1 Oktober 1885.

"Aku nggak mau pergi kesana," ujar putra semata wayang mereka. Rachel menautkan kedua alisnya. "Ada apa, sayang?" tanyanya.

"Di sana menyeramkan."

Rachel dan Vincent saling bertukar pandang. "Ciel, kami gak mungkin meninggalkanmu di sini sendirian di London, lagipula kita punya Sebastian, 'kan?" ujar Vincent, menenangkan anaknya yang rapuh itu. Sebastian, berdiri di sebelah Ciel meliriknya dari atas. "Kau hanya belum terbiasa, kita hanya berada di sana selama 3 bulan," kata Vincent.

"3 bulan itu lama, Pa!" protes Ciel. Ada ketukan di daun pintu, dan Vincent menoleh. "Masuk,"

"Tuan, Nyonya, Tuan Muda, ini tehnya." ujar Maylene sambil berjalan mendekati kedua tuannya dan meletakkannya di atas meja kopi. "Terima kasih Maylene, kau boleh pergi sekarang." Maylene pun membungkuk dan keluar dari ruangan itu.

Aku tidak percaya harus melindungi bocah ini, batin Sebastian, masih memandangi Ciel. "Iya, 'kan, Sebastian?" Vincent bertanya, menatapnya. "…Iya. Tentu saja, Tuan." jawabnya. Tiba-tiba anak kecil yang masih berumur 10 tahun itu memeluk pinggang lelaki serba hitam itu dan berseru, "Terima kasih, Sebastian!" Rachel dan Vincent tersenyum.

"Baiklah, ayo kita pergi."


Vincent Phantomhive ditugaskan oleh Ratu Victoria untuk menginvestigasi tempat yang akan ditujunya. Tempat itu berupa kota, hampir mirip dengan London; Kota Iblis, katanya. Informasi mengatakan bahwa 6 orang perempuanhanya perempuanmeninggal setiap 6 minggu sekali, tanpa ada pelaku. Namun, pelaku memberikan—mengukir—angka 666 di dahi para korbannya. Vincent tidak terlalu percaya mitos tentang angka iblis, namun ia sekarang percaya.

Kalau ia tidak percaya, ia tidak akan mungkin membuat kontrak dengan Sebastian.

Vincent mungkin memberitahu istrinya, Tanaka , Maylene dan Sebastian, namun tidak pada Ciel. Namun, entah bagaimana caranya, Ciel selalu mengatakan bahwa "tempat itu menyeramkan". Vincent tidak curiga pada anaknya itu, namun isi hatinya mengatakan yang lain. Ia tidak pernah mengajak Ciel ikut campur urusan berbahayanya.

"Sebastian," panggil Vincent dalam kereta yang sedang berjalan. Sebastian menoleh ke arahnya, tanpa berhenti menuangkan teh tuannya. "Ya?"

"Karena aku tidak dapat menjaga Ciel 24/7, tolong jaga anakku. Jangan sampai dia tersakiti, bagaimana pun caranya. Kembalikan dia padaku tanpa terluka." ujar Vincent.

"…Apakah itu perintah?" tanyanya, meyakinkan dirinya sendiri.

"Bukan," Sebastian menaikkan sebelah alisnya, meletakkan secangkir teh untuk tuannya di atas meja kereta.

"Itu permintaan."


Kuroshitsuji © Toboso Yana

I do not own anything.

Supernatural/Horror/AU

Psycho!Ciel (No couple)

CHARACTER DEATHS

Enjoy reading~


Sesampainya di tujuan, Sebastian dan Maylene membawakan barang bawaan nyonya dan tuannya, begitu juga Tanaka. Namun, Ciel yang entah kenapa memaksa untuk ikut membawakan barang bawaan orang tuanya mulai berlari senang.

"Tuan Muda, jangan lari-lari, Anda bisa jat—" Maylene membulatkan matanya melihat Ciel yang wajahnya sebentar lagi menyentuh tanah. Tanaka hanya meminum teh hijaunya dengan tenang, seperti biasa.

"...Tuan Muda, sekali-sekali tolong dengarkan kata-kata Maylene," ujar Sebastian, menghela napas panjang sambil memegangi Ciel, membantunya berdiri. "Biar saya yang bawa barangnya." ia pun mulai mengambil barang yang dijatuhkan Ciel. "Barang ini berat, tapi kenapa Tuan Muda memaksa untuk membawanya?" tanya Sebastian dalam hati.

"Tapi Ciel mau membawa satu juga!" serunya jengkel. Sebastian menutup kedua matanya. "Sudahlah Ciel, biarkan Sebastian dan Maylene mengurus semuanya," Vincent memotong percakapan mereka. Sebastian menyeringai, antara terhibur dan lega tak akan diganggu lagi. "Sebastian, Maylene, Tanaka, kalian tunggu di sini sebentar. Aku akan mencari transportasi."

"Papa, aku ingin bersama Sebastian." Vincent melirik anaknya. "Oh, baiklah. Tunggu sebentar ya, jangan menyusahkan Sebastian."

"Baiklah, papa!" seru Ciel. Mereka bertiga pun melihat kepergian Rachel dan Vincent ke arah salah satu kereta kuda.

"Tuan Muda—"

"Panggil aku Ciel," ucap Ciel dengan cepat, seakan sudah tahu apa yang akan dikatakan Sebastian. "...C-Ciel, boleh saya bertanya sesuatu?" tanya Sebastian. "Hmm?" Sebastian membungkukkan badannya agar dapat mencapai telinga Ciel. "Anda pernah ke kota ini?"

"Nggak pernah." jawabnya singkat. Ciel tidak membuat kontak mata dengan Sebastian, namun kedua mata Ciel terlihat kosong. "Ah, jadi begitu.. Lalu, bagaimana Anda bisa tahu kalau daerah ini menyeramkan?" tanyanya lagi.

Ciel tidak menjawab.

Dia menggenggam jaket luar Sebastian.

"Tuan Muda?"

"Ciel," ulangnya. "Ah, iya maafkan saya. Ciel—"

"Aku tahu darinya.." jawabnya, suaranya makin mengecil, namun Sebastian bisa dengan jelas mendengarnya. "Maaf, dia siapa?" tanya Sebastian. Ciel tiba-tiba membelalakkan matanya dan berseru,

"Mama! Papa!"

"Hai, Ciel." balas Vincent tersenyum. "Kereta kudanya sudah siap," Vincent berkata seraya merangkul istrinya. "Ciel, kau akan berada di kereta yang berbeda dengan kami. Bagaimana menurutmu?" tanya Vincent. Wajah Ciel terlihat senang. "Terima kasih ayah! Iya, aku mau!" serunya. Sebastian melirik Ciel sambil membawa barang-barang milik nyonya dan tuannya.

Genggamannya masih belum lepas.


Keluarga Phantomhive telah sampai di sebuah penginapan di Kota Oldmaple. Pertama kali mendengarnya, Vincent juga terlihat bingung karena ia tidak pernah tahu ada kota bernama Oldmaple. Di kota tersebut ada gubernur yang masih aktif, atau begitulah kata ratu. Vincent agak tidak percaya, namun pada akhirnya ia lakukan juga.

"Selamat datang," sebuah pelayan wanita datang ke arah Vincent dan Rachel. "Apakah Anda Tuan dan Nyonya Phantomhive?" tanya pelayan wanita itu. Vincent mengangguk. "Ya,"

"Ah, akan saya tunjukkan kamar Anda. Mari," ajaknya. Vincent melirik ke arah Sebastian dan Tanaka, dan Sebastian mengangguk. "Baiklah, terima kasih." jawab Vincent yang masih merangkul Rachel.

Sebastian dan Tanaka berjalan mengikuti tuan dan nyonyanya ke kamar yang telah dipesan Sebastian jauhari. Saat dirasa Sebastian sudah agak jauh dari Tanaka, Maylene dan tuan besarnya, ia mulai berbicara pada Ciel.

"Tuan Muda, tolong lepas genggaman Anda.." ujarnya. Ciel menggeleng. "Tidak mau,"

"Anda bisa mengikuti saya nanti setelah saya beres-beres," Sebastian mulai sedikit memohon, namun Ciel tetap teguh pada pendiriannya. "Kalau saya boleh bertanya, apa yang salah sehingga Anda tidak melepaskan saya?" tanya Sebastian.

"..." Ciel tidak menjawab. Ia membenamkan sebelah kepalanya ke sisi Sebastian. Ciel mengatakan sesuatu yang tidak terdengar oleh Sebastian. "Maaf, Tuan Muda?"

Tidak dijawab. Sebastian diam untuk beberapa detik.

"Tuan Muda, mari kita pergi dulu ke tempat yang lebih layak—kita tidak boleh menghambat jalur lobi," ujar Sebastian. Ciel masih terdiam. "Ciel," panggil Sebastian dengan nada rendah, yang ternyata didengar oleh Ciel.

"Ya?"

"Saya ingin berbicara empat mata dengan Anda."


"Maafkan saya, Tuan Vincent, Nyonya Rachel, karena keterlambatan saya," ujar Sebastian seraya membuka pintu kamar Vincent dan Rachel. "Tuan Muda ingin membawa koper Anda dan saya harus menjaganya agar dia tidak jatuh," kata Sebastian panjang lebar.

"Iya, tak apa, Sebastian. Santai saja," balas Vincent. Rachel tersenyum. "Oh iya, Sebastian. Apa makan malam untuk hari ini?" tanya Vincent sebelum Sebastian beranjak pergi dari kamar tuannya. "Apa Anda ingin memesan makanan atau saya buatkan?" tanya Sebastian kembali. Ciel yang sudah selesai meletakkan koper yang terhitung berat itu berseru, "Aku ingin makan masakan Sebastian!"

Seluruh pasang mata tertuju pada Ciel, tidak terkecuali Sebastian yang memasang tampang pasrah.

"Aku ingin Clam Chowder," lanjutnya. Sebastian tidak membuka mulut. "Sebastian," ia menoleh ketika namanya dipanggil oleh tuannya. "Ya, Tuan?"

"Kau dengar permintaannya."

"...Yes, My Lord." ujarnya, dalam nadanya terdengar sedikit terbebani. "Apa ada hal lain sebelum saya pergi?" tanya Sebastian pada Vincent, mulai berjalan mundur. "Tidak—"

"Aku mau susu!" potong Ciel tiba-tiba. "Dengan madu yang banyaaaaaak," lanjutnya. Sebastian tersenyum. Entah kenapa, keluguan bocah ini sedikit menghibur. "Anda bisa memasukkan madunya sendiri, tenang saja." Vincent tertawa mendengarnya.

"Aah, kau baik sekali, Sebastian."

Ouch. "Saya tersanjung mendengarnya, tuan." balas Sebastian. Vincent masih menyeringai lebar. "Kalau saya tidak diperlukan lagi, saya akan pergi. Mohon tunggu sebentar," ujar Sebastian, melirik Ciel yang tersenyum ke arah Sebastian. Membuka pintu, ia menghilang dari pandangan mereka bertiga.


—"Saya ingin berbicara empat mata dengan Anda." kata Sebastian. "Jadi, tolong ikut saya ke kamar saya dan Tanaka."

"Okie dokie," balas Ciel. Mereka berjalan menuju kamar para pelayan. Ciel membukakan pintu untuk Sebastian meski Sebastian sudah mencegahnya. Begitu pintu dibuka, dilihatnya Tanaka sedang duduk di atas sofa, menyeruput teh herbalnya.

"— Pak Tanaka? Sejak kapan Anda di sini?" tanya Sebastian, sedikit terkejut. "Ah, saya sudah lama menunggu kedatangan kalian. Kemana saja, sih? Aduh, barang bawaan tuan dan nyonya masih kau bawa pula, Sebastian. Dan kau berusaha menculik Tuan Muda? Tsk, tsk, Sebastian," komentarnya tanpa berhenti.

"—Tunggu, saya tidak bermaksud untuk menculiknya, Pak Tanaka! Ini tidak lucu, dan," jeda Sebastian. "Saya ingin berbicara dengan Tuan Muda. Sepertinya dia tahu lebih tentang kota ini," ujar Sebastian. Tanaka tersenyum. "Dan kau pikir di sini adalah tempat yang tepat untuk berbicara secara privat?"

Sebastian tidak menjawab. Sungguh, ia benci terpojok—

"Aku hanya bercanda," tawa Tanaka. "Lanjutkan. Semua hal aman padaku."

Sebastian menghela napas tenang. Tanaka menakutkannya.

"Baiklah, Pak Tanaka. Ciel," panggil Sebastian cepat. "Saya ingin bertanya satu hal." ujar Sebastian. Ciel memiringkan kepalanya, tanda menerima permintaan Sebastian. "Kenapa Anda bisa beropini bahwa kota ini 'menyeramkan'?" tanya Sebastian sambil mengatur level pandangannya dengan Ciel. Ciel tidak menjawab, namun selang beberapa detik ia membuka mulutnya.

"Ibu,"

"Ibu.. Nyonya Rachel?"

"Maylene6 masuk," jeda Ciel. "...2 keluar."

Sebastian menaikkan sebelah alisnya. "Maaf, tapi saya tidak begitu mengerti maksud Anda," jawab Sebastian pelan-pelan. "Pak Tanaka, Ciel bukan indigo, 'kan?" tanya Sebastian, meyakinkan dirinya. "Ho, ho, ho, tidak, Tuan Muda bukan indigo, tenang saja." jawab Tanaka. Sebastian kembali menatap Ciel. "Tuan Muda, tolong ulangi sekali lagi."

"Ibu."

"Bukan, yang setelah itu,"

"Kau hanya minta sekali, Sebastian." Sebastian memicingkan matanya. Ciel lumayan berbakat untuk beradu mulut. Seperti yang diharapkan dari keturunan Earl Phantomhive.Sebastian menghela napas panjang. "..Baiklah, Tuan Muda. Saatnya kembali ke kamar Anda,"

Ciel buru-buru berlari dan mengambil koper orang tuanya. "Ya, aku siap!"

"Tuan Muda?" tanya Sebastian saat melihat Ciel membawa koper di depan wajahnya. "Tuan Muda, Anda tidak dapat melihat jalan dengan benar kalau begitu caranya"

"Tapi aku tidak kuat untuk menentengnya."

"Dan itulah guna saya berada di sini, Tuan Muda." Sebastian mulai merasa jengkel. "Tapi aku mau membawakan barang orang tuaku." balas Ciel. Sebastian tertawa kecil.

"Kalau Anda jatuh dan menangis, saya tidak tanggung."

"Sebastian, hentikan." ujar Tanaka. Sebastian menoleh ke arahnya, menyungging senyum. "Oh ayolah, saya hanya bercanda. Hati-hati membawanya, Tuan Muda." dan mereka pun meninggalkan Tanaka sendiri.

TBC.


EAAAAAA, tuberkolosis. Hahaha, Author gak tau mau bikin berapa chapter, tapi inshaAllah Author bakal bikin ini suspenseful.
Dan siapa sih, yang gak mau liat Ciel psycho di umur 10 tahun?

Author aja penasaran. XD

Okee, makasih udah meluangkan waktu untuk baca fanfic ini~

Sincerely,
Tragedi Origami