Summary : Kita bertemu secara kebetulan, ya? Tapi aku merasa nasib kita sama. Dunia memang sempit

We Are Same © Hayi Uchiha

Disclaimer : Bleach © Kubo Tite (of course), and this fanfic is mine

Warning : OOC, tijel, typo, etc

Happy Reading ^^


Chapter 1 : Pertemuan Kami, Aku Hampir Membuatnya Celaka


Aku menatap pemandangan kota Tokyo dari balik jendela mobilku. Tidak begitu jelas, karena diluar sedang hujan. Yah, lagipula aku tidak begitu memerhatikan pemandangan di luar, jadi aku tidak akan protes kepada siapapun.

Namaku Ulquiorra Schiffer. Umurku 20 tahun. Aku baru tinggal selama lima bulan di kota ini. Selama ini aku tinggal di Spanyol. Aku pindah ke Jepang karena ibuku memilih tinggal di negaranya ini karena suatu alasan yang belum ingin kuceritakan pada kalian. Aku memang anak blasteran Spanyol-Jepang.

Aku bersyukur sejak kecil ibuku sudah memaksaku untuk belajar bahasa Jepang . Kalau saja aku tidak mempelajarinya, entah apa yang terjadi. Pasti aku akan dicap sebagai 'si tampan berbahasa planet' oleh orang-orang Jepang ini. Dan kalau kalian merasa aku menyombongkan diri dengan kata-kata 'si tampan' itu, tolong lihat dulu rupaku. Sudah banyak perempuan baik di Spanyol maupun Jepang yang bertekuk lutut padaku.

"Tuan Muda Schiffer, silahkan turun. Kita sudah sampai di Kurosaki Mansion" ujar sopir mobil yang sedari tadi kutumpangi. Lihat, saking asyiknya bercerita tentang 'si tampan', aku jadi tidak memerhatikan kalau aku sudah sampai di rumahku, atau mungkin rumah tiriku. Itu hanya perumpamaanku saja, ya.

Tanpa berkata apapun lagi, aku segera turun dari mobil dan berjalan memasuki pintu utama Kurosaki Mansion yang mewah ini. Beberapa pelayan tampak menyambutku sambil berkata, "Selamat datang, Tuan Muda", yang kubalas dengan anggukan kepala.

Aku memilih untuk cepat sampai di kamarku. Bukan apa-apa, aku hanya tidak ingin bertemu dengan orang-orang itu.

Sayangnya Dewi Fortuna sedang berada jauh dari tempatku, karena di hadapanku kini berdiri seorang bocah (sebenarnya pemuda karena dia seumuran denganku, tetapi kelakuannya seperti bocah).

"Yo, Ulquiorra" sapanya ringan, seolah-olah kami sudah saling kenal sejak lama. Tangannya terangkat satu untuk melakukan high five denganku. Tapi begitu melihatku yang hanya diam berdiri tanpa bereaksi apapun, tangan itu turun dengan sendirinya.

"Permisi Kurosaki, aku ingin lewat" ujarku pelan setelah beberapa saat.

Bocah berambut mencolok di depanku ini menampakkan seringainya. Seringai yang menurutku sangat menyakitkan mata untuk dilihat. "Beraninya kau mengusir pemilik rumah dari rumahnya sendiri" katanya.

Aku menatapnya dengan pandangan datarku. Karena dia tidak mau bergerak dari tempatnya, kuputuskan untuk mengambil jalan di sebelahnya. Tapi si rambut oranye ini malah menggeser posisi sehingga dia lagi-lagi berada di depanku.

"Mau kemana kau?" tanyanya, masih dengan seringai terpasang di wajah. Aku menghela napas. Yang benar saja, masa aku harus melumpuhkannya dengan pukulanku.

"Ichi-nii, jangan ganggu Ulquiorra-nii. Dia pasti lelah setelah pulang dari kuliahnya" untung saja ada seseorang yang mau menolongku. Oh, mungkin yang harus bersyukur adalah si pemuda oranye ini, karena adik bungsunya tiba-tiba datang. Kalau tidak, kupastikan si oranye ini memiliki lebam di pipinya.

"Yuzu, sudahlah. Berhenti membela si zombie ini" dia menunjukku. Aku, walaupun memasang wajah datar, sudah berniat untuk membalas ucapan di oranye ini.

"Hentikan sikap konyolmu ini, JERUK" ucapku, memberi penekanan di kata 'jeruk'. Berhasil, tampaknya dia sudah mulai marah, tapi ini segera dihentikan oleh asiknya yang bernama Yuzu itu. Yuzu kemudian menarik si jeruk dari koridor ini, sementara aku berjalan menuju kamarku.

.

.

.

Aku belum menceritakan ya pada kalian, siapa saja kedua orang tadi dan persoalan yang kualami sekarang ini.

Ibuku, Kurosaki Masaki, bercerai dari ayahku ketika umurku 17 tahun. Penyebabnya aku sendiri tidak tahu. Sejak saat itu aku tinggal berdua saja dengan ibuku di Spanyol, tapi karena tidak tahan dengan kesepian, ibuku pindah ke Jepang dua bulan yang lalu. Aku ikut saja, karena di Spanyol aku tidak punya tempat tinggal. Ayahku pindah rumah sejak perceraian itu dan tidak memberitahuku dimana alamatnya.

Di Jepang, aku terkejut ketika mendapati ibuku sudah berencana akan menikah lagi dengan seorang pria bernama Shiba Isshin, yang merupakan seorang duda. Yang jadi masalah bukan status dudanya, tapi mengenai tiga anaknya itu. Selama ini aku hidup sebagai anak tunggal, sih.

Anaknya yang pertama namanya Shiba Ichigo, si rambut oranye menyebalkan itu. Dia seumuran denganku, dan satu universitas denganku, Tokyo University of Science. Untung saja kami beda fakultas. Aku berada di Science & Technology, sementara Ichigo berada di Science Division. Aku tidak tahu bagaimana caranya dia bisa masuk ke sana dengan otak udangnya itu.

Anak kedua bernama Shiba Karin. Umurnya 18 tahun. Aku tidak begitu tahu dan tidak mau tahu, tapi kudengar dia memiliki six sense. Sifatnya agak kurang ajar kepada Isshin, tapi aku tahu dia baik, tidak seperti kakak sialannya itu.

Si bungsu Shiba Yuzu adalah yang paling baik. Terkadang aku sedikit kasihan melihatnya sering dimarahi oleh Ichigo karena sudah terlalu sering membelaku.

Sudahlah, aku tidak berminat untuk membahas keluarga ini. Aku terlalu muak dengan segalanya.

.

.

.

Pagi ini, lagi-lagi aku bangun lebih dulu dari yang lain, dan tentu saja berangkat kuliah lebih dulu dari si jeruk. Beberapa pelayan yang melihatku berangkat sepagi ini mengerutkan kening, heran. Jelas saja, sekarang masih jam 6.30, sedangkan kelas dimulai jam 8.

Aku terburu-buru mengambil roti tawar dan mencari selai apapun untuk kuoleskan di roti ini. Mendadak datang seseorang yang menyodorkan wadah selai coklat padaku.

"Yuzu…" kataku begitu melihat si penyodor. Yuzu tersenyum. "Ini, Ulquiorra-nii. Kau mencari ini, kan?" tanyanya. Aku hanya mengangguk dan mengambil wadah itu, kemudian mengoleskan selai ke roti.

"Sesekali berangkatlah dengan Ichi-nii. Supaya kalian lebih cepat akrab" katanya sambil mengambil sebuah roti untuk dirinya sendiri.

Aku diam saja. Ini bukan pertama kalinya gadis berambut coklat muda ini mengatakan hal itu padaku. Aku tahu dia hanya ingin aku dan Ichigo tidak bertengkar.

"Aku berangkat" kataku pelan setelah selesai memakan rotiku. Yuzu mengangguk. Aku segera meninggalkan rumah itu dan menuju ke kampusku.

.

.

.

Mengemudikan mobil jika sedang kacau itu tidak baik. Dan rasanya hal itu berlaku juga padaku sekarang.

Sejak tadi, pikiranku dipenuhi dengan seseorang. Seseorang yang sangat kusayangi. Yang sudah membuatku terpuruk juga.

"Orihime…" ucapku tanpa sadar. Tepat setelah aku mengucapkan nama itu, di depan mobilku melintas seorang gadis. Terkeut, aku langsung banting setir ke pinggir jalan. Beberapa orang yang melintas segera berkerumun untuk melihat kejadian ini.

"Kau tidak apa-apa?" tanya dengan wajah datar begitu keluar untuk menghampiri gadis itu. Aku sedikit khawatir, walaupun aku tetap memajang pose datar ini.

Beberapa remaja perempuan langsung menjerit pelan ketika melihatku turun dari mobil. Aku tahu aku tampan, tapi aku tidak memedulikan jeritan aneh itu sekarang.

Gadis yang (sepertinya) kutabrak tadi buru-buru berdiri setelah melihatku mendekat. "Aku tidak apa-apa. Sudahlah, pergi saja sana!" usirnya.

Aku terperangah. Selama ini tidak ada yang mengusirku seperti ini. Bahkan biasanya kaum hawa malah akan berpura-pura sakit bila kuperlakukan seperti tadi.

"Cih, aku ini tidak seperti kebanyakan perempuan yang suka bermanja-manja dan berpura-pura sakit ya!" hardiknya. Lagi-lagi aku terkejut. Apa dia memiliki six sense, sampai bisa membaca pikiranku itu? Rasanya kalau dia benar punya kemampuan itu, dia lebih hebat dari Karin.

Dengan langkah terseok-seok, gadis galak itu pergi meninggalkanku. Aku berjalan mengikutinya. Bukan apa-apa, aku hanya tidak ingin aku dituntut oleh keluarganya karena sudah melukai gadis berambut hitam sebahu ini. Pergelangan kaki kanannya biru, sepertinya terkilir saat jatuh di jalan tadi.

Baru berjalan beberapa langkah, gadis itu langsung terjatuh. Buru-buru aku menangkapnya. Jarak wajah kami hanya terpaut beberapa centi saja. Walau sekilas, aku melihat wajahnya memerah.

"Lepas!" serunya. Dia meronta-ronta, berusaha melepaskan diri dariku.

"Hei, lihat kakimu! Kau tidak bisa berjalan jika kakimu bengkak seperti itu!" seruku kesal. Sudah bagus aku mau bertanggung jawab, aku kan tidak seperti Ichigo yang akan kabur kalau mengalami hal ini.

"Aku bisa berjalan! Kau urus saja urusanmu!" balas gadis pemarah ini. Orang-orang yang tadinya sudah bubar, sekarang kembali menontoni kami.

"Sudah bagus aku mau bertanggung jawab!" bentakku. Gadis itu mendadak terdiam. Lalu terdengar beberapa bisikan dari kerumunan orang yang membuatku sadar apa dampak dari perkataanku tadi.

"Kukira mereka tidak saling mengenal, ternyata… Sepasang kekasih yang sedang bertengkar ya?"

"Oh, kau mengira seperti itu? Kukira mereka suami istri!"

"Perempuan itu hamil ya? Buktinya, laki-laki tampan itu bilang dia bertanggung jawab"

Aku tidak tahu apa yang harus aku katakan. Sontak, wajah kami berdua terasa panas.

.

.

.

"Jadi kau benar-benar ingin menolongku tadi?" tanyanya. Aku mengangguk. "Sumimasen, kukira kau punya niat jahat padaku" sambungnya. "Enak saja" balasku sedikit tidak terima.

Sekarang kami berada di apartemen gadis itu. Namanya Hinamori Momo. Usianya satu tahun dibawahku. Kami berhasil kabur dari kerumunan massa setelah dengan sangat sangat terpaksa aku menggendongnya di punggung. Aku tidak punya maksud apa-apa, sungguh.

"Mmm… Ulquiorra-san?" panggilnya padaku yang sedang membalut kakinya dengan perban.

"Apa?" responku tanpa mengalihkan pandangan dari kaki jenjang nan mulus milik Hinamori ini. Astaga, seharusnya aku memerhatikan bengkaknya, bukan kakinya.

"Terima kasih"

"Ha? Ya, sama-sama"

Keheningan terjadi selama beberapa saat. Tidak ada yang mau memulai pembicaraan, dan aku juga tidak berminat.

"Ng, Ulquiorra-san?" panggil Hinamori lagi. Aku mengangkat kepalaku untuk melihatnya. Dan detik ini juga aku merasakan wajahku memerah ketika mendapati wajah kami hanya terpaut jarak kurang dari 10 cm. Ternyata gadis Hinamori ini menundukkan kepalanya.

Hinamori segera menjauhkan wajahnya, begitu juga denganku. Aku berusaha untuk mempertahankan wajah datarku ini, sementara Hinamori menunduk.

"Hinamori? Tadi kau ingin bilang apa?" tanyaku setelah wajahku kembali datar. Hinamori mengangkat kepalanya.

"Mmm… Kau tidak apa-apa berada di sini dari tadi? Apa kau tidak punya urusan?" tanyanya hati-hati.

Mataku membulat. Aku lupa dengan kuliahku hari ini. "Gawat, aku pasti akan dimarahi oleh Ichimaaru-sensei" ucapku tanpa sadar.

"Ichimaru-sensei? Ulquiorra-san mahasiswa di Tokyo Rika Daigaku*?" tanya Hinamori. Aku mengangguk. Tahu darimana dia?

"Aku juga mahasiswi disana!" katanya, seolah dapat membaca pikiranku (lagi).

"Ulquiorra-san ada di fakultas apa? Semester berapa?"

"Science & Technology, semester lima, kau?"

"Science Division, semester tiga!"

Dan dari situlah, perbincangan kami mengalir. Hingga tak terasa sudah dua jam aku mengobrol dengan Hinamori ini. Aku segera pamit dari sana begitu menyadari sekarang sudah jam 10. Sebenarnya aku masih bisa masuk kuliah, tapi entah kenapa aku malas sekali.

"Lain kali datang lagi ya, Ulquiorra-san" ucap Hinamori ketika mengantarkanku ke pintu apartemennya. "Kalau aku bisa" jawabku seadanya, lalu memutar gagang pintu untuk keluar.

Begitu pintu terbuka, orang yang ada di hadapanku membuatku terkejut. Orang itu juga sama terkejutnya denganku.

"Orihime…"


*Tokyo Rika Daigaku : Tokyo University of Science

Yosh! I'm coming! #gampar Maaf ya kalo judul dan juga summarynya agak aneh, soalnya Hayi cuman jago buat cerita aja, gak bisa buat judul dan summary, maafkan saya ya readers.

Fic ini terinspirasi dari berbagai macam fanfic dan drama-drama (terutama drama Korea :p) yang sering Hayi nonton, walaupun sekarang udah jarang nonton drama, dikarenakan tugas sekolah yang killer banget. Hayi juga sempet mikir gimana jadinya kalo Ulqui yang dinginnya ngalahin Hyorinmaru itu bisa jadi sama Momo yang lucu itu.

Waktu ngebuat fic aneh ini, Hayi dengerin lagu :

Rolling Star – Yui

Crooked – G-Dragon

Shunkan Sentimental – Scandal

Gak penting ya-.-, dan inspirasinya juga gak ada di lagu-lagu itu kok #plakk

Review ya minna-san! *bungkuk*