Di dunia yang sudah busuk ini, untuk menjadi baik seseorang hanya perlu memiliki wajah yang ramah. Segala topeng digunakan. Bahkan seorang villain bisa dianggap malaikat karena itu.
"Mimpiku, membebaskan bumi ini dari neraka."
.
REVERIE
Attack on Titan sepenuhnya maha karya Hajime Isayama
Penulis tidak mendapat keuntungan dalam segi materiel. Kesamaan ide maupun cerita bukan hal sengaja
.
.
.
"Pembunuhan lagi?"
"Ya, kali ini korbannya pemerkosa di panti asuhan Duisburg; Pak Tua Dot Pixis." Kapten Jean menyerahkan sebuah dokumen pada Inspektur Yeager. Pria berambut cokelat itu segera menerimanya, menumpuknya bersama sejumlah berkas lain.
"Tidak ada jejak lagi?"
"Nol. Hanya luka menganga di dada korban. Tak ada sidik jari maupun bukti yang lain, Inspektur. Bahkan cctv toko di seberang tkp mati. Seperti sebelumnya, dilakukan dengan sangat bersih."
Dalam dua bulan ini, setidaknya ada lima kasus pembunuhan yang belum terpecahkan di Düsseldorf. Si pelaku melakukan semuanya dengan rapi tanpa meninggalkan jejak, seolah, pembunuhan ini tidak dilakukan oleh manusia. Anehnya, semua korbannya adalah pelaku kejahatan—entah itu belum tertangkap, atau tengah menjalani masa sidang. Seperti korban kali ini, dia adalah pemilik panti asuhan yang memerkosa setidaknya sepuluh anak perempuan asuhnya.
"Aku akan menuju tkp setelah ini. Armin, kau ikut aku."
"Ba-baik, Inspektur." Pemuda berperawakan kurus menjawab instruksi Inspektur Yeager dengan gugup.
...
Akhir pekan, bulevar khusus pejalan kaki di tepi Sungai Rhine selalu ramai oleh pengunjung. Dari Promenade Rhine—begitu penduduk menyebut—wisatawan bisa menikmati keindahan sungai yang bersih ini.
Sebelum disulap menjadi area pedestrian, Promenade Rhine awalnya jalan raya yang menghubungkan Kota Tua Altstadt di bagian utara dengan Dusseldorf Hafen; pelabuhan lama yang dirombak habis menjadi pusat perbelanjan dan hiburan modern di ujung selatan. Selain sungai dan kapal-kapal yang melintasinya, hal lain yang menarik perhatian di sini adalah konser seniman jalanan, pemandangan Oberkassel di seberang sungai, terutama panorama matahari terbenam. Ketika senja tiba, sungai Rhine seperti ditumpahi lelehan emas yang tak bisa digenggam. Indah.
"Historiaaa!"
Gadis berwajah Asia memanggil seorang temannya yang sudah berjalan lebih dulu, meninggalkannya jauh di belakang.
Rambut hitamnya bergoyang seiring langkahnya yang semakin bergas dan lebar. Mikasa, gadis asal Jepang itu memeluk setumpuk buku dalam dekapannya. Ia mengejar gadis pirang pembawa biola. Mereka tergesa-gesa.
"Kita akan terlambat masuk kelas, Mikasa."
"Kau lupa? Aku baru terserempet sepeda kemarin."
"Dan kau tahu? Kemarahan Frau Hange lebih mengerikan dari aku yang harus tidur di luar gara-gara kau marah."
"Jelas. Karena kau yakin aku tidak akan melakukan itu."
Senyum di bibir Historia mengembang. Di saat yang sama, usaha Mikasa untuk menyamakan langkah berhasil. Kini mereka berjalan beriringan.
Keduanya adalah mahasiswi di Heinrich Heine University of Düsseldorf. Mereka sama-sama mengambil program musik. Bedanya, Mikasa lebih ke piano, dan Historia mempelajari biola.
.
Ketukan di pintu membuat seseorang yang berada di ruang tersebut berucap silakan masuk.
Mikasa memutar knop pintunya, lebih dulu melongokkan kepala untuk memeriksa keadaan di dalam. Rupanya, baru ia seorang yang datang.
"Herr?"
Ini adalah hari pertamanya belajar di kelas musik ini. Mikasa pikir, di luar universitas ia juga harus mengambil kelas di tempat lain. Dan pilihannya adalah tempat kursus musik 'Gewissen'.
"Langsung duduk saja."
Seorang laki-laki yang sepertinya instruktur musik menunjuk kursi di depan sebuah grand piano yang ada di ruang itu.
Lelaki yang seperti keturunan Asia sepertinya.
"Apa dia juga orang Jepang?" Mikasa membatin.
"Namaku Levi. Levi Ackerman. Aku yang bertugas menjadi instrukturmu selama kau kursus di sini."
Mikasa spontan membungkuk. Kebiasaan yang telah melekat pada Nihon sejak zaman dulu, dan menjadi ciri mereka di manapun berada.
"Saya Mikasa, Herr. Mohon bantuannya."
...
Garis polisi masih terpasang di lokasi ketika Inspektur Yeager dan Armin tiba. Tim penyidik sudah ditarik mundur, hasilnya adalah dokumen yang tadi diserahkan oleh Jean Kirstein.
"Hmm ... kenapa si pembunuh selalu menyerang orang jahat ya? Apa dia sedang berperan sebagai Robin Hood?"
Yeager menekuk kaki, berlutut menyentuh aspal di mana korban terjatuh.
"Pembunuh tetap pembunuh. Apa pun alasannya itu tindak kriminal yang tak bisa dibenarkan." Ia menimpali perkataan Armin.
"Iya benar Inspektur, tapi—"
"Villain tetap villain, Armin. Tidak akan bisa mengambil peran malaikat. Aku akan menangkap dan menyeretnya ke pengadilan. Berpura-pura baik tak kan bisa meloloskan orang bersalah dari hukum."
Armin mengangguk. Ia tahu, semua kasus yang ditangani inspektur panutannya ini selalu terungkap. Seorang Eren Yeager seolah bisa membuat benda mati berbicara. Ini hanya soal waktu dan adu kecerdikan. Namun Armin yakin, Eren lah yang bakal menang.
.
.
.
Bersambung
