BUKU HARIAN

Main pair:

[Bae Jinyoung, Park Jihoon]

Disclaimer:

Wanna One (c) YMC Entertainment

WARN! YAOI, OOC, TYPO, AU!

I hope you enjoy this story~

.

.

.

.

BAE Jinyoung hanya bocah cilik yang gemar menulis dalam buku kecil.

Lelaki itu selalu menunduk. Menatap buku harian yang dikunci rapat dengan gembok.

Ia hanya memandang kedepan. Banyak anak-anak sebayanya yang tengah bermain di hamparan rumput hijau. Buku harian dan pensil adalah benda yang wajib ia bawa ketika pergi ke taman.

Menatap satu persatu orang yang berlalu lalang. Bocah laki-laki pendiam hanya tersenyum kecil melihatnya—tidak-tidak, ia tidak tersenyum menatap kerumunan orang. Mata bocah itu hanya tertuju pada satu pandangan.

Melihat dari jarak jauh. Tatapan itu tak berpaling sedetikpun. Mata tak berkedip ketika debu menyapanya. Hanya terasa debaran jantung yang membahana. Terkadang bibirnya tersenyum sendiri—menatap sebuah pemandangan indah yang terlihat jelas.

Kemudian gembok dibuka. Lembaran kertas menjadi coretan pertama. Mulai ternodai oleh coretan kecil pensil berwarna biru. Tangannya bergerak sana dan sini. Menulis yang dilihat dan dirasakan. Bocah berumur 8 tahun mengendap-endap. Membuat garis dan lengkungan dalam kertas.

Ia tak pernah memberitahu apa yang selalu ditulisnya. Bocah berambut coklat tua hanya ingin menuangkan seluruh perasaannya saja dalam sebuah coretan tangan.

"Jinyoung! Kau sedang menulis apa?"

Refleks buku tertutup. Kembali dikunci rapat-rapat.

"Ti-tidak ada apa-apa, kok. Jihoon hyung."

Yang lebih tua satu tahun menaikkan satu alis, "Bohong. Tadi kau sedang menulis sesuatu. Aku mau lihat buku harianmu, Jinyoungie."

Tatapan Park Jihoon menajam. Mengintrogasi yang lebih muda agar mengaku. Namun Jinyoung kembali menunduk, "Ini rahasia, hyung."

Bibir merah muda mengulum kesal. Membuat pipi gembul bocah berumur 10 tahun terlihat macam bakpau. "Uh, Jinyoung jahat. Sudah main rahasia-rahasiaan dariku."

Lelaki kecil itu pergi meninggalkan Jinyoung. Buku harian ditatap dalam. Diusap sayang seakan benda mati hidup diatas paha. Ia kembali menatap kedepan. Laki-laki manis tadi sudah pergi jauh dari depan mata. Hanya sayup-sayup bayangan yang menyisakan dirinya dan matahari tenggelam.

Buku harian masih dikunci dengan gembok. Lalu dibuka perlahan, Jinyoung mengulum senyum membaca setiap lembar yang ditulis.

Kemarin Aku melihatmu, hyung.

Kau berlarian sangat lincah diatas rumput hijau. Wajah manis tak luput dari tatapan. Senyum merekah selalu kau perlihatkan pada semua orang.

Dan Aku suka senyum manismu, hyung. Sungguh.

Dan hari ini, kau kembali bersemangat dengan kobaran api yang membakar jiwa dan raga. Dan Aku hanyalah butiran debu yang lenyap diterpa angin.

Senyummu tak luput oleh waktu. Tak lekas hilang diterpa badai.

Kau, hyung. Seorang laki-laki manis dengan senyum secerah matahari.

Dan baru saja Aku menghilangkan senyumanmu. Sungguh Aku sedih, tapi buku harian ini tak bisa jika kau baca. Aku belum siap tertangkap basah menulis semua kegiatan yang kau lakukan ditaman.

Aku menyukaimu, Jihoon hyung.

Hari semakin gelap. Bae Jinyoung bangkit dari atas rumput. Mendekap erat buku harian yang sudah terkunci rapat. Menundukkan wajah kebawah; menatap pantulan senja matahari dari atas tanah. Dan berjalan pulang kerumah dengan sebongkah kenangan.

.

.

.

.

END