Ini bukan chapter kedua, melainkan hanya translasi dari chapter pertama yang menggunakan bahasa inggris.
Aku berterimakasih pada kalian semua yang mereview fanfic ini. Terutama untuk kak Song Soo Hwa yang memotifasiku untuk menerjemahkannya ke bahasa Indonesia. Juga untuk kak Bocah Lanang yang berbaik hati untuk mampir mengingatkanku tentang tag KAIHUN dan HUNKAI. Sesungguhnya aku sangat mengerti perbedaan antar dua pair itu, kupikir tak ada salahnya menggunakan dua tag nama itu. Tapi jika itu menimbulkan kesalahpahaman dan kekecewaan, aku minta maaf.
Selamat membaca.
Jongin dan Sehun terikat dalam sebuah perjodohan. Jongin tidak menolak, karena dia membutuhkan pernikahan itu agar bisa menggantikan posisi ayahnya sebagai CEO dari Kim Enterprise. Dia bersikap seüerti biasa sepanjang berbagai macam acara yang diadakan oleh keluarganya menjelang pernikahannya. Dia berakting, tentu saja, karena tidak satupun diantara Jongin dan Sehun yang menginginkan pernikahan itu sejujurnya, tapi akting Jongin terlihat natural sekali. Dia berlakon seolah-olah dia adalah seorang suami yang baik, seperti menyuapi suami(istri)nya, memeluknya dengan hangat, bahkan hingga membisikkan sesuatu yang manis-manis ke telinga Sehun didepan banyak tamu, hanya untuk tontonan.
Semua itu sesungguhnya hanyalah kesepakatan rahasia mereka bahwa tak akan ada sesuatu yang disebut ikatan perasaan diantara mereka, tak ada yang namanya skinship dan sex saat mereka hanya berdua. Tapi mereka akan bertingkah seperti orang yang dimabuk cinta di hadapan para tamu dan keluarga mereka, karena itulah yang mereka sepakati. Kebanyakan orang percaya bahwa seorang lelaki yang dapat mengurus keluarganya pasti bisa mengurus kerajaannya, dalam hal ini adalah perusahaannya. Karenanya, Jongin diharapkan dapat menjadi seorang suami yang baik, atau setidaknya bertindak seperti suami yang baik untuk mendapatkan posisi di perusahaan itu.
Sekarang, Jongin adalah CEO of Kim Enterprise, gelar itu didapatkannya tepat sehari setelah pesta pernikahannya dengan Sehun digelar.
Mulanya, Jongin hanya melihat Sehun sebagai sebuah batu pijakan untuk mendapatkan posisi sebagai CEO, tapi hal itu berubah 180 derajat setelah mengenal Sehun selama sebulan. Dia mulai merasakan rasa sayang terhadap pria manis itu, meskipun tidak pernah menunjukkannya secara gamblang. Seperti ada sesuatu dari diri Sehun yang menariknya untuk terus mendekat. Jongin tidak mau—atau lebih tepatnya tidak berani—untuk melakukan pergerakan apapun, karena dia cukup sadar dan mengerti tentang perasaan Sehun terhadapnya.
Jongin hanya akan memandangi Sehun dari kejauhan, menikmati waktunya memperhatikan Sehun saat pria itu merawat tanaman-tanamannya bersama salah satu tukang kebun meraka, atau saat Sehun sedang menari-nari ditemani dengan irama musik yang lembut saat dia kira Jongin tidak berada di sekitarnya, atau saat Sehun hanya membaca buku-bukunya di ruang bacanya. Pria itu terlihat sangat tenang dan Jongin sangat ingin memeluknya, atau memberikan kecupan-kecupannya di wajah pemuda manis itu. Ya, Jongin pernah mencobanya, dia pernah mencoba untuk menyatakan perasaannya terhadap Sehun. Tapi bahkan sebelum Jongin selesai mengutarakannya, Sehun sudah pergi tanpa mengatakan sepatah katapun, dan Jongin mengerti hanya dengan bahasa tubuhnya. Maka disinilah Jongin, memendam perasaannya dengan sebaik mungkin, menutupinya, dan sebisa mungkin menjauh dari Sehun karena dia sangat menghargai Sehun, sangat. Dia tahu Sehun membencinya.
Berbulan-bulan telah berlalu sejak pernikahan mereka, namun tak ada pergerakan yang menuju kearahkebaikan sama sekali. Sehun masih menjag ajarak dengan Jongin dan Jongin juga tidak mencoba untuk mendekatinya. Jongin sibuk dengan pekerjaan kantornya hingga dia sering pulang larut malam, dan tak jarang dia tidak pulang kerumah sama sekali. Meski keadaannya sibuk seperti itu, dia bersyukur, karena dengan begini dia bisa menjaga pikirannya agar tetap sibuk sehingga tia tidak perlu memikirkan perasaannya terhadap suami(istri)nya itu. Dia tak masalah dengan dirinya pulang kerumah atau tidak, karena baginya itu sama saja. Punya suami(istri) atau tidak itu sama saja, dia tetap sendirian. Tidak sepenuhnya sendirian, tapi apa bedanya menjadi single dan sudah menikah kalau saat sampai rumah tidak ada yang menemani malammu, tidak ada yang memelukmu saat tidur, tidak ada yang menyiapkan kebutuhanmu sebelum berangkat kerja, tidak ada yang mengucapkan "selamat datang" dengan wajah ceria saat kau pulang kantor, dan tidak ada yang memberimu sebauh kecupan selamat malam? Itu sama saja, `kan? Jongin merasa seperti dia single. Tapi dia bersyukur bisa mendengarkan suara nafas Sehun saat pria itu tertidur dikamarnya sendiri setiap dia pulang kerja. Iya, mereka tidak sekamar. Jongin berinisiatif untuk tidur di kamar tamu setiap malam, dan Sehun tidur di kamar utama. Lagipula Jongin tidak keberatan, karena jadwalnya yang padat, Jongin lebih sering menghabiskan malamnya di ruang kerja.
Tak pernah satu malampun Jongin lupa untuk mengucapkan "Selamat malam, Sehun", meski dia tahu Sehun tak mendengarnya karena tidurnya nyenyak sekali. Tapi Jongin puas, karena dia bisa memperhatikan wajah damai Sehun saat tertidur, bukan wajah "memberengut"nya setiap dia melihat Jongin. Meskipun wajahnya tetap imut menurut Jongin. Semua itu tak masalah bagi Jongin, asal Sehun tetap mempertahankan pernikahannya dengan Jongin. Pernikahan? Bisakah situasi seperti ini disebut pernikahan?
.
.
.
Dia merindukan Sehun, sangat. Dia bahkan belum melihatnya sama sekali sepanjang minggu ini. Jongin sangat sibuk di kantor dan Sehun tinggal dirumah, dia tidak mendapatkan kesempatan bertemu dengannya walau hanya sedetik. Jongin lelah, dia butuh sesuatu—atau seseorang—yang dapat mengurangi stressnya. Disamping memikirkan masalah kantornya, Jongin sebenarnya juga memikirkan pernikahan mereka. Dia tak tahu apa yang harus dilakukannya dengan keadaan status pernikahan mereka. Semua tidak diawali dengan cinta, dan seiring berjalannya waktu, keadaan itu tidak menimbulkan rasa cinta juga. Untuk Jongin iya, dia merasakan cinta itu, tapi untuk pihak Sehun? Pernikaha ini tidak akan pernah berjalan dengan lancar.
Suatu sore, Jongin memutuskan untuk pulang lebih awal, dai juga sudah mengatur jadwalnya untuk besok. Dia merencanakan untuk berbicara dengan suami(istri)nya, dan sebuah makan malam bersama juga tidak terdengar buruk.
Sesampainya di rumah, Jongin menemukan Sehun tengah menonton acara kartun di ruang keluarga. Yup! Sehun adalah pria manis yang—masih – sangat mencintai tontonan anak-anak tersebut dan Jongin tak dapat mengelak bahwa hal itu membuatnya makin mencintai lelaki itu. Sehun terkejut dengan kedatangan sang suami untuk beberapa detik sebelum mengubah ekspresi wajahnya dengan ekspresi datar seperti biasanya. Jongin mengabaikan ekspresi itu dan mengatakan "aku pulang" dengan pelan dan tidak ditujukan untuk siapa-siapa, lalu melangkah menuju dapur untuk memerintahkan para maidnya untuk menyiapkan makan malam yang lezat.
Dia melangkah ke kamar tamu—kamar tidurnya—untuk mandi, dan Jongin berpikir keras selama perjalanannya menuju kamar apakah dia sebaiknya memeluk Sehun atau tidak. Dan dia memilih opsi terakhir dan langsung menuju kamarnya untuk Mandi dan berganti pakaian dengan yang lebih santai. Dia mengarahkan langkah kakinya ke ruang keluarga sembari mengumpulkan keberaniannya untuk mengajak Sehun bicara.
"Ayo makan malam bersama, Sehun!" Jongin mencoba berkata dengan sebuah senyuman di bibirnya. Sehun terlihat berpikir sejenak namun akhirnya menganggukkan kepalanya sedikit. Setidaknya dia tidak mengabaikanku, batin Jongin dalam hati.
Meja makan itu kecil bila dibandingkan dengan besarnya rumah itu, karena Jongin meminta ayahnya untuk memberikan meja makan kecil saja karena hanya ada dia dan Sehun yang akan menggunakannya. Meskipun pada akhirnya meja itu hanya dipakai beberapa kali selama setengah tahun ini, dan kabanyakan dari "beberapa kali" itu adalah Sehun sendiri.
Keduanya duduk bersebrangan, dan rasanya meja itu masih terasa terlalu besar untuk mereka berdua. Jongin adalah orang pertama yang memecah keheningan di ruangan itu, memuji betapa cantiknya tampilan makanan mereka dan betapa harum wangi masakannya. Sehun tidak merespon, tapi Jongin juga bukan orang yang mudah menyerah.
"Bagaimana kabarmu, Sehun?" Jongin bertanya ditengah kesunyian makan malam mereka. Pria manis berkulit putih susu itu hanya menganggukkan kepanya dan melanjutkan makannya. Jongin bersyukur, setidaknya Sehun tidak mengabaikannya.
"Maafkan aku, aku sibuk di kantor belakangan ini dan kita jarang bertemu. Apa kau makan dengan baik? Kau bisa minta para maid untuk memasakkan apa saja yang kau mau." Lagi, Sehun hanya mengangguk.
"Apa kau bosan? Kau ingin jalan-jalan?" Kali ini Sehun menggeleng dan menyeka bibirnya dengan napkin. Oh, Jongin berharap dia adalah napkin itu.
Meskipun Sehun hana memberikan respon-respon kecil, tapi Jongin tidak jenuh. Dia menceritakan keadaan perusahaannya pada Sehun, tentang kesepakatan yang akan mereka tandatangani bersama perusahaan terbesar di China, dan tentang pegawai-pegawai mereka. "Mereka bilang mereka merindukanmu". Dan aku juga merindukanmu, batin Jongin.
Kalau ada orang yang melihat keadaan itu, mereka akan berpikir bahwa Jongin sedang bercerita pada sebuah tembok. Tak ada suara lain yang terdengar selain suara Jongin seorang. Dia menjaga agar suaranya tetap ceria dan menyingkirkan rasa lelah berbicara dengan Sehun dan sikap dinginnya. Sebenarnya bisa saja Jongin memilih untuk merebahkan tubuh lelahnya di kasur dan tidur seperti kayu mati sepanjang malam, tetapi Jongin memilih jalan lain, dia merindukan Sehun dan akan melakukan apapun agar bisa melihat pria manis itu dari dekat seperti ini, bercerita padanya tentang kesehariannya, sekalipun Sehun kurang meresponnya. Jongin tak butuh respon Sehun, dia hanya butuh Sehun ada disana bersamanya.
Mungkin Sehun seperti dipaksa, tapi setidaknya dia tidak kabur dari ruang makan dan meninggalkan Jongin sendirian.
Setelah makan malam selesai dan telah dirapikan oleh maidnya, Sehun bersiap untuk berdiri meninggalkan meja makan hingga Jongin menghentikan pergerakannya.
"Sehun. Bisakah kita bicara?". Cara bicara Jongin hampir memohon, bahkan lebih terdengar putus asa tapi Jongin tak peduli. Dia butuh bicara dengan Sehun.
"Kita menikah sudah hamper setengah tahun. Aku bersyukur kau ada disini, menjadi suamiku." Jongin berbicara pelahan, takut menakuti suami(istri)nya. "Aku mungkin bukanlah seorang suami yang baik, tapi aku akan berusaha lebih baik. Katakan saja padaku apa yang kau inginkan, aku akan mengabulkannya, jangan mendiamkanku seperti itu lagi, Sehun. Aku suamimu, kau bisa memberitahukan apapun padaku."
Sehun menatap Jongin, dan Jongin tak bisa membaca ekspresinya.
"Bagaimana jika aku menginginkan perceraian?" Sehun bertanya, tapi nadanya lebih seperti sebuah pernyataan.
Rasanya seperti baru saja disambar petir, tapi Jongin tak bisa berbuat apa-apa. Dia terlalu terkejut bahkan untuk sekedar berkedip. Tubuhnya terasa seperti ditusuk ribuan pisau tak kasat mata, bahkan udara disekitarnya terasa mencekik. Dia tidak bisa bernafas, rasanya seperti tenggelam dan tidak ada orang yang menolongmu. Meski begitu, rasa cinta Jongin terhadap Sehun mengalahkan segalanya. Dia mencoba menguasai dirinya dengan sebaik mungkin.
Dia menggerakkan tangannya yang bergetar untuk menyentuh tangan si pria berkulit susu, dia memegangnya sangat erat tapi lembut, agar di pria manis itu tidak kesakitan. CEO muda itu menatap mata Sehun dengan pandangan penuh harap.
"Kalau itu yang kau mau, aku akan mewujudknannya. Tapi tolong, beri aku sedikit waktu, Sehun. Aku berjanji akan mejadi suami yang baik untukmu, kumohon, beri aku sedikit waktu."
Sehun hanya duduk terdiam disana, memandang Jongin tanpa minat. Jongin menatapnya dengan pandangan seperti anak anjing yang memelas dan sebutir air mata hampir jatuh dari pelupuk matanya. Jongin tak pernah terlihat serentan ini, bahkan saat dia kehilangan anjingnya di umur tujuh tahun, atau saat dia harus merelakan kakak kesangannya sekolah di luar negeri. Dia selalu diajarkan untuk menjadi lelaki yang tangguh, yang bisa melindungi dirinya dan keluarganya. Tetapi cintanya untuk Sehun membuat dinding pertahanannya hancur. Saat ini Jongin menunjukkan kelemahannya pada dunia, pada Sehun.
Dia menunggu jawaban Sehun, tapi dia tak mendapatkan balasan apapun. Sebelun Jongin sempat berkata apa-apa, Sehun menarik tangannya dari genggaman Jongin, dengan sedikit kasar. Dan Jongin mengerti apa artinya.
"Baiklah, aku mengerti." Jongin membiarkan tangannya terkulai lemah di sisi tubuhnya seraya berdiri dengan lelah, dia bahkan tidak bisa mengangkat pandangannya namun dia berusaha memberi senyuman kecil pada suaminya.
"Ini sudah malam, kau butuh istirahat. Selamat malam, Sehun." Ujar Jongin sebelum melangkahkan kakinya ke kamar seperti mayat hidup.
Setelah menutup pintu kamarnya, dia tak dapat membendungnya lagi dan membiarkan butiran air mata itu jatuh menuruni pipinya, dia terlalu lelah untuk menahannya. Tak apa, katanya, aku tahu ini akan terjadi. Tapi aku tak menyangka rasanya akan sesakit ini.
Sepanjang malam, Jongin tak dapat memejamkan matanya. Dia memikirkan sehun, memikirkan pernikahan mereka. Dia tak ingin mengakhirinya, tapi sepertinya dia harus, karena Sehun menginginkannya. Jongin akan memberikan apapun yang Sehun mau, bahkan jika Sehun memintanya untuk mati, dia akan mati untuknya.
.
.
.
Hari hari berlalu, Jongin menyibukkan dirinya (lagi) dengan kertas-kertasnya di kantor, tak peduli untuk memakan sarapannya atau keluar untuk makan siang, dia hanya sesekali memakan beberapa gigit. Dia merasa sangat hancur tapi berhasil menutupinya hingga tak ada yang menyadarinya. Dia akan tersenyum setiap kali orang menanyakan kabarnya dan Sehun. Mengatakan bahwa mereka baik dan Sehun selalu menunggunya pulang, membuatnya selalu merasa bersalah saat pulang terlanbat. Meskipun kebenarannya adalah Jongin berharap Sehun menunggunya pulang setiap hari, membuatkannya makan malam dan makan bersama. Tapi Jongin mengabaikan pikiran itu, takut dia akan menangis di kantornya.
Dia sangat sibuk, bahkan dia jarang menginjakkan kakinya di rumah. Terkadang dia akan bangun di pagi buta dan langsung buru-buru menuju kantor, dia akan pulang jam dua atu jam tiga pagi dan berangkat lagi jam enam pagi. Dia juga tidak makan dengan baik, dia kehilangan seleranya. Tapi imun tubuhnya sangat kebal sehingga dia baik-baik saja sampai saat ini.
Di hari Rabu, Jongin mendapat kabar mendadak dari ayahnya bahwa ada masalah pada cabang perusahaan mereka di Osaka, dan memintanya untuk menangani langsung. Akhirnya Jongin langsung berangkat dari Seoul ke Osaka, bahkan dia tak sempat menyiapkan barang bawaannya. Dia menelpon sekertaris pribadinya untuk menyiapkan keperluan dan jadwalnya selama di Osaka. Dia terlalu tenggelam dalam urusannya dan lupa untuk mengabari Sehun kalau dirinya akan pergi ke luar negeri selama beberapa hari.
.
.
Jongin kembali ke Seoul pada Jumat malam, sekujur tubuhnya lelah luar biasa karena kurang istirahat dan berpikir terlalu banyak. Banyak rapat yang harus dia hadiri dan terlalu banyak argumentasi yang terjadi hingga setelah kesekian kalinya bernegosiasi, akhirnya mereka mencapai kesepakatan yang memuaskan.
Jongin sangat senang akan berada di rumah lagi, dia merindukan Sehun. Dia harap dia bisa memandangi Sehun tanpa disari oleh si empunya, atau dia bisa melihat wajah cantik Sehun yang tertidur dengan lelap. Dia bahkan hampir lupa kapan terakhir kali ia mendengar suara prianya itu. Tapi dia tak keberatan selama Sehun masih meresponnya dengan anggukan atau gelengan kepala.
Setelah menyimpan beberapa dokumen di kantornya, Jongin baru menyadari bahwa ini sudah hampir tengah malam. Dengan mengendarai Ferrari nya, Jongin bertolak menuju rumahnya dan Sehun, merasa sangat bahagia akhirnya dia akan melihat Sehun lagi, meski mungkin Sehun sudah tertidur sekarang.
Sesampainya di rumah, Jongin membuka kunci pintu depan dengan perlahan dan masuk ke dalam rumah yang gelap, berhati-hati agar tidak menimbulkan kegaduhan yang bisa membangunkan Sehun.
Sepasang tangan yang kurus memeluk tubuhnya, membuatnya sedikit terkejut.
"Se-Sehun?" Jongin menyebut nama Sehun dengan terbata, tak pernah mengharapkan Sehun memeluk tubuhnya, tapi kenyataannya adalah saat ini Sehun tengah memeluknya dan menyembunyikan wajahnya di dada bidang milik Jongin. Pelukan Sehun sangat erat, kalu kalian mau tahu, bahkan Jongin tidak bisa menggerakkan badannya. Jongin jauh lebih terkejut saat menyadari bahwa Sehun tengah menangis di pelukannya. Sehun meredam tangisannya dengan menenggelamkan wajahnya ke dada Jongin lebih dalam.
"Sehun? Apa kau baik-baik saja?" Rasa khawatir tersemat dengan jelas pada nada bicara Jongin. Dia mencoba untuk mengangkat wajah Sehun agar dia mau memandangnya, tapi Sehun menolak dengan menggelengkan kepalanya dan bersikukuh dengan posisi wajahnya yang tenggelam di dada suaminya itu sembari meremat baju yang Jongin kenakan.
Meskipun bingung setengah mati, Jongin berusaha menenangkan Sehun dengan memeluknya dan mengelus punggung Sehun yang bergetar. Membisikkan kalimat tak apa, aku disini berulang-ulang seperti mantra hingga tangisan Sehun mereda.
Saat Sehun terlihat sudah membaik, Jongin menjauhkan tubuhnya dari Sehun. Tetapi sedikit saja gerakan dari Jongin, Sehun akan memeluknya lebih erat sambil menggelengkan kepalanya dengan kuat, memohon jangan, kumohon jangan berkali-kali.
Jongin tak mengerti sama sekali, tapi dia suka Sehun yang seperti ini, dia suka sehun menempel padanya seperti ini.
Jongin berhasil membawa keduanya ke ruang keluarga, agak sulit dengan Sehun yang terus saja menempel padanya. Keduanya duduk di sofa besar, mereka bahkan tidak menyalakan lampunya. Jongin mengusap punggung sehung dengan satu tangannya, tangan yang lain bermain-main dengan rambut Sehun, lembut sekali, puji Jongin dalam hati.
"Jangan tinggalkan aku." Sehun memecah keheningan dengan suaranya yang teredam, tapi Jongin mendengarnya dengan jelas. Jongin hendak menjawab tetapi Sehun mendahuluinya.
"Jangan tinggalkan aku. Aku mohon jangan tinggalkan aku." Sehun mulai terisak lagi, mengulang-ulang kalimatnya barusan terus menerus. Hati Jongin seperti diremas melihatnya seperti ini.
"Aku disini, Sehun. Aku tidak meninggalkanmu."
"Kau meninggalkanku! Kau tidak pulang kerumah!" Jawab Sehun ditengah isakannya. Jongin merasa bajunya telah basah, tapi apa pedulinya.
"Aku bekerja. Keadaanya darurat dan aku lupa menghubungimu. Maafkan aku, Sehun. Berhentilah menangis, kumohon. Aku disini sekarang." Sebenarnya Jongin tak sepenuhnya mengerti maksud Sehun, tapi dia ingin menjamin bahwa dirinya disini sekarang bersamanya. Dia tidak akan kemana mana. Beberapa hari lalu Sehun meminta untuk menceraikannya, tapi lihatlah sekarang, Sehun memeluknya seperti koala.
"Aku pikir kau meninggalkanku."
"Aku tak akan meninggalkanmu, kecuali kau memintanya."
Dengan kalimat Jongin itu, Sehun menggelengkan kepalanya dengan cepat samapi Jongin takut jika kepalanya akan lepas. Dia mengangkat kepalanya dan bertatapan dengan wajah Jongin. Sial, wajah Sehun terlihat kacau sekali, memerah dan penuh dengan air mata, tapi Jongin tak bisa mengalihkan pandangannya.
"Kumohon jangan tinggalkan aku, aku tak mau kau meninggalkanku. Maafkan aku, Jongin. Maafkan aku. Kau boleh marah padaku tapi jangan tinggalkan aku, kumohon." Sehun memohon dengan air mata yang meluncur bebas di pipinya.
"Kau minta maaf untuk apa? Kau tak melakukan kesalahan apapun, Sehun. Jangan menangis." Jongin menyeka air mata di pipi itu dengan ibu jarinya, membingkai wajah memerah itu dengan kedua telapak tangannya dengan lembut.
Mereka bertahan dengan posisi itu untuk beberapa saat. Sehun tersedu dengan wajah merahnya dan Jongin hanya memandangi wajah imut Sehun tanpa ada sepatah katapun yang keluar diantara mereka. Jangin mencintainya, Jongin sangat mencintai Sehun. Shun mungkin memohon untuk tidak meninggalkannya, tapi Jongin tidak mau berharap banyak.
Waktu mereka untuk bersama tidak tersisa banyak, tapi Jongin bahagia bisa hidup bersama Sehun. Meski tak banyak kata yang mereka tukar, dia senang bisa melihat Sehun dari kejauhan. Dia belum pernah mengajak Sehun pergi kemanapun, tapi dia berharap suatu saat nanti Sehun dapat berkeliling dunia dengan suami yang dicintainya. Dengan suami yang juga mencintainya.
Jongin siap melepaskan Sehun setelah berfikir berhari-hari. Mungkin dia akan terluka sangat dalam, tapi kebahagiaan Sehun adalah kebahagiannya juga, kan? Karenanya kali ini, Jongin ingin menikmati saat ini untuk mengingat wajah Sehun, mengingat wajah yang sangat dicintainya.
"Jongin?" Sehun memutuskan pikiran Jongin, dan saat itu Jongin sadar, bahwa dia juga menangis. Dengan cepat dia menghapus air matanya dan menjawab panggilan Sehun dengan kata ya yang tidak sempurna.
"Maafkan aku, Jongin. Sungguh. Kupikir aku menginginkan perceraian, tapi hatiku tak bisa menerimanya. Maafkan sikapku yang dingin selama ini, aku hanya takut mencintaimu terlalu dalam. Tapi nyatanya, aku sudah terlanjur mencintaimu dengan sangat. Maafkan aku yang menyakitimu dengan keinginanku untuk bercerai. Kumohon Jongin, jangan lepaskan aku. Aku sangat takut saat kau tidak pulang kerumah. Aku menunggumu, sungguh! Tapi kau tak kembali. Aku sangat takut hingga akhirnya aku sadar bahwa selama ini aku mengelak. Aku mencintaimu, Jongin. Aku tak bisa hidup tanpamu." Sehun menangis lagi, dia memeluk Jongin dengan erat.
Jongin terkejut dengan pernyataan Sehun. Dia memeluk pria itu sama eratnya, tangisan bahagia mampir di wajahnya. Dia kecup pucuk kepala Sehun berkali-kali dan semakin mengeratkan pelukannya. Jongin bahagia. Lebih dari bahagia. Sehun mencintainya dan tak ada yang lebih patut disyukuri dibanding hal itu.
"Aku juga mencintaimu, Sehun. Lebih dari yang bisa kau bayangkan. Aku ingin memperbaiki segalanya, untuk semua kekuranganku selama ini sebagai suamimu. Aku akan menjadi suami yang sempurna. Bisakah kau bertahan denganku?"
"Kau itu sempurna. Aku yang seperti anak kecil keras kepala disini. Aku mencintaimu, Jongin. Ayo mulai semuanya dari awal lagi."
Jongin mengangguk, senyuman di wajah Sehun menambah keindahan parasnya. Senyuman terindah yang pernah Jongin lihat dalam hidupnya. Dia tak akan pernah bosan dengan ini.
"Aku mencintaimu, Kim Jongin."
"Aku lebih mencintaimu, Kim Sehun."
