari karena hal sepele (dan Hinata hampir tak pernah menang), tapi tetap saja ia menikmati saat-saat bersama Kageyama. Hinata mulai sadar, dia menyukai pemuda setengah gagak itu.
Hingga suatu saat, mereka harus berpisah selama tiga bulan karena Hinata harus pergi ke Tokyo untuk praktik kerja. Tentu saja hal ini memberatkan keduanya karena mereka sudah terlanjur terbiasa bersama.
"Tanggal 10 September, jam 7 malam, di jalan dimana kita pertama bertemu, waktu kau ditembak itu. Temui aku di sana!"
Itu adalah janji Hinata sebelum mereka akhirnya harus terpisah. Hinata ingat benar tanggal itu, tanggal itu adalah tepat satu tahunnya mereka bertemu. Saat di Tokyo, ia hampir tidak sabar menunggu hari itu datang. Secara terus menerus ia melihat kalender, membuat bosnya menyadarinya dan mengomel sesaat karena beranggapan Hinata tidak betah dan tidak menikmati pekerjaannya (dan memang tidak).
Tanggal 9 September, sehari sebelum keberangkatan Hinata pulang ke Miyagi. Jantung Hinata berdebar sejak pagi membayangkan besok ia bisa kembali bertemu Kageyama. Senyumnya tidak bisa ia tahan membuat ia harus tersiksa menahannya mati-matian dari para gadis pegawai toko baju saat ia memilih baju untuk ia berikan pada Kageyama.
"Baju, Snack coklat, Susu Kotak vanilla, dan Kare Babi instan Asage." Semua barang yang ia persiapkan untuk oleh-olehnya yang akan dia berikan pada Kageyama.
Keesokan harinya, siang pukul satu, ia sudah berdiri di stasiun dengan perasaan berdebar. Ia bersiap dengan memakai kemeja yang menjadi kemeja kesukaan Kageyama, kemeja yang ia pakai untuk mendekap Kageyama sewaktu gagak itu terluka. Padahal ia tahu pasti, untuk sampai di ujung kota Miyagi saja ia harus menunggu lima jam lagi, tapi ia tetap tidak bisa menghentikan debaran jantungnya. Ia senang, terlalu senang. Ia bisa menemui Kageyama, orang yang ia sukai.
Ternyata perjalanan yang ia tempuh melebihi perkiraannya, kereta harus terlambat setengah jam dari jadwal semula. Ia sampai di stasiun Miyagi tepat pukul tujuh malam, yang berarti masih setengah jam agar sampai di tepat perjanjian mereka. Ia berlari, dengan sedikit terseok-seok karena beratnya koper yang ia bawa. Dengan nafas yang terengah-engah ia mencoba secepat mungkin sampai di tempat perjanjiannya. Jam sudah menunjukkan pukul 19:37, tidak ada hal lain yang ada di otaknya selain terus berharap Kageyama masih berada di sana menunggunya.
Saat berbelok di gang itu, ia bisa melihat sosok Kageyama di sana, matanya melebar dan ia semakin bersemangat. Ia hampir saja berteriak memanggil Kageyama kalau saja ia tidak melihat Kageyama tengah bersama orang lain.
Hinata spontan tertegun, Kageyama memang berada di sana. Tapi bersama dengan seseorang, seorang gadis tepatnya. Yang lebih mengagetkannya lagi, gadis itu sedang memeluknya, dan ia bisa melihat dengan jelas kedua bibir makhluk yang berada di kegelapan itu sedang bertemu. Kageyama berciuman dengan seorang gadis, tepat di depan mata Hinata.
"Ka…. Kageyama…" Hinata gemetaran.
Kageyama sontak menoleh, "Hinata?! Ah.. kau…"
Hinata tidak tahu harus bagaimana, ia langsung berlari meninggalkan kopernya. Berlari sejauh mungkin dari tempat itu.
"Hinataa! Tunggu!"
Dia tak menggubris panggilan itu, ia terus berlari, air matanya beruraian. Dadanya sesak seketika. Dia berlari tanpa arah, tidak peduli dengan suara Kageyama yang terdengar dari jauh terus memanggilnya. Ia menyesal kenapa ia menunggu hari itu, ia mengutuk dirinya sendiri yang berharap terlalu banyak.
"Kami jarang makan makanan manusia, meskipun kami bisa berubah wujud jadi manusia."
"Ada suatu golongan yang seperti itu. Hanya sepersekian persen saja dari populasi gagak yang asli."
Hinata mengingat lagi kata-kata Kageyama.
Bodoh! Dia kan gagak, mana mungkin ia akan berhubungan dengan manusia biasa sepertiku? Dia pasti akan memilih untuk menjalin hubungan dengan makhluk sejenisnya.
Lagipula kami berdua laki-laki! Apa yang aku pikirkan?!
"HINATAA!" Suara Kageyama terdengar lantang dari belakang, membuat Hinata terkejut dan berlari semakin kencang.
Tapi ternyata Kageyama memang menang dalam hal apapun, Kageyama berhasil menangkapnya. Hinata meronta, tapi Kageyama sudah berhasil menahanya dengan tangannya.
"Lepas! Lepas!"
"Berhenti dulu! Tenang dulu!"
"Lepaskan aku!"
Kageyama mendekapnya tapi Hinata terus saja meronta. Air matanya beruraian lepas.
"Kenapa kau menangis?!"
"Lepaskan aku Bakayama!"
"Tenang dulu, bodoh! Diam dulu!"
"Tidak mau! Lepas! Jangan pedulikan aku!"
"HINATA! BERHENTI! TENANGLAH DULU!" Kageyama yang sudah kesal akhirnya berteriak kencang, membuat Hinata kaget dan sontak terdiam.
Meskipun dia sudah tenang dan tidak meronta lagi, Hinata masih sesegukkan, ia tetap tidak bisa menahan tangisnya. Kageyama mengatur nafasnya.
"Kenapa kau menangis?"
"Kenapa kau tidak bersama gadis itu saja?" Bukannya menjawab pertanyaan Kageyama, Hinata malah menyerangnya balik dengan pertanyaan.
"Gadis itu-"
"Kau harusnya bersamanya! Kenapa kau malah mengejarku?!"
"Dengarkan aku, gadis itu-"
"AKU MENYUKAIMU!" Hinata berteriak terus tanpa mempedulikan Kageyama yang mencoba berbicara. "Aku ini menyukaimu! Jangan mencoba memberiku alasan yang macam-macam, jujur saja padaku!"
"Dengar dulu makanya!"
"Kau tidak usah menyangkal apapun! Aku akan menerimanya! Aku akan menerimanya!"
"Hinata…"
"Sekarang biarkan aku pergi!"
"AKU JUGA MENYUKAIMU BODOH!" Kageyama membentaknya kembali , kali ini sambil meremas pundak Hinata kencang. Hinata langsung kaget mendengar apa yang diucapkan oleh Kageyama.
"Aku juga menyukaimu! Aku menyukaimu lebih dulu! Bahkan sebelum kau tahu kalau aku manusia, saat kau merawatku, aku sudah menyukaimu!"
"Ta.. tapi gadis itu…?"
"Dia bukan siapa-siapa!"
"Bukan apa-apa?! Jelas-jelas kau berciuman dengannya!"
"Aku tahu! Tapi dia bukan siapa-siapa! Aku tidak mengenalnya!"
"Bagaimana bisa kau berciuman dengannya kalau kau tidak mengenalnya?!"
"Akan kuceritakan! Akan kuceritakan! Kau diamlah dan dengarkan aku bicara! Mengerti?!"
Kali Hinata menurut, Ia bisa melihat Kageyama sudah kesulitan menenangkannya. Pemuda gagak itu sejenak mengatur nafasnya yang habis karena berlari dan berteriak.
"Yah.. kejadiannya begini…."
Kageyama berjalan pelan menuju jalan tempat ia dan Hinata berjanji. Dadanya berdegup kencang membayangkan sebentar lagi ia akan bertemu dengan pemuda mungil dan berisik berambut jeruk itu. Sudah tiga bulan lebih mereka berpisah, tentu saja rasa ingin bertemu itu sudah tak terbendung lagi. Yang perlu ia siapkan sekarang hanya berlatih agar ia bisa menahan dirinya saat Hinata sudah ada di hadapannya. Ia mengintip jam yang ada di rumah orang-orang di sekitar daerah itu dari luar (Kageyama tidak punya arloji ataupun hp). Ia mengeluh, masih setengah jam dari waktu perjanjian mereka, sedang menuju tempat itu hanya tinggal beberapa menit lagi.
Di tengah perjalanan, ia melihat seorang gadis tengah tergeletak di kursi taman dengan. Gadis itu terlentang dengan posisi yang tidak senonoh. Ia mendekati gadis itu. Ia melihat gadis itu masih bernafas, hanya dia tertidur. Di sebelahnya terlihat beberapa kaleng bir yang telah kosong.
"Gadis mabuk ya?" Pikir Kageyama dalam hati.
Sebenarnya Kageyama ingin meninggalkannya begitu saja kalau hari itu masih siang. Tapi langit sudah gelap dan ia tidak tega meninggalkan gadis itu sendirian. Akhirnya ia memutuskan untuk membangunkannya.
"Nona, hei.. nona."
Gadis itu menggumam dan bangun, "Hmm…. Ryuji? Kau kah itu?"
Kageyama terpaksa menahan nafas karena bau alcohol yang menyergah kuat dari nafas gadis itu.
"Nona, ini sudah gelap, Anda pulanglah."
"Ah…" Gadis itu bangun dan duduk, "kau bukan Ryuji.." lalu spontan dia tertawa, "tentu saja.. Ryuji kan sedang bersama gadis seksi itu."
Kageyama membenci ini, dia sedikit menyesal telah membangunkannya. Tapi karena sudah terlanjur, ia hanya bisa menghela nafas, "Maaf, mungkin saya bukan orang yang Anda cari. Tapi ini sudah malam. Anda harus bangun dan pulang ke rumah."
"Kau siapa?"
"Aku hanya orang yang kebetulan lewat."
"Kau mengkhawatirkan aku?"
"Tentu saja, Anda seorang wanita cantik, sekarang sendirian dalam keadaan mabuk di tempat seperti ini."
Gadis itu tersenyum, lalu bangun dan mendekati Kageyama."Kau baik sekali. Siapa namamu?"
Kageyama kaget dan langsung menjauh, "Maaf, nona. Anda segera pulanglah. Akan kuantarkan kalau perlu."
"Hmm?" Gadis itu mendekatinya lagi, "Kau juga tampan dan tinggi. Beritahu aku siapa namamu."
Kageyama yang tidak tahu cara berhadapan dengan orang mabuk pun kebingungan, dia hanya bisa menjawab sebisanya, "Nona, tolong jangan dekat-dekat."
Di luar dugaan Kageyama, gadis itu mendadak menempe di pundaknya dan menggelendot manja. "Kau baik, tidak seperti Ryuji sialan itu. Kau mau menikah denganku?"
"Eh, Nona.. Anda sedang ma-" Kageyama mencoba menjauhkan gadis itu dari tubuhnya.
"AKU TIDAK MABUK!" Dia berteriak, "Aku sadar seratus persen! Kau pemuda tampan, kau tidak ingin jadi kekasihku? Ayo kita menikah."
"Tunggu, Nona… aku sedang menunggu seseorang." Kageyama terus mencoba menjauh.
"Siapa? Pacarmu? Lebih cantik mana dia denganku? Lebih seksi mana dia denganku?" Gadis itu mencoba memeluknya, Kageyama kembali meronta.
"Hentikan, Nona!"
Gadis itu terus mengejarnya sambil menggelendot manja pada baju Kageyama. Kageyama mencoba melepasnya tapi tetap saja Gadis mabuk itu tidak mau melepasnya. Hingga Kageyama terhadang di dinding jalan itu, sang gadis berhasil mendekapnya erat. Dan tanpa pikir panjang, gadis itu menciumnya. Tepat di bibir, dan tanpa sengaja, dalam waktu yang sama, Hinata datang dan melihat mereka.
Hinata tertegun, ia melihat air muka Kageyama sudah tidak karuan menceritakkan kejadian itu. Antara malu, kesal dan menyesal tampak di wajah Kageyama yang tergolong seram. Entah kenapa mendadak pundak Hinata bergetar, perutnya tergelitik, Hinata tertawa keras.
"Jangan tertawa!" Kageyama bentaknya dengan muka malu.
"Kau bodoh hahahahaha!"
Kageyama tak menjawab, ia hanya menggumam kesal.
"Yah tapi.." Hinata mengusap air matanya. "Aku senang…."
"Sudah jelas sekarang 'kan?"
"Iya."
Hinata memandang Kageyama yang balik menatapnya, keduanya tersenyum. Dia mendekap Kageyama erat. Disambut dengan ciuman lembut Kageyama di keningnya. Mereka sudah tidak peduli lagi kalau-kalau ada orang yang melihat mereka. Mereka masih ingin berdekapan. Hinata bisa mendengar degup jantung Kageyama yang bertambah cepat.
"Aku pulang.." Kata Hinata pelan.
Kageyama tidak bisa menahan senyum bahagianya, "Selamat datang."
Mereka berdua tengkurap di kamar Hinata dengan selimut yang menutupi tubuh mereka dari kaki hingga kepala. Mereka sedang bermain game di handphone Hinata sambil bersembunyi dari rasa dingin di bawah selimut.
"Wah, kita dapat medali emas haha!" Hinata tertawa.
"Berarti dengan ini sudah sampai level ke 6 ya."
"Pasti akan semakin susah."
Kageyama memandang Hinata yang ada di sampingnya, ia suka dengan mata lebar dan senyum semangat itu. Wajah yang sudah tiga bulan tidak ia lihat, kini dengan nyata hadir di dekatnya. Dia tidak bisa menahan dirinya lagi, Kageyama memegang pipi Hinata, mengarahkan kepala pemuda berambut jeruk itu agar menoleh kepadanya. Hinata tahu apa yang Kageyama mau, ia menutup matanya pelan.
"Hinata.."
Bibir mereka bertemu, bertautan dengan lembut.
.
.
.
Fin
OMAKE :
"Ngomong-ngomong, Hinata.."
"Hm…."
"Sugawara-san.. Tahu aku bisa berubah jadi manusia."
"Hah? Bagaimana bisa? Kau memberitahunya?"
"Ah, tidak" Kageyam menggaruk kepalanya sebentar, "Saat sebelum berangkat ke sini, aku ada di rumah Sugawara-san dari pagi"
"Lalu?"
"Lalu aku berubah di pekarangan rumahnya. Aku sudah yakin tadi mencari tempat persembunyian yang aman. Aku tidak tahu ia di sana, begitu aku selesai berubah wujud, ternyata dia sudah ada di sana. Melihatku gemetaran."
"Lah, lantas bagaimana?"
"Dia pingsan."
"Lalu?"
"Aku membawanya masuk, aku tidurkan dia di kursi. Lalu aku tinggal ke sini."
"Kau bodoh." HInata mengkerutkan alisnya.
"Ya mana aku tahu!" Kageyama menyergah kesal.
"Mungkin kalau dia sudah sadar, dia akan berlari kesini sambil tergagap-gagap menceritakannya. Atau mungkin dia akan menanyai macam-macam."
Belum selesai Hinata dengan kalimatnya, bel pintunya berbunyi berkali-kali dengan cepat.
"Itu dia." Kageyama menghela napas.
"Jadi, cerita saja nih?"
"Mau bagaimana?"
Hinata dan Kageyama pun pergi mendatangi pintu itu berdua. Bersiap menghadapi sosok Sugawara yang akan heboh nantinya.
A/N :
Yo minnaaaa….,
Kembali dengan fanfic Kagehina saye beuhueheueh.
Kali ini panjang dan lebar, semoga kalian tidak bosan.
Ide fanfic ini aku dapat dari DJ Haikyuu KageHina yang berjudul Catlife,
Di sana menceritakan Kageyama yang setengah kucing.
"Kenapa bukan gagak?" Pikirku saat baca itu,
ya sudah. Jadilah ini :s
Aku belum ada mood (dan ide) untuk menceritakan Couple lain.
Tapi memang bukan KageHina saja OTPku di dunia peryaoi-an.
Akan kucoba menulis yang lain.
Sampai jumpa di fanfic saye yang lain.
_Varnatsu_
