Disclaimer: Naruto belongs to Masashi Kishimoto. I only own messy room where I can unleash my imagination.
Peringatan: AR—karena di beberapa hal, masih menggunakan keadaan sesuai Canon Verse meski sebagian sudah melenceng jauh. Neji Ten—tidak menutup kemungkinan akan ada bumbu-bumbu dari pair lainnya termasuk Slash (Shounen-Ai). Elemen dewasa—lebih kepada tema yang diangkat dan bahasa yang dipakai.
Tidak Suka Jangan Coba Membaca
oOo Enjoy oOo
Takdir—sesuatu yang abstrak, mencengkram—meremukkan dan menyelamatkan kita di saat yang sama. Bualan lelucon pahit yang terasa menyenangkan untuk diumbar. Proses hidup yang membuat Neji malu sekaligus bahagia. Betapa ia dulu dengan bangsatnya menghakimi orang melalui takdir, menjadikan ujung garis hidup manusia sebagai tameng penyesalan atas kekejaman dirinya terhadap mereka.
Semua orang akan mati—tapi mereka tidak hidup hanya untuk menghadapi kematian. Hidup tidak sesempit dalam bayangan Neji dulu. Ia sekarang percaya jika semua bisa diubah, jalan hidup seseorang tidak pasti; Kami-sama sangat adil—terlalu adil.
Lihatlah dia sekarang—pemuda Hyūga yang disegani penduduk Konoha. Keturunan yang dibanggakan oleh tetua klannya. Dia bukan lagi pelayan di dalam Hyūga Manor. Tanda mengerikan di keningnyapun tak lagi ada. Kehebatannya telah diakui oleh Shinobi senior yang lain—semuanya mempercayainya untuk menjadi Anbu no Taichou, ia juga masuk dalam jajaran Ninja yang dipercaya untuk mengontrol misi rahasia.
Dia sekarang bangga akan dirinya yang diakui dan tidak dianggap remeh. Semuanya berlalu begitu cepat, ia hanya menjalankan apa yang diinginkannya—menjadi yang terbaik, namun Kami-sama memberinya lebih. Bukankah takdir itu selalu bergulir bak roda kereta—yang melaju di hamparan rumput, tak selamanya terjebak dalam kubangan lumpur nista dan menjijikkan.
"Neji-sama—" sayup terdengar ketukan ringan dan suara seorang pelayan wanita memanggilnya dari balik pintu.
"Aku segera ke sana—" balas Neji lumayan keras ke arah pintu yang tertutup rapat. Rutinitas pagi—makan bersama anggota Hyūga lainnya. Dipakainya jubah Anbu berwarna cokelat tua kesukaannya sebelum berlalu ke ruang pertemuan utama di tengah-tengah Manor bernuansa tradisional itu. Setelah berada di golongan anggota penting di Klan Hyūga—ia mulai terbiasa dengan peraturan bangsawan Hyūga tentang ini dan itu.
Setelah obrolan ringan dan makanan yang sudah berhasil dicerna mulutnya, Hyūga tampan itu meninggalkan kompleks rumah bangsawannya dan bergegas ke area dimana Shinobi dan Kunoichi elit dan berkemampuan tinggi bergabung dalam tekad api. Mengorganisir mereka adalah tanggung jawab dari pemuda bermata perak keunguan ini sejak tiga hari yang lalu.
oOo
Semuanya berjalan lancar seperti biasa, hanya ada beberapa pertemuan penting dan evaluasi interen yang harus dihadiri Neji. Konoha sudah sangat kuat dan memiliki nama yang besar di kalangan Negara kalangan Shinobi. Musuh-musuh mereka akan berpikir ekstra untuk menyerang negara yang mempunyai Jinchūriki Kistune ini. Naruto bukan senjata—seperti Kazekage yang dulu sengaja dimaksudkan untuk membentengi Suna, tentu saja. Tapi secara tidak langsung Naruto-lah yang menyumbang banyak atas kebesaran nama yang Konoha peroleh. Dengan Shinobi kuat seperti Neji yang memimpin Anbu-nya—hanya orang bodoh yang menyerang Konoha saat ini.
"Haii Neji!" pekikan Lee terdengar dari kejauhan membuat pemuda berambut cokelat panjang ini menghentikan langkahnya. Pemuda berisik lainnya memang sangat menyebalkan tapi dia adalah sedikit di antara orang yang mengenal Neji dengan baik—teman setimnya dulu. Kesibukan masing-masing membuat mereka jarang berkumpul.
"Konbawa, Lee! Hingga sekarangpun kau tak berhenti bertingkah—ada apa?" jawabnya datar.
"Kau baru menjadi pemimpin skuad Anbu, dan kau hanya berjalan lurus ke Manor-mu? Yang benar saja! Kemana semangat mudamu?"
"Aku sedang tak berminat melakukan apa-apa, Lee. Cari orang lain saja—"
"Sudah jangan banyak protes! Aku sudah mengundang Rookie Nine untuk berkumpul di bar dekat Toko Dango. Mereka sekarang menunggumu—bawahanmu di Anbu juga datang beberapa, Gai-sensei juga hadir!" seloroh Lee sambil mendorong pundak Neji sekeras dan secepat mungkin menuju tempat hiburan.
"Kau—jangan berlaku sesukamu sendiri, Lee!" dia tidak suka kebisingan, jika ia ingin minum ia pasti datang ke bar sepi yang tidak terlalu ramai dengan musik.
"Hahaha—sudahlah Neji, bersenang-senanglah! Cari wanita, atau mungkin—pria yang kau suka, kau ini manusia tidak sih!" perkataan Lee makin ngawur, Neji curiga jika Lee sudah mabuk dahulu sebelum ke bar. Semakin pasrah terhadap sahabat lamanya ini. Toh, dirinya juga butuh bersenang-senang.
oOo
Benar-benar bar yang padat—bau alkohol dan asap rokok menguar ke penjuru ruangan. Tampak beberapa Ninja dan warga sipil lain yang turut menghibur diri dari jeratan masalah dalam hidup. Dentuman musik keras yang Neji sama sekali tak tahu apa judulnya terus menggema di sepanjang ruangan besar ini. Ia melipat jubah Anbu tipisnya dan memasukkannya ke dalam kantong ninjanya—lalu mengantungkan topeng Anbu-nya di sela-sela ikat pinggangnya.
Pandangan dari mata berpupil samar itu teredar ke sudut-sudut ruangan. Mengabsen rekan-rekan yang sudah Lee undang dengan sesuka hatinya itu. Ia mendengar gelak tawa khas orang mabuk dan serta-merta mengalihkan pandanganya sebelum memutar matanya sebal. Terlihat Gai-sensei yang setengah mabuk sedang menggoda beberapa pelayan wanita.
"Hai, Neji-kun—" sapa Sakura yang kini tengah dipeluk Lee dari belakang. "Semoga Lee tidak membuatmu terlalu sibuk hari ini," lanjutnya setengah bercanda.
"Dia butuh hiburan, Sakura—dengan begitu dia akan terlihat lebih manusiawi. Dia terlihat seperti mesin akhir-akhir ini," timpal Lee dengan gaya bicara seenaknya.
"Tak apa Sakura—aku juga bosan dengan kegiatan di Manor," balas Neji asal semakin salah tingkah melihat Lee yang mulai menciumi tengkuk Sakura. "Jaga Lee, Sakura—dia akan sangat mengerikan jika mabuk—" tambahnya menyeringai jahil.
Sakura hanya mengernyit mengingat betapa berbahayanya Lee jika mabuk—dia berubah bak macan hutan yang kelaparan dalam menyikapi segala hal. Dia menghela nafas panjang mengetahui kalau Lee akan sulit dicegah untuk minum.
Neji melenggang menjauh ke tempat pemesanan minuman—Ino dan Sai menghampirinya sejenak untuk mengucapkan selamat atas terpilihnya ia menjadi Ketua Anbu, dan berterimakasih karena telah mengundangnya kemari. Neji hanya mengangguk ringan menanggapi ucapan mereka dan menggumamkan terimakasih dengan sopan.
Setelah minuman pesanannya datang—ia langsung saja menghabiskan cairan yang terasa membakar kerongkongannya itu dengan sekali teguk. Kepalanya terasa berat sesaat sebelum ia memesan lagi dan lagi. Di jeda keadaan mabuknya ia sempat melihat sekelebatan rambut pirang dan rambut hitam merebahkan diri di sofa panjang di dekatnya.
Perkiraannya benar—Sasuke itu benar mengencani Naruto. Ia hampir tertawa saat mengingat betapa aseksualnya bawahannya itu terhadap wanita. Iri juga melihat teman-temannya telah mendapatkan pasangan yang cocok. Sedangkan dia tak pernah memikirkan masalah cinta sama sekali, tujuan hidupnya hanya terpaku untuk menyejajarkan diri dengan Hyūga lainnya. Dia tak pernah mencintai—cinta terlalu repot untuk ditanggapi.
Sebenarnya mudah saja baginya untuk mendapatkan orang yang bersedia mencintainya—dia tampan, mempunyai kekuasaan; bahkan wanita rela berbaris rapi untuk bergiliran merasakan sari dirinya. Jika ia mau, ia bisa saja menjadi lelaki brengsek yang beralih dari satu ranjang ke ranjang lain dari banyak wanita.
Ia perlu melakukan eksperimen kecil di bar ini. Dipandangnya nakal wanita berambut pirang stroberi di depan kanannya, tak lama kemudian ia mendapat balasan sebuah kedipan mata dari ujung sana. Betapa dunia itu menyenangkan batinnya bangga akan pencapaiannya dalam hidup ini.
Tepukan di bahunya membuat Neji menolehkan kepalanya ke belakang. Pandangannya sedikit kabur; dicobanya untuk menyipitkan mata ke arah orang itu, sedikit demi sedikit matanya terfokus pada wajahnya—rambut gelap wanita itu tergerai; ya—wanita, gerak-gerik sosok itu anggun.
"Duduklah—" Neji menawarkan tempat duduk di sebelahnya. Pengaruh alkohol tidak ukuran yang telah diteguknya membuat efek gerak badannya seakan mau jatuh.
"Maaf aku terlambat—" balas undangan cantik ini.
"Tak apa—minumlah dulu!" Neji menyodorkan secawan sake ke wanita itu.
Tenten tahu dirinya tidak bisa meneguk minuman beralkohol berlebihan—maka ia hanya meneguk separuh dari cawan yang ditawarkan Neji. Wanita muda ini terlihat berbeda; dia memutuskan untuk menggerai rambutnya alih-alih mencepolnya menjadi dua, ia sama sekali tak bersenjata di pesta kecil ini. Penampilan seperti warga sipil lainnya membuat Tenten terlihat makin cantik dan anggun. Pakaiannya kembali ke gaya sewaktu dia kecil dulu, bahu putihnya terekspos jelas, lekuk wajahnya membuat dia terlihat dewasa dan menawan.
Lee tadi mengundangnya kemari, mengatakan bahwa teman setimnya dulu—Neji akan merayakan kesuksesannya di bar ini. Tenten pikir tak ada salahnya bergabung dengan teman-teman lamanya. Meski dia masih belum ikhlas sepenuhnya menghadapi kenyataan bahwa—Lee dan Sakura akan menikah sebentar lagi. Melihat mereka berdua memadu kasih masih terasa menyesakkan.
Sakura gadis yang baik dan menghormatinya sebagai Kunochi yang lebih senior, tidak ada masalah di anatara keduanya. Hanya saja Lee cinta pertamanya; setomboy apapun dia dulu, dia juga gadis yang pernah memendam rasa pada seorang pemuda. Teman setimnya; cinta lokasi konyol, tapi memang keadaan ini tidak dibuat-buat. Hanya ia yang tahu, Kami-sama termasuk di dalamnya.
Diedarkan pandangannya ke seluruh sudut-sudut dimana teman lainnya sedang menghibur diri dengan cara mereka sendiri—mata gelapnya berhenti ketika didapatinya Lee dan Sakura yang sedang bercumbu mesra. Tawa kecil mereka bak kaset rusak yang tak bisa berhenti melantunkan suara dalam pikirannya. Ia pikir—Sakura tak akan menerima Lee, ia kira—Lee akan berhenti mengejar harapan kosong itu. Kini ia hanya menertawai dirinya menghadapi takdir dari Kami-sama.
Diraihnya botol sake yang masih sangat penuh, dengan tiga kali teguk ia berhasil memindahkan cairan beraroma khas itu ke dalam kerongkongannya yang seakan kering mendadak melihat betapa bahagianya mereka yang di ujung sana. Neji yang menyaksikan ini semua hanya tersenyum samar—efek-efek alkohol kini bermain leluasa di pikiran dan otaknya. Kabut tebal menutupi rasio—yang ada hanya pikiran gelap dan emosi yang tak terbendung. Mata pudar Neji tak sejernih tadi—ada sekat tipis yang membuatnya menjadi sedikit gelap—nafsu.
Keduanya terhanyut dalam perputaran ilusi di kepalanya masing-masing, pikiran jernih merangsek keluar menembus batas kewarasan murni—tubuh mereka sangat panas, semakin panas saat bibir pucat milik Neji menyatu dalam pagutan kasar dengan bibir ranum Tenten. Ciuman itu jauh dari kasih—jauh dari cinta. Bergairah tetapi hambar, tak terasa—tak mengena.
Tidak ada yang mendominasi di sini, mereka sibuk membuktikan keeksistensian masing-masing. Tidak ada yang protes siapa berhak atas siapa. Bak ada gaya gravitasi lain antara mereka yang menyalahi hukum bumi. Keduanya memejamkan mata—penginderaan mati, yang ada hanya insting lepas tak terkendali. Dibentuknya cepat segel oleh Neji untuk ber-teleport ke tempat yang lebih layak—secerca sinar bersih dari hati Tenten meneriakkan lantang pada mereka untuk berhenti. Tapi teriakan itu semakin mengecil seiring dengan perjalanan mereka melewati sekat chakra yang dibentuk Neji.
oOo
Sekali ini saja—batin Tenten yang lain ikut bersuara ketika punggungnya menyentuh futon tebal. Tangan pemuda di atasnya sudah menjalar entah kemana, sibuk mengenyahkan batas yang dianggapnya mengganggu. Pedang Anbu milik Neji dilempar ke sembarang arah, menimbulkan suara nyaring khas logam jatuh. Hitai-ate dan kelengkapan dari seragam kebanggaanya kini terhambur di atas tatami.
Lupakan bisikan cinta yang menentramkan—bukan itu yang mereka butuhkan sekarang. Pekikan sakit dari yang menerima hanya direspon dengan belaian kecil; Neji terus saja bergerak—menuruti Ratunya yang menuntut lebih. Tenten tidak memikirkan hal rumit lainnya, dia tidak sedang mengutarakan cinta, diri aslinya masih terhalang ketidakrasionalan. Hanya pelepasan yang menjadi tujuan utama; harfiah atau sebaliknya, mereka hanya butuh akhir—dimana semuanya terasa ringan.
Ini bukan impian seorang gadis untuk mengakhiri batas itu—normalnya mereka akan mengimpikan: makan malam romantis, belaian lembut, pujian tulus, dan awal yang pelan penuh kasih; bukan ciuman kacau sebagai awalnya—permainan kasar di tengah, tak ada kata manis terucap—jeda di mana keduanya saling mengungkap cinta. Jauh—jauh dari itu semua.
Ini sisi lain dari mereka—tidak ada hal kompleks lainnya, hanya saling butuh, memberi dan menerima di saat bersamaan. Tidak ada protes yang berarti, semuanya terlalu mengerti apa yang harus dilakukan.
"Lebih, Neji—" peluh membuat tubuhnya mengkilap, punggungnya melengkung sempurna bersamaan dengan hilangnya ritme gerakan Neji. Mereka sudah ada pada batasnya—
Sebelum semuanya memutih—terasa ringan, seakan diri mereka tak bertulang.
Menurut sisi lain mereka yang tertutup kabut gelap—
Ini sudah selesai—cukup malam ini.
Tak akan ada malam selanjutnya—
Menurut mereka—
Sedangkan yang di atas—berpaling, bersiap menorehkan hal yang tak mereka duga.
Bukankah takdir itu—misteri dari sudut pandang pertama maha tahu?
oOo Bersambung oOo
A/N:
Aku rasa, tema seperti ini sudah banyak diulas di fiksi-fiksi lain. Mungkin, meski di kasih ending yang cliffhanger tetap saja bisa ketebak plotnya yah? Tapi ini, aku dapatnya dari ngayal lho! Hasil insomnia mikirin ESL Exam, malah ngelantur ke sini XP
Masalah kata asing yang dimiringkan penulisannya sudah saya maksimalkan, berkat Ambudaff Senpai yang sangat baik sudah membalas tweet saya malam-malam. Meski ada kesalahan lain yang luput, habis saya tidak mahir bahasa Jepang dan gugel translet sama sekali tidak membantu saya DX. Jadi dengan keterbatasan ini, saya mohon kritik dan review untuk lebih baik yah!
Kalau jalan ceritanya tidak enak dan kurang pas, fanfic ini bisa jadi oneshoot seperti yang lalu XD
Terimakasih sudah membaca, Minna-san—dan Review? :D
