Maafkan Aku
Disclaimer: Naruto © Kishimoto Masashi
Beta Reader: My Kaasan a.k.a Ange la Nuit
Warning: AU, alur maju mundur, Shonen-ai a.k.a Boys Love.
Note: Bagi yang sudah membaca fanfic saya yang sebelumnya, "Aku Terlambat". Ini lanjutannya... Selamat menikmati.
"Haaa..."
Aku menarik nafas panjang dan menghembuskannya.
"Aaaa... Kenapa musim panas harus sepanas ini, sih?"
Pertanyaan bodoh itu terlontar dari mulutku begitu saja. Berbagai macam keluhan, aku keluarkan. Dari yang masuk di akal sampai hal-hal yang sangat mustahil. Ya. Aku gila. Bagaimana tidak? Sekarang ini, aku terperangkap dalam hawa panas yang tidak ada nyamannya sama sekali.
Setelah capek mengeluh, aku melirik sesuatu di hadapanku saat ini dengan tampang nista. Yeah... tumpukan tugas musim panas. Eh, bukan tugasku. Tapi tugas yang telah dikerjakan murid-muridku. Singkirkan dulu tugas itu, aku ingin menceritakan tentang diriku dahulu.
Namaku Naruto Uzumaki, seorang guru Matematika. Aku juga tidak mengerti, kenapa aku memilih matematika. Pelajaran yang sudah jelas sangat tidak kusukai saat sekolah. Aku selalu gagal dalam pelajaran satu itu. Suer! Aku sangat benci matematika. Tidak ada nilai yang dapat dibanggakan dari pelajaran itu.
Tapi, apalah daya... Benar kata orang, sesuatu yang dibenci bisa menjadi sesuatu yang dicinta. Ya. Benci jadi cinta. Entahlah, jangan tanyakan mengapa, aku sendiri juga tak mengerti. Tunggu, rasanya aku pernah mendengar kata-kata tadi di sebuah lirik lagu. Lupakan itu. Kembali ke topik. Jadi, kenyataannya bahwa kehidupan telah mengubahku, err... atau aku yang telah mengubah kehidupan. Sepertinya, aku tidak layak menggunakan kalimat yang terlalu tinggi untuk bisa dicerna otakku. Intinya, karena satu-satunya perguruan tinggi yang biayanya terjangkau oleh anak lulusan yang tinggal sendiri dan hanya memiliki peninggalan harta yang begitu minim dari orang tua, maka dengan amat sangat terpaksa, demi mencapainya kualitas diri, aku memilih perguruan tinggi Konoha bidang Matematika.
Setelah masuk, aku jadi mengerti mengapa biayanya murah. Jelas saja, karena untuk mencari peminat. Tapi, sedikit berbeda, meskipun jadi terlihat murahan begitu, kualitas perkuliahannya sangat bagus. Aku benar-benar harus mati-matian untuk bertahan di sana. Alhasil, jadilah aku cinta matematika. Lucu juga.
Cukup tentang matematika. Sekarang masalah cinta sebenarnya. Suatu fakta bahwa di usiaku yang 25 tahun ini, aku masih sendiri. Sendiri tanpa pasangan, pacar, dan sebagainya. Oh, Kami-sama... kapan Kau pertemukan aku dengan jodohku? Jangan sampai diri ini dicap sebagai -yang istilah asingnya- bujang lapuk seperti itu.
Tidaaaaak! Batinku menjerit. Tubuhku langsung memutih seketika setelah membayangkan hal itu benar terjadi.
-HHH-
"Pak Naruto!"
"Ya?"
"Kenapa kita tidak diliburkan saja, sih?"
"Iya, Pak! Kami benar-benar kepanasan, nih!"
"..." Oke. Sekarang, aku berada dalam kelas, mendengar keluhan-keluhan yang dikeluarkan satu-persatu oleh murid-muridku. Aku pun memasang tampang malas.
"Pak..."
"Yeah... Bukan hanya kalian, saya juga maunya libur, istirahat di rumah, menyegarkan diri. Tapi..." ucapku berhenti dan memberi jeda panjang. "Yang perlu dipermasalahkan, kenapa nilai tes kalian tidak ada yang memuaskan sama sekali?" Yah, sampai-sampai anak sok jenius itu juga mendapat hasil buruk.
"Jangan salahkan kami, donk! Siapa tahu soalnya memang error?"
"Maksudnya... kalian menyalahkan soal saya?" tanyaku sembari memberi tatapan tajam.
"Bukan..."
"Lalu?"
"Bukan soalnya... Tapi otak bapak!"
Seisi kelas pun langsung tertawa. Sebegitu senangnya mereka mengejekku.
"GRRRR!"
"Eits, bapaknya marah, nih!"
"Jangan marah, Pak..."
"Peace!"
Beginilah keadaan kelas yang kupegang. Kalau tidak ingat ini adalah profesiku, tuntutan mata pencaharianku. Mungkin, aku sudah menyerahkan surat pengunduran diri dari sini.
Sebenarnya bukan hanya profesi, tapi karena anak itu. Ya. Anak itu yg membuatku bertahan sampai sekarang. Apalagi beberapa hari yang lalu aku dikecewakan olehnya. Tidak seperti dirinya yang biasa. Dia menjadi begitu labil. Ah, ya... Dari tadi aku menyebutnya 'dia' dan 'anak itu' terus. Oke, aku perkenalkan sekali lagi. Dia yang kumaksud adalah Sasuke Uchiha, sumber penghidupanku saat kuliah. Saat itu dia masih bocah, sebenarnya masih sama saja dengan sekarang. Tapi, setidaknya umur 6 tahun lebih bocah daripada 13 tahun.
Saat itu aku bekerja sebagai penjaganya. Tidak. Bukan. Lebih tepatnya hanya tukang antar jemput yang sering telat, dan juga hanya seorang teman sementara di rumahnya. Aku tidak cocok dengan sebutan penjaga. Mana ada penjaga yang selalu saja membiarkan bahaya datang kepada sesuatu yang dijaganya.
Haaa… Mengingat itu membuat diriku ini amat sangat bodoh sekali. Tapi, untunglah. Setelah peristiwa itu, tidak ada lagi sesuatu yang mengerikan. Yeah… Jawabannya bukan karena aku dipecat. Memang. Memang aku sempat dipecat. Hanya saja, karena paksaan Sasuke kepada orangtuanya, aku dipekerjakan lagi.
Tidak lama, aku mendapatkan sesuatu. Sesuatu itu telah membuatku rela meninggalkan Sasuke. Anggap aku benar-benar mengalami krisis ekonomi. Gaji dari pekerjaanku itu masih kurang. Bisa saja aku minta naik gaji kepada orangtua Sasuke, atau tepatnya meminta Sasuke untuk menyampaikan ke orangtuanya. Jelas, itu tidak mungkin terjadi, karena aku tidak ingin melakukan hal memalukan itu.
Iruka, dosenku yang sudah kuanggap sebagai orang yang paling berharga seperti ayah sendiri, menawarkan pekerjaan kepadaku. Gajinya... ya, lumayan. Selain itu, Iruka juga menyarankan untuk mencari pengalaman.
Tapi... Apakah aku harus meninggalkan Sasuke? Padahal, sebelumnya aku sangat mengharapkannya agar bisa selalu bersamanya.
Jadi, apa yang harus kupilih?
Oke. Sudah diputuskan, aku akan memilih masa depanku. Siapa yang tahu kalau kesempatan ini adalah jalan mujurku. Untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan, maka seseorang harus rela berkorban apa yang dimilikinya, nilainya harus sama, setara dan sesuai, tidak lebih dan tidak juga kurang. Ya, itulah pelajaran yang kudapat dari hasil membaca salah satu komik favoritku.
Kembali ke masalah, aku meninggalkan Sasuke. Kurasa, itu baik. Dia tidak akan selalu menjadi bocah selamanya, dia akan terus tumbuh dan berkembang. Jika aku terus bersamanya, mungkin saja aku malah jadi merusaknya. Aku tidak mau itu.
Kemudian, aku menjalani hidupku bersama pekerjaanku. Cukup sibuk, nyaris tidak ada waktu luangku. Pagi sampai sore bekerja. Malam kuliah. Begitu seterusnya. Selama kurang lebih lima tahun, aku benar-benar tidak bertemu dengan Sasuke. Sungguh miris rasanya. Hanya bisa membayang-bayangkan dirinya saja saat melamun dalam waktu kerjaku. Kukira, aku akan tetap ada waktu untuk bertemu, meskipun hanya sesekali. Tapi mana? Tidak pernah sama sekali.
Oh, Kami-sama... Mungkinkah dia benar-benar menjadi membenciku?
Tidak heran. Karena sampai aku keluar dari pekerjaanku, yang mana saat itu aku sudah lulus kuliah kurang lebih dua tahun sebelumnya. Aku memilih kembali ke statusku di bidang pendidikan. Tentu, aku diterima sebagai guru Matematika. Di sekolah itulah aku bertemu dengan Sasuke. Rasanya... begitu rindu.
"Hei! Awas!"
DUAG! Tiba-tiba saja ada yang menghantam kepalaku.
"Gawat! Kena guru!"
"Cepat bawa ke UKS!"
"Siapa tadi yang nendang bolanya?"
"Pak... Bapak baik-baik saja."
"Sepertinya gak baik sama sekali."
"Gi-gimana ini...?"
"Hei! Yang laki-laki, angkat ba—"
Ya. Pendengaranku perlahan-lahan mulai menghilang. Aku hanya merasakan pusing. Pandanganku menjadi gelap. Dan, tak lama aku merasa akan kehilangan kesadaranku ini.
Hening. Itulah yang kurasakan saat aku dapat mengambil kesadaranku kembali. Tak ada lagi suara-suara tadi. Tadi... tak tahu berapa lamanya itu. Kemudian aku membuka mata, mengamati pemandangan sekitar. Putih. Itu yang tertangkap oleh mataku. Dan, kucerna selanjutnya di otakku. Sebut saja, aku berada di ruang UKS.
Tak lama, aku mendengar suara pintu terbuka. Kupastikan bahwa ada orang yang telah masuk, atau keluar.
"Permisi..."
Kata itu terdengar dari sebelah kain penutup yang ada di samping ranjang tidurku ini. Kemudian, hening kembali.
"Permisi, Pak."
"Ya?" Sekejap saja, aku simpulkan bahwa tidak ada siapa-siapa selain aku dan orang yang berusaha mengajakku berbicara.
"Maafkan saya, Pak."
"Hm?"
"Ya... Saya yang—"
"Tunggu sebentar. Tak sopan kalau kita tidak saling melihat begini."
Lalu, aku berusaha bangkit dari tidurku, turun dari ranjang, berjalan dan menarik kain yang ada di hadapanku saat ini. Lalu...
"..."
"..."
Wajah itu... Wajah familiar itu... Dia... Lelaki yang telah menolongku dulu... Mirip...
"Kau..." ucap pemilik wajah familiar itu dengan nada yang tidak mengindahkan.
Ya. Bisa dipastikan, siapa lagi yang berani memanggil 'kau' itu kepada orang yang jauh lebih tua sekaligus menjabat sebagai gurunya. Benar sekali. Dia...
"Sasuke?"
"Cih!"
Dia berpaling, dan berlari keluar.
"Ha? Apa maksudnya itu?"
Dan akhirnya, aku hanya bisa memasang tampang bodoh di wajahku yang bodoh ini.
Selesailah cerita awal dimana aku bertemu dengan bocah, eh, bukan, Sasuke. Dan, entah kenapa aku merasa seperti meninggalkan sesuatu yang penting.
"Pak? Bapak?"
"Halooo?"
"Pak guru Naruto?"
"Oi, oi."
"Ya. Ya. Ya." Aku pun menjawabnya.
Ck. Tidak kusangka aku akan melamun seperti itu. Entah sudah berapa lama waktu yang telah kuhabiskan untuk mendongeng kisah panjang tadi. Mari diperjelas. Saat ini, aku masih... di dalam ruang kelas yang amat sangat panas sekali ini. Keringatku pun terus mengucur. Aku jadi heran, apa yang telah merasuki diriku. Setiap kali memikirkan Sasuke, aku jadi tidak bisa mengontrol pikiranku.
"Pak... Pulang..."
"Iya, Pak..."
"Panas..."
"Baiklah. Pelajaran usai. Kalian boleh pulang." Daripada aku jadi gila kalau berada di sini terus.
"HOREEEEEEEEEEEE!"
"Tapi, jangan lupa. Besok tidak ada libur. Kita masih harus melanjutkan pelajaran yang tertinggal."
"Yaaaaahhhhhhh..."
Cukup untuk hari ini. Seperti yang sudah kupikirkan, aku tidak ingin gila, karena melebihi batasku. Cuaca, pikiran, otak, dan sebagainya. Semua kacau.
Aku membereskan barang-barangku. Kemudian, berjalan menuju pintu kelas. Sebelum aku sampai ke pintu, aku melihat Sasuke. Dia masih berada di bangkunya. Duduk diam menatap ke arah luar. Aku tidak tahu pasti seberapa jauhnya jarak antara meja guru dan pintu, sehingga saat itu juga aku sempat-sempatnya menge-zoom pandanganku. Dan, aku melihat keringat Sasuke yang perlahan-lahan turun.
"Hah? Apa yang kupikirkan?"
Aku langsung memalingkan wajahku yang tiba-tiba memanas. Dengan terburu-buru aku keluar dari kelas.
-HHH-
BAM. Bunyi hantaman kecil dari tas yang baru saja aku lempar ke kasurku. Aku membuka kancing kemejaku, menyalakan kipas angin. Kemudian...
BUG. Sekali lagi bunyi hantaman yang lumayan nyaring terdengar dari kasurku. Aku menjatuhkan tubuhku sendiri dan berbaring telentang. Aku mengingat sekilas kejadian di sekolah tadi. Dan lagi-lagi, aku merasakan wajahku terbakar, mungkin terlihat begitu merah. Apa yang kupikirkan, sih? Aku terus menerus mengelaknya.
-HHH-
"Sasuke, bisa bantu aku bawakan barang?"
"Hn."
Ya. Sekarang, aku sedang menjalankan misi yaitu berusaha mendekati Sasuke, mencari tahu mengapa nilai-nilainya pada akhir-akhir ini tidak ada yang beres. Oh, ya, aku lupa memberitahukan bahwa sejak aku tahu Sasuke sekolah di sini, hubungan kami tidak begitu akrab.
Kenapa begitu?
Entahlah... Sasuke terlalu banyak diam. Dia juga jadi patuh dengan ucapanku, layaknya dengan seorang guru. Bukannya aku tidak senang dengan perubahan kesopanannya. Tapi... jenjang jauh di antara aku dan Sasuke jadi begitu nyata. Kusadari itu, dan rasanya sakit. Aku sempat berpikir...
Kenapa aku tidak dilahirkan bersama dengannya?
Ah! Apa yang kupikirkan? Bodoh!
"Pak..."
"Y-ya..."
"Sudah."
"Hm?"
Aku bingung, dan kemudian aku melihat sekitarku.
Oh, ya... sudah... Sudah di tempat tujuan ternyata. Lagi-lagi aku melamun.
"Saya permisi kembali ke kelas," ucap Sasuke tiba-tiba.
"Eh? Tunggu!" balasku secepatnya.
"Ya?"
"Ng... Itu... Anu..."
Apa, sih? Kenapa jadi susah begini?
"Maaf?" ucap Sasuke dengan nada bertanya.
"Ah! Apa bisa... kita... eh, maksudnya... kamu... sehabis pulang sekolah... menemuiku?"
Apa-apaan itu? Kalimatku kacau!
"Apa ada waktu?" lanjutku.
"..." Aku melihat Sasuke terdiam, berpikir mungkin.
"Ya..." ucapnya. "Ya, ada."
"Jadi?" Aku bertanya-tanya.
"Ya, saya bisa."
Horeeeeee! Aku menjerit dalam hati. Kami-sama... Terima kasih...
"Sekarang, apa saya sudah bisa pergi?" tanya Sasuke.
"Eh? Ya. Ya, silahkan. Silahkan saja," jawabku menahan rasa histeris bahagiaku.
Setelah itu, Sasuke pun menghilang dari pandanganku. Tak lama, aku menyadari sesuatu...
Haaa... Kenapa kesannya jadi ngajak kencan begitu?
.
.
.
TBC
A/N:
Alhamdulillah... Kesampaian juga akhirnya buat lanjutin fanfic sebelumnya... Maaf kalau ada yang kebingungan...
Mind to review? ^_^
