"Aku menyukaimu. Jadilah pacarku!"
Sakura Mikan—gadis berambut cokelat panjang—menatap kosong lelaki yang sedang menatapnya dengan rona merah menghiasi pipi. Angin sepoi-sepoi membelai lembut pipinya, menyadarkannya kembali ke realita. Matanya menatap sekilas rambut pirang sang lawan bicara—yang mengingatkannya pada seseorang yang tak bisa ia ingat. Senyuman tipis terkembang di wajah sang Gadis, dan sebuah kata terucap.
"Maaf."
.
.
Disclaimer : Tachibana Higuchi
Warning : OOC, Typo(s), basi, abal, etc.
.
.
.
Someone From The Past
.
.
.
Mikan sedang akan menggigit roti melonnya ketika sebuah suara menanyakan sesuatu yang sering ia dengar akhir-akhir ini.
"Kenapa kau menolaknya?"
Gadis berambut ikal itu mengurungkan niatnya untuk menghabisi si roti yang belum ia makan sama sekali, tangan lentiknya membungkus kembali rotinya dan memasukkannya ke dalam tas. Mikan bangkit, menepuk-nepuk rok seragam sekolahnya dan memandang salah satu temannya yang berambut hitam dengan pandangan kesal.
"Aku bosan mendengarnya, kau tau? Aku pulang duluan. Bye," tanpa babibu lagi, perempuan dari keluarga Sakura itu berjalan pergi meninggalkan kedua temannya yang masih duduk diam di pinggir lapangan berumput sekolah.
.
.
.
"HUWAAAAAH!"
Mikan jatuh terduduk di atas pasir pantai yang lembut. Dadanya mengembang dan mengempis dengan irama cepat. Sebutir peluh menghiasi pelipisnya. "Ternyata berteriak dengan keras dan penuh emosi itu menguras banyak energi," batinnya.
Mikan mendongak menatap langit mendung di atas kepalanya. Ia menghembuskan napas panjang di sela-sela napas satu-duanya, mencoba menenangkan pikirannya yang tengah teraduk-aduk. Namun pertanyaan temannya tadi kembali terngiang.
"Huh! Aku kan sudah pernah bilang tak tertarik dengan salah satu anak di sekolah! Kenapa mereka tak mengerti dan selalu saja bertanya tentang hal itu sih? Kan bukan salahku jika beberapa dari mereka menyatakan cinta dan aku jadi terpaksa menolak mereka, kan?" teriaknya pada langit di atas sana yang tak memberikan respon berarti. Beruntung saat itu di pantai hanya ada dirinya seorang, setidaknya itu tidak membuat dirinya mendapatkan timpukan batu karena aksi teriak-teriaknya itu.
Mikan mengepalkan tangannya. Matanya yang penuh dengan perasaan kesal dan frustasi menatap telapak tangannya yang tampak kecil dan rapuh. Detik berikutnya, kepalan itu telah menghantam pasir pantai tersebut. Perempuan penyuka jeruk itu tidak terlihat kesakitan, mungkin karena efek pasir yang lembut itu.
Gadis dengan rambut tergerai itu melepaskan kepalannya, menekuk lutut, dan memeluk kakinya yang kurus. Bola matanya yang beriris sewarna karamel menatap garis pertemuan langit dan laut di kejauhan. Lagi, ia menghembuskan napas panjang dengan secercah rasa sedih di dalamnya.
"Lagi pula, aku pernah bilang jika aku sedang menunggu seseorang, bukan?" ujarnya pada angin semilir yang lewat.
Lagi, Gadis itu menghembuskan napas panjang, mencoba mengeluarkan emosi-emosi negatif dari dalam dirinya. Matanya beralih pada langit biru tak bernoda awan mendung di kejauhan. Biru muda, biru terang, biru cerah, biru yang membuat hatinya rindu.
"Biru . . . warna yang menenangkan," desahnya. "Kapan terakhir aku melihat warna biru yang sehangat itu?" bisiknya.
Angin laut mulai menampar wajahnya dengan keras. Mikan tersadar dari pikiran yang akhir-akhir ini menjeratnya dalam emosi tidak karuan. Dia melihat ombak di laut yang terlihat membahayakan. Gadis itu mengernyitkan dahi.
"Sepertinya, sudah waktunya pulang," bisiknya pada dirinya sendiri. Mikan bangkit dari posisinya, menepuk roknya agar butir-butir pasir yang menempel berjatuhan. Tangannya yang mungil meraup tali tasnya yang sedari tadi tergeletak diam di atas gundukan pasir.
"Hm, kuharap kakek hari ini memasak sesuatu yang hangat," harapnya setelah melirik langit yang terlihat lebih gelap daripada sebelumnya.
Mikan menundukkan kepala, menatap kaki-kakinya yang melangkah di antara pasir berwarna kelabu di bawahnya. Baru beberapa langkah kecil ia melangkah, kakinya berhenti bergerak ketika tiba-tiba ia merasa merinding seakan-akan seseorang tengah menatapnya dengan tajam sedari tadi. Remaja itu mendongakkan kepalanya, menatap seorang Lelaki yang tengah berdiri diam di bawah sebuah pohon kelapa. Mata biru Lelaki itu terlihat tengah menatap Mikan dengan mata sayu, seperti melihat sesuatu yang menyedihkan dari diri Mikan.
Cokelat bertemu biru.
Jantung Mikan berdebar dengan kencang. Mata biru itu entah kenapa menenangkan baginya dan juga terasa familiar. Entah mengapa dia merasa Lelaki itu pernah berada di hati. Pernah menjaganya. Dan mereka pernah memiliki suat ikatan. Ikatan yang Mikan sendiri lupakan.
Remaja yang terlihat seumuran dengan gadis dari keluarga Sakura itu berjalan menghampirinya. Jaket berwarna putih yang dikenakan Lelaki itu berkibar dihembuskan oleh angin pantai.
Mikan hanya berdiri diam, hingga lelaki itu berdiri menjulang tepat di depannya. Senyum kecil terhias di wajah yang elok itu. Binar rasa senang tergambar di mata biru itu, mata yang memunculkan rasa rindu pada Mikan.
"Akhirnya, kita bertemu lagi," ujar Lelaki itu sembari meraih sejumput rambut cokelat Mikan. Lelaki itu mencium helai-helai rambut yang ada ditangannya, matanya terpejam seakan menikmati aktivitas itu. Suara renyah itu kembali terengar "Mikan."
Mikan merinding ketika mendengar Lelaki itu menyebut namanya. Wajahnya menghangat tak karuan karena sikap lelaki itu, apalagi jarak mereka yang sangat dekat, terutama wajah mereka.
Mikan bergerak mundur, mencoba menjauh dari remaja asing yang terasa tak asing baginya. "Si-siapa kau?" gagapnya.
Mikan mengepalkan kedua tangannya, berjaga-jaga jika Lelaki tak dikenal itu melakukan sesuatu yang mengancamnya. Walaupun sikap waspada Mikan terkesan terlambat, namun kejadian tadi tak membuat gadis itu meluruhkan sikap itu. Lebih baik berjaga-jaga, daripada menyesal kemudian, pikir Mikan.
Sekilas, segaris rasa sedih kembali ada di bola mata Lelaki pirang tersebut. Lelaki itu tersenyum simpul, dimasukkan tangannya ke saku celana. "Kau melupakan aku. Aku tau itu." Lelaki itu diam sesaat, hening menghampiri mereka. "Namun mengetahuinya secara langsung darimu ..." senyuman itu berubah menjadi senyum sedih, "Sungguh menyakitkan."
Si Gadis menahan napasnya. Otaknya berputar menggali kenangan-kenangan yang ia lupakan. Biru, apapun yang berhubungan dengan biru. Langit biru, baju biru, seragam biru, laut biru, mata biru, bunga biru ...
*Bunga biru cerah.
Mikan tersentak, dia tau. Dia mengetahui jawaban dari pertanyaannya sendiri. Nama Lelaki itu.
Tiba-tiba Mikan menerjang Lelaki itu. Tangannya yang kecil melingkar di tubuh lelaki pirang tersebut, wajahnya terbenam di dada bidang itu. Lelaki itu jatuh di atas pasir pantai yang berwarna kelabu, dengan wajah menghadap ke langit berhias mendung dan Mikan yang menempel di badannya. Secercah rona merah menghiasi wajah lelaki itu. Rasa gugup nampak di mata biru tersebut.
"Aku merindukanmu," ujar Mikan lirih. "Sungguh-sungguh merindukanmu."
Lelaki itu memejamkan matanya, mencoba meresap kata-kata Mikan. Mencoba menjadikan hal itu sebuah kenangan permanen di pikirannya yang akan ia putar berulang-ulang di sepanjang hidupnya. Tangannya yang sedikit dihiasi otot menonjol bergerak ke atas kepala Mikan, mengusap-usap rambut cokelat sang Gadis.
"Kau tau, rasa rinduku sudah tak terbendung lagi. Aku beruntung bertemu denganmu sekarang, sehingga aku tak perlu menjadi gila karenanya." Lelaki itu tersenyum lembut dengan mata yang masih terpejam.
Mikan bangkit berdiri, tangannya terulur untuk membantu sang lawan bicara berdiri. Lelaki itu menerima uluran itu dan ikut bangkit berdiri.
Mata cokelat itu menatap mata biru yang sudah nampak kembali, dengan intens.
"Namamu ... Ruka, kan?"
Lelaki itu tersenyum lebar. Tidak mengiyakan ataupun menyalahkan. Tapi detik berikutnya, sebuah kecupan ringan mendarat di pipi Mikan.
Lelaki itu bergerak mundur, sedikit memberi ruang di antara mereka.
"Kau tau, aku selalu—masih selalu mencintaimu. Kuharap kau selalu tau itu."
Mikan tertegun, wajahnya kembali memerah. Kepalanya tertunduk, tak tau harus bersikap seperti apa. Matanya menatap kaki lelaki yang ia panggil Ruka, seakan-akan kaki itu sangat menarik.
"Mikan," Gadis berseragam itu mendongak, menatap kedua bola mata biru itu dengan jantung yang seakan akan meledak. Tiba-tiba mata cokelat itu terbelalak. Sosok Lelaki pirang itu terlihat memudar. Terlihat tak nyata. Namun Lelaki itu masih memamerkan senyumannya yang menawan.
"Empat tahun sudah, sudah empat tahun aku mencari," Lelaki itu bergerak mundur, memberikan jarak yang semakin lebar antara mereka.
Mikan menggeleng pelan, "Jangan, jangan pergi ..."
Lelaki itu tersenyum menenangkan. "Tenang saja. Segera, aku akan segera menemukanmu."
Lelaki itu tersenyum lebar, mata biru itu menghilang ketika kelopak matanya menyipit. "Persiapkanlah hatimu."
Detik berikutnya, lelaki itu menghilang tak berbekas.
Mikan bergerak mendekat, tangannya terulur mencoba meraih sosok lelaki itu. Namun hanya angin yang ia rasa. Dia telah hilang.
Mikan jatuh terduduk, mencoba menelaah kejadian tadi. Sebutir air matanya jatuh membasahi pipi. Detik berikutnya, mata itu kembali terbelalak ketik angin membelai telinganya dan sebuah suara terdengar.
"Mikan."
.
.
.
Rintik hujan mulai berjatuhan. Langit mendung di atas sana kini sedang menangis, menghadiahi air yang berjatuhan membasahi setiap sudut kota. Mikan yang tengah memeluk kakinya di tepi pantai terlihat baru saja terbangun dari tidurnya. Matanya mengedip beberapa kali, hingga sebuah suara keluar dari mulutnya.
"GYAAAA! Hujaaaaaan! Yaampun, bukuku!"
Gadis itu meraih tas yang tergeletak di sampingnya, tubuhnya yang mulai basah kuyub karena air hujan bangkit berdiri dan dalam lima detik berikutnya ia sudah pergi dari pantai, menuju rumahnya dengan terburu-buru. Meninggalkan mimpinya di belakang, terguyur air hujan yang berjatuhan.
.
.
.
*Berdasarkan Gakuen Alice dot Wikia dot com Ruka berarti "bright blue flower"
