"Kau tidak tahu akan bagaimana rasanya, Kurosaki"
"Ya, kau benar. Karena aku yang mendominasi..."
- - - - - = S Y E = - - - - -
Title: Sweet Temptation (Fate)
Cast: IchigoxHitsugaya
Genre: AU|Yaoi, Shonen-ai, Friendship, Romance, Hurt/Comfort
Rating: M
Disclaimer: The casts belong to the writer of manga 'Bleach', Tite Kubo. Just the plot is mine.
WARNING: YAOI, Shounen-ai, BL, Lemon, Typo(s), GaJe, OOC(mungkin), GaMut, nggak nyambung, mudah ketebak
Summary: Kepedihan yang dialami Hitsugaya, dirasakan Ichigo. Ia tahu itu sangat sakit.
Dan suatu ketika perasaan untuk membuat Hitsugaya bisa mendapatkan sedikit kebahagian
membuatnya melakukan apa yang harusnya ia lakukan sejak dulu. Manis tapi menyakitkan.
- - - - - = S Y E = - - - - -
"Hei, Toushiro!" Seru pemuda berambut orange itu. Ia menepuk bahu kawannya yang dipanggil Toushiro.
"Kurosaki!" kesal Toushiro. Ya, dia sangat tidak suka dengan kelakuan si Kurosaki Ichigo itu yang selalu membuatnya hampir jantungan. Pasalnya Ichigo akan selalu datang mengagetinya seperti itu. Mengendap-endap lalu berteriak menyerukan namanya sambil menepuk bahu Toushiro keras. Ah, siapapun juga pasti akan kaget bukan? Tentu saja Toushiro akan marah, karena ia adalah orang yang anti-sentuhan orang lain. Satu lagi, ia adalah orang yang menyukai ketenangan. Maka dari itu, ia amat sangat membenci kelakuan Ichigo yang suka seenaknya sendiri teriak-teriak dan menyentuhnya. Baginya Ichigo adalah orang tercerewet, terberisik, terseenaknya sendiri, terkacau, dan ter-ter lainnya yang sangat mengganggu seorang Toushiro Hitsugaya.
Ichigo hanya terkekeh menanggapi respon Hitsugaya. Ia sudah hafal betul bagaimana respon Hitsugaya jika ia memanggilnya seperti itu.
"Baiklah, aku minta maaf," kata Ichigo kemudian setelah death glare yang diberikan oleh laki-laki berambut putih itu.
"Apa yang sedang kau lamunkan? Akhir-akhir ini kuperhatikan kau suka sekali melamun, Toushiro?" tanya Ichigo. Ia berdiri di samping Hitsugaya. Mengeluarkan sebatang rokok lalu menyulutnya dengan api.
"..."
"Oh, baiklah. Kurasa aku tahu apa yang kau pikirkan. Bukankah sudah kukatakan untuk tidak memikirkannya lagi? Bisakah kau sekali ini menuruti ucapan temanmu ini?" tanyanya lagi. Hitsugaya menolehkan wajahnya ke Ichigo.
"Dan bisakah kau berhenti merokok? Itu sangat tidak baik untuk kesehatanmu," balas Hitsugaya.
Ichigo hanya tersenyum simpul sambil memandangi kawannya itu. Yang dipandangi kembali memalingkan mukanya. Menghadap bangunan-bangunan di depannya. Matanya menyipit melihat ke bawah, pada orang-orang yang sedang melakukan rutinitas mereka. Ichigo mengikuti tingkahnya. Ia ikut memalingkan wajahnya ke depan, namun bukan ke bawah, melainkan ke arah bangunan-bangunan tinggi yang menjulang. Menuju satu titik diantara awan-awan dibelakang bangunan-bangunan itu.
Keduanya terdiam. Semilir angin yang menerbangkan helaian rambut keduanya menuntun mereka untuk terhanyut dalam pikiran masing-masing.
"Tidak." Kata keduanya bersamaan setelah keheningan cukup lama.
Kemudian hening lagi.
"Tidak akan mudah melupakannya. Karena aku tidak sepertimu," kata Hitsugaya memulai. Wajahnya tenang tapi sorot matanya penuh kepedihan.
"Dan tidak akan ada gunanya kau memikirkan Itu. Tidak akan merubah apapun," Ichigo melanjutkan. Ia menyesap rokoknya lagi dan menghembuskan asapnya lewat mulut, membuat kepulan yang segera hilang diterpa angin.
"Kau tidak tahu akan bagaimana rasanya, Kurosaki," kata Hitsugaya lagi. Nadanya penuh kekecewaan dan kesakitan.
"Ya, kau benar. Karena aku yang mendominasi," jawab Ichigo, menanggapi perkataan kawan kecilnya. Sebuah senyum kepedihan tercipta mendengar kalimat Hitsugaya barusan.
"Sejujurnya saja Kurosaki. Aku kadang iri melihatmu bersama gadis-gadismu itu. Entah mengapa, kurasa tak ada seorangpun yang ingin mendekatiku—kecuali kau," tutur Hitsugaya. "Aku... mungkinkah mendapatkan sesuatu yang bisa menjadi sandaranku?" gumamnya kemudian. Sorot matanya kini tengah menghadap langit mendung di atasnya dan senyuman perih itu terukir. 'Awan itu sama sepertiku,' batinnya.
Seulas senyum getir kembali menghias wajah Ichigo saat ia mendengar lagi pernyataan kawannya. Ia tahu apa yang Hitsugaya rasakan saat ini.
Hitsugaya memang jauh dari kaya atau terpandang. Keluarganya hanyalah seorang petani. Ia hidup bersama neneknya dan kakak perempuannya. Ayah dan ibunya telah meninggal saat ia masih kecil. Meskipun saat ini ia bersekolah di sebuah sekolah yang—yah.. bisa dibilang cukup mahal karena itu adalah sekolah paling bagus di kota ini, tapi hidupnya serba pas-pasan. Bukan keinginannya pula untuk masuk ke sekolah itu. Hinamori, kakak perempuannya itulah yang menyuruhnya masuk ke sana dan demi membiayai sekolah Hitsugaya itu, Hinamori merelakan kuliahnya di putus. Pada akhirnya, seperti inilah.
Di sekolah tak ayal ubahnya seperti yang digambarkan pada film-film. Mereka, para kalangan elite itu, tentu sangat memilih teman. Dan Hitsugaya tentunya tak bisa berbaur dengan mereka. Memang ada beberapa siswa yang masih mau berinteraksi dengannya, namun mereka tidak terlalu memandang penting dirinya.
Beda dengan Ichigo Kurosaki yang notabene adalah anak dari seorang pengusaha terkenal se-Jepang. Jadi tak heran jika Kurosaki Ichigo memiliki banyak penggemar, baik wanita maupun pria. Itulah yang menyebabkan Hitsugaya kadang berpikir, apakah ia boleh berteman dengan Kurosaki? Apakah pertemanan ini adalah tulus, bukan semata-semata karena kasihan? Apakah ia boleh menutup telinga dari sekitarnya yang membicarakan mereka? Entahlah. Ia terlalu pusing untuk memikirkan itu semua. Yang jelas, kali ini dan saat ini, ia hanya ingin memiliki seseorang untuknya berbagi. Entah itu karena kasihan atau memang tulus.
Keheningan lama setelah pertanyaan terakhir dari Hitsugaya itu akhirnya terusik karena rintik hujan mulai turun. Mereka tersenyum miris pada pemikiran masing-masing.
"Aku pulang," kata Hitsugaya pendek. Ia kemudian berbalik dan mengambil tas serta jas sekolahnya yang ia letakkan di lantai atap gedung tempatnya merenung itu. Ichigo membuntutinya.
= S Y E =
"Sebaiknya, kita kerumahku saja. Kuyakin kau akan mandi hujan jika kau tetap memaksa ingin pulang kerumah," kata Ichigo menawarkan. Ia mendekati motornya sambil memandang ke tempat yang diguyur hujan. Lebat. Deras. Dingin.
"Aku tidak ingin merepotkanmu," Hitsugaya menolak. Ia tahu batasnya. Ia sudah sering merepotkan Ichigo karena statusnya dan ia tak mau itu terjadi terus-terusan.
"Oh, ayolah. Sekali ini mengapa kau tak menurutiku saja?" tanya Ichigo. Sedikit paksaan ada pada nada kalimatnya itu.
"Err..." Hitsugaya berpikir. Namun sebelum ia menjawab, Ichigo sudah memakaikannya helm dan jaket. Tak susah karena Hitsugaya lebih pendek daripada dirinya. Maka, jadilah hari itu ia pulang ke rumah Ichigo.
= S Y E =
Secepat apapun mereka melajukan motornya, kenyataan bahwa mereka basah kuyub tak terelakkan. Meskipun Hitsugaya juga telah memakai jaket yang diberikan Ichigo tadi, ia masih tetap basah walau hanya sebagian. Keduanya sampai di kediaman Ichigo. Rumah kaca yang besar. Memasuki sebuah halaman luas layaknya taman sebelum mereka sampai di rumah itu. Hanya Ichigo yang tinggal di sana. Memang kadang pelayan-pelayan Ichigo datang untuk membersihkan rumah itu atau melayani segala keperluan Ichigo, namun hanya hari-hari tertentu dan waktu-waktu tertentu saja.
Ichigo menekan beberapa angka yang terletak di gagang pintu untuk membuka kuncinya. Setelah itu, ia masuk diikuti Hitsugaya di belakangnya.
"Anggap saja seperti rumahmu sendiri, kalau kau tak mau, anggap saja seperti rumah kontrakan. Lakukan apapun yang kau mau lakukan," kata Ichigo sebelum ia menghilang di balik tangga.
Hitsugaya melepaskan sepatu dan kaos kakinya yang basah. Menggantinya dengan sandal rumah, namun kemudian ia lepas lagi. Ia memilih untuk bertelanjang kaki. Merasakan dinginnya keramik di sana. Ia kemudian melepaskan jaket yang dipakainya, menyampirkan di sampiran jaket. Lalu berjalan menuju sofa dekat jendela. Ia melemparkan pandangannya keluar, ke arah hujan sambil melonggarkan sedikit dasinya dan membuka kancing kedua pada seragamnya.
"Mungkin, jika itu adalah pisau, maka aku akan dengan senang hati berdiri di sana," gumamnya. Tapi volume gumamannya yang sangat rendah itu terdengar jua oleh Ichigo yang kini sudah berada di belakangnya.
"Maka aku akan membunuhmu sebelum kau berdiri di sana," kata Ichigo. Ia menyampirkan handuk kecil ke rambut Hitsugaya dan mengacaknya sebentar. Dibaliknya, Hitsugaya tersenyum. Ichigo berbalik dan berjalan ke arah sofa. Direbahkan tubuhnya di sana.
Hitsugaya mengambil alih handuk tadi. Lalu menyapukannya di rambutnya yang basah. Berusaha secepatnya untuk mengeringkan rambut putihnya itu sebelum air yang menetes jatuh ke mana-mana. Ia juga mengelap sedikit seragamnya yang basah.
"Pakai ini. Kalau kau tidak ganti baju, kau akan sakit," kata Ichigo sambil meletakkan bajunya yang sekira pas ditubuh Hitsugaya di atas meja. Hitsugaya berbalik. Ia mengamati lelaki itu. Lelaki yang selama tiga tahun ini menjadi kawannya. Lelaki yang lebih tinggi darinya, yang memiliki warna rambut orange. Mata coklatnya kini terpejam. Dahinya berkerut sedikit. Ia tahu Ichigo sedang ada pikiran, entah karena apa. Ia hanya memandangi baju yang dibawakan Ichigo. Tak berniat untuk menggantinya. Lalu kembali memandang keluar.
"Kau tampak sakit," ujar Hitsugaya. Ia masih sibuk dengan rambutnya di depan jendela kaca. Ichigo menghela napas berat. Ia tahu ia sedang dalam keadaan kurang sehat. Ditambah beban-beban pikiran yang kini memenuhi otaknya dan keadaan tubuhnya yang tadi tersiram hujan sampai basah kuyub. Ia pun pasrah kalau ia akan kena pilek atau demam, hanya saja ia tak mau Hitsugaya menjadi khawatir seperti itu.
"Ternyata aku memang tak bisa membohongimu, Toushiro," kata Ichigo. Ia menghela napas berat untuk kedua kalinya. Lalu membuka matanya. Menangkap sosok Hitsugaya yang masih berdiri mengeringkan diri di sana. Ia mengamati pemuda pemilik mata hijau zamrud itu lekat-lekat.
Sebenarnya, kalau boleh jujur, Ichigo sangatlah menyukai sosok di depannya itu. Ah, bukan menyukai tapi menyayanginya, mencintainya. Pertama kali ia bertemu dengan Hitsugaya, ia langsung jatuh hati dengan pemuda itu. Alasan kenapa ia menjadi kawan seorang yang tertutup itu adalah karena ia ingin lebih dekat dengan orang yang dicintainya. Memang tidak mudah bagi Ichigo maupun Hitsugaya menjadi sepasang kawan. Keduanya merasakan bagaimana pandangan orang-orang terhadap hubungan mereka. Tapi Ichigo menutup telinga akan semua itu. Yang terpenting adalah ia bisa selalu dekat dengan Hitsugaya. Ia bisa selalu menjadi seseorang yang ada untuk Hitsugaya walau kadang tak selalu ada. Ichigo tau cerita hidup Hitsugaya dari pemuda itu sendiri dan keinginan untuk melindungi lelaki jenius itu semakin menjadi-jadi.
Ia mengamati setiap jengkal tubuh Hitsugaya. Tidak ada yang kurang sebenarnya, hanya ukurannya yang kecil itu. Namun itu yang membuatnya menjadi berbeda. Lebih manis dan lebih... menggoda? Lupakan. Ini bukan saatnya untuk memikirkan hal itu. Tapi memang diakui, keimutan Hitsugaya itu melebihi dari keimutan seorang perempuan. Mata zamrudnya yang selalu meneduhkan. Raut wajahnya yang selalu tenang. Otaknya yang terlalu jenius dan sifatnya yang juga sangat 'anteng', membuat Ichigo semakin menyukainya. Oh, andaikan Hitsugaya tau bagaimana Ichigo selalu menahan nafsunya untuk tidak menyerangnya saat ia dan Ichigo tengah berduaan. Seperti saat ini.
Mata cokelat itu sampai pada tengkuk Hitsugaya. Dan langsung begitu saja melintas, nafsu yang dipendamnya bertahun-tahun ini, tatkala mendapati tengkuk putih itu. Bersih tanpa cacat. Kini semakin menggairahkan karena sedikit basah. Tanpa sadar dirinya berjalan menuju orang yang masih asyik mengeringkan diri itu. Berjalan sangat pelan seperti mengendap-endap, seperti yang selama ini ia lakukan.
"Tentu saja kau tidak bisa membohongi jenius sepertiku ini, Kurosaki," canda Hitsugaya. Ia selesai mengeringkan rambutnya meski tidak terlalu kering. Kini ia mengelap tangan dan sekitar lehernya yang masih sedikit basah. Sedang Ichigo sudah berada tepat di belakangnya. Memandang lekat pada tengkuk putihnya. Perlahan Ichigo merendahkan tubuhnya mensejajari tinggi pemuda di depannya.
"Kalau hujan sudah berhenti aku akan langsung pulang. Kau tak usah mengantarku," ucap Hitsugaya. Ia menghela napas. Tiba-tiba ia merasakan hembusan napas seseorang ditengkuknya. Membuatnya sedikit merinding.
"Kurosaki?" panggilnya. Orang yang dipanggil itu kini menyentuh kerah leher seragam yang dikenakan Hitsugaya. Seragam yang masih sedikit basah. Menyentuh perpotongan tengkuk itu yang membuat sang pemilik memejamkan matanya, geli.
"Aku bilang kau akan sakit jika tidak ganti pakaian," katanya sembari menghembuskan lagi napasnya di tengkuk Hitsugaya. Kembali Hitsugaya merinding.
"Kuro—uuhh..." lenguhan itu keluar dari mulut Hitsugaya saat Ichigo mencium lembut tengkuknya.
"Apa yang kau—hahh..." kembali terdengar. Ichigo mulai menyusupkan tangannya yang dingin kebalik seragam Hitsugaya. Mengelus punggung pemuda itu.
Ichigo tau ia salah dan harusnya berhenti, tapi pikirannya tak mau menyuruh tubuhnya berhenti dan Hitsugaya tau ia seharusnya menghindar dari keadaan ini, namun sama halnya dengan Ichigo, tubuhnya tak merespon pikirannya. Tubuhnya menginginkan itu, bahkan mungkin lebih. Sekuat tenaga ia ingin berontak tapi tubuhnya memaksa untuk tetap dalam posisi seperti itu. Bahkan suaranya kini bersengkongkol dengan tubuhnya, mengeluarkan desahan dan lenguhan setiap Ichigo menyentuhnya.
"Nnh!" Hitsugaya terhenyak. Tangan kanan Ichigo ternyata sudah beralih ke depan badannya. Menemukan putingnya dan menggosoknya perlahan. Tangan kirinya mendekap sosok itu. Sedang bibir Ichigo masih asyik dengan tengkuk Hitsugaya.
= S Y E =
Nah! Saya mau buat jadi dua chap!(atau lebih, kalau memungkinkan).
Kalau ada yang review, saya bakal lanjut SECEPATNYA. Kalo nggak ada, silakan dilanjutkan di alam imajinasi sendiri-sendiri... terima kasih! :)
