Banyak orang bilang bahwa aku sakit jiwa. Itu benar, sepertinya memang benar. Kenyataannya, aku pernah menetap di rumah sakit jiwa selama beberapa bulan. Semua itu terjadi tidak lama setelah ibuku meninggalkan aku. Sepertinya hidup dengan seorang ayah yang disiplin sangat tidak cocok untukku. Aku merasa, darah ku bisa mendidih setiap beberapa menit sekali, tidak menentu.
Awal mula mengapa aku bisa berada di rumah sakit jiwa, saat itu aku sama sekali tidak bisa mengendalikan emosiku. Saat kepergian ibuku, aku merasa tak ada lagi yang dapat menggantikan posisinya. Tetapi banyak orang yang berusaha untuk menggantikan posisinya, seperti bersimpati, bahkan mengasihani ku. Aku tak butuh simpati dan aku tak butuh di kasihani! Jika ada orang seperti itu, aku akan langsung menyerangnya dengan benda tajam. Tidak normal memang.
Setelah di'isolasi' hampir lima bulan di rumah sakit jiwa, aku mulai bisa 'sedikit' mengendalikan emosiku. Di tambah lagi, aku dijauhi teman-teman ku di sekolah dasar. Aku tidak punya pilihan selain diam dan menyaksikan. Dan aku sama sekali tidak keberatan.
Basket masih menjadi kegemaranku. Bagaimana bisa aku melupakan harta terindah dari ibuku yang merupakan bola basket? Aku masih menekuni olahraga itu hingga aku duduk di sekolah menengah pertama, di Teiko. Aku menjadi salah satu pemain andalan dalam tim reguler klub basket Teiko, first string. Semua itu adalah kebanggaan tersendiri bagiku.
Aku memiliki sedikit sekali pengalaman tentang 'bullying'. Sebelum aku masuk klub basket, tepatnya saat baru-baru masuk Teiko, aku sering diejek 'anti sosial berambut merah'. Awalnya sebutan itu hanya lewat saja di kepalaku.
Tapi entah mengapa jadi mengendap di kepalaku dan bekerja sebagai pemanas yang mendidihkan darahku. Alhasil, pelaku bullying tersebut aku serang dengan gunting. Aku menyayat permukaan kulitnya dan memotong rambutnya. Menjadi kepuasan tersendiri bagiku. Kejadian itu, berakhir di dalam ruang konseling. Ayahku pun di panggil dan dengan entengnya menjelaskan 'putraku memang sakit jiwa, tolong dimaklumi', dasar tua bangka sialan! Dia tidak sadar bahwa perilaku ini dari dia juga datangnya. Keluarlah segala omelan tajam dari ayahku yang sulit dibantah setelahnya.
Banyak orang di sekitarku bilang, bahwa aku memiliki sifat yang kelewat dingin dan kelewat cuek. Hampir setiap aku melangkah, aku tidak peduli apa yang mereka lakukan dan apa yang mereka bicarakan. Tetapi, aku masih bisa mendengar dengan baik apa yang mereka bicarakan.
Tak jarang juga mereka membicarakan aku, mereka tidak sadar kalau telingaku ada di mana-mana. Sifatku terlalu dingin, bahkan ada yang bilang kalau aku ini bagaikan balok es berjalan. Sedingin itu kah? Tapi aku tak peduli dan membiarkan saja. Aku hanya sarankan, ia banyak berdoy agar tidak jadi korban amukan ku.
Memang kehangatan sudah pergi lama sekali dari diriku, sejak ibuku meninggal. Sampai sekarang aku masih belum mendapatkan kehangatan itu lagi, dari ayahku saja tidak. Tapi, semua itu berubah setelah aku bertemu dengan 'seseorang'.
Setelah panjang lebar bermonolog tentang diriku di masa lalu, sekarang aku sudah duduk di bangku sekolah menengah atas Rakuzan, Kyoto. Padahal awalnya aku tinggal di Tokyo, ya aku memang sengaja pindah kemari. Aku agak bosan tinggal lama-lama dengan si tua bangka itu.
Sebenarnya aku punya alasan lain, aku dengar di Rakuzan tim basketnya kelewat bagus. Aku jadi semakin tertarik sekolah di sini dan aku sangat menikmatinya. Di tambah lagi saat aku menemukan kehangatanku kembali.
.
.
.
Rakuzan High, 1 - 1 class, 09.07.
Aku melirik jam tanganku. Rasanya waktu lama sekali berjalan. Sejak pukul delapan tadi, aku hanya duduk jenuh di sini, di bangku paling pojok belakang sebelah kanan. Aku hanya menatap keluar jendela dengan malas sambil memainkan pensil yang masih setia di tanganku. Omongan guru fisika yang ada di depan kelas, sedaritadi berlalu-lalang di dalam kepala ku. Aku sampai bosan mendengarnya.
Aku adalah tipe orang yang tidak suka berdiam duduk lama-lama sambil mendengarkan ocehan orang. Di tambah keadaan kelas yang sangat hening, aku hampir saja jatuh tertidur, sayangnya aku bukan orang yang gampang tidur.
Terasa darahku sudah naik ke ubun-ubun, aku benar-benar kesal. Aku menggenggam kuat-kuat pensil yang aku mainkan tadi sampai bunyi 'ctak', naas pensilku patah di tanganku. Suasana kelas yang sangat hening itu membuat manusia yang ada di sini melempar tatapan kepadaku.
Aku balik menatap mereka dengan tatapan tajam. Tiba-tiba seseorang yang memang aku benci sejak aku masuk ke kelas ini, mengoceh sopan, "Akashi, bisakah kau tidak membuat onar lagi?"
'Lagi'? Memang beberapa hari yang lalu aku sempat mengamuk karena pertanyaanku tidak digubris oleh seorang sensei. Saking kesalnya, aku lupa dia guru mata pelajaran apa. Aku pikir, ini adalah kali kedua aku mengamuk. Darah di ubun-ubunku terasa meledak dan aku mulai berjalan menghampiri seorang bocah 'sok' yang duduk di depan.
Aku mengeluarkan gunting dari saku celanaku, aku langsung menyerang bocah itu hingga kami bergulat di lantai. Kelas pun menjadi ricuh seketika. Ada yang berteriak panik, bahkan ada yang ketakutan. Tiba-tiba seseorang menjambak rambutku dengan paksa, aku merasakan ada sesuatu menggigit leherku. Tubuhku melemas, kepalaku berat, pengelihatan ku memburam lalu gelap. Aku tak sadarkan diri.
.
Perlahan aku membuka mata. Rasanya ruangan itu terlalu bersinar. Di sekitarku banyak sesuatu berwarna putih, mulai dari tembok sampai furnitur yang ada di ruangan ini, seperti meja dan lemari. Tunggu, aku melihat ada yang aneh dengan lemari itu. Ah, itu lemari obat, ya aku melihat banyak peralatan untuk pengobatan. Ruangan ini semakin terang karena sinar matahari yang melesak dari jendela terbuka. Angin yang berhembus pun ikut masuk ke dalam ruangan ini. Rasanya sangat menenangkan.
"Kau kebal juga dengan obat bius." Suara baritone menyapa telingaku. Aku mengambil keputusan bahwa ini adalah suara seorang laki-laki.
Aku mencoba mencari sosok sumber suara tersebut. Tak perlu dicari, sosok itu menghampiri ku yang sedang terbaring di ranjang. Aku mendapati pria tinggi bersurai hijau lumut dengan manik emerald yang dihalangi oleh kaca berframe hitam. Dia.. cukup indah untuk dipandang. Sial, apa yang aku pikirkan?
"Siapa namamu?" Pria itu duduk di samping ranjang ku. Meskipun suaranya berat, tapi aku menangkap nada yang sangat lembut di sana.
"A-Akashi... Seijuro.." aku balik menatapnya. Ia tampak menuliskan sesuatu di buku, mungkin daftar pengunjung UKS kah?
"Kau tahu? Kau hanya tertidur selama satu jam setelah di pakai obat bius. Seharusnya obat itu masih bekerja hingga tiga jam kedepan." Ucap pria itu tanpa repot-repot menatapku dan masih menuliskan sesuatu di sana.
Aku mengamatinya dari ujung kepala sampai kaki. Ia mengenakan kemeja biru muda dengan dasi hitam, celana bahan hitam, dan ia mengenakan jas putih seperti seorang dokter? Oh, jadi ini dokter sekolah ku? Aku baru melihatnya.
"Aku memang masih baru di sini. Bisa kau ceritakan apa yang kau rasakan?" Pria itu bertanya kembali. Ia mulai menatapku sekarang. Entah kenapa aku merasa lemah di hadapannya.
"Aku merasakan pusing yang berlebihan. Sangat mengganggu." Jawabku seadanya. Memang itulah yang aku rasakan.
"Aku datang kemari, karena aku dengar di sini ada anak 'sakit jiwa' yang suka mengamuk. Apa itu kau?" Ia menatapku datar, aku menatapnya heran.
"Ya, itu aku. Dan kau masalah dengan hal itu?" Aku memilih untuk lepas kontak mata dengannya.
"Tidak." Ia menjawab dengan suaranya yang.. entah mengapa aku sedikit tergerak untuk mendengarnya.
Ia memang minim ekspresi. Tapi ia terlihat berbeda dengan orang lain. Ia menatapku tidak seperti orang lain. Orang-orang selalu menatapku ngeri, takut, bahkan jijik. Aku merasakan suatu kehangatan dari tatapannya. Astaga, perasaan macam apa ini..?
"Maaf, kau belum memperkenalkan diri." Ucapku cuek. Tak kenal maka tak sayang, bukan?
"Maaf, aku lupa. Namaku Midorima Shintarou. Sekarang aku bekerja sebagai dokter di sekolah ini."
Tiba-tiba saja pandanganku menjadi buram kembali, kepalaku juga semakin berat. Akhirnya aku memutuskan untuk memejamkan mataku lagi. Aku sempat mendengar Midorima-sensei memanggil-manggil namaku.
.
Aku melihat padang rumput yang luas. Angin berhembus cukup kencang namun bersahabat. Jauh di depanku, aku melihat seorang wanita dengan surai panjang yang sangat indah. Aku mencoba menfokuskan pengelihatanku pada wanita itu. Aku menerka siapa wanita itu? Cukup lama berpikir, akhirnya aku sadar bahwa, ia adalah ibuku.
Ia membalikkan tubuhnya melihatku. Ia sempat tersenyum tipis ke arahku. Aku pun mengejarnya. Astaga, aku sangat merindukan sosok itu. Membuka tangannya, berharap aku masuk ke dalam rengkuhannya.
Namun, tiba-tiba pengelihatanku menjadi hitam. Aku kehilangan sosok itu. Aku mohon, aku tidak ingin kehilangannya untuk yang kedua kalinya. Aku mohon!
"Akashi.. Akashi! Buka matamu!"
Pengelihatanku kembali normal. Aku mendapati Midorima-sensei di depan wajahku. Wajah kami terlalu dekat.
Aku merasakan keringat berkucuran di keningku. Rasanya nafasku tersengal. Aku terlihat ngos-ngosan. Midorima-sensei menatapku khawatir. Aku terlihat sangat menyedihkan.
"Ada apa? Mimpi buruk, kah?" Tanyanya sangat khawatir.
'Maafkan aku sensei..', "ya, mimpi buruk. Aku takut sekali." Aku juga merasakan sekujur tubuhku berkeringat. Hampir membuat kemeja ku transparan karena basah oleh air keringat.
.
Rakuzan gym basketball club, 16.40.
Setiap hari, sepulang sekolah, aku selalu disibukkan dengan kegiatan klub basket. Maklum, klub basket terkenal memang selalu sibuk latihan. Terkadang kalau sudah latihan, aku suka lupa pulang dan kembali ke apartmen larut malam. Biarlah, lagipula tak ada yang peduli.
Hari ini latihan berjalan seperti hari-hari biasanya. Cukup menguras tenaga tapi aku senang. Aku merasa tidak pernah dilelahkan oleh basket.
"Akashi kalem sekali kalau di klub. Tidak seanarkis di kelas."
"Benar, dia jadi lebih mudah diatur dan sangat menurut pada senpai."
Sial, pembicaraan apa itu? Aku bisa mendengarnya apa kau tidak sadar. Padahal mereka berdua berdiri cukup jauh dari tempatku berada. Tapi, aku terlalu malas marah-marah kalau di dalam klub. Jujur, aku sangat mencintai klub ini. Jika boleh, aku ingin menikahinya.
"Akashi, ada apa? Jangan melamun saja. Kau aneh hari ini." Tiba-tiba seseorang memanggilku.
"Mayuzumi-senpai.. maaf aku tidak suka jika ada yang membicarakan diriku di belakang ku." Aku menatap dua pelaku yang baru saja membicarakan tentang diriku.
Laki-laki bersurai silver itu mengarahkan manik silvernya ke dua orang yang aku maksud. Alhasil, dua pelaku itu langsung pergi dan melanjutkan porsi latihan yang seharusnya.
Mayuzumi-senpai menghela nafas lelah. "Kenapa sih mereka tidak sadar-sadar kalau kau itu 'galak'?"
Aku langsung menatap dirinya tajam. "Apa maksudmu, senpai?"
"Iie.. bukan apa-apa. Lanjutkan latihanmu sana." Ia langsung mengundurkan diri tanpa pamit dari hadapanku.
Mayuzumi Chihiro-senpai, ia adalah kapten tim basket ini. Entah mengapa, ia termasuk ke dalam orang paling berbeda di mataku. Ia bisa menerima kehadiranku dengan sangat normal. Bahkan ia suka membelaku jika ada orang yang macam-macam denganku. Tujuannya hanya satu, agar aku tidak mengamuk di gym, ya itu saja. Tujuan yang sangat mulia.
"Sei-chan~ aku melihat ada aura berbeda di wajahmu. Apa kau sedang bahagia?" Suara lain menyapa telingaku.
"Mungkin bisa dibilang begitu." Ucapku datar dan apa adanya.
"Eh? Cerita dong, cerita~" ucapnya kembali sambil merengek, padahal dia lebih tua satu tahun dariku.
"Nanti kau juga akan tahu sendiri." Aku langsung meninggalkannya dan kembali melanjutkan latihan.
Mibuchi Reo, laki-laki bersurai hitam panjang hampir mengenai bahu (untuk ukuran anak laki-laki) dengan manik hijau tosca. Ia juga termasuk orang yang 'berbeda' bagiku, seperti Mayuzumi-senpai tadi.
Kalau boleh jujur, aku hanya memiliki teman di klub basket, itu juga hanya anggota tim reguler saja yang aku anggap teman. Mereka semua sangat menerimaku seperti orang normal pada umumnya. Malah mereka selalu bercanda, terkadang akulah yang menjadi bahan candaan. Agak heran sih, tapi biarlah.
.
Kyoto, 20.09.
Aku bilang juga apa, aku sudah selesai latihan sejak satu jam lalu dan aku baru pulang sekarang. Tapi rasanya aku selalu senang jika sudah latihan basket. Kenapa begitu ya? Kan aku sudah bilang kalau aku ini tidak normal.
Menyusuri pinggiran kota Kyoto yang masih agak ramai, aku berjalan menuju apartmen ku. Tak sengaja aku melihat dua 'pelaku' di gym tadi. Aku tetap tenang dan tak ada hasrat ingin menyerangnya, tapi bagaimana pun juga, ini permintaan mereka.
"Lihat, itu Akashi!" Ucap salah satunya sambil histeris tertahan.
"Sedang apa dia di sini? Dia bisa pulang sendiri? Tidak akan nyasar atau membuat onar tuh?" Ucap yang satunya lagi.
Perempatan mucul di dahi ku. Aku langsung menghentikan langkahku. Merekapun langsung bunngkam seketika. Perlahan aku berjalan menghampiri mereka. Sepertinya mereka agak takut.
"Oh, hai Akashi. Mau pulang kah?" Ucap salah satunya terdengar canggung. Atau takut?
"Tidak usah basa-basi." Aku langsung menyerangnya dan menindihnya.
Aku mengeluarkan senjata rahasia ku (gunting) dan mengarahkannya kepada matanya. "Aku ingin mata ini, berikan!"
"Hentikan, Akashi!" Satu temannya itu langsung berteriak panik. Sedangkan korban amukan ku sudah meronta-ronta tak jelas.
Tanganku terus ditahan agar guntingku tidak melukai wajahnya. Sial, aku tidak akan kalah! Aku mendorong dengan paksa dan guntingku meleset mengenai pipinya. Korbannya langsung berteriak kesakitan.
Tiba-tiba seseorang langsung mengunci kedua tanganku dan menyeretku paksa, menjauh dari korban itu. "Lepaskan!" Sekarang aku yang meronta.
"Kau! Obati lukanya dan pergilah dari sini." Suara yang amat sangat aku kenal menyapa telingaku. Suara itu terdengar sangat dekat tepat di belakangku. Tubuhku membeku seketika, apa jangan-jangan...
"Akashi, tenangkan dirimu." Suara itu kembali menyapa semakin lembut. Aku menggerakkan kepalaku patah-patah. Aku mendapati seorang pria bersurai hijau lumut dengan kacamata yang menghiasi wajahnya.
"Midorima-sensei..." tubuhku serasa lemas.
Midorima-sensei langsung melepaskan kunciannya dari tanganku. Ia berlutut menghadapku. Wajahnya terlihat khawatir. "Ada apa? Apa mereka melakukan hal yang buruk?" Suara yang lembut itu lagi!
"Y-ya! Mereka membicarakanku.." pandanganku jadi tidak fokus kepadanya.
Ia menarik tanganku untuk berdiri, tentu saja aku menyapa tangannya. "Ayo, biar aku antar pulang. Di mana rumahmu."
"Aku.. tinggal tidak jauh dari sini.." aku menundukkan kepalaku tak sanggup menatapnya.
Lalu kami jalan beriringan menuju apartmenku. Aku rasanya senang sekali. Aneh, perasaan macam apa ini? Aku merasa sangat nyaman berada di sampingnya.
.
Sepuluh menit kemudian, kami sampai di depan gedung apartmen ku. Aku masih menggenggam tangannya erat-erat. Tangannya hangat sekali.
"Di sini kau tinggal? Cepat masuk sana, cepat istirahat." Ia mencoba melepaskan tangannya dari genggaman ku, tapi aku tak membiarkannya.
Ia melempar tatapan bingung padaku. "Ada apa, Akashi?"
Bagaimana ini? Aku tidak ingin melepaskannya. Entah apa yang aku pikirkan, aku langsung merengkuh dokter itu ke dalam dekapanku. Aku memeluknya. Otakku pasti sudah rombeng.
Sebuah tangan besar tiba-tiba mengusap punggungku dengan sangat lembut. "Ada apa? Mereka tidak akan datang untuk mengganggumu lagi."
Tidak.. bukan itu yang aku takutkan. "Midorima-sensei.. to-tolong temani aku.." apa yang aku ucapkan?!
Aku mendengarnya menghela nafas. Apa ia kesal padaku? "baiklah, tunjukkan aku di mana apartmenmu. Aku akan menemanimu sampai kau tertidur."
Astaga, baiknya! Aku langsung berjalan ke dalam gedung apartmen dan menaiki lift hingga lantai empat. Lalu menuju apartmen bernomor 407 dan Midorima-sensei mengikutiku. Ah, ini pasti malam yang paling indah.
Sampai di dalam, aku langsung mandi dan bersiap-siap untuk tidur. Ia menemaniku sambil duduk di tepi ranjang dan juga sambil mengelus surai merahku. Benar-benar seperti ibuku. Ah, aku ingin seperti ini terus. Dan aku pun terlelap dalam sentuhannya.
.
.
.
Kyoto, 07.54.
Pagi ini cuacanya tampak cerah. Aku berusaha menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam mataku, silau sekali. Aku melihat jendela kamarku sudah terbuka dengan sangat lebar. Sehingga cahaya matahari dan angin bertiup bebas masuk ke dalam ruangan ini.
Aku mengubah posisiku yang semula terbaring menjadi duduk di ranjang. Aku mencari-cari sosok yang semalam sempat berada di sampingku, di mana dia? Aku tidak menemukannya. Aku mulai beranjak dari ranjang dan mengelilingi sendiri apartmenku, mencari seorang dokter bersurai hijau lumut dengan kacamata berframe hitam.
Sudah berapa kali aku mengelilingi apartmenku sendiri, aku tidak menemukannya. Aku memutuskan kembali ke kamarku. Baru sadarlah aku bahwa ada note kecil yang diletakkan di atas meja dekat ranjang.
"Maaf, aku harus segera pulang, karena hari sabtu pun aku bekerja. -Midorima."
Aku agak senang sekaligus kesal membacanya. Senang karena ia sempat menulis note ini dan memberitahuku kemana dia pergi. Yang membuatku kesal adalah kenapa ia harus bekerja? Padahal aku ingin mengajaknya jalan-jalan.
Ting tong... ting tong...
Bel apartmenku berbunyi tiba-tiba. Dengan segera aku melangkah menuju pintu, di balik pintu, aku mendapati seseorang yang tidak asing. Aku pernah bertemu dengannya tapi terlihat samar dalam pikiranku.
Ah, aku ingat sekarang, ia adalah supir pribadi ayahku. Omong-omong ada apa ia kemari?
"Tuan muda, saya harus mengantar anda ke rumah sakit sekarang. Tuan besar sudah menunggu di sana." Ucapnya sambil sedikit membungkuk.
Efek bangun tidur, otakku agak lamban dan aku baru ingat sekarang. Aku harus menjalani check-up rutin setiap satu bulan sekali. Kan aku sudah bilang, aku ini sakit jiwa.
"Baiklah, tunggu sebentar."
Aku langsung kembali ke dalam. Aku segera mandi dan bersiap-siap menuju rumah sakit. Kau tahu di mana rumah sakitnya? Ya, di Tokyo. Inilah hal yang paling aku benci, perjalanan jauh dari Kyoto ke Tokyo itu tidak sebentar!
.
Tokyo, 09.47.
Akhirnya aku tiba juga di sebuah rumah sakit di tengah kota Tokyo. Di distrik mana? Mana aku tahu. Hal itu tidak penting.
Setelah diturunkan di lobby oleh supir ayahku, aku segera menuju ke tempat check-up yang berada di lantai tiga. Baru terbuka pintu elevator saja, aku bisa melihat sosok ayahku yang 'sok' galak, namun berhati Doraemon itu. Aku langsung berjalan menghampirinya.
"Kau terlambat, Seijuro. Kau jadi semakin bodoh rupanya." Ucapnya tiba-tiba, seenak jidat. Urusi saja jidatmu dulu!
"Salahkan saja supirmu yang terlambat menjemputku." Aku langsung melenggang dengan 'sopan'nya menuju ruang check-up.
Sampai di dalam, dengan sangat kaget dan shock plus plus, aku langsung menutup pintu dengan kasar. Apakah ini yang dinamakan mimpi di siang bolong? Lihat! Midorima-sensei duduk manis di belakang meja menunggu kedatangan pasiennya dan pasiennya adalah AKU.
"Oh, Akashi. Kau sudah datang rupanya. Ayo kita mulai saja." Ucap Midorima-sensei terdengar ambigu di telingaku. Apa yang aku pikirkan?!
"Midorima-sensei, kenapa kau ada di sini?" Tanyaku polos seakan tidak tahu apa-apa. Ya, memang aku tidak tahu.
"Apa aku tidak memberitahumu? Setiap sabtu dan minggu aku bertugas di rumah sakit ini. Kebetulan dokter yang biasa mengurusimu berhalangan hadir. Jadi, aku menggantikannya." Ucapnya sambil membetulkan letak kacamatanya.
'Kami' langsung memulai ritual check-up dari awal hinggal selesai. Agak lama sih, tapi kalau dengan Midorima-sensei, satu abad pun aku sanggup.
"Kesehatan fisikmu memang bagus, Akashi. Apa berkat latihan basketmu?" Tanya Midorima-sensei setelah beberapa check selesai.
"Tentu saja. Aku selalu sehat dan aku tidak pernah jatuh sakit." Jawabku agak bangga.
"Ya, memang. Tapi penyakit jiwamu tidak sembuh-sembuh."
Rasanya aku ingin menusuk kepala itu dengan gunting, tapi aku terlalu menyayangkan. Memang sakit jiwa!
"Aku harap kau tidak mengamuk lagi di kelas. Karena jika kau mengamuk, tidak ada yang bisa menghentikan selain obat bius. Dan pemakaian obat bius terlalu sering itu sangat berbahaya."
"Seharusnya kalian membiarkannya saja." Ucapku cuek dan agak kesal.
"Membiarkannya? Bisa-bisa kau meledakkan gedung sekolahmu sendiri dan mengancam orang lain." Ucapnya lagi sambil membetulkan kacamatanya. Dasar pesek!
Aku langsung diam, tepatnya aku malas menjawab. Kenapa tebakannya bisa tepat? Meledakkan gedung sekolah itu termasuk dalam cita-cita ku kok. Sepertinya akan sangat keren.
"Check-up mu sudah selesai, Akashi. Kenapa kau tidak keluar dari sini?" Sialan, dia mencoba mengusir seorang Akashi?
Dengan mood yang jelek, aku berjalan gusar keluar dari ruangan itu. Aku seperti melupakan sesuatu di ruangan ini, apa ya? Ah! "Midorima-sensei, kira-kira kapan kau akan selesai?" Tanyaku sambil menengok ke arahnya.
"Pekerjaanku masih cukup lama. Ada apa?" Jawabnya tanpa repot menengok padaku dan masih fokus kepada kertas yang ada di tangannya.
"Aku.. boleh mengajakmu jalan-jalan?" Ucapku agak malu. Tapi tidak ketara sih.
Keheningan langsung menyeruak ke dalam ruangan ini. Pergerakannya pun ikut terhenti. Yang tadinya ia sedang membulak-balikkan lembaran kertas, ia langsung terdiam. Aku jadi ikut tidak berkutik juga. Kenapa jadi begini?
"Midorima-sensei?" Panggilku memecah keheningan dan Midorima-sensei langsung tersadar.
"Ada apa, Akashi?" Wow, ia masih bisa tenang juga rupanya.
"Kau belum menjawab pertanyaanku." Jawabku dengan polosnya dan pura-pura tidak tahu apa yang barusan terjadi.
Ia terlihat berpikir sejenak, menimbang keputusannya. "Boleh saja, tapi tidak sekarang. Jika waktunya tepat akan aku beritahu."
Yes! Apa artinya dia menerimaku? Tunggu, menerima untuk apa maksudnya? Kenapa pikiran ku jadi aneh begini? "Benarkah? Aku sangat menunggu ajakan Midorima-sensei." Ucapku penuh harap dengan wajah super tenang.
"Aku pastikan, aku tidak akan lupa." Ia kembali berkutat dengan kertas yang sejak tadi berada di tangannya.
"Kalau begitu... aku pulang dulu, Sensei. Ja.." aku langsung berjalan keluar dari ruangan itu.
Di luar aku disambut lagi oleh supir ayahku. "Tuan muda, tuan besar sudah pergi dengan supir kantornya. Saya ditugaskan untuk mengantar anda kembali ke Kyoto." Ucapnya sambil membungkuk 'lagi'.
Aku langsung menuju parkiran tempat di mana mobil'ku' diparkirkan. Tanpa menunggu lama, mobilku langsung melesat menuju Kyoto. Berdiam saja di apartmen pasti akan sangat bosan. Enaknya ngapain ya? Masa mencari mangsa? Mana ada.
Tiba-tiba, ponselku bergetar. Aku langsung mengambilnya dari saku celanaku, ada email masuk. Email itu dari.. Reo-senpai? Ada apa? Tumben sekali.
"Sei-chan~ kumpul yuk di restoran dekat sekolah. Mayu-chan mau ajak kita makan lho~ tenang saja hanya tim reguler yang diundang. Kalau kau mau, datang saat jam makan siang ya~ -Reo."
Mayuzumi-senpai mengajak kami makan? Memangnya ada sesuatu yang istimewa? Aku pikir pertandingan Inter-high belum dimulai, kenapa sudah dirayakan kemenangannya? Ah, maaf aku terlalu peecaya diri. Tapi yang aku katakan memang benar sih.
Aku mencoba berpikir kembali, sepertinya memang ada sesuatu hari ini. Kemarin sempat ada yang bilang sesuatu tentang hari ini, tanggal ini. Tanggal? Aku langsung mengecek ke ponselku. Tanggal 1 Maret? Akhirnya aku ingat! Hari ini ulang tahunnya Mayuzumi-senpai!
.
.
.
To be continued.
Haiyaaaa ketemu lagi dengan saya dengan cerita yang baru! hehe gatau diri memang, padahal ada dua fic lagi on going itu.
Di sini saya ingin meluruskan satu hal, Akashi tidak semenyek-menyek yang kalian bayangkan. Ia tetap manusia galak yang suka kalian tonton. itu mah cuma suara hatinya aja yang unyu-unyu wkwk
Kalau begitu, selamat membaca dan WELCOME! untuk first readers! jangan lupa tinggalkan review ya~ semoga kalian suka.
Sampai bertemu di chapter berikutnya (rencana ada 3 chap)
Ja~
