Don't you remember?
Naruto © Masashi Kishimoto
au fanfic by sugirusetsuna
"Siapa?"
.
.
.
"Aku benci hujan."
Gumammu pelan di antara tangisan awan yang jatuh menerpa atap bangunan di seberang jalan. Terlalu pelan hingga membuatku berpikir bahwa ia juga sedang menangis. Namun, jelas kutangkap sinismu terpeta nyata walau hanya mengiringi sebaris kata. Mungkin ia sedang berbisik pada bangku kosong yang berada di sisinya. Mungkin juga ia sedang mencoba mengikis dinding kebosanan yang terkunci di dalam ruang kehampaan. Yang kutahu pasti bahwa ia sedang menggerutu, bukan menangis. Memaki, bukan memuji.
Ya, aku tahu.
Diam-diam aku melirikmu dari ekor mataku. Air menetes dari ujung-ujung surai hitammu, kerah baju yang tidak rapi, sepatu yang masih basah. Lalu aku berpikir pantas saja beberapa saat yang lalu ia mengutuk, tampaknya awan memang sedang menangisinya. Dan ia benci untuk ditangisi.
Ya aku tahu.
Aku melakukannya lagi. Membingkai potretmu di antara riak air yang beradu dengan dinginnya aspal. Genangan tampak terbentuk di bawah jungkat-jungkit di taman bermain tak jauh dari tempat kami berteduh. Lalu, pandangan mataku beralih pada halte di seberang jalan yang sama kosongnya seperti tiga puluh menit yang lalu. Sama halnya seperti kita. Berpayungkan halte mungil yang catnya sudah mulai mengelupas, terpaut di antara dua buah bangku kosong, bersembunyi di balik lirikan berjuta arti.
"Cih!"
Tanpa kusadari kugigit bibir bawahku kuat-kuat. Menyembunyikan rasa sesak di dada yang entah sejak kapan mulai menyelimuti diri. Kulirik kembali paras nan tegas itu dengan kelopak yang mulai memberat. Keningmu mengerut, katupmu seolah siap kapan pun untuk melontarkan deretan kalimat terkutuk lainnya.
"Ah menyebalkan!"
Jangan lagi.
Gerutumu membuat tubuhku menggigil. Gigi-gigiku bergemeretuk, tak lagi dapat kurasakan ujung-ujung jemariku yang sedang mengerat sisi bangku. Namun, entah mengapa kedua iris klorofil tidak kunjung lelah memandangi sosokmu. Seolah mencari-cari sesuatu di balik kelamnya onyx itu. Mencari jejak-jejak air mata yang dulu pernah tertangkap oleh retinamu,
Dan,
"Hujan sia—"
Ingatkah,
"Indah!"
Kamu pernah berkata,
"Hn?"
Bahwa hujan itu,
"Bukankah hujan itu indah, Sasuke?"
Pandangan mata kami saling beradu. Kudapati dinginnya sorot matamu menjelajahi setiap inci tubuhku, masuk hingga menembus tulang-tulangku. Dingin. Sedingin air mukamu, sedingin tangisan awan yang sempat mengenai seragam sekolahku.
"Siapa?"
Aku tersenyum.
"Bukan siapa-siapa."
Kemudian iris mataku kembali menemukan genangan di bawah jungkat-jungkit di taman bermain tak jauh dari tempat kami berteduh. Kembali kupamerkan senyuman terbaikku, seolah tak peduli pada tangisan awan yang semakin deras membanjiri semesta.
Bahkan di balik genangan itu kenangan kita tidak lagi ada.
Atau... aku yang tidak pernah ada?
.
.
.
end
