Buagh.
"UWAAH!"
Satu pukulan telak diterima sang pemuda Akimichi dari lawan yang tengah dihadapinya. Pukulan dengan tenaga tidak main-main tersebut bahkan berhasil membuat Akimichi Chouji terhempas sejauh tiga meter dan terguling beberapa meter lagi. Hal ini membuat sang pengendali bayangan terkesiap dan refleks berteriak.
"CHOUJI!"
Sosok lain berkulit gelap dan berambut merah berusaha lari menghampiri pemuda yang dipanggil Chouji tersebut. Namun, pergerakannya dihadang oleh pemuda bertubuh kekar dengan kulit yang juga berwarna kecokelatan. Gerakan pemuda itu sedikit kaku, tapi tim Konoha tahu bahwa kekuatan musuh yang tengah mereka hadapi ini tidak main-main. Shinobi-shinobi Kumo bukan lawan yang enteng dan kondisi mereka saat ini yang seolah tengah terhipnotis menambah nilai serang dari para shinobi tersebut.
Yamanaka Ino dalam tubuh seorang gadis berambut merah langsung menggertakkan giginya. Ia mengeluarkan kunai dan mulai melawan musuh di hadapannya dengan gerakan yang cekatan. Pun demikian, gadis itu juga sedikitnya menjaga jarak agar tidak terkena hantaman langsung dari pemuda berotot di hadapannya. Ino tahu, tubuh yang ia rasuki sekarang tidak akan kuat untuk menahan hantaman langsung—minimal patah tulang tidak dapat dihindarkan. Kondisi itu akan sangat berbahaya, bahkan bagi jiwanya yang sedang berada dalam tubuh pinjaman tersebut.
Melihat perjuangan Ino, fokus Nara Shikamaru sedikit terpecah. Bulir-bulir keringat mulai mengaliri pelipisnya sementara ia memikirkan taktik untuk bertahan. Sesungguhnya, sejak awal Shikamaru merasa tindakan mereka yang langsung mengkonfrontasi tim Kumo yang diduga telah dikendalikan Kabuto adalah tindakan bunuh diri. Misi mereka seharusnya mencari tahu apa yang menjadi tujuan dari para shinobi Kumo yang bertingkah di luar kewajaran—bukan justru melawan mereka.
Tetapi saat itu, tidak ada jalan lain untuk mengulur waktu. Mereka harus menyerang. Dan meskipun Shikamaru sempat mengirimkan pesan darurat untuk mengirimkan tim cadangan, tampaknya tim tersebut tidak dapat datang tepat waktu.
Ayo, pikir, pikir. Pasti ada jalan!
Saat Shikamaru tengah berpikir, mendadak suara Chouji yang keras menampar kesadaran Shikamaru.
"SHIKAAA! LARIII!"
Shikamaru terperanjat saat di hadapannya sudah ada sosok yang seharusnya terikat oleh Kagemane miliknya. Sesaat ia lengah, dan Kagemane melemah. Pemuda berambut putih dengan tatapan dingin itu sudah berada di hadapannya. Tangannya terangkat dan sekejap saja, Shikamaru terpelanting beberapa meter jauhnya—meninggalkan tubuh Yamanaka Ino yang semenjak tadi ia jaga di sampingnya.
"SHIKAAAMARUU!" teriak Ino. "KYAAAA!"
"U-Ugh!" Shikamaru memegangi kepalanya yang terasa sedikit berdenyut akibat hantaman keras dari lawannya ditambah benturannya dengan bebatuan dan tanah saat ia terjatuh tadi. Pandangannya mulai kabur. Namun, samar-samar ia masih bisa melihat. Pemandangan yang membuatnya menahan napas.
Sosok Chouji masih jauh di sana—berusaha bangkit sembari memegangi perutnya. Lalu, sosok gadis berambut merah yang dirasuki Ino saat ini tengah meronta-ronta karena lehernya tercekik—tidak jauh dari tempat Shikamaru berada sekarang. Lalu … pemuda berambut putih yang baru saja memukulnya tadi, kini tidak menaruh perhatian padanya. Tidak—bukan pada Shikamaru.
Tetapi … pada sosok tubuh tak berjiwa yang saat ini tidak ada penjagaan. Tangan kanannya yang memegang kunai terangkat.
Shikamaru pun paham, betapa kritis kondisi ini.
"INOOOO! KEMBALI KE TUBUHMU SEKARANGG!"
Ino dalam tubuh gadis berambut merah terkejut akan teriakan Shikamaru. Ia pun tak berlama-lama menunggu. Jiwa Ino dalam tubuh gadis berambut merah langsung membuat segel dan menggumamkan, "Kai!" Ino harus segera melepaskan jutsu-nya ntuk dapat kembali ke tubuhnya semula—meninggalkan tubuh gadis berambut merah yang langsung berhenti melakukan perlawanan dan kemudian menunjukkan postur yang lunglai.
Di saat-saat yang genting itu, Chouji masih berusaha untuk bahkan bisa berdiri di atas kedua kakinya. Andai ia bisa bergerak saat itu, tentu ia sudah akan berlari secepat yang ia bisa ke arah pemuda berambut putih yang tengah menghunuskan kunai. Sementara di tempatnya berada, Shikamaru berusaha untuk membuat segel Kagemane di tengah-tengah kesadarannya yang menipis karena darah di pelipisnya belum juga berhenti mengalir.
Sempatkah?
Bayangan hitam baru akan bergerak meliuk untuk mengejar waktu. Namun, takdir tidak bisa menunggu. Dan tidak ada tanda-tanda bahwa kelopak mata itu akan membuka memperlihatkan biru.
Sementara, bagian tajam dari kunai itu sudah melesak—berusaha menembus pertahanan daging di area organ pengatur hidup.
"TIDAAAKK!"
Merah memancar. Menyembur keluar tak henti.
YOUR SOUL
Disclaimer : I do not own Naruto. Naruto © Masashi Kishimoto
I don't gain any commercial advantage by publishing this fanfic. This exactly is just for fun.
Story © Sukie 'Suu' foxie.
Shika/Ino.
Warning: AR-canon setting with modification. Probably rush-on-attack.
ShikaIno fanfic for ShikaIno Fanday; September 22th-23th.
If you love ShikaIno, please join:
ShikaIno FB Group (Purple Haze), twitter phazesanctuary, fansite : www. phaze-ina. co. nr (without the space)
Happy ShikaIno Fanday~! Spread the love of ShikaIno~!
Long live ShikaIno!
Chapter 1.
Bloody Birthday
Di atas ranjang sebuah rumah sakit, sosok pemuda berambut hitam itu terduduk. Rambutnya yang biasa dikuncir ke atas kini berjatuhan hingga sebatas pundaknya. Tatapan mata hitamnya yang menyiratkan kerap menunjukkan kejeniusan di balik kemalasan kini hanya menunjukkan kekosongan belaka.
"Shikamaru … Nak …."
Nara Yoshino tampak tak kuasa melihat kondisi anaknya. Ibu mana yang tidak khawatir melihat anaknya dengan perban di kepala? Selain itu, Shikamaru tampak lebih diam dari biasanya dan menunjukkan gelagat bahwa ia seolah tidak lagi bisa melihat dunia di sekelilingnya.
Sesuatu telah direnggut darinya.
Namun, Shikamaru tidak begitu saja membiarkan dirinya terlena. Ia belum tahu kondisi sahabatnya yang lain semenjak ia kehilangan kesadaran di tengah-tengah pertarungan mereka.
"Chouji … bagaimana?"
Menggantikan Yoshino menjawab, Shikaku-lah yang membuka mulut, "Dia masih tertidur pulas saat ini. Tapi tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari kondisinya—Tsunade-sama sudah menyembuhkan luka-luka yang bisa berakibat kritis baginya."
Shikamaru bungkam. Hanya sedikit Shikaku bisa melihat raut kelegaan di wajah Shikamaru yang tidak 'hidup'.
Bibir pemuda tunggal keluarga Nara itu kembali bergerak. Perlahan dan sedikit terbata.
"I—no?"
Yoshino menutup mulutnya dengan sebelah tangan. Bulir air mata sudah mengambang di kedua pelupuk matanya. Shikaku menepuk pundak Yoshino sekilas sebelum menjawab,
"Saat gabungan tim tujuh dan tim delapan yang ditugaskan menjadi tim bantuan, sebagaimana permintaanmu, datang … Ino sudah …." Rupanya Shikaku pun tidak sanggup melanjutkan lebih jauh daripada itu. Ia terdiam dan mengamati kondisi putranya. Tidak ada pergerakan dari tubuh Shikamaru selain kedua tangann yang langsung mengepal di atas pangkuan.
Selanjutnya, hening panjang. Yoshino bahkan mati-matian menahan diri agar isakannya tidak keluar.
Shikaku paham, tentu ini adalah pukulan telak bagi putranya. Melihat kematian sahabatnya sendiri dan perasaan putus asa karena tidak dapat melakukan apa pun … tentu itu bukan perasaan yang menyenangkan. Dan meskipun ketiga shinobi Kumo yang menjadi target misi mereka berhasil diamankan untuk selanjutnya diurus oleh Departemen Interogasi dan Penyiksaan, hal itu tidak sedikit pun mengubah suasana duka yang tengah berlangsung. Sama sekali.
Kehilangan mereka jauh lebih besar dari apa yang berhasil mereka dapatkan.
"Aku akan melihat kondisi Inoichi dahulu."
Shikaku akhirnya memutuskan untuk memberi ruang bagi putranya. Demikian Yoshino secara terpaksa mengikuti langkah sang suami—meninggalkan ruangan tempat anaknya berada saat ini. Begitu pintu ruangan itu tertutup, samar-samar Shikamaru bisa mendengar ucapan Yoshino.
"Ini … hari ulang tahunnya yang paling buruk. Sangat buruk."
Tatapan Shikamaru yang sempat mengarah pada pintu, ini kembali memandang ke arah kedua tangannya. Perlahan, tangan itu terangkat dan menyentuh pelipisnya.
Sakit. Lukanya masih terasa sakit. Tapi lebih dari pada itu. Ada luka lain yang mungkin tidak akan bisa disembuhkan.
"Kusoo!" umpat Shikamaru sementara tubuhnya semakin membungkuk. Tangannya terkepal makin erat dan giginya menggemeretak. "Kussooo!"
Dia adalah laki-laki. Tapi, laki-laki juga berhak untuk merasa sedih dan hancur, 'kan?
o-o-o-o-o
Mata sipit pemuda berambut kelam itu semakin dan semakin kosong. Meski ia berupaya keras mengubahnya melalui logika—kematian adalah hal yang biasa dijumpai shinobi—tetapi kesedihan dan penyesalan itu tidak mau menjauh dari benaknya. Atau mungkin, jika ia boleh beralasan, belum mau menjauh.
Nara Shikamaru perlahan turun dari ranjangnya. Dengan kaki yang hanya dilapisi sandal tipis, ia perlahan-lahan menyeret tubuhnya keluar dari ruangan. Kondisinya belum stabil, tetapi ia memutuskan untuk memastikan.
Dia ingin membuat dirinya lebih tenang dengan memastikan bahwa Chouji memang baik-baik saja sekaligus ingin menghapuskan penyesalan dengan beranggapan bahwa cerita tentang Ino adalah omong kosong belaka.
Shikamaru menyeringai.
Heh—cewek merepotkan itu pasti hanya bercanda. Tousan dan Kaasan juga hanya bersandiwara. Tentu, ini adalah kejutan untuk hari ulang tahunku, 'kan?
Dengan pemikiran seperti itulah, Shikamaru yang berbalutkan baju hitam lengan panjang akhirnya sampai di ruang Chouji setelah ia bertanya pada salah seorang perawat yang sempat ia temui. Semula, Shikamaru hendak masuk, tetapi dari celah pintu, pemuda itu bisa memastikan bahwa sahabatnya memang baik-baik saja. Chouji yang saat ini hanya didampingi ibunya terlihat tengah berusaha menghabiskan makanannya.
Ah, Shikamaru lupa membuat catatan mental ini: Chouji memang baik-baik saja—fisiknya.
Dari apa yang Shikamaru lihat, Chouji makan tidak selahap biasanya. Lebih jauh dari itu, ekspresi wajahnya terlihat kaku dan di kedua belah pipinya yang tembam, Shikamaru bisa melihat jejak air mata.
Chouji juga ikut-ikutan bermain drama.
Shikamaru menggeleng dan kemudian menarik langkah mundur. Penyangkalan demi penyangkalan terus ia buat. Ia tahu ia hanya berusaha melarikan diri, tapi sulit untuk tidak berbuat demikian. Ia tahu bahwa ia tengah dikuasai emosi, tapi ia sedang tidak bisa bertumpu pada logikanya yang biasa.
Shikamaru kembali melangkah. Berbalik arah. Lalu menanyai salah satu perawat yang tampak terengah dan kembali bergerak lebih cepat untuk mencapai ruangan yang sebetulnya tak akan pernah berpindah.
Di sinilah ia.
Di depan sebuah ruangan yang membuatnya meneguk ludah pahit.
Isak tangis masih terdengar dari dalam—membuatnya semakin enggan untuk masuk. Namun ia harus memastikan hingga ia bisa lepas dari jeratan bersalah yang menusuk.
Dibukanya pintu ruangan itu secara perlahan. Hanya sedikit untuk sekadar memberi celah. Isakan tangis menjadi hal yang pertama menyambutnya. Lalu matanya menjelajah; menemukan kedua orang tuanya tengah menghibur—atau begitulah yang Shikamaru kira—dua orang yang terlihat begitu terpuruk.
Shikamaru mengenal kedua orang tersebut. Tuan dan Nyonya Yamanaka.
Meskipun demikian … apakah wajah suram penuh duka itu juga adalah sandiwara untuk merayakan ulang tahunnya?
Ini … terlalu nyata.
Shikamaru terpaku di tempatnya. Dia tidak bergerak—kaku. Nyaris ia membiarkan kakinya lunglai seandainya tangannya tidak sigap memegang kusen pintu. Keberadaannya pun sekejap mengundang perhatian Shikaku.
"Shikamaru …."
Shikamaru tidak bisa menghindar. Terutama saat Shikaku menghampirinya dan membuka pintu lebih lebar. Mata Shikamaru pun kini bisa melihat pemandangan yang sebelumnya hanya bisa ia lihat samar.
Di tengah ruangan, di atas sebuah pembaringan, di sana … seorang gadis berambut pirang memejamkan matanya. Kedua tangannya terlipat rapi di atas perut. Diam; tenang. Tidak ada pergerakan—tidak sedikit pun. Tidak ada indikasi bahwa … ia hanya sedang tertidur. Tidak.
Shikamaru berjalan terseok ke arah sosok yang sangat ia kenali. Diabaikannya tiap-tiap tatapan mata yang juga mengandung simpati di samping sedih yang belum juga mau pergi. Di samping tempat tidur itu, kini Shikamaru berdiri. Tangannya menggenggam pinggiran kasur sebelum perlahan bergerak ke arah pipi sang gadis yang tak juga bereaksi.
Dengan lembut, Shikamaru kemudian membelai pipi yang mulai terasa dingin.
"Ino," gumamnya.
Tidak ada jawaban. Tidak ada sahutan. Tidak sedikit pun pergerakan.
"Ino," ulangnya dengan hati yang terasa makin patah. "Ino, buka matamu."
"Shikamaru," Yoshino—Nyonya Nara—berujar sembari menggenggam bahu Shikamaru, "Shikamaru, mengertilah. Ino sudah—"
"Ino!" ujar Shikamaru keras kepala. "Ino! Kumohon!" Sekali ini, Shikamaru menggenggam tangan Ino dengan erat. "Ino …." Kepalanya pun tertunduk—menempel pada kedua punggung tangannya yang sedang menggenggam tangan Ino. "I—"
'BERISIK! Mau apa, sih, manggil-manggil terus?'
Mata Shikamaru terbelalak. Ia mengangkat wajahnya dan segera mengamati wajah yang masih terdiam di hadapannya. Tunggu! Shikamaru yakin kalau ia baru saja mendengar suara Ino. Tapi …
"I … no?" tanya Shikamaru tidak percaya.
'Ya?'
Shikamaru menoleh. Namun, yang ia temukan hanya kedua orang tuanya serta Tuan dan Nyonya Yamanaka yang kini memandangnya dengan tatapan bingung. Sejujurnya, tak hanya keempat orang itu yang merasa bingung. Shikamaru pun merasakan hal yang sama.
"Kalian … barusan dengar?" Shikamaru berujar pelan. Tidak ada yang langsung merespons—semua sibuk mencerna pertanyaan Shikamaru yang sama sekali tidak menjelaskan apa pun. Shikamaru tak menyerah. "Kalian barusan mendengar suara Ino?"
Pekikan napas tertahan terdengar dari arah Nyonya Yamanaka. Ia spontan menutup mulutnya dengan tangan.
"Suara Ino?" Yamanaka Inoichi yang menjawab sekali ini. "Apa maksudmu?"
"Aku baru saja—"
'Hei, hei, Shika …." Suara Ino kembali terdengar.
Shikamaru bungkam untuk bisa mendengar dengan lebih jelas.
'Kurasa, tidak ada orang lain yang bisa mendengar suaraku. Kau sadar tidak, sih?"
Shikamaru hanya mengangkat alis. Sungguh, ia masih tidak mengerti apa yang tengah terjadi. Apa dia mulai gila? Berhalusinasi?
'Aku ini … maksudku … jiwaku saat ini ….' Suara Ino terputus sesaat. Shikamaru nyaris panik, tapi kemudian ia merasa lega saat suara itu kembali terdengar. 'Tampaknya, jiwaku entah bagaimana terperangkap dalam tubuhmu.'
o-o-o-o-o
Di halaman belakang rumah sakit, Shikamaru terduduk di bangku batu. Jemarinya saling berkaitan dan ia tempelkan ke dahinya. Rambut yang tidak sempat ia ikat, berjatuhan menutupi wajahnya yang tampak tengah berpikir keras. Ini sangat rumit.
Sesaat, Shikamaru kembali teringat detik-detik menjelang tragedi berdarah. Kunai itu siap ditancapkan ke dada rekan satu timnya. Seharusnya, semua selesai sampai di sana. Meninggalkan kenyataan pahit bahwa kehidupan shinobi memang tidak lepas dari yang namanya kematian.
Namun …
'Shika~'
… suara itu menjadi segala bantahan yang bisa memutarbalikkan fakta.
"Tolong diam sebentar," ujar Shikamaru dengan suara yang agak serak. "Aku masih tidak percaya …," lanjut Shikamaru setelah menelan ludah, "jiwamu berada dalam tubuhku saat ini?! Dan dugaanmu, saat kau hendak kembali ke tubuhmu dan melepaskan shintenshin, jiwamu justru mendarat di tubuh yang paling dekat saat itu—yang kebetulan saat itu adalah tubuhku—karena saat itu tubuhmu tidak lagi bisa beroperasi sebagaimana semestinya? Maksudku, karena para shinobi Kumo itu sudah …."
'Ada alasan lain yang lebih masuk akal?' jawab suara yang sudah bisa Shikamaru yakini sebagai suara Ino—suara dari 'jiwa' Ino yang berdiam dalam tubuhnya.
Shikamaru menjauhkan tangannya dari wajah dan menghela napas. "Aku tidak tahu. Semua terasa ... bagaikan mimpi. Bahkan penjelasan bahwa 'jiwamu' sempat 'pingsan' di dalam tubuhku akibat shock dan baru kembali sadar setelah aku memanggilmu terasa tetap tidak masuk akal. Terlalu mengada-ngada menurutku."
'Yaa~ hanya itu, sih, penjelasan yang bisa kupikirkan saat ini.' Suara Ino kembali terdengar. Meski Shikamaru tidak bisa melihatnya, entah kenapa pemuda Nara ini membayangkan sosok Ino yang tengah memainkan rambut panjangnya dengan jari telunjuk. 'Jadi …?'
"Jadi apa?"
'Yah ... jadi kau mau bagaimana?'
"Kau berharap aku melakukan apa?"
'... Shirane yo—aku tidak tahu.'
Sekali lagi Shikamaru menghela napas. Ia kemudian mendongakkan kepalanya.
Ah—langit biru dan awan putih. Sesuatu yang ia butuhkan saat ini. Ketenangan.
Sejujurnya, ia masih merasa bingung dan kacau. Ia tidak pernah menyangka—sama sekali—bahwa ia masih akan mendapat kesempatan untuk mendengar suara Ino. Ino yang dianggap sudah ….
Untuk sementara, Shikamaru sudah menjelaskan situasinya pada ayah dan ibunya, serta Inoichi dan Minori. Tentunya mereka tidak serta-merta percaya, tetapi setelah beberapa pertanyaan interogasi Inoichi dijawab tepat oleh Shikamaru—yang mendapat bisikan langsung dari Ino—mau tidak mau Inoichi sedikit percaya.
Inoichi pun melesat setelah berkata bahwa ia akan mencari-cari di kitab lama mengenai cara pemindahan jiwa jika tubuh yang akan menjadi inang seharusnya sudah tidak dapat beroperasi. Shikaku bergegas tak lama kemudian—bermaksud menyampaikan berita ini pada Hokage dan meminta agar tubuh Ino dimasukkan ke dalam pendingin agar tidak membusuk. Yamanaka Minori sendiri terlihat kelelahan dan memutuskan untuk mengambil tempat duduk ditemani Yoshino. Sementara Shikamaru, setelah memandang tubuh Ino yang kaku selama beberapa saat, ia pun segera meninggalkan ruangan dan beranjak ke halaman belakang rumah sakit.
Ia butuh ketenangan—ia butuh penjelasan. Yang masuk akal baginya; yang bisa dilogika oleh otak jeniusnya.
Meski ia bisa sedikitnya meyakinkan keempat orang lainnya, ia sendiri juga tidak sepenuhnya merasa yakin. Ia tidak bisa memahami situasi ini. Ia tidak mengerti.
Ia tidak tahu-menahu.
Tetapi … ia bisa mencari tahu, bukan?
"Ino …," panggil Shikamaru pada sesosok jiwa tak berwujud yang bahkan ia sendiri tidak bisa lihat.
'Hm?'
"Bersabarlah, aku akan mencari cara untuk mengembalikanmu," ujar Shikamaru dengan mata yang masih memandang ke arah langit. "Untuk saat ini, aku memang masih tidak percaya. Tapi kuanggap ini sebagai kesempatan yang lain."
'Shika …."
"Karena itu … sampai saat aku menemukan cara untuk mengembalikan jiwamu ke tubuhmu …." Sesaat Shikamaru terdiam. Mata yang semula menyiratkan kebingungan itu kini dipenuhi cahaya determinasi. "Jangan kau berani-beraninya meninggalkan tubuhku. Tetap di tempatmu sekarang."
'… Aku tidak tahu harus bereaksi apa,' jawab Ino setelah hening sesaat, 'kata-katamu keren, sih. Tapi di sisi lain, kok terdengar jadi agak mesum, ya?'
Shikamaru memutar bola matanya. "Mendokuse!"
Di dalam kepala Shikamaru yang kini sudah bangkit dari posisi duduknya, terdengar suara cekikikan khas Yamanaka Ino. Entah mengapa, sosok yang biasa Shikamaru anggap merepotkan kini menjadi begitu ia rindukan.
Ia ingin melihat senyum itu.
'Wow, wow, kau mau ke mana, Shika? Terburu-buru sekali?' tanya Ino saat Shikamaru mulai berjalan dengan langkah yang cukup tergesa.
"Sudah kubilang tadi, 'kan? Aku akan menemukan cara untuk mengembalikanmu ke tubuhmu semula."
'Ha-aai?'
"Dan cara itu pasti akan kutemukan sebelum hari berganti. Pasti."
***つづく***
ShikaIno Fanday akhirnya datang lagi~! Sama kayak tahun-tahun kemarin, tahun ini saya juga akan bikin two-shots. Kali ini … temanya mungkin mix fluff-dark? Tahu deh apa namanya. Hahaha.
Jujur, ini fanfict SIFD idenya udah nangkring udah dari kapan, tapi eksekusinya justru di saat-saat akhir, ngebut. Maklum, sejak kerja jadi jarang punya waktu ngetik fanfict. Huhuhu. Moga-moga alurnya nggak berasa terlalu rush dan masih bisa dinikmati, deh! :D
Sebelum mengakhiri penutup yang panjang ini … otanjoubi omedetou, Shikamaru~! Happy SIFD, minna-chan! X""D
Oke deh, kayaknya sekian cuap-cuap saya, jangan lupa beritahukan pendapat, pesan, kesan, kritik minna-san tentang chapter ini via review. Okay, okay? XD
I'll be waiting.
Regards,
Sukie 'Suu' Foxie.
~Thanks for reading~
