Whitypearl-san, here's your requested fic, at last I made it real,
Well, I beg for apology if it doesn't fit your qualifications, but, I have to say that I've tried my best
As for Sends-san, I'm begging for permisions of using your name here, but don't kill me,
Cause Whity-san is the one who asked for it, and yet, you have agreed.
Okay, enough with the babbling, and I should say,
Read if you like, leave if you don't
Disclaimer: Hunter x Hunter and all of its characters respectively belongs to Yoshihiro Togashi sensei, Whity belongs to Whitypearl, and Sends belongs to Sends, I don't own anything, except the storyline and the ideas
Genre: Romance, Friendship, Drama, Angst, Hurt/Comfort, etc
Rate: T, well, just for safety of the romantic scene
Pairing(s): KurofemKura, WhitySends
Warning: Female IC, OC, OOC-ness, typo(s), perhaps, Gloomy scenery, AU, etc
Do not flame me about stuff that I've mentions above
I accept no silent reader, you read, you review
Price of Happiness
Chapter 1—A Taste of Bitterness
H. Kaoru
2012
"Stefan!", panggil gadis berambut pirang itu, ia berlari dari dalam kerumunan menuju sesosok pemuda yang baru saja keluar dari ruang pengambilan kopor itu, sang pemuda pun menoleh dan terkejut mendapati sosok gadis itu tengah berlari kearahnya,
"Erin!", serunya tatkala gadis itu sudah melompat kedalam pelukkannya,
"Aku sudah bergitu merindukanmu", ujar gadis itu dengan nada lirih tanpa melepaskan pelukannya dari sang pemuda, yang tersenyum tipis mendengar ucapan dari gadis itu,
"Erin, 6 bulan adalah waktu yang sangat lama, dan sangat menyiksa tanpamu, karena itu-", pemuda itu mengendurkan pelukannya, membiarkan sang gadis yang nyaris terangkat dari tanah itu turun dan kembali berdiri dihadapannya,
"Sekarang aku kembali, untukmu", ia berujar pelan sambil menopang wajah gadis itu dengan telunjuknya, kemudian ia mencium bibir gadis itu dengan lembut, dan gadis itu membalas dengan melingkarkan kedua lengannya di leher sang pemuda, membiarkan rasa rindu yang meluap-luap itu menguasainya,
"And..cut!".
"Hu-uh! Dia tidak sayang padaku!", seru Kurapika sambil menusukkan garpunya pada sweet potato yang terhidang dengan rapi diatas sebuah piring yang ada di depannya dengan kasar dan menariknya, sebelum kemudian memasukkan potongan besar makanan itu kedalam mulutnya, dan mengunyahnya seenaknya,
"Masa sih? Bukannya film itu dibuat berdasarkan cerita kalian? Lagipula, yang memerankan Erin itu kamu-", gadis berambut hitam itu menunjuk temannya, yaitu Kurapika,
"Dan pemeran Stefan itu dia", gadis itu menunjuk kearah samping dengan menggunakan garpunya,
"Hei, film itu rekayasa, RE-KA-YA-SA! Dibuat-buat supaya ratingnya tinggi, Kuroro mana pernah seromantis itu, Hu-uh!", gerutu Kurapika sejadi-jadinya, cuaca yang panas pada siang itu nampaknya sangat mendukung gemuruh kekesalan yang menyeruak dalam hatinya.
Kurapika masih melahap makanan yang tersaji dihadapannya itu dengan cepat, begitu cepatnya sampai-sampai gadis bermata safir itu terdiam, karena sementara sweet potato miliknya masih sisa 2/3 dari keseluruhan porsi, punya temannya itu sudah habis, lalu gadis berambut pirang itu menghela nafas pendek dan mengambil gelas minuman, seperti dugaan Whity, ia menelan habis air yang ada dalam gelas itu dalam sekali teguk, kemudian gadis itu mengernyitkan dahinya sedikit dan menoleh, sontak, Whity merasa sedikit khawatir,
"Cukup tentang aku, bagaimana denganmu?", tanya Kurapika sambil merapikan sisa-sisa makanan disekitar mulutnya dengan menggunakan serbet, Whity sedikit tersendak, ia nyaris memuntahkan makanan dalam mulutnya, untungnya tidak,
"A-apa? Kenapa denganku? Eh..itu..", ujar gadis itu kikuk, dirinya benar-benar dibuat salah tingkah oleh pertanyaan singkat yang diajukan gadis pirang itu,
"Iya, kau, bagaimana hubunganmu dengan Sends?", Kurapika mengulangi pertanyaanya, Whity hanya menenggak ludahnya dengan gugup, sorot matanya tertuju ke lantai dan kedua bola matanya bergerak tak menentu, menandakan ia sangat bingung dan tidak tahu harus menjawab apa, sebelum kemudian ia tersadar dan segera menggelengkan kepalnya sambil memejamkan matanya, mencoba memfokuskan diri untuk tidak kehilangan kendali,
"Biasa saja", jawab gadis itu singkat, meskipun raut cemberut sempat menghiasi wajahnya untuk beberapa detik, dan tentu saja, hal ini tidak luput dari perhatian gadis bermata aquamarine yang duduk didepannya itu,
"Jangan coba-coba membohongiku, Whity", tantang Kurapika sambil menatap Whity dengan pandangan serius,
"I-Iya kok, aku serius, biasa saja!", Whity mulai merasa terdesak mendengar ucapan dari sahabatnya itu,
"Benarkah?", Kurapika bertanya lagi, entah kenapa ia merasa kalau sahabatnya ini membohonginya,
"N-hn", jawab Whity sambil mengangguk,
Kurapika hanya tersenyum tipis, lalu ia menghela nafas, "Kalau begitu, kapan terakhir kalian berkencan?", ujar gadis itu sambil menatap Whity dengan serius, gadis berambut hitam itu merasa semakin terdesak,
"Hah, baiklah, aku menyerah", ujarnya mengakui kekalahan,
"Lalu?", Kurapika berujar penuh selidik, ia tahu kalau pasti sahabatnya ini menyembunyikan sesuatu darinya, dan ternyata dugaannya benar sekali, sebab baru saja Whity mengakuinya,
"Aku dan Sends sedang 'break', kalau kau mengerti maksudku", ungkap Whity pasrah,
Kurapika menghela nafas, "Yah, kurasa aku cukup mengerti, dan yang kutahu itu bukan urusanku, tapi kenapa?", tanya Kurapika lagi,
Whity menaikkan sebelah alisnya dan memasang wajah bingung, "Katamu itu bukan urusanmu, kenapa bertanya?", ujarnya membalas,
"Entahlah, aku penasaran, jadi, kenapa?", Kurapika menyahut dengan nada datar dan sedikit terdengar seperti helaan,
"Hn..bagaimana ya...", Whity menyahut dengan nada ragu, sepertinya ia tidak benar-benar ingin memberitahu alasan dibalik 'break' nya dengan pacarnya itu, tapi Kurapika terus menatapnya dengan pandangan yang terasa seperti berkata, 'katakan-atau-aku-akan-mencaritahu-sendiri', pada gadis itu, sehingga ia tidak punya cara lain yang lebih tepat untuk menyelesaikan masalah ini kecuali menceritakannya,
"Huuuf..baiklah-", ujar gadis itu mengawali ceritanya.
Whity sedang memasak di dapur rumah milik kekasihnya, Sends, ia berniat membuatkan makanan untuk malam itu, dan karena merasa sedikit kesulitan, iapun memanggil sang kekasih untuk turun ke dapur dan membantunya,
"Ay, bisa kau membantuku mengambilkan susu yang ada di kulkas?-", panggil gadis bermata biru itu, "Aku harus menambahkannya sekarang", ia menambahkan, tanpa menoleh karena harus memusatkan konsentrasinya pada sup yang akan dibuatnya, Sends yang sudah berdiri di pintu dapur mulai beranjak dari tempatnya, namun, bukannya menuju kulkas seperti yang diminta Whity, ia malah memeluk gadis itu dari belakang,
"Aku membantumu dengan cara lain saja, bagaimana?", ujarnya dengan nada jahil yang tidak terdeteksi oleh sang kekasih yang terkaget-kaget karena perlakuan yang tiba-tiba itu, semburat merah menghiasi pipi gadis cantik itu, tak lama kemudian, ia melonggarkan pelukan itu dan berbalik untuk menatap Sends,
"Kamu pedofil ya?", tanya pemuda itu secara tiba-tiba yang membuat atmosfer disekitar mereka berubah dalam sekejap,
Whity mengernyitkan alisnya bingung, "Enak saja, tidak kok", jawabnya setengah emosi, gadis itu lalu melepaskan diri dari pelukan pemuda itu dan pergi dengan perasaan kesal yang terlihat diwajahnya yang cemberut, tapi sang pemuda menahan kepergiannya dengan menarik tangannya,
"Tidak kok, aku kan hanya bertanya-", jawabnya santai, lalu ia melirik pada panci berisi sup yang tadi dimasak Whity,
"Supnya sudah hampir kering, lebih baik kau awasi", imbuh pemuda itu, namun sayangnya hal itu justru membuat emosi sang gadis semakin naik,
"Biarkan saja! Aku sudah tidak berniat melanjutkannya kok!", seru gadis itu sambil melepaskan genggaman tangan itu dan beranjak menuju kompor untuk mematikannya.
Mata aquamarine milik Kurapika terbelalak mendengarkan cerita sahabatnya itu,
"Hah? Dia bicara seperti itu?", tanya gadis itu spontan, Whity hanya mengangguk,
"Begitulah, aku benar-benar lelah menghadapinya", sahut Whity dengan kepala tertunduk lesu, "Yah, kurasa tak ada yang bisa kuceritakan lagi", imbuhnya pelan,
Kurapika hanya menatap gadis itu dengan pandangan bingung, "Tapi itu bukan alasan kalian 'break' kan?", tanya Kurapika singkat,
Whity mendengarnya dan tersenyum miris, "Bukan sih, bukan yang itu, tapi aku malas menceritakannya", gadis berambut hitam itu, berujar pilu, ada rasa sakit yang sudah tenggelam dibalik hatinya, tapi terapung lagi saat ia menceritakannya,
"Eh? Kenapa begitu?", tanya Kurapika lagi, "Aku kan sudah mempercayakan semua cerita antara aku dan Kuroro padamu, masa kau tidak percaya padaku?", Kurapika menambahkan, mata birunya membulat dan terlihat sedikit nanar, Whity jadi merasa tidak enak pada sahabatnya itu, tapi ia juga tidak ingin membicarakan masalahnya yang satu itu, yah, suatu dilema yang sulit.
"Akh, tapi nanti saja lanjutnya-", ujar Kurapika tiba-tiba,
"Ya, Kenapa?", tanya Whity dengan wajah bingung,
"Nanti saja, kalau kita sudah pindah restoran", Kurapika melanjutkan ucapannya, kemudian gadis berambut hitam itu melirik kesekeliling mereka dan menyadari bahwa restoran ini sudah sangat sepi, yah, mau bagaimana lagi, restoran ini kan hanya untuk sarapan, adalah hal yang sangat wajar kalau pada jam-jam menjelang siang seperti ini sudah sepi.
Waktu menunjukkan pukul 1 siang ketika mereka berdua tiba disebuah restoran apik di tengah kota yang bernuansa seperti rumah jepang, lalu Whity dan Kurapika memutuskan untuk mengambil ruang privat, karena mereka hendak bercerita, dan kemungkinan akan memakan waktu lebih, dan ruang privat lebih bisa memenuhi standar kedua gadis itu.
"Jadi, bagaimana kelanjutannya?", tanya Kurapika tanpa basa-basi setelah mereka memesan makanan,
"Eh?", Whity berujar kaget, ia nyaris tersendak minumannya sendiri, Kurapika hanya menatapnya dengan pandangan yang mengungkapkan pertanyaannya dengan sangat jelas, "Kukira kau tadi hanya bercanda?", tanya gadis itu setelah berhasil menguasai dirinya, atau lebih tepatnya menunda perbuatan konyol seperti menyemburkan air karena tersendak,
"Heh? Memangnya aku terlihat begitu ya?", tanya Kurapika dengan wajah bingung,
Whity pun menghela nafas, "Hn, baiklah, tapi setelah ini giliranmu bercerita ya?", ujarnya pelan, dan dengan itu ia kembali memulai cerita pahit yang membuat ia memutuskan untuk 'break' dari kekasihnya itu.
"Yah, ini semua bermula ketika salah satu anak angkatku mempertanyakan asal-usulnya", Whity tersenyum pahit, mengingat hari itu, Kurapika mengenggam tangannya lembut, meyakinkan sahabatnya itu kalau semua sudah terjadi kemarin dan bukan hari ini,
"Aku berbohong padanya, kukatakan kalau dia adalah hasil dari perbuatan dia masa muda kami-", gadis berambut hitam itu menjelaskan dengan nada sendu,
"Tapi Ay malah mengatakan yang sebenarnya, dan membuat anak itu memutuskan untuk pergi dari rumah", sambungnya lagi, membayangkan wajah gadis-gadis kecilnya membuat ia merasa tidak tega untuk pergi dari pemuda yang mereka anggap ayah mereka itu, tapi bertahan lebih lama bisa membuatnya gila,
"Lalu kami bertengkar, tapi seperti biasanya-", ujar Whity sambil menyeka airmata yang menetes dipipinya dengan lembut,
"Kau tidak perlu melanjutkannya, jika kau tidak sanggup..", Kurapika berujar pelan, ia jadi merasa tidak enak telah memaksa sahabat kesayangannya ini menceritakan hal-hal yang bahkan sangat menyedihkan untuk diingat,
"Sudahlah, tidak apa-apa, lagipula aku sudah menceritakan sebagian besar, kurasa aku ingin menyelesaikannya", sahut gadis itu dengan sedikit kesedihan terdengar dalam nada bicaranya yang mulai bergetar,
"Hn, baiklah, kalau menurutmu begitu", jawab gadis berambut pirang itu sambil tersenyum miris, dalam hati ia sangat berharap jika setelah Whity menyelesaikan ceritanya nanti, ia akan merasa lebih baik, sebab jika tidak maka ialah yang patut disalahkan atas itu semua,
Whity pun menghela nafas berat sambil terus berusaha menahan airmatanya,
"Seperti biasanya, dia tidak terdengar seperti orang yang memikirkan perasaanku, menganggapnya penting pun...rasanya tidak", gadis itu berujar lirih, sebuah nada henti terdengar diakhir kalimatnya,
"Jadi...kau memutuskan untuk 'break'?", tanya Kurapika pelan, seperti berhati-hati agar ucapannya tidak terdengar menyakitkan bagi sahabatnya ini,
"Begitulah..", Whity berkata singkat yang diakhiri dengan sedikit tawa miris,
Kurapika pun segera beranjak dari posisinya yang berhadapan dengan gadis itu dan duduk disamping Whity sambil merangkul bahunya, "Jangan khawatir, aku disini bersamamu..", ujarnya lirih, namun mampu membuat gadis berambut hitam itu tersenyum sendu,
"Jadi, bagaimana denganmu?", Whity balik bertanya,
Kurapika hanya menghela nafas pasrah, "Tidak jauh berbeda, kau tahu", Kurapika gantian berujar lirih, sinar simpati di mata aquamarine-nya meredup, menunjukkan kesedihannya yang terpendam,
"Apa yang terjadi?", tanya Whity khawatir, setahunya, Kurapika adalah gadis yang kuat, bahkan mungkin lebih kuat daripada dirinya sendiri, dan kalau gadis yang kuat itu sampai bersedih seperti ini, maka sulit dibayangkan betapa besar rasa sakit yang harus ia hadapi, seorang diri.
"3 bulan-", lirih Kurapika spontan, Whity masih terdiam, mencoba menerka arti dari kata '3 bulan' itu,
"Sudah 3 bulan sejak terakhir kali kami bicara", gadis itu melanjutkan ucapannya, Whity segera menghela nafas lega, sebenarnya tadi ia sempat mengira kalau sahabatnya ini sudah hamil 3 bulan, sehingga ia merasa lega mengetahui bukan itu yang terjadi,
"Aku mencoba menghubunginya, setiap hari, yah, sejak dia meneruskan kuliah diluar negeri", Kurapika melanjutkan ceritanya setelah jeda beberapa menit tadi,
"Tapi setiap aku menelponnya, dia pasti memintaku untuk menghubunginya lagi karena saat itu ia sedang sibuk", ujar gadis itu dengan nada suara yang terdengar berada diantara sedih dan kesal,
"Aku lelah, benar-benar lelah-", keluh gadis berambut pirang itu,
"Bayangkan saja, setiap hari, selama 3 bulan, aku selalu berusaha menghubunginya, hanya untuk mendapat kata 'aku sedang sibuk, nanti kutelpon kalau sudah lebih longgar, oke?' demi Tuhan Whity!", seru gadis itu sambil sedikitnya menahan suaranya agar tidak sampai terdengar oleh orang-orang diluar sana,
Whity hanya tersenyum sambil membelai rambut pirang gadis itu dengan lembut, sebagaimana ia membelai putri-putri angkatnya saat mereka sedang sedih, "Tenanglah, seperti katamu, aku disini untukmu, jangan khawatir", ujar gadis bermata safir itu sambil mencoba meredakan emosi sahabatnya itu,
Kurapika tersenyum tipis, "Maaf, aku jadi membentakmu...", ia berujar lirih, gadis itu menggelengkan kepalanya,
"Tak apa, aku juga senang kau sudah mau mendengarkanku tadi", jawabnya lembut sambil melemparkan senyum pada gadis pirang itu, lalu keduanya saling berangkulan,
"Kurasa kita akan baik-baik saja, besok", ujar Whity dengan nada bergetar,
"Ya, tapi itu besok, karena kemungkinan malam ini akan kuhabiskan dengan tangisan", ujar Kurapika sambil menahan isakkannya,
"Kurasa begitu", jawab Whity dengan airmata terlihat disudut matanya.
"Aku mencintaimu, Erin, sangat mencintaimu", ujar pemuda bernama Stefan itu sambil memeluk gadisnya dari belakang, kemudian ia menyandarkan kepalanya kebahu gadis itu dan mencium lehernya pelan, gadis itu tertawa geli,
"Hentikan Ste, geli", katanya sambil tertawa,
"Jadi bagaimana?", tanya Stefan lagi, nadanya terdengar begitu menggelitik telinga gadis manis itu,
"Apanya yang bagaimana?", balas Erin sambil mengayunkan tubuhnya seiring dengar semilir angin membelainya dengan lembut, Stefan tersenyum tipis sambil melonggarkan pelukannya dan memutar pinggang gadis itu agar ia bisa menatap mata biru Erin yang lembut,
"Jangan berlagak tidak tahu, karena aku tidak suka mengulangi pertanyaanku, Erin", ujar pemuda itu sembari menatap mata biru sang gadis dalam-dalam, menyandarkan tubuh gadis itu pada pagar balkon yang berada tepat dibelakangnya, sehingga mereka begitu dekat, dan memeluk pinggangnya erat, sampai keduanya bisa saling merasakan hembusan nafas diantara keduanya,
"Iya, aku bersedia, Stefan, aku bersedia menjadi istrimu", ujar Erin mantap, dengan suaranya yang terdengar begitu lembut dan tegas disaat yang bersamaan, Stefan semakin menarik gadis itu dalam pelukannya, dan mencium bibirnya dengan begitu lembut,
"Aku tahu kau tidak akan mengatakan, tidak", ujar pemuda itu disela-sela ciuman mereka.
"Kau baik-baik saja, Kurapika?", tanya Whity ketika mereka bertemu pada saat makan siang,
"Tidak begitu", jawab Kurapika singkat, nada kesal terdengar dalam suaranya, "Apa ini karena syuting kemarin?", Whity bertanya lagi, sambil menaruh kedua gelas capucinno hangat itu diatas meja,
"Minumlah", pintanya pada gadis yang duduk dihadapannya dengan gestur yang menyerupai anak sekolah yang sedang tidur-tiduran diatas meja kelasnya,
"Thanks", jawab Kurapika sambil mengangkat kepalanya dan menegakkan tubuhnya sehingga ia bisa meminum capucinno tersebut,
"Ya, kau benar, syuting kemarin sungguh membuatku frustasi, saat berkendara menuju rumah pun aku sudah tidak bisa berpikir lagi", keluh Kurapika sambil sedikit-sedikit menyesap capucinno hangat miliknya,
"Kenapa begitu?", tanya Whity penasaran, sambil menyeruput minumannya sedikit demi sedikit,
"Menurutmu kenapa?", Kurapika bertanya balik,
"Karena dia begitu menjiwai perannya sebagai Stefan?", tebak gadis berambut hitam itu,
"Tepat sekali!", ujar Kurapika setengah berseru, "Dia menjiwai perannya...tapi...", gadis pirang itu menghela nafas,
"Tapi?", tanya Whity, mencoba menagih kelanjutan ucapan sahabat baiknya itu,
"Tapi tidak begitu ketika kami keluar dari set", lirih gadis berambut pirang itu dengan nada sedih,
"Hn...biar kutebak, ketika keluar dari set, dia tidak menyapamu?", tanya Whity, Kurapika hanya mengangguk dengan ekspresi yang bisa digambarkan dengan wajah murung setengah depresi, Whity tersenyum melihat gadis itu dan merangkulnya,
"Sudahlah, jangan murung begitu, ayo, kita pergi jalan-jalan saja", ajak gadis itu,
Kurapika menghela nafas lelah, "Yah, kau benar", ujarnya sambil bangkit dari meja dan mengikuti Whity yang sudah pergi lebih dulu.
"Kita akan kemana?", tanya Kurapika saat keduanya mencapai mobil milik gadis berambut hitam itu,
"Hn...ke rumahmu", kata Whity santai,
"Hah? Ke rumahku?", tanya Kurapika bingung,
"Iya, semalam aku berpikir, bagaimana kalau kita pergi berlibur, berdua", ungkap Whity tanpa mengalihkan pandangannya dari setir mobil, Kurapika mengerjapkan matanya beberapa kali, lalu, ia tersenyum,
"Kurasa...itu ide yang sangat brilian", katanya setuju.
I'm giving up on everything
Because you messed me up
Don't know how much you screwed it up
You never listen, that's just too bad
.
Because I'm moving on
I won't forget, you were the one that was wrong
I know I need to step up and be strong
Don't patronize me, yeah
A/N: End words,
See you later, in next chapter
tschus~
.
p.s. guess what song it is, and win a free request for the winner! (googling is not allowed xp)
