Minho berlari sepanjang koridor yang sepi. Tiap langkah sepatunya menggema nyaring di antara deretan dinding dan pintu yang tertutup. Mengejeknya dalam kebisuan bahwa dia memulainya dengan kacau seperti biasa.

"Shuck!"

Sepasang mata bulan sabit itu tak henti berkelana ke arah ruang-ruang kelas di balik pintu kaca yang tetutup. Berharap dapat menemukan petunjuk ajaib yang akan menyelamatkannya. Namun nihil, Minho sama sekali tidak tahu di ruangan mana kelasnya berada. Konyolnya, dia berlari tapi bahkan tidak tahu hendak menuju ke mana.

Minho mengentikan langkahnya, dan membuang napas gusar. Kali lain, tolong ingatkan dirinya untuk menyadari seberapa jauh jarak Asia-Amerika itu, serta perbedaan waktu yang sudah pasti akan membuatnya jetleg. Hari pertamanya sebagai murid baru harus berakhir sedramatis berlari dalam reliku labirin kematian karena kecerobohannya. Minho mendengus. Percuma saja, toh kelas juga sudah dimulai sejak tadi. Menyerah memang bukan gayanya, tapi bolos adalah bagian dari kehidupnya.

Sepupunya, Frank Zhang, pernah bilang bahwa lapangan basket indoor ada di lantai paling bawah, sektor timur. Sepertinya tidak akan susah mencari tempat itu. Mengisi waktu bolos dengan berolahraga rasanya idak terlalu buruk. Minho menyeringai. Berlari kecil dan berbelok menuruni anak-anak tangga. Interaksi antar sol sepatu dan anak-anak tangga yang dipijaknya menghasilkan gema nyata di sepanjang lorong tangga yang sepi.

Tapi langkah Minho terhenti ketika sepasang mata bulan sabit itu menangkap satu sosok lain datang dari arah yang berlawanan dengannya nyaris tergelincir. Reflek, Minho menyambar satu lengan yang terlihat kurus itu dan menahannya. Untuk sesaat, kedua pasang manik mata berwarna senada itu bertemu. Bulan sabit, dan setengah purnama—membentuk garis tak kasat mata yang menghubungkan keduanya.

Kesan pertama Minho ketika melihat gadis itu adala; ia seperti patung. Cantik, namun terkesan mati. Wajahnya tirus, sepasang mata sekelam obsidian yang sulit dibaca, kulitnya putih seperti porselin, rambutnya sehitam batuan vulkanik, terkepang disampirkan ke bahu kanannya,wajahnya datar tanpa ekspresi. Minho menarik lengan gadis itu hingga si gadis kembali berdiri tegak tepat satu anak tangga di bawah anak tangga yang dipijaknya. Membuat tinggi sang gadis hanya sebatas dada Minho saja.

Minho melepaskan lengan gadis itu. Sepasang mata sipit itu bergulir mengamati lebih rinci. Gadis itu memakai sebuah rompi berwarna ungu dengan sebuah lencana keemasan terselip di bagian dada, kaus putih lengan panjang, celana denim membungkus kakinya, dan sepatu berwarna abu-abu. Beberapa buku-buku tebal menumpuk tinggi di sebelah lengannya (mungkin inilah salah satu penyebab dia nyaris terjatuh, selain karena langkah Minho yang mengejutkannya).

"Murid baru?" Suara yang terkesan dingin itu membuat Minho kembali menatap mata sang gadis. Butuh beberapa detik sampai Minho paham bahwa kalimat itu ditujukkan untuknya. Minho balas mengangguk.

"Mau kemana?"

"Lapangan basket."

Gadis itu mengernyit. "Kelasmu?"

Minho tersenyum kecut. "Seharusnya sih, Fisika." Begitu gadis itu membuka mulutnya lagi, Minho cepat-cepat menimpali. "Aku terlambat pagi ini, dan aku tidak bisa menemukan kelasku."

Jeda. Minho sudah hendak melangkah pergi sampai gadis itu kembali buka suara.

"Namamu?"

Minho mangangkat satu alisnya. Menatap wajah cantik tanpa ekspresi itu selama beberapa detik tanpa menjawab.

"Minho."

Si gadis menangguk kecil. "Baiklah, Minho. Ada beberapa hal yang harus kusampaikan padamu." Katanya. "Kelas Fisikamu ada di ruangan 210. Poinmu minus sepuluh karena datang terlambat di hari pertamamu. Minus lagi sepuluh karena kau memakai celana pendek. Dan minus lima karena kau berniat bolos. Kusarankan kau batalkan niatmu menuju lapangan basket jika tidak ingin kembali mendapat minus sepuluh."


~oo0oo~

.

Percy Jackson and the Olympians & Heroes of Olympus

belong's to Rick Riordan

Maze Runner Trilogy

belong's to James Dashner

.

Versus (c) aiko blue

.

~oo0oo~

.

"Namanya Reyna."

Satu peryataan yang diucapkan setengah berbisik itu membuat kepala Minho menoleh ke arah Frank yang duduk tepat di sebelahnya. Dengan kening yang mengerut samar dan mata menyipit, Minho memandang pemuda di sebelahnya itu penuh tanya. Frank hanya balik menatapnya cuek, dan angkat bahu samar.

"Gadis berompi ungu yang kau lihat terus-menerus sejak tadi itu Reyna."

"Hah?"

"Bukan hah, Minho. Tapi Reyna." Jelas Frank sekali lagi. Selanjutnya pemuda itu memutus kontak mata dengan Minho, dan memastikan tali sepatunya terikat sempurna,seragam American Football dan beberapa atribut lain membalut tubuh atletisnya.

Satu alis Minho terangkat singkat. Terkadang, Frank benar-benar berbakat menjadi mata-mata. Maksudnya, lihat bagaimana yang katanya team captain American Football itu bisa tahu bahwa sejak tadi Minho mencuri pandang secara diam-diam ke arah satu subjek yang katanya bernama Reyna itu?

"Kau tertarik padanya, Minho?"

Minho mendengus. "Aku tertarik ingin menghajarnya."

Frank menoleh dengan ekspresi melongo. "Apa?"

Mengabaikan pertanyaan Frank, dia justru balik bertanya. "Siapa dia?"

Frank mengernyit. "Bukankah aku sudah bilang namanya Reyna?"

Minho memutar bola matanya malas. "Bukan itu maksudku. Aku bertemu dengannya pagi ini, dan dia langsung bicara panjang tentang pengurangan poin serta hal-hal buruk yang ku lakukan."

Frank butuh waktu untuk mencerna kata-kata Minho. Setelahnya pemuda itu mendesah paham. "Dia kepala pengawas siswa di sekolah ini."

Minho mendegus. Pantas saja ekspresi wajah gadis itu sedatar dan sekaku tembok beton serta tatapan matanya setajam ujung pagar besi belakang sekolah.

"Dia langsung menghadiahiku minus dua puluh lima di hari pertamaku."

Frank tertawa tanpa suara, dan tindakan itu langsung menghadiahinya jitakan tepat di ubun-ubun.

"Aduh! Sakit, sepupu!"

"Jangan tertawa, Zhang. Kau tentunya masih ingat siapa yang menangis di malam natal sepuluh tahun lalu karena cari gara-gara denganku."

Wajah Frank langsung memerah sampai ke akar rambut. Minho menyeringai.

"Aku bukan anak umur enam tahun yang mudah kau kerjai lagi, Minho."

"Oh yeah, bisa kulihat itu. Kau bukan lagi si gendut Frank," Minho tersenyum miring, mengamati Frank secara menyeluruh. "Pemuda tinggi yang penuh otot, bukan gumpalan lemak. Berwajah badak dan bukannya imut seperti koala."

Frank terkekeh kecil lalu sambil meninju bahu kanan Minho. Mereka memang bukan saudara sepupu yang akur. Frank sendiri selalu menempatkan dan ditempatkan dalam predikat anak baik-baik dan berkelakuan manis di tengah-tengah keluarga. Sementara Minho adalah si pembuat onar yang jagonya membuat semua orang naik darah. Setiap keluarga besar berkumpul, Frank selalu mengalami hal-hal mengerikan yang datang dari Minho. Karena di masa lalu Frak tidak cukup percaya mampu melawan si nakal Minho, alhasil Frank selalu berdiri di barisan yang tertindas.

Minho itu menyebalkan, Frank paham akan hal itu lebih dari siapa pun. Tapi di balik semua sifat menyebalkannya, Frank juga tahu sepupunya itu sebenarnya orang baik.

"Senang bertemu denganmu lagi, Ho." Frank tersenyum lebar. Rasanya geli sendiri begitu menyadari bahwa dia sedikit merindukan preman bermata sipit itu.

"Aku juga, Fai."

"Namaku bukan Fai." Tukas Frank sebal. "Berhentilah menggunakan panggilan aneh dari nenek itu."

"Kapten tim Football, eh?" Minho mengubah alur pembicaraan.

Frank tersentak kecil, merona sedikit dan tersenyum lebar setelahnya. "Begitulah," beralih memandang ke arah deretan bangku penonton yang sepi, mendapati seorang gadis bresuarai coklat keemasan sedang berajalan mendekat ke arahnya. Frank tersenyum kecil. "dan ada lagi.."

Satu alis Minho terangkat tinggi. Wajah Frank sekarang terlihat jauh lebih konyol. Pemuda itu memandang ke satu arah dan memasang cengiran bodoh seperti sedang keracunan laktosa. Minho mengikuti arah pandang Frank, dan membelalak seketika. "Fai, jangan katakan kalau gadis itu—"

"Pacarku." Frank megucapkannya mantap penuh nada bangga.

Hebat, pikir Minho. Dia sudah cukup shock melihat boneka koala Frank berubah jadi badak kekar, dan sekarang sepupu imutnya itu juga punya pacar? Minho jelas-jelas kalah. Dia tidak menyangka remaja Frank akan jadi se-mengerikan ini.

"Hai, Frank." Gadis itu sudah berdiri di hadapan keduanya. Memasang senyum manis dan wajah ramah tanpa dibuat-buat. Minho mengernyitkan alis, gadis itu terlihat lebih muda, matanya berwarna seperti emas, kulitnya mengkilat coklat manis seperti madu.

"Hazel," Frank balas menyapa. Tersenyum manis sekali kepada si gadis yang dipanggil Hazel.

Dalam sekejap mata, Minho merasa sedang berada di tengah bioskop dengan drama opera sabun picisan klise tentang dua sejoli yang saling jatuh cinta di bangku SMA. Minho berdeham keras untuk mengentikan acara konyol ini. Dan upayanya itu cukup untuk membuat Frank menatapnya sinis, dan Hazel menyadari keberadaannya.

"Oh, kau pasti Minho, sepupunya Frank!" Hazel berseru ceria. Tersenyum lebar dan mengulurkan tangannya. "Aku Hazel Lavesque, kau bisa memanggilu Hazel. Frank banyak bercerita tentangmu."

Minho menjabat tangan mungil Hazel dengan kening berkerut. "Apa Frank selalu bercerita mengenai seribu satu keburukanku?"

Hazel terkekeh, sementara Frank menggerutu seputar aku-bukan-anak-sepertimu. "Oh, tidak, tidak." Hazel mengibaskan satu tangannya. "Frank bilang kau orang yang baik...meski kadang menyebalkan."

Minho tertewa kecil, lalu mengacak-acak kasar dan asal rambut Frank yang memang belum ditutup dengan helm football. "Oh, sepupuku manis sekali." Ujarnya dramatis. Dan Frank protes sambil mencoba mengelak.

"Omong-omong," Suara Hazel membuat dua pemuda berdarah Asia itu sama-sama menoleh ke arahnya. Hazel mengamati dua pemuda itu bergantian, lalu berpikir. "Aku sadar Frank belum pernah cerita tentang hal ini, tapi kalau aku boleh tahu kau datang dari mana, Minho? Kanada? Atau China?"

Kedua pemuda itu menatap Hazel selama lima detik tanpa jawaban yang keluar. Selanjutnya menoleh satu sama lain dan saling berpandangan, mendengus geli, dan tersenyum kecil, kemudian kompak menjawab—

"Korea."

Hazel menatap sambil bengong.

"Tapi aku lama tinggal di New Zeland."

Hazel mendesah panjang. "Ah, Frank, aku tidak pernah paham silsilah keluargamu yang rumit."

Kedua pemuda itu mengangguk sepakat dan menyahut kompak. "Kami juga."


Esoknya, Minho sudah tidak bisa menahan diri lagi. Sepulang sekolah, ia berlari menuju lapangan basket indoor sekolah seperti orang kesetanan. Demi apapun, dia rindu si bundar oranye yang memantul dalam lapangan itu. Begitu pula dengan suara pantuan dan decit sepatu yang akan menggema ketika permaianan berlansung, dan tak lupa cincin besar dengan jaring-jaring menggantung di bawahnya yang menjadi ibu bagi scor yang didapat. Minho cinta basket, dan—sejauh ini—tak ada seorang pun yang bisa menahannya untuk bergabung dengan tiap tim basket di semua sekolah yang pernah diinjaknya.

Minho menyeringai lebar begitu langkahnya makin dekat dengan lapangan. Suara decit sepatu dan pantulan bola samar-samar mulai menggodanya. Dan begitu memasuki lapangan basket, Minho tak bisa menahan diri untuk tidak mengeluarkan suara mendesah panjang. Tempat itu tampak berkilauan cantik di matanya. Lapangan yang mengkilat dan licin, beberapa anak laki-laki dengan jersey basket abu-abu lalu-lalang di lapangan, beberapa lainnya berdiri di tepi lapangan, bangku-bangku penonton yang terlihat kosong, terisi hanya beberapa tempat saja oleh gadis-gadis yang kemungkinan besar sedang menunggu pacarnya. Lalu gadis-gadis dengan rok super pendek—cheerleader—sibuk menari dan melompat sambil mengibas pom-pom di salah satu sisi lapangan yang terisolir. Minho berdiri terpana, rasanya ia ingin memeluk tempat ini.

"Jason Grace." Minho melafalkan nama itu, mamastikan dia masih mengingatnya dengan baik. Menurut penuturan Frank, dia harus menemui anak bernama Jason Grace yang merupakan kapten tim basket. Pemuda berdarah Asia itu menangguk kecil, dan berjalan lebih jauh memasuki lapangan.

Minho menoleh ke segala penjuru, berharap dapat menemukan sosok kepala pirang berkacamata yang katanya adalah ciri utama seorang Jason Grace (berkacamata kelihatannya agak cupu untuk ukuran kapten basket) tapi Minho tak punya waktu untuk memusingkan hal itu, dia harus menemukan Grace sekarang.

"Mencari seseorang?" Minho menoleh cepat. Mendapati seorang pemuda bermata hijau pirus dengan rambut gelap berantakan juga jersey basket abu-abu bernomor delapan belas sudah berdiri di dekatnya sambil menyeringai.

Minho mengernyit kecil menatap sosok yang lebih cocok menjadi pemaian skateboard jalanan itu. "Aku mencari Jason Grace, kapten tim basket." Jawab Minho cepat.

Pemuda bermanik hiau itu menyeringai lebar. "Oh, jadi kau sepupunya Frank, ya? Kenalkan, aku Percy." Percy mengulurkan sebelah tangannya.

Minho lagi-lagi bergidik ngeri begitu tahu bahwa Frank cukup popular di sekolah ini. Sepertinya sepupu imutnya itu memang bukan lagi bocah gempal yang mudah dikerjai olehnya sekarang. "Benar, namaku Minho." Minho menjabat tangan Percy.

Setelah jabatan tangan usai. Percy mengamat-amati Minho secara rinci dan menyeluruh dari ujung rambut sampai ujung kakinya seperti sedang menyortir. Kemudian pemuda itu tersenyum miring. "Sepertinya kami akan dapat anggota baru yang berbakat." Pemuda itu menyeringai dan memberikan pandangan jenaka.

Minho menyepakatinya dalam hati. "Jadi, di mana Jason?"

Percy mendelikkan bahu ringan lalu menunjuk dengan ibu jari tepat ke arah di balik bahu kirinya. Membuat Minho ikut menoleh ke sana. "Kau lihat yang pirang itu?"

Minho bisa melihat seorang pemuda tinggi berambut pirang pendek terpotong rapi berdiri sambil melipat tangan di depan dada lengkap dengan jersey basket dan karet merah dengan huruf C dicetak tebal melingkari lengan bagian atasnya. "Jadi itu Jason?"

"Yah," Percy mengangguk kecil. "Dia masih sepupuku, omong-omong." kedengarannya tidak terlalu antusias ketika mengucapkan hal itu.

Minho tidak mengacuhkannya. Matanya sibuk mengamati Jason dan menusun kata-kata yang akan diucapkannya dengan sang kapten yang kini tampak sedang sibuk berbincang sama salah satu gadis berseragam pemandu sorak.

"Nah, temui dia, Bung!" Tepukan di bahu Minho yang diberikan Percy membuat Minho kembali menatap pemuda bermanik jade tersebut. Percy memasang cengiran lebar. "Semoga beruntung. Aku tidak sabar ingin menghajarmu di lapangan!" Dan segera berlari ke sisi lain lapangan, menghadap seorang gadis dengan rambut pirang keriting yang langsung tertawa geli sambil meninju perut Percy. Minho suka anak itu. Mungkin Percy akan cocok menjadi temannya.

Menghela napas kecil, Minho melangkah menghampiri Jason. Ketika sampai di dekat Jason dan gadis berseragam pemandu sorak, Minho tidak langsung angkat suara. Melainkan memilih diam dan menunggu Jason menyelesaikan urusannya dengan si gadis bersurai coklat tua itu. namun beberapa menit berlalu, dan tidak ada tanda-tanda mereka akan menyudahi obrolannya sama sekali. Lebih parahnya lagi, mereka hanya mengobrol dan tertawa ringan saling melempar gurauan manis dan rayuan.

Minho berdeham keras. Sengaja menarik perhatian Jason dan pacarnya.

"Oh," Jason bergumam kecil memandang Minho kemudian balik lagi mentap si gadis pemandu sorak. "Kita akan bicara lagi nanti, Piper."Pemuda pirang itu tersenyum lembut.

"Tentu." Gadis yang dipanggil Piper menangguk dan balas tersenyum. "Aku akan menunggumu di lapangan parkir. Bye, Jason." Berjinjit dan mengecup pipi Jason singkat lalu berlari pergi sambil melambaikan tangan.

Minho bertanya-tanya, apa punya pacar satu sekolah adalah perkara wajib di sekolah ini?

"Kau pasti Minho, sepupunya Frank." Suara Jason membuat Minho tersadar dari lamuannya.

"Hm."

Jason tersenyum kecil, dan memperbaiki letak kacamata yang membingkai sepasang mata biru terangnya. "Dan kau pasti ingin masuk tim basket."

Minho tidak membantah.

"Aku akan sangat senang menerimamu di timku, Minho." Kata Jason ramah. "Tapi kau harus menemui dan mendapat persetujuan seseorang dulu sebelum masuk tim, dan orang itu bukan aku."

Minho menyipitkan matanya. "Memang siapa yang punya jabatan paling tinggi dalam tim selain kapten?"

Jason meringis. "Pelatih, sekaligus Manager kami. Aku dan semua anggota tim menaruh seluruh kepercayaan padanya. Jadi dia berhak menentukan diterima atau tidaknya kau serta di mana kau akan ditempatkan dalam tim nantinya."

Minho menghela napas. Perkara ini terlalu berbeilt-belit baginya.

"Jangan khawatir," kata Jason lagi. "Dia hanya akan memintamu melakukan serangkaian tes kecil, dan biasanya sih dia akan langsung menanyai berapa nomor yang kau inginkan untuk seragammu ketika dirasa kau cukup bagus."

Baiklah, itu terdengar wajar, pikir Minho. "Jadi, di mana orang yang kau maksud?"

Jason tersenyum simpul, dan melirik sekilas ke balik bahu Minho lalu melambaikan tangannya singkat. Entah mengapa Minho kehilangan minat untuk menoleh dan mencari tahu kepada siapa Jason melambaikan tangan. "Kau akan segera bertemu dengannya."

Tiga detik setelah Jason menutup mulut, sosok yang di maksud datang. Wajahnya tenang dan datar. Tatapan matanya kali ini tajam dan mengintimidasi. Minho tidak menyangka orang inilah yang akan menentukan diterima atau tidaknya ia dalam tim.

"Hai, Reyna." Sapaan Jason menyadarkan Minho bahwa yang dia lihat itu benar adanya.

Reyna menanguk kecil membalas sapaan Jason. Gerak-gerik matanya tampak gelisah dan sedikit terganggu. Kemudian gadis itu melirik Minho dengan ekor mata, dan kembali memandang Jason.

"Oh, ini Minho. Dia ingin bergabung dengan tim. Aku serahkan dia padamu, Reyna." Firasat Minho langsung buruk. Hubungannya dengan Reyna tidak cukup baik. Mereka baru tiga kali bertemu dan bebar-benar berinteraksi. Pertama di tangga, dan Reyna langsung memberinya minus dua puluh lima poin. Kedua di laboratorium Kimia pagi ini, mereka disatukan dalam kelompok yang sama, dan terlibat adu argumen yang berujung pada percobaan gagal yang membuat dua tabung reaksi meledak, satu pipet tetes remuk, tiga labu elemeyer pecah, dan dua ratus lima puluh mililiter cairan NaoH dua koma nol molar membanjiri lantai. Dan ketiga, ketika berlari menuju tempat ini, tadi Minho sempat bertabrakan keras dengan Reyna, gadis itu terjatuh dengan suara berdebum keras dan menghantam lantai yang keras. Minho bahkan tidak berniat mengecek kondisi Reyna, dan langsung melanjutkan berlari. Dan luka gores sepanjang sepuluh senti di rahang Reyna, serta memar keunguan di keningnya sudah cukup menjelaskan kondisi Reyna pasca terjatuh.

Alis Reyna tampak berkedut-kedut kecil. Kelihatannya dia sedang berusaha mengendalikan diri untuk tidak meninju rahang Minho. Gadis itu memasang ekspresi kaku seperti biasa, dan mengangguk pada Jason.

"Oke, semoga beruntung, Minho!" Jason menepuk bahu Minho ringan dan berlari ke tengah lapangan. Minho benar-benar berharap kata-kata Jason itu terwujud dalam kenyataan. Semoga ia beruntung.

Reyna dan Minho bertatapan, saling adu pelotot.

"Jadi, kau masih punya nyali untuk menatapku setelah segala huru-hara yang kau buat. Sepertinya aku butuh restu dewa untuk memperbaiki sirkuit moralmu."

Minho mendengus. "Ini tidak ada hubungannya dengan apa yang terjadi di antara kita sebelumnya, Council. Aku harap kau bersikap profesional sebagai Manager dan Pelatih—katanya." Minho menatap Reyna secara seksama, dari ujung sepatu sampai ujung rambut lalu kembali lagi ke mata segelap obsidiannya. "Meski rasanya kau lebih cocok jadi kapten pemandu sorak." Sindir Minho. "Kau pasti kelihatan bagus dengan rok super pendek dan melompat-lompat sambil meneriakkan namaku di pojok lapangan mengibas-ngibaskan pom-pom merah muda." Minho membayangkan hal itu dan nyaris mati geli.

Reyna menatapnya tajam, kemudian jemarinya mulai bergerak menyelipkan rambut panjangnya ke belakang telinga. "Sayangnya, aku tidak tertarik dengan hal itu." Kata Reyna dingin. "Lagi pula, cheerleader sudah punya kaptennya sendiri. Piper, pacar Jason."

Minho mengangkat alisnya sedikit. Koreksi, kepedihan dan nada getir dalam suara Reyna barusan cukup terdengar nyata dalam ruang dengarnya. Oh, hebat. Ada skandal cinta rupanya. Minho tersenyum tipis. "Ku tebak, Jason itu mantan pacarmu?"

"Setahuku itu bukan urusanmu." Ujar Reyna sinis.

"Oh, yeah! It's smell like someone had broken heart here." Minho menyeringai puas. Selama ini Reyna selalu mengintimidasi semua orang dengan tatapan galaknya. Senang rasanya bisa mengetahui sesuatu tentang kelemahan gadis Spanyol itu.

Reyna kelihatannya sudah gatal ingin merobek mulut Minho. Tapi gadis itu terus mempertahankan ekspresi datar dan kakunya. Menghela napas pendek, dan mendelikkan dagunya sedikit. "Lepas bajumu."

"Apa?" Pekik Minho, lebih keras dibanding yang diharapnya keluar, bahkan membuat semua orang di lapangan menoleh kompak memandangnya.

"Take this off." Reyna menujuk kaus yang menempel di tubuh Minho dengan jari telunjuknya yang berkuku panjang dan lancip, kelihatannya lumayan jika dipakai untuk mencungkil bola mata Minho.

"Kenapa aku harus buka baju?" Tanya Minho curiga, sambil melepaskan ranselnya dan meletakkannya di dekat kakinya. Orang-orang sudah berhenti menatapnya dan kembali ke pekerjaan masing-masing. "Apa kau sebegitu menggiurkannya untukmu sampai-sampai kau tidak bisa menahan diri lagi, Council?" Minho tersenyum sarkastik, dan mulai melepas kausnya.

Reyna menyipitkan mata dan berekspresi seolah sedang berusaha menelan tikus. "Aku ingin membacamu, Greenie."

Minho mendengus gusar. "Jangan panggil aku Greenie." Minho memberi peringatan tegas. Dia tidak pernah suka panggilan itu, rasanya hampir semua anak di seluruh dunia selalu memakai panggilan itu untuk menyebut anak baru. Greenie, kesannya dia seperti anak bawang yang cupu dan juga berkulit hijau. "Aku benci panggilan itu."

Peryataan itu agaknya justru membuat Reyna gembira. Gadis itu menyeringai kecil. "Terserah, Greenie."

Minho berdecak sebal. Pemuda itu kini sudah bertelanjang dada dan membiarkan kausnya tergeletak di atas ranselnya. Menampilkan tubuh ateletis yang dibalut dengan kulit tan kecoklatan yang membuat anggota cheerleader memekik tertahan.

Reyna memandangi tubuh Minho seolah sedang membaca dan mencatat setiap serat ototnya. Kecepatan laju pacu jantungnya, laju larinya, daya tahannya dan banyak lagi. Minho merasa Reyna sedang menelanjanginya habis-habisan sampai menembus kulit, daging, tulang rusuk bahkan jantungnya. Setelah cukup lama, Reyna akhirnya mendesah kecil. "Kita lihat sepayah apa dirimu, Greenie."

"Sudah kubilang jangan panggil aku Greenie!"

Reyna mengabaikannya. Gadis itu mengambil satu bola yang terletak tidak jauh dari mereka. Lalu melempar bola itu ke arah Minho dan memintanya melakukan beragam gerakan dalam permainan basket. Minho melakukannya tanpa kesulitan yang berarti. Dia tidak masuk tim basket inti di sekolah lamanya tanpa alasan, bukan?

Setelah cukup lama, akhirnya Reyna memintanya berhenti. Gadis itu menulis sesuatu dalam notes-nya. Lalu kembali memandang Minho yang sedikit terengah-engah dan berkeringat. Menulis di notes-nya lagi, lalu menutupnya.

"Baiklah, berapa nomor yang kau inginkan untuk seragammu?"

Minho menyeringai lebar sekali sampai-sampai bibirnya terasa hampir sobek. "Tujuh."

Reyna menangguk paham. "Kau bisa mulai latihan lusa sepulang sekolah di lapangan ini." Kemudian Reyna berbalik melangkah pergi.

"Tunggu." Minho menahan satu lengan Reyna, membuat gadis itu mengentikan laju kepergiannya dan menatap galak.

"Apa lagi?"

"Kau belum menjelaskan di mana posisiku dalam tim." Tuntut Minho.

Reyna menyeringai. "Pemain cadangan."

"Apa?" Minho memekik keras. Rasanya dia tak percaya terhadap apa yang didengarnya.

"Pemain cadangan." Ulang Reyna.

Minho mendengus angkuh. "Aku tidak pernah menduduki kursi cadangan. Aku selalu jadi pemain inti, rasanya kau perlu tahu itu."

"Oh, terima kasih sudah memberitahukannya padaku. Tapi keputusanku tidak akan berubah."

Minho menggeram tertahan. "Coba jelaskan di mana kelemahanku sampai kau menempatkanku di pemain cadangan!"

Satu alis Reyna terangkat sedikit. Gadis itu terlihat sedang pura-pura berpikir dan mempertimbangkan sebelum menjawab dengan tenang. "Menurutku, kau sudah banyak membuat huru–hara di tengah lapangan. Kau pasti sudah terlalu sering menjadi sorotan di tengah lapangan, mungkin ini waktunya kau mencoba menjajal duduk di kursi cadangan."

"Kau—"

"Kenapa? Kalau kau tidak terima keputusanku silahkan keluar, masih banyak anak-tidak-sombong-yang-berbakat dan menaruh minat pada basket selain dirimu." Reyna tersenyum mengejek. Menepis kasar tangan Minho yang melingkari lengannya, dan berjalan menuju pinggir lapangan. Lalu gadis itu meniup peluit dengan nyaring. Semua pemain basket berderap buru-buru dan berkumpul mendekat padanya. Kelihatannya jadi seperti sekumpulan pengawal patuh berseragam basket yang tunduk di bawah tatapan angkuh seorang tuan Puteri berdarah Spanyol.

Sementara Minho berdiri kesal di tempatnya sambil mulai sibuk mengumpat-umpat kasar dengan bahasa ibunya.


TBC(?)


A/N: Hai, ini adalah crossover kedua aiko di fandom ini/nggak nanya tuh

Ah, yaah kenapa di cerita ini Aiko merasa nge-teen (istilah apa itu?) banget yaa?

maksih buat yang udah terlanjur baca :****

RnR, please?