.
Present
AKKG Fiction
.
Disclaimer
Chara : Kadokawa Games
Story : Spica Zoe
.
"Jangan berlari dipikiranku, berdiamlah dihatiku."
Kaga
Mocachino
Kaga kembali mengecap manis rasa Mocachino yang tersisa dari pinggiran bibir gelasnya. Ketukan lembut di permukaan meja terasa menjadi nada paling tentram di malamnya yang hampir larut ini.
Gelap langit membisikan padanya salam rindu dari perasaan orang-orang yang sedang bercumbu di tempat yang tak terlihat.
Dari orang-orang yang tak ia kenal.
Malam ini bukan malam miliknya saja.
Malam ini adalah malam milik bersama dari semua manusia yang waras oleh rasa, terwujud oleh bahagia dan sedih yang membekukan paras.
Malam ini adalah milik mereka yang ingin larut dalam gelap. Bercampur dalam hening dan membiarkan rasa dan sentuhan yang menguasai semesta.
Malam ini memang benar bukan malam milik Kaga saja.
.
"Hei, Ashigara-san. Anakmu menangis."
Kaga kembali mengecap.
"Aku salut melihatmu, diusia kita yang masih muda, kau sudah punya empat orang anak."
Kaga kembali meletakan cangkir Mocachinonya di atas meja.
"Entah. Padahal kita masing-masing hanya memiliki satu atau dua orang anak saja."
Kaga menjilat bibirnya. Merasakan rasa yang tertinggal di sana.
"Benar. Bahkan Kaga pun belum menikah."
Dan setelah rasa itu memberi arti bagi indera perasanya, kemudian indra pendengarnya mendengar semua tertawa orang.
.
Kaga melesatkan pandangan ke semua wajah orang-orang yang berkumpul di sana. Pertemuan kembali yang orang-orang sebut reuni para alumni Kancore Academy tempat dimana mereka menyelesaikan pendidikan akhir di masa sekolah.
Enam belas tahun lalu, mereka semuanya berada di dalam satu kelas yang sama. Menelisik satu persatu wajah, keseluruhan dari sembilan belas orang yang hadir adalah orang yang Kaga ketahui sebagai rekan-rekannya dalam menyumbangkan kenangan indah masa sekolah.
Namun siapa yang menduga, jika diantara mereka semua, cuma Kaga saja yang belum menikah.
"Bahkan aku sudah dua kali menikah!" tuding Ashigara sambil menepuk pundak Kaga.
Sakit.
Kaga memijat punggungnya yang baru dipukul Ashigara. Bekas fisik memang tidak ada, tapi bekas yang merusak mental Kaga dalam beberapa detik dengan diakhiri ledek tawa semua orang di sana sudah cukup membuatnya merasa terhina.
Pada saat menerima ajakan Takao untuk menghadiri acara reuni, Kaga pikir yang akan ia temui nanti adalah teman-teman yang berpenampilan sama dengan terakhir kali ia lihat dimasa sekolah. Memang sih, ada beberapa orang diantara mereka yang bahkan masih berhubungan baik dengannya setelah masa sekolah berakhir. Tapi masalahnya bukan terletak di mereka. Masalahnya terletak pada ketidakdugaan Kaga untuk mereka yang pada akhirnya baru ia temui enam belas tahun kemudian. Sekarang. Salah satunya ibu beranak empat, Ashigara.
"Padahal sekarang kau itu sudah mapan, Kaga. Mau tunggu apa lagi?" Haruna, yang baru saja menikah dua bulan lalu menatap Kaga dengan pertanyaan paling sulit bahkan mungkin tak memiliki jawaban. Kaga dan Haruna berada di satu kampus yang sama saat mengemban masa kuliah. Hanya saja mereka tidak berada di fakultas yang sama. Hubungannya dengan Haruna tidaklah buruk. Mereka bahkan saling menyapa empat bulan sebelum Haruna memutuskan untuk menikah. Meskipun Kaga tidak datang untuk memberi selamat.
.
Hilir-mudik langkah kaki batita dan balita mengisi pendengaran Kaga selain pertanyaan, nyinyiran dan ledekan tawa teman-temannya.
Dari pandangan matanya, ia hanya mendapati wajah ibu-ibu muda itu tertawa, berbicara antusias meski sambil sesekali menyelidik keberadaan anaknya yang lagi lasak-lasaknya.
Seperti Yamato yang sedang terlihat menyuapi anak laki-lakinya sambil sesekali menimpali rumor dewasa yang Kongou berikan. Sedang Kongou, anak satu-satunya sudah berusia tujuh tahun, menjadi anak tertua yang berada di sana. Bertindak sebagai seorang senior yang menjaga juniornya.
Sebenarnya Kaga tidak bisa menyukuri keadaan ini. Malamnya yang biasa tenang penuh dengan ide-ide yang terlintas, kini berubah menjadi semesta yang dilebur badai. Suara tawa ibu-ibu muda itu saja sudah cukup membuatnya pusing. Apalagi teriakan anak-anak yang berlarian satu sama lain. Terkadang ibu (teman-teman-Kaga) mereka meneriaki nama anaknya untuk tidak terlalu jahil dan jaga sikap. Belum lagi, sejak tadi Kaga harus pura-pura menikmati segelas Mocachinonya karena ada saja batita yang sengaja diletakan orang tua mereka di atas meja untuk alasan lebih mudah di jaga, padahal sesekali Kaga harus khawatir karena takut batita itu mengamuki gelasnya.
Ah, Kaga ingin pulang saja. Tapi dua kali dia pamit pulang, Ashigara dan Mutsu tidak mengijinkannya. Masuk akal memang, karena mereka sudah lama tidak bertemu. Disamping semuanya sudah punya kehidupan sendiri-sendiri. Mengurus anak dan suami. Ada juga yang meskipun sudah menjadi istri dan seorang ibu, mereka pun masih tetap menjalani hidup sebagai wanita karier. Mungkin setelah menimbang, kali saja hanya Kaga yang memiliki waktu paling senggang diantara mereka.
Waktu yang berjalan hanya miliknya seorang. Seorang lajang tiga puluh empat tahun yang melebihi batas mapan.
Kaga mendesah.
Kaga berusaha mengecap segelas Mocachinonya kembali. Difokuskannya waktu dan keheningan yang tak akan ada malam ini-ditempat ini, hanya untuk dirinya sendiri. Jeritan anak-anak yang saling tangkap dan kejar-kejaran, teriakan ibu pada anaknya untuk menghalau keributan. Segalanya ikut menambah badai dalam hidup Kaga malam ini.
"Nee-chan, tangkap aku!"
"Baiklah, aku akan menangkapmu."
Kaga berusaha untuk tidak mendengar.
"Kaa-san. Aku mau pulang."
"Bentar lagi sayang, tidur saja di meja, ibu akan menjagamu."
Kaga mengerat jemari di gelasnya. Suara yang satu saja masih belum selesai ia tepis. Kini tambah lagi suara rengekan anak yang minta pulang.
Ribut sekali malam ini. Kapan deritanya akan berakhir-
"Aduuuh!"
Kaga merintih sakit ketika mendapati seorang bocah perempuan menabrak dirinya yang baru saja berharap sebuah kedamaian mencabut nyawanya. Semua mata menatap sang bocah yang jatuh tersungkur karena benturan pada kursi Kaga. Sebenarnya Kaga juga merasa sakit. Tapi sepertinya bocah itu terlihat tidak apa-apa.
"Aduh baa-san. Maaf menabrak." Ucapnya yang langsung bangkit. Kaga menyembunyikan denyutan perih di kaki kanannya. Ia merasa khawatir apa benturan tadi sempat melukai tubuh bocah ini?
"Kau tidak apa-apa?" Tanya Kaga yang berharap mendapat jawaban yang ia inginkan. Biar bagaimana pun benturan itu terlihat sangat keras.
Beberapa anak yang seumuran menghentikan aksi kejar-tangkapnya, kini mereka malah memandangi salah satu teman mereka yang sedang diintrograsi teman ibu mereka. Sedang Ashigara yang melihat pemandangan itu langsung tersenyum dengan cengiran.
"Ih Kaga, kau sudah seperti seorang ibu sungguhan." Tawanya meledak. Fusou yang berada paling dekat dengan Ashigara menambahi. "Cepat menikah 'lah. Ingat umur." Serunya yang dibalut tawa yang lain.
Dan seketika khawatir di wajah Kaga berubah menjadi masam.
Kaga meniadakan pikiran dari ledekan Ashigara dan kawan-kawan. Ingin hati mengabaikan seorang bocah perempuan ini, namun apa daya, Kaga jadi tidak tega. Apalagi ketika bocah perempuan itu kini menarik ujung lengan bajunya dan memasang tampang yang membuat Kaga terpaksa bertanya kenapa.
"Aku ingin pipis."
Kaga menarik wajahnya dengan tampilan berkerut kening. Ingin pipis? Ibumu mana? Kenapa bilang ke aku? Bisik Kaga dalam hati.
Kaga tidak pernah berurusan dengan anak kecil apalagi anak perempuan. Seumur-umur ia hanya lebih sering berurusan dengan gadis-gadis dan wanita seksi yang terang-terangan mengaku cinta padanya.
"Terus?" Tanya Kaga yang tidak bisa membedakan bagaimana caranya bersikap pada anak-anak.
"Ya antar aku dong." Seru bocah perempuan itu tidak kalah sengit.
Kaga mengangah tak percaya. Kok jadi dia yang ngatur? Kesal Kaga di dalam jiwa.
"Ibumu mana? Sana temui ibumu. Jangan rusak malam berhargaku." Kaga memberi jedah sesaat, malam berharganya bahkan tidak pernah tercipta malam ini. Kericuhan dari cekikikan teman-temannya membuatnya sudah melempar angan malam berharga ke dasar jurang.
Bocah perempuan itu sepertinya tidak ingin menyerah. Pas ketika Kaga mengabaikannya dan ingin mengecap kembali sisa-sisa Mochachinonya yang rasanya tak habis-habis sedari tadi, Kaga merasakan tarikan dari celana yang ia kenakan. Kaga mendecih kesal. Diletaknya cangkir mahal punya restaurant itu di atas meja sampai menimbulkan suara yang membuat Atago jadi menoleh melihat dua perempuan beda usia yang saling adu tatap.
"Ibu sedang nenenin dedek. Baa-san kan sedang tidak ada kerjaan, temani aku pipis lah." Paksa bocah perempuan itu tak peduli jika Kaga sudah sangat kesal.
"Kau-"
"Apa kau tidak bisa pergi sendiri?" Atago menyentuh bahu Kaga sebelum Kaga mengumpat hal-hal senonoh di depan balita. Atago juga punya anak yang seusia bocah ini, meski ia tidak membawanya dalam pertemuan ini. Jadi, alangkah tak ingin ia melihat Kaga mengumpat hal-hal yang tidak baik di depan anak-anak.
Dan mendapati sikap Atago, Kaga merasa terselamatkan.
"Bisa. Tapi ibu bilang enggak boleh pergi tanpa pengawasan orang dewasa." Balas sang bocah yang disambut rasa kagum oleh Atago. Pintar sekali. Meski pada saat itu, Atago melihat reaksi Kaga yang menolak untuk peduli.
"Bukankah menurutmu dia anak yang pintar, Kaga-san?" seru Atago sambil menepuk paha Kaga, minta perhatian. Kaga mengelah napas jengkel. Diliriknya bocah kecil itu. Tidak bisa ia sangsikan bahwa isi kepala bocah ini memang encer. Apalagi ketika membalas semua ucapan Kaga secara terang-terangan.
"Kalau anak yang pintar, pipis sendiri saja." Lagi, Kaga menolak untuk peduli.
Atago tersenyum.
"Temanilah. Ibunya sedang mengasuh adiknya. Kau harusnya lebih peduli sedikit. Kelak jika kau memiliki anak dan-"
"Oke. Ayo." Kaga langsung bangkit sebelum Atago menyelesaikan ucapannya. Ia cukup tahu akan dibawa kemana hal-hal yang ingin atau telah Atago ucapkan. Hal-hal yang bisa menambah sakit kepalanya.
Diraihnya tangan sang bocah, dan mereka berjalan bergandengan. Sedang Atago hanya bisa tersenyum mengiringi kepergian mereka yang semakin menjauh.
Kaga memandangi beberapa sudut yang tampak dalam matanya. Lorong menuju toilet tidak terlalu jauh dari lantai tempat mereka berkumpul. Harusnya sedari tadi saja Kaga menemani bocah ini. dan ketika Kaga menoleh memandang bocah yang menggandeng tangannya, kebetulan saja bocah itu mengangkat kepalanya dan ikut membalas tatapan Kaga. Ia tersenyum.
Membuat Kaga kesal.
"Kenapa kau senyum-senyum?" Tanya Kaga yang merasa dikalahkan.
"Baa-san temannya mama 'kan? Kok sendiri? Jomblo ya?"
.
.
Cerita Penulis : Delusiinnya ini pas lagi ngendarain motor di perjalanan pulang kerja. Dan asli, saya senyum-senyum sendiri sambil berdelusi. Dan kepaksa dijadiin fiksi.
Akaga, untuk selamanya~
