Nguuuuuuung...
Itu suara kereta terpagi hari ini. Pukul 05.45 di Hari Senin yang selalu menjadi hari paling menyebalkan untuk sebagian orang.
Termasuk aku.
Kau di depanku menyesap kopimu. Perlahan sembari membuka halaman demi halaman koran berbahasa asing di pangkuanmu.
Selalu seperti itu.
Dari seburat jingga di fajar yang baru saja menyingsing kau akan membuka matamu. Mengecup dahiku hanya sekilas kemudian berlalu untuk membersihkan diri. Dan ketika semua nyawaku sudah berkumpul dan merasa tak buruk dari kamar kecil, aku sudah melihatmu di depan mesin pembuat kopi. Dengan buku jurnal kecil yang setiap bulannya kau ganti.
Ting!
Aku kembali ke kenyataan dan meninggalkan secangkir tehku untuk mengambil roti yang baru saja masak. Menyiapkannya di dua piring dengan hanya maple syrup di atasnya.
Tipikalmu.
Terlihat sederhana meski aku tak pernah tahu apa yang ada di isi kepalamu.
Pagi kita selalu seperti itu. Berawal di rona keunguan senja di akhir pekan dan berakhir di pagi yang dingin di hari senin.
Cliché.
*
Jam istirahat makan siangku di hari pertama minggu ini tak ubahnya seperti yang biasa ku lakukan satu tahun belakangan sejak aku pertama pindah di kantor penerbit baru. Sebuah cafe yang bersebelahan dengan toko bunga di depan kantor tempatku bekerja dengan nuansa putih tulang itu selalu menjadi pilihanku. Tak ubahnya dengan secangkir teh melati dengan asap mengepul, meski kali ini bukan croissant sebagai kawannya, namun semangkuk creamy bacon carbonara yang melengkapinya.
Karena hari itu hujan tengah ingin menggempur bumi.
Deras dan menyebalkan.
Dari sisi jendela cafe ini, karena beruntung aku mendapatkan spot bagus ini, beberapa orang berjalan sembari mengagungkan payung mereka. Percikan air yang terhentak dari permukaan bumi oleh alas-alas sepatu seolah terdengar sampai telingaku saking sunyinya kala itu, meski tak secara harfiah ku bermaksud.
Sisa spaghettiku, ku tandaskan. Tak bersisa. Seolah melupakan rasa kenyang yang biasanya masih singgah karena dua roti panggang yang sudah mengisi perut kala pagi. Yang terkadang memang tak ingin ku sisakan karena memiliki banyak lembaran penuh sendu.
Mungkin karena hari itu hujan. Dan dingin. Yang seolah membeku beserta hatiku. Sehingga tubuhku butuh lebih banyak asupan, seperti yang orang-orang katakan mengenai bahwa orang akan lebih lapar saat musim hujan juga jiwa lebih butuh dihangatkan kala bumi dibasahi.
Tapi jiwaku seolah kebal.
Seperti cangkir di hadapanku yang tak retak sedikitpun meski sepanas apapun teh yang tersaji.
Kuat.
Tegar.
Bebal.
Tehku pun mendingin tak sekejap sahaja. Perlahan setelah menghangat sekian lama. Seperti dulu, bukan sekarang yang sudah begitu mendingin bahkan hampir membeku.
Alunan instrumen pelan dari cafe itu bahkan berbaur dengan gemericik air di luar sana yang hinggap meski tak seberapa.
Syahdu.
Mengantuk.
Sedikit banyak ingin membuatku menghilang. Melebur. Bak teh yang sedikit demi sedikit mulai berkurang karena memasuki kerongkonganku. Tanpa niat kembali menghangat karena telanjur dingin sudah. Sama seperti percakapan dan semua kalimat manis kita yang terlontar satu sama lain.
Yang hancur karena satu kalimat yang dengan lancang keluar dari bibirmu kemarin malam,
Aku akan menikah minggu depan.
Tanganku melupakan fungsi pegangan cangkir. Menggengam layaknya mangkuk sup jagung kecil kesukaanmu, yang mungkin masih tertinggal di rumahku. Mengerat. Memikirkan kembali kenyataan aku harus melepaskan hal yang begitu berarti.
Semalaman aku berpikir dan mengabaikan fakta kau yang pura-pura terlelap di sebelahku. Memikirkan apa yang kurang dari hubungan kita. Afeksi, saling mengerti, dan hal-hal yang saling mengisi ketidaksempurnaan kita seperti yang diajarkan di kelas filosofiku dulu tak pernah kurang dalam hampir 9 tahun kita bersama.
Dan kuingat, setelahnya, tanganmu melingkari pingangku yang masih tegak terduduk. Berbisik, jangan dipikirkan, jangan dipikirkan, namun sulit untuk dilakukan.
Kadang ku berpikir apa jika aku berada di kalanganmu, orang kota asli, bukan perantau dari desa pelosok entah dimana, dengan pekerjaan dan koneksi hebat, maka aku akan diterima dengan lengan terbentang penuh keterbukaan. Atau mungkin setidaknya jika aku bisa menjadikan diriku setara denganmu dengan dulu kita bertemu di perpustakaan perguruan tinggi ternama yang sama denganmu, bukan bertemu di perpustakaan kota, ibumu setidaknya akan menarik ujung bibirnya kala melihatku, karena meski sekejap aku tetap akan terlihat pantas bersanding denganmu.
Nyatanya aku tidak pernah menjadi demikian.
Aku tak menandaskan tehku, tak seperti hari-hari sebelumnya, sama seperti tadi pagi, dan beranjak setelah memberi pesan kepada rekan kerjaku bahwa aku takkan kembali ke kantor, namun membawa pekerjaanku ke rumah karena alasan tak enak badan.
Cliché.
Karena yang tak enak adalah hatiku yang remuk redam.
*
Empat hari sudah aku hanya bekerja di rumah. Menyunting beberapa hal yang terasa membosankan meski biasanya aku paling bersemangat dalam hal ini.
23.47
Mengusap kasar mataku yang tegang karena aku tak ingin berpaling dari layar laptopku sejak tadi pagi. Mengabaikan rasa lapar yang mendera karena baru sereal yang masuk ke perutku. Mengabaikan isi lemari pendinginku yang mulai kosong karena hasrat berjalan sejenak ke mini market di ujung jalan tak pernah hinggap. Mengabaikan cangkir bekas kopi milikmu di atas meja makan yang belum tercuci, tersentuh, sejak awal minggu.
Mengabaikan seluruh aspek di rumah ini yang mengingatkanku padamu.
00.13
Aku merenggangkan tanganku. Menatap tanpa senyum seperti yang biasa ku lakukan saat pekerjaanku telah selesai. Kali ini aku lebih merasa,
Kosong.
Tak ada lagi yang harus ku lakukan.
Mataku mengelana ke seluruh penjuru kamar. Menatap dari ranjang tempat kita berbagi penat seminggu penuh bekerja dan berbagi cerita menarik secara vice versa, sampai lemari yang mungkin masih menyimpan banyak pakaian milikmu di sana.
00.55
Pintuku terketuk ceroboh. Diikuti bunyi bel yang ditekan secara brutal.
Membuatku berdecak. Mau tak mau mengangkat diri dari kursi yang seperti hampir menempel dari diri diikuti langkah kaki yang layaknya lambaian belalai gajah, tak minat.
Ketukan itu kembali terdengar tanpa ada penurunan tempo.
Menyebalkan, rutukku.
Berteriak, ya, secara keras pada tamu tak tahu diri yang bertamu dengan paksa di tengah malam seperti ini.
Namun saat aku membukanya, sebuah lengan yang melingkar dan hangat yang familiar menyapa.
Aku terdiam.
Rinduku kembali membuncah.
Lubuk hatiku menangis.
Bertanya tanpa suara kepada diri, kenapa kembali jika akan pergi lagi?
Dan tangisan itu merambah sampai mataku.
Aku melihatnya panik, tipikalnya.
Bingung karena air mataku tak berhenti menetes dan berujar maaf beruntun setelahnya.
Namun aku hanya menggeleng. Mengeratkan pelukanku. Hampir tersenyum senang. Dia masih sama. Tak berubah. Tak ada yang berbeda kecuali wajah lelahnya yang semakin bertambah.
Dan saat napasku sudah mulai teratur, aku menjauhkan jarak diantara kami. Mendongak. Menatap wajahnya yang posisinya lebih tinggi dariku.
"Kenapa?" kau kembali?
Dia menggeleng. Mengecupi puncak kepalaku. "Aku tak bisa."
Aku menatapnya heran. Dia kembali memelukku erat dan menempatkan kepalanya di pundak kananku.
"Ayo lari dan menikah denganku."
.
.
END
.
a/n: hallo ku kembali bawa sesuatu gaje wwww ku persembahkan open ending ini buat mbak semangka ;;))
Selamat menikmati~
P.s: bercanda, kayaknya ini bakal ada sequel dan prequelnya meski gatau kapan /heh XD
Btw ku kobam konser saitama, ambbssjhs dan hari ini paniced gay mark balik huwehehe
KibarkanBenderaMarkHyuck~
