Panda Case Files

PCF - Kompilasi kasus-kasus 'istimewa' yang berpusat pada pemuda detektif berkulit pucat. Bahan bacaan khusus dewasa. Slash Eksplisit.

Ini adalah fanfiksi yang memiliki banyak kisah, semacam sebuah kompilasi. Tiap kasus memiliki jalan cerita, pairing yang berbeda dan latar belakang tokoh masing-masing.

Fanfiksi ini berisikan hal-hal yang tidak bisa diterima semua orang.

For mature readers and pleasure seekers only.

Warnings: Slash, mature, lemon, explicit.

Disclaimer: Death Note is a Japanese manga written by Tsugumi Ohba with Takeshi Obata as the illustrator.

This is a non-profit fanwork.

Case 1

"Special Treatment"

L mengunjungi klinik dokter prostat dan mendapat pelayanan istimewa.

Hari Pertama

Sepuluh orang sedang duduk di dalam ruangan; lima puluh persen berusia lanjut, empat puluh persen pria setengah baya dan sepuluh persen wanita yang mendampingi. Dari televisi, perhatian mereka teralih kepada seorang pemuda pucat yang mendorong pintu kaca klinik, disusul dengan bunyi derit pelan.

Udara dingin AC dan wangi jeruk merebak di udara ketika L masuk ke dalam ruangan dengan dinding warna cokelat muda yang mendominasi. Di sebelah sofa krem panjang yang membentuk huruf L adalah meja resepsionis. Tanpa menoleh ke sekeliling, L berjalan bungkuk menuju suster berambut pirang, tangan mengepal di dalam kantong celana.

Suster Misa menyunggingkan senyuman. "Sudah ada janji?"

"Saya didaftarkan atas nama Lawliet. Janji bertemu Dokter pada jam 4 sore."

"Baik," suster mengangguk sambil memeriksa kartu keanggotaan L. "Giliran Anda setelah ini. Silahkan tunggu sebentar."

Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Hanya ada satu tempat duduk kosong di sudut ruangan tepat di sebelah bonsai. L mengambil tempat di sebelah seorang pria tua berjaket cokelat. Kaki dilipat, ibu jari tersemat di bibir, tenang. Orang-orang di ruang tunggu mengamatinya dengan sebelah alis mata terangkat. L menggigiti kuku jarinya hingga satu persatu dari mereka bosan dan memilih untuk menonton siaran televisi. L sendiri memilih untuk mengamati gambar anatomi tubuh berbingkai sederhana di dinding.

"Cu, Apa kau juga mengalami gangguan?"

Untuk beberapa saat L diam. Kemudian, matanya bergulir perlahan kepada seorang kakek di sebelahnya. Kakek tersebut berpenampilan sederhana dengan jaket cokelat muda dan celana panjang yang disetrika rapi. Kulit wajahnya penuh kerutan. Matanya agak sipit, bola matanya sewarna madu hangat. Tua renta, tapi kelihatan energi yang berbeda dari tubuhnya. Secara fisik, saat muda dulu mungkin kakek ini adalah seorang atlit.

"Gangguan?"

Si kakek mengangguk perhatian. "Usiamu masih sangat muda. Kau sebaiknya konsultasi ke dokter."

Semua pria berusia lanjut cukup waspada dengan deteksi dini kanker prostat. Khususnya Watari dan kakek ini. Probabilitasnya tinggi dokter di klinik ini juga adalah seorang pria lanjut usia.

"Benar," jawab L sekedarnya.

Senyum lebar merekah di wajah tua si kakek. Giginya hitam tidak merata, tercium wangi tembakau dari mulutnya. L sedikit bergeser ketika si kakek bergerak mendekat.

"Hehehe bagus, Cu." Si kakek bergeser lebih dekat lagi. "Di usia dini kau harus tahu bahayanya."

"Ya saya tahu. Saya pernah dengar 80% persen dalam hidup kita harus dengan 75% persen beberapa kali ke dokter karena sebagai pria besar kemungkinannya mengalami gangguan seperti kanker prostat jadi harus beberapa kali memeriksakan diri ke dokter."

Si kakek menaikkan alis matanya kagum. "Hebat kamu Cu. Kakek sampai bingung."

L hanya memutar bola matanya, kembali berkonsentrasi penuh kepada gambar anatomi laki-laki di dinding.

"Oh iya, kamu sering 'ditusuk-tusuk'?"

Untuk beberapa saat, L diam, berusaha mencerna maksud dari pertanyaan sang kakek.

Ia menjawab kemudian, "Kalau yang dimaksud adalah imunisasi, jawabannya iya."

Si kakek terlihat kesulitan menahan tawa, kerutan di wajahnya bertambah. "Maksud saya, ini," dan ia mengacungkan jari tengahnya di depan L, "di dalam."

Dan semua pria di dalam ruangan pun - sebagian besar pria tua - menatap kepada L dan si kakek aneh.

L diam, ibu jarinya berhenti di antara giginya. Ia menunduk dan menatap ke jari tengahnya sendiri. "Kenapa saya harus memasukkan jari tengah saya ke sana? Apa fungsinya?"

"Tuan L Lawliet, giliran Anda." Suster Misa memanggil sebelum sang kakek sempat menjawab.

Menarik napas, L berdiri. "Saya lebih suka memasukkan ibu jari ketimbang jari tengah." L mengemut jempolnya.

Mata sang kakek melebar kagum. "Wah, kamu lebih hebat dari yang terlihat, Cu. Sudah berapa kali?"

"Hampir setiap saat Kek. Apa itu hebat? Saya kira pada umumnya orang-orang menganggapnya tidak higienis."

"Wah, hampir tiap saat?" Matanya yang agak merah melotot memandangi pinggul L, bergerak liar dari atas ke bawah. "Tidak higienis tapi nikmat, kan? Makanya kamu sering melakukannya."

L memiringkan kepalanya. "Mungkin memang nikmat. Ini membantu saya berpikir."

"Kakek jadi mau coba. Boleh sekali-kali Kakek..." ia mengacungkan jari tengahnya, "...sama Cucu?"

L mengerjap. "Kakek ingin saya-"

Sang kakek tersenyum misterius. "Iya."

Jeda.

Memasukkan jarinya sendiri ke dalam mulut mungkin tindakan yang tidak higienis menurut orang kebanyakan, tetapi memasukkan jari orang lain ke dalam mulutnya... "Hm... Itu tidak higienis," balas L.

"Bukankah kamu suka menggunakan jempol, Cu? Kenapa pilih-pilih? Punya Kakek lebih panjang, lebih mantap, Cu. Dijamin, pikiranmu akan jauh lebih plong, Cu."

L mengamati jari tengah si kakek yang terus mengacung di hadapannya. "...30% lebih panjang jari saya."

Sang kakek berdiri dengan percaya diri. "Bagaimana, Cu?" Ia merangkul pundak L bersahabat. "Toilet cuma 6 meter dari sini."

L berusaha melepaskan tangan yang melingkar pada pundaknya. "Kenapa harus di toilet?" Semua orang bisa menghisap ibu jari di mana saja. "Di sini juga bisa."

Mata sang kakek melebar sepenuhnya kini, tangannya meremas pundak L. "Kamu sungguh-sungguh tidak terduga! Saya salut, memang anak muda zaman sekarang blak-blakan." Sang kakek tiba-tiba meraih retsleting celananya, dan L mendengar beberapa orang mulai berbisik-bisik, wajah mereka tegang.

"EHEM!" suster Misa berdeham. "Lawliet sudah ditunggu dokter."

L berjalan melewati sang kakek yang kecewa dan masuk ke dalam ruangan dokter.

Dengan suara derit pelan, pintu ruangan terbuka, L melangkah masuk bersama sang suster yang mengiringi di belakangnya. Hal pertama yang dirasakannya adalah sengatan udara pendingin ruangan sebelum akhirnya matanya menangkap wujud-wujud dan juga sosok yang ada di ruangan sang dokter.

Sebelum interior ruangan sempat menarik matanya, pandangannya telah ditarik oleh sesosok lelaki berbalut serba putih yang pasti adalah si dokter. Tidak seperti perkiraan L, sang dokter masih terlihat muda, bahkan tidak terlihat seperti seorang dokter. Ia malah lebih nampak bak aktor terkenal yang sedang menjalankan peran sebagai seorang dokter di layar kaca. Penampilannya seperti seolah tidak beranjak dari spektrum warna cokelat. Rambutnya sewarna batu ambar, bola matanya pun senada. Kulitnya terlihat sehat dengan rona kecokelatan. Secara keseluruhan, dia tampak meyakinkan sebagai dokter, walau tidak sepenuhnya seratus persen meyakinkan bagi L karena mereka terlihat nyaris sebaya.

Sang dokter lalu memasang senyuman yang seharusnya dimiliki oleh para dokter gigi seraya memberi isyarat L untuk duduk di kursi kosong di hadapannya. L menggigit bibir tipisnya sedikit, ia baru menyadari bahwa ia gugup. Sangat jarang ia menemui dokter untuk memeriksakan diri, dan sekarang ia akan memeriksakan bagian tubuh yang sebenarnya tidak nyaman jika melibatkan orang lain. Terima kasih, Watari.

L maju perlahan untuk duduk sambil mengalihkan mata ke arah ruangan sang dokter yang serba putih. Perhatian si dokter segera terarah kepada sepasang kaki L yang terangkat ke atas kursi yang sudah diduga L sebelumnya. Terdengar suara samar di balik tubuh L yang sepertinya berasal dari aktivitas sang suster pirang. Suara dentingan logam tertangkap telinga L, mengundang rasa penasaran sekaligus menambah kadar kegugupannya. Entah peralatan macam apa yang akan digunakan mengingat fokus 'permasalahan' berada di dalam, di bawah sana. Ibu jarinya segera bertengger manis di bibir untuk meredam rasa gugup tetapi ekspresinya tidak berubah. Sebuah tempat tidur bermatras tipis terlihat di balik bilik kain. Apa ia akan dibaringkan di situ?

"Selamat pagi, Tuan… Lawliet," sapa sang dokter yang bola matanya beranjak lincah dari L menuju nama yang tertera di atas kartu kesehatan. Sepasang bulatan cokelat muda tersebut menelusuri kartu kesehatan milik L, senyuman ringan tak henti terlengkung di wajahnya. "Pemeriksaan prostat untuk pertama kalinya?"

Menelan ludah sejenak, L pun membuka suara. "Benar, Dokter."

Dan dua bulatan cokelat memantul kembali di atas sepasang mata hitam L. Dengan senyuman iklan pasta gigi -yang L bahkan yakin baru saja ia melihat adanya kerlipan cahaya di sana- sang dokter berkata, "Saya yang pertama kalau begitu. Sungguh suatu kehormatan untuk jadi yang pertama."

L membalas dengan senyuman kaku. Yang pertama.

"Maaf, saya lupa memperkenalkan diri. Saya Yagami Raito. Khusus untuk Anda, Anda bisa memanggil saya Raito." Dipandanginya wajah L lekat-lekat.

"Baik, Dokter Raito." Bah. Apa dokter ini menyadari kegugupannya? L tidak ingin terlihat gugup. Itu… sangat tidak seperti dirinya sendiri saja. Ia ingin pemeriksaan segera mulai dan segera berakhir, sehingga tidak perlu ada urusan dengan masalah prostat-prostatan lagi untuk sementara waktu.

"Umur 24 tahun, memiliki ayah yang menderita kanker prostat," urai Dokter Raito tanpa perlu melihat kembali kartu kesehatan L, semua telah terekam di benaknya. Ia terus memandangi L dengan tatapan intens. "Sejauh ini tidak ada keluhan kesehatan serius dan tidak punya anggota keluarga dengan riwayat penyakit lain. Tinggi 179 cm, berat 50 kg." Tatapan dokter tidak teralih. L mendadak yakin kalau ada sesuatu yang aneh menempel di wajahnya.

"Apa Anda sudah mempunyai pacar?"

Mata L membulat. Begitu janggal, begitu mendadak. Apa ini berguna untuk kesehatan? Tak ada salahnya jika menjawab jujur, bukan? "Tidak ada, Dokter. Saya bahkan belum pernah memiliki pacar."

Sudut bibir sang dokter terangkat. "Baiklah, kita akan memulai pemeriksaan. Tuan Lawliet, saya minta Anda sebelumnya untuk berdiri tegak kemudian memutar badan perlahan-lahan."

Dahi L berkerut. Setelah menurunkan kedua kakinya, L kemudian menegakkan badan lalu memutar badannya perlahan-lahan. Kebingungan L sedikit mereda saat melihat sang dokter memperhatikannya dengan begitu seksama dan terlihat berpikir serius. L memang mengetahui cukup banyak tentang seputar dunia kesehatan, tapi masalah prostat sama sekali asing untuknya.

"Anda bisa berhenti, Tuan Lawliet. Misa," ujarnya dan si suster pirang menyahut pelan. L tetap berdiri, ibu jarinya yang sempat terlupakan kembali bergelayut manis di tepi bibirnya.

"Misa, bisakah kamu keluar? Ini sangat istimewa."

L mendelik saat mendengar kata 'istimewa'. Ada apa pula dengan dirinya? Apakah caranya memutar tubuh tadi terlihat seperti orang yang mengalami gangguan prostat?

Si suster pirang memutar bola matanya lantas menjawab, "Baik, Dokter Raito." Diliriknya L sekilas sebelum meraih sebuah map lalu beranjak menuju pintu.

"Dan tolong pastikan tidak ada orang lain yang masuk." Terlihat senyuman sekilas di bibir si dokter.

Gawat, apa L benar-benar kemungkinan punya masalah prostat sehingga memerlukan pemeriksaan yang istimewa? Gigi L mengetuk-ngetuk kuku ibu jarinya dengan semakin cepat.

"Jangan khawatir, Dokter," jawab suster bernama Misa itu sambil diiringi senyuman aneh beserta cekikikan kecil dan pintu pun tertutup. Lipatan di dahi L bertambah satu.

"Nah, Tuan Lawliet," ucap Dokter Raito. Ia bangkit berdiri dari kursinya dan dengan luwes melonggarkan dasi merahnya. "Kita mulai pemeriksaannya."

Degup jantung L menghentak keras. Suasana terasa aneh. Jari-jari sebelah tangannya memainkan ujung kaus putihnya. Gerakannya makin cepat saat sang dokter mendekat padanya, di hadapannya. Mendekat, makin dekat… terlalu dekat…

"Ah!" seru L saat merasakan tangan asing mendadak meremas bokongnya. Ia tidak jadi melancarkan tendangan refleknya saat tahu itu tangan si dokter. Di situasi biasa ini adalah pelecehan, tapi jika dokter prostat yang melakukan… bisa jadi ini bagian pemeriksaan.

"Hm. Bagus. Bagus sekali," komentar si dokter sementara tangannya masih rajin meremas-remas. "Kondisi yang di luarnya terasa bagus, ini sempurna."

Desah lega L meluncur. Ternyata memang bagian dari pemeriksaan. Apalagi si dokter bilang kondisi luarnya bagus. Awalan yang baik, ini pertanda yang baik.

Si dokter menarik napas panjang, seperti ingin menelan udara desahan L barusan. Wajahnya mendekat kepada L, membuat L melangkah mundur. Ia tidak terbiasa melihat wajah orang lain selain Watari dari dekat.

"Maaf, apa saya membuatmu tidak nyaman?" tanya si dokter, ekspresinya terlihat sangat simpatik.

"Tidak, Dokter. Saya hanya terkejut," jawab L di sela kesibukan menggigiti ibu jarinya. Ia pasti terlihat kaku dan gugup, tapi biarlah. Ini akan segera berakhir. Semoga.

Dokter Raito melempar senyum ringan. "Baik. Begini, Tuan Lawliet. Proses pemeriksaan prostat yang akan kita lakukan akan melibatkan pemberian injeksi dan beberapa prosedur lainnya yang mungkin membutuhkan beberapa kali kunjungan, walaupun Anda tidak menderita penyakit apapun. Pencegahan yang efektif dalam jangka waktu lama pun membutuhkan proses."

L mendengarkan tanpa melepaskan ibu jari yang terus menerima ketukan giginya. Memang dalam beberapa bidang medis, dibutuhkan beberapa kali kunjungan dan tak jarang mengikutsertakan injeksi obat.

"Nah, sekarang…" Dokter Raito melangkah menuju sebuah lemari dan meraih selembar handuk tebal dari dalamnya sambil menunjuk ke arah sebuah bilik. "Lepas pakaianmu, Tuan Lawliet."

L paham benar tujuannya datang ke sini adalah untuk memeriksa salah satu bagian vital di dalam tubuhnya. Sebagai seseorang yang cukup privat, ia diserang perasaan tidak nyaman untuk memperlihatkan bagian intimnya di depan orang lain, tapi ini tidak bisa dihindari. Jadi L memunggungi Dokter Raito dan berjalan ke bilik kain berwarna hijau muda.

"Kalau sudah, saya minta Anda berbaring tengkurap di tempat tidur, Tuan Lawliet."

L tidak menjawab, berkonsentrasi untuk melepas helai demi helai pakaiannya. Dengan tangan sedikit tremor dan berkeringat dingin, L menurunkan resleting celana dan menggigit bibir ketika celana itu langsung merosot ke lantai.

Setelah selesai, L meletakkan pakaiannya asal-asalan di atas ranjang, kemudian naik ke atasnya. Kulitnya terasa panas, efek dari tekstur dingin bahan kulit yang menjadi sprei tempat tidur klinik ini. Sambil tidur menelungkup, dahi L berkerut tanda tidak nyaman. Ia membenamkan wajah ke dalam bantal dan menarik napas. Tercium aroma terapi yang menenangkan.

"Anda sudah siap?"

Terdengar bunyi dentingan logam berulang kali, beriringan dengan suara detak jantung L yang kian bertambah cepat. Dokter Raito membuka tirai dengan membawa baskom berisi peralatan medis dan handuk, ia meletakkannya di meja kecil di sebelah ranjang. L mengintip penasaran ke dalam baskom. Terdapat benda seperti lidi dengan bulu warna putih dan sesuatu yang berbentuk dot.

Sambil mengenakan sarung tangan karet, Dokter Raito menatap L secara keseluruhan dengan serius. Ia mulai berjalan mendekat.

"Sebentar Dokter." L menarik selimut handuk dan menutupi bagian bawah tubuhnya. Wajahnya terasa panas.

"Tidak apa-apa," sang dokter tersenyum, senyumnya tidak mencapai matanya.

Dokter Raito mendekat, dan L menahan diri untuk tidak menelan ludah. Jantungnya berdegup kencang di telinganya sendiri, ia berharap semua ini cepat berakhir.

Tapi ekspresi Dokter Raito sedikit banyak menenangkannya. Dokter menyipitkan matanya, sarung tangan karetnya terasa hangat dan kesat di atas punggung L, bergerak mengukir lengkungan di tubuh L. "Apa Anda menderita Skoliosis?"

"Ya, Dokter." Apa suaranya terdengar gugup? L membenarkan ekspresi wajahnya.

Dari atas, tangan Dokter Raito bergerak menyusuri tulang belakang L. Dari bawah, kemudian bergerak ke atas lagi. Sesekali sang dokter mengelus lengkungan mungil di punggung L dengan ibu jarinya. L mencari-cari di dalam kamus di kepalanya jika postur tubuhnya berpengaruh dengan kelenjar prostat di dalam sana, tapi tidak berhasil menemukan apa kaitannya.

"Tenang dan lemaskan tubuhmu." Suara Dokter Raito begitu profesional. "Saya akan memeriksa beberapa bagian."

L mengangguk, pipinya panas dan napasnya sedikit berat. Ia jelas tidak terbiasa tidur menelungkup dengan orang yang baru dikenal mengelus punggungnya yang telanjang. Situasi ini sangat tidak nyaman. Dokter Raito menekan-nekan punggung hingga ke tulang ekor, melakukan serangkaian pijatan ringan. L berusaha menenangkan diri, tahu bahwa ini adalah cara melakukan pemeriksaan. Sebentar lagi akan selesai.

Raito memijat-mijat bokongnya dari luar handuk, yang terasa semakin lama semakin kencang, membuat handuk yang membalut tubuh bagian bawah L berkerut dan bergeser. L membenamkan wajahnya kembali ke bantal.

"Bagus sekali," Dokter Raito memberi komen yang melegakan. "Kelenturan dan kepadatannya sempurna. Tahan sedikit, Tuan Lawliet."

Sebelum L sempat mempertanyakan, tekanan dari tangan sang dokter bertambah. L mencengkeram seprei di bawahnya ketika bokongnya diremas lebih kencang, kemudian Dokter Raito menepuk bokongnya hingga tubuh L bergetar.

L terkesiap, menoleh ke belakang dan mendelik. Tubuh bagian bawahnya sudah setengah terbuka sementara Dokter Raito tidak berhenti meremas. Tanpa sadar L menarik handuk yang membungkusnya untuk menutupi yang telah tersibak. Ia menggigit bibir untuk tidak merintih.

Dokter Raito terus memijat dengan penuh tekanan sehingga menimbulkan rasa tidak nyaman pada organ intim L yang tertindih berkali-kali. Jantung L mulai berdetak cepat. Ia bergerak gelisah, mencari cara untuk membuatnya nyaman. L sedikit menekuk lutut, dan tidak sengaja beberapa kali Dokter Raito membelai bagian dalam lipatan bokongnya - meremas dengan gerakan memutar.

Ada seringai kecil tumbuh di wajah Dokter Raito. "Saya mulai pemeriksaannya." Dan ia membuka pelan handuk yang membungkus tubuh L.

L mengerang tidak nyaman oleh rasa dingin yang timbul. Mata terpejam erat.

"Sebelumnya saya minta Anda mengenakan ini." Dokter Raito menyerahkan sesuatu seperti penutup mata. "Saya menemukan metode untuk mendeteksi masalah prostat yang maksimal dengan cara menutup indera penglihatan."

L menatap penutup mata itu dengan rasa tidak nyaman di dasar perutnya. Di bawah tatapan Dokter Raito yang begitu serius, L mengangguk, berlutut, mengambil kain hitam itu dengan enggan dan mulai memakainya.

"Saya bantu." Suara Dokter Raito dan L tahu pria itu sedang berjalan ke hadapannya. Kedua tangan dokter melingkari kepalanya sementara pria itu mengikat penutup mata. L menahan napas ketika mencium aroma tubuh di hadapannya, wangi sabun yang pekat, berbalut wewangian kayu-kayuan yang maskulin. Pelipisnya berdenyut pelan ketika merasakan jubah sang dokter menyapu sedikit pipinya yang panas. Mungkin Dokter Raito bisa merasakan denyut nadinya dari jarak sedekat ini.

Kini L tidak bisa melihat apapun.

"Berbaringlah." Suara Dokter Raito terdengar begitu dekat di daun telinganya. Napas panas menyapu leher L sekilas dan helaian rambutnya bergoyang.

Matanya yang kini tertutup membuatnya merasa aneh. Sangat tidak enak rasanya jika tidak bisa melihat ketika seorang yang masih asing sedang menyentuh tubuhnya yang telanjang tetapi secara bersamaan, ini agak menenangkan. Ia tidak harus melihat wujud aneka peralatan misterius yang berada di dalam baskom tadi dan juga melihat wajah Dokter Raito jika ia melintas di hadapannya.

Ketukan sepatu dokter sampai di telinga L, ia sedang berjalan ke tempatnya tadi. Sentuhan ringan mendarat di bokong, tubuh L menegang. Menyetujui memakai penutup mata sepertinya bukan ide yang bagus. Sensasi sentuhan yang dirasakannya menjadi berkali-kali lipat, hal-hal yang tidak menjadi perhatiannya tadi seperti bagaimana panas dari kulit Dokter Raito seolah menembus lapisan sarung tangan karet lalu terserap pori-porinya, juga bagaimana tarikan napasnya yang menjadi lebih cepat saat tangan itu menyentuhnya. Panas di wajah L bertambah. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan selain membenamkan kepalanya di bantal dan kembali menggenggam lipatan sprei.

"Tenanglah, Tuan Lawliet," anjur Dokter Raito. "Lemaskan tubuhmu, proses berikutnya akan menjadi lebih mudah jika tubuhmu rileks."

L mengangguk dalam benaman permukaan bantal, entah dokter melihatnya atau tidak. Sulit sekali rasanya untuk tenang jika begini. Ia menghirup keharuman aromatherapy sebanyak-banyaknya, berharap dapat membantunya mengusir ketegangan.

Tangan dokter yang berbalutkan sarung tangan karet meluncur dengan kesat pada lengkungan bokong L. Tak bisa melihat, hanya merasakan, membuat bulu roma L berdiri. Jari-jari tak terlihat itu menyusuri kedua sisi lekukan L kemudian memijat pelan. Pijatan yang sungguh lembut, seolah sang dokter mendukung L untuk menenangkan diri. Sedikit banyak L terpengaruh. Bagaimanapun, seharusnya dokter tidak akan mencelakakan pasiennya, apalagi dokter dengan reputasi tinggi seperti Dokter Raito.

Tepukan pelan di kedua sisi membuat kurva bokong L bergetar pelan, getaran yang terasa hingga bagian intimnya yang lain. Tepukan beralih menjadi remasan, tiap sentakan yang dihasilkannya membuat bagian tubuh vital L bergesekan dengan sprei kulit. Renggutan tangan L pada sprei mengencang, tarikan napas L menjadi lebih berat. Akhirnya ia mengangkat wajahnya dari bantal dan bertopang pada dagunya agar lebih leluasa bernapas, apalagi remasan tangan sang dokter makin kencang saja.

'Tenang,' batin L. Akan tetapi pikiran tersebut lenyap saat sesuatu yang L yakini sebagai jari dokter menyentuh bukaan otot kecil yang berada di dalam lipatan bokongnya.

Terkesiap, L lantas membuka suara. "Do… Dokter…"

"Tenanglah, Tuan Lawliet. Anda pasti mengerti bahwa Anda sedang menjalani pemeriksaan prostat, bukan?" Suara Dokter Raito mengalir dengan hangat, ia terdengar seperti sedang tersenyum saat berbicara. "Saya akan mempersiapkan Anda terlebih dahulu sebelum menggunakan alat. Jika tidak, kemungkinan besar akan terasa menyakitkan."

Telapak kaki dan tangan L mendadak terasa begitu dingin. Jari dokter merayap halus, mengitari pintu otot L, terkadang jari tersebut menekan dengan lembut. Tekanannya bertambah, ujung jari nyaris saja mendorong masuk. Gigi L menggertak, sebulir keringat dingin menuruni pelipisnya. L tak kuasa menahan lengkingan terkejutnya saat sesuatu yang kental, basah dan dingin menetes pada permukaan otot intimnya yang segera dijelaskan oleh sang dokter.

"Ini cairan pelumas," terang Dokter Raito, "Ini untuk memudahkan pemeriksaan di dalam sana. Biasanya saya mengoleskan pada jari, tapi karena ini yang pertama bagimu, jumlah pelumas yang lebih banyak sangat diperlukan."

Cairan kental dingin akhirnya berhenti mengalir. Dengan cekatan jari-jari sang dokter meratakan substansi cair tersebut dan satu jari menyundul pintu bukaan L dengan pelan. "Saya akan mulai."

Dengan napas terputus-putus, L menggerung pelan. Derap jantungnya merambat di seluruh ranjang. Napas L tertahan saat jari si dokter mulai memasuki celah intimnya. Cengkeraman pada sprei menguat, gigi L berkertak canggung. Jari sang dokter merayap perlahan. Tidak sakit memang –sepertinya si dokter benar-benar ahli- tetapi rasanya jelas luar biasa tidak nyaman. Pangkal jari dokter pun bertemu cincin otot L, pertanda jari tunggal tersebut telah sepenuhnya berada di dalam.

"Ini akan terasa tidak nyaman, tetapi tahan, ya..."

Walau hanya satu jari, tapi otot dalam L menekan-nekan si jari dari segala sisi, membuatnya seperti terjepit. L tidak pernah menyadari bahwa dirinya sesempit itu. Dan si jari pun mulai bergerak. Ia berputar-putar dan mendorong-dorong permukaan dinding dalam L dengan lembut. Lagi-lagi, Dokter Raito seperti menunjukkan pengalaman medisnya. Walau pada awalnya jarinya seperti terintimidasi oleh kerapatan dinding dalam L, dalam waktu singkat, otot dalam L terasa lebih renggang.

"Santai saja, Tuan Lawliet," cetus sang dokter prostat. "Proses ini akan menjadi lebih cepat jika Anda menenangkan tubuh Anda."

Mengangguk, L menarik napas panjang dalam-dalam. Ia mencoba meregangkan otot-otot cerewetnya, membuat otot dalamnya di bawah sana berkontraksi, bersinggungan ramah dengan jari asing di sana. L langsung tertunduk rikuh. Keringat dingin telah bercucuran di dahinya. Lantas ia pun bergerak gelisah lalu tanpa sadar menekuk lututnya sedikit, membuat pinggulnya terangkat sehingga jari pun lebih leluasa beraksi.

"Saya akan menambahkan jari berikutnya." Dokter Raito memberi tahu. "Harap ditahan, Tuan Lawliet."

Satu lagi jari menyundul masuk. Dan keduanya segera melakukan gerakan kolaborasi, memastikan cukup ruang sehingga L akan mampu mengakomodir sesuatu di dalam nanti. Kedua jari berputar-putar, dilebarkan, meregangkan lebih jauh, membuat L meringis. Kedua jari di dalam melakukan sodokan yang makin lama makin cepat. L semakin meringis tidak nyaman dibuatnya. Jari-jemari kaki L tertekuk-tekuk sebagai wujud dari ketidaknyamanan tersebut. Gerakannya mengguncang pinggul L, alat vital L makin bergesekan dengan kasur.

Dan… ups. Sepertinya gesekan yang konstan telah membawa reaksi tersendiri pada bagian tubuh vital L. Sensasinya aneh. Aneh tapi terasa menyenangkan. L kebingungan, wajahnya semakin panas saja. Lagi, tanpa sadar lutut L makin tertekuk, pinggulnya makin tersorong ke atas untuk mengurangi pergesekan dengan ranjang. Ia berusaha mengalihkan perhatiannya kembali pada dua jari yang sedang bergolak di dalam tubuhnya. Untuk sesaat, L sempat terkesiap. Kedua jari di dalam sempat menyentuh area yang terasa lebih sensitif di banding area lainnya. Rasa penasaran menggelegak, tapi L tidak mau memikirkan hal itu terlebih dahulu. Saat pemeriksaan nanti semua pasti akan terungkap.

Sodokan dari kedua jari masih gencar dan L merasakan bahwa bagian dalamnya telah menjadi lebih longgar. Pasti proses persiapan ini akan segera selesai. Selangkah lebih dekat menuju akhir dari penyiksaan ini.

Benar saja, mendadak jari-jari si dokter terdiam. Perlahan-lahan, kedua jari tersebut ditarik keluar, menyisakan cairan kental yang melumuri bagian dalam dan pada pintu bukaan tubuhnya. Janggal rasanya karena kini L merasa longgar. Longgar namun kosong. Pemeriksaan belum berakhir memang, tapi L tidak bisa menahan diri untuk tidak menghembuskan napas lega.

Terkesiap, L sontak menutup mulutnya.

Ada benda asing menyentuh bukaan ototnya. Sesuatu yang licin seperti kulit, hangat, lentur, basah, bergesekan beberapa kali dengan permukaannya. Beberapa kali terdengar semacam bunyi basah seperti kecapan. Sepertinya Dokter sedang mengoleskan pelumas lainnya.

Mata L terbelalak di balik penutup mata.

Apa ini? Sesuatu yang menekan di dadanya menandakan firasat buruk. Terasa tidak menyenangkan, seperti ada sesuatu yang tidak benar. L membenarkan posisi kakinya, secara tidak langsung bergeser menjauh dari sang dokter dan sentuhan aneh itu.

"Mohon jangan bergerak Tuan Lawliet." Peringatan.

L hanya menjawab dengan satu hembusan napasnya yang berat. Sekujur tubuh berpeluh keringat. Di bawah sentuhan benda asing yang menyentuhnya di bawah sana, L merasakan reaksi berlebihan seperti kedutan di beberapa tempat, terutama di daerah pintu ototnya. L mengernyit, ada udara panas yang secara konstan menyapu daerah lipatan dalam bokongnya; ia tidak menemukan penjelasan lain selain wajah Dokter Raito sedang mengamatinya begitu dekat – hembusan napas sang dokter.

Beberapa menit setelah pelumasan dengan benda asing itu, L menarik napas panjang setelah merasakan kembali kekosongan. Hanya ada hawa dingin yang menggigit dari AC menyapu permukaan kulitnya yang baru saja diolesi cairan hangat. Bunyi dentingan logam terdengar lagi. Jantung L berdegup penuh antisipasi memperkirakan alat seperti apa yang akan dimasukkan ke dalam tubuhnya. Apapun itu, ia akan bersiap.

Hawa panas datang lagi. Sang dokter prostat menangkup pipi bokong L dengan kedua tangan, kemudian membuka lebar lipatannya. Kini benda asing yang lain – L tahu pasti. Teksturnya lembut dan agak panas, seperti kulit, berbeda dengan yang sebelumnya. Jauh dari ekspektasi L bahwa ia akan merasakan dinginnya logam di dalam sana.

"Saya akan memasukkan suatu alat untuk menginjeksi kelenjar prostat Anda, Tuan Lawliet."

Jantung L berdentum sekali. Ia menoleh ke belakang, walau tidak bisa melihat apapun. "Apa ada masalah, Dokter?"

"Ini adalah salah satu bentuk tindakan preventif yang bisa diambil." L merasakan alat apapun itu sedang bergesekan dengan permukaan ototnya, naik dan turun. "Usia Anda masih muda, dan setiap laki-laki setidaknya harus mendapatkan injeksi pada prostat beberapa kali seumur hidupnya."

L mengangguk.

Alat itu berukuran panjang dan gemuk. L membayangkan bentuknya seperti tabung dengan tekstur yang lembut seperti silikon. Dokter Raito menggesekkan alat injeksi di antara kedua belah bokongnya beberapa kali, dan L merasakan ada setetes dua tetes cairan lengket yang menetes melumuri punggung bokongnya.

"Perlu diketahui bahwa saya akan menembakkan obat kepada prostat hanya ketika kelenjar itu membengkak, untuk itu dibutuhkan sedikit stimulasi." L bisa mengetahui Dokter Raito sedang tersenyum dari penjelasannya. "Juga, alat ini butuh dipompa beberapa kali untuk memanaskan obatnya. Tidak akan sakit jika kau melemaskan tubuhmu, hanya sedikit tidak nyaman."

L mengangguk cepat agar Dokter Raito langsung saja menanganinya.

"Mari kita mulai."

Perlahan, alat berukuran besar tersebut didorong masuk melewati cincin otot yang sempit. Masuk sedikit pada awalnya, terasa seperti gumpalan daging bagi L, sebelum akhirnya ditarik keluar. Masuk lagi. Semakin dalam. Pergerakannya cukup mulus. Sepertinya Dokter Raito telah melumasi bagian ujung dan keseluruhan badan alat, pikir L, dan ia bisa merasakan seratus persen bagaimana benda itu bergerak menyusuri dinding bagian dalam tubuhnya.

"Hnn...fuu."

L menggigit ibu jarinya agar tidak merintih. Dibuka dengan paksa dari dalam. Tidak nyaman. Perih. Sementara alat itu masuk semakin dalam, jantung L berdegup semakin kencang. Dalam. Semakin dalam hingga L merasa alat itu telah menyatu dengan organ bagian dalam. L mengangkat wajah. "Do...Dokter. Saya rasa alat itu... tidak akan muat."

Dokter Raito tertawa tanpa napas. "Percayakan kepada Saya, Tuan Lawliet. Sebentar lagi akan selesai."

L sama sekali tidak meremehkan Dokter Raito, tetapi—"Ah." Sekujur tubuh L meremang, tanda bahwa alat itu tidak seharusnya berada di dalam sana. Butuh waktu untuk L mengondisikan tubuhnya. Ia ingin meminta dokter untuk melakukannya perlahan, tapi tidak, ia bukan lelaki lemah yang banyak mengeluh. Jadi L diam, mengangkat pinggul sedikit lebih tinggi di udara untuk memberi ruang pada alat injeksi.

"Bagus." Dokter Raito mengapresiasi kesiapan L dengan sebuah remasan pada kedua pipi bokongnya.

Dokter Raito berhenti dan L mengetahui alat itu telah sepenuhnya berada di dalam tubuhnya. Diam beberapa saat. Denyutan tubuh L kini seperti berpusat pada selangkangan dan di dalam celah intimnya, pada dinding otot yang membungkus rapat alat injeksi.

Sedikit demi sedikit alat itu ditarik keluar. Keringat menetes dari pelipis L. Rasanya seperti seseorang tengah menarik organ bagian dalamnya; perasaan yang tidak menyenangkan. Alih-alih ikut mendorong keluar, di luar kemauan L berkontraksi dan meremas alat itu dari dalam. Apa Dokter Raito mengetahui reaksi gugup tubuhnya? Karena ia mendengar untuk beberapa saat sang dokter melenguh tertahan.

Dokter Raito telah menarik keluar alat itu dan L menghembuskan napas lega sesaat, sebelum dokter mendorong alat itu masuk lebih dalam, lebih jauh. Slap. Suara riuh akibat tumbukan antara kulit L dan alat tersebut memantul di dinding dan langit-langit ruangan.

"AH!"

Alat mulai dipompa. Menggesek maju dan mundur dengan tempo yang sudah diatur. Di setiap gesekan L merasakan cairan basah berlendir dan lebih banyak lagi melumasi dinding dalamnya. Kini terdengar dengan jelas bunyi basah dan licin. Cairan itu bercampur keringat tersebar sampai ke keseluruhan bongkahan bokong L akibat remasan keras Dokter Raito.

"Do-Dokter. Panas..." Benda itu bergesekan di dalam sana menimbulkan berbagai macam rasa. Tidak nyaman. Perih di beberapa tempat. Dan semakin lama, L merasakan dinding ototnya berkerut menegang dan alat itu seolah membengkak di dalam sana. Menahan nyeri, L membenamkan wajah ke dalam bantal dan mencakar sprei di bawahnya.

Mendadak L membeku, mata melebar. Alat itu menyentuh sesuatu di dalam sana. Sentuhan pertama terasa menyengat, dan rasa panas membuncah di leher L. Sentuhan kedua mengirim getaran langsung ke alat vital L. Reaksi aneh yang mirip dengan sodokan jari di tempat yang sama seperti sebelumnya. Apakah itu adalah prostatnya?

"AH!"

Mengetahui reaksi L, sepertinya Dokter Raito dengan sengaja menumbukkan ujung alat itu kepada titik prostat L. Awalnya sangat pelan, seperti menggoda dengan belaian halus. Kelamaan berangsur cepat. Kini menumbuk dengan intensitas lebih kencang, lebih akurat.

Reaksi yang muncul begitu intens, sanggup membuat L berteriak. Sekujur tubuh meremang dari leher hingga ke paha belakang L yang bersentuhan dengan jubah sang dokter. Organ intim L yang mengeras pun mengayun bersamaan dengan pergerakan Dokter Raito yang sedang memompa alat. Beberapa kali sang dokter menepuk bokongnya. L mulai mencoba untuk mengaitkan getaran dan remasan sangat berpengaruh untuk mendeteksi prostat, ia akan mempelajari materi ini lebih dalam nantinya.

"Ya." Dokter Raito menahan napas sambil menaikkan tempo. "Jika Anda merasakan reaksi seperti ingin buang air kecil, itu adalah reaksi yang wajar ketika kelenjar prostat terstimulasi." Dan sesuai dengan perkataan dokter, L hanya mampu melenguh menahan rasa aneh yang tumbuh. Tekanan dalam jumlah besar berkumpul di bawah perut. L mengetahui cairan pekat menetes-netes dari organ privatnya. Putingnya pun mengeras.

"Dokter...hnnn..."

"Akan lebih baik jika Anda ikut menggerakkan pinggul." Suara Dokter Raito terdengar berat. "Stimulasi akan lebih lancar dan obat bisa lebih cepat ditembakkan."

L merasa panas dari mata hingga leher ke bawah. Menyakitkan jika ia menahan erangan di dasar tenggorokan, membuatnya kesulitan bernapas. Ketika L mencoba mendorong kaki dan pinggulnya ke belakang, L diam sejenak.

"Do-Dokter...Kenapa kaki Dokter ada di belakang kedua kaki saya?"

Hening sesaat, tapi proses stimulasi masih terus berlangsung, hanya saja temponya lebih lambat.

"Ah, ketahuan," celetuk Dokter Raito kikuk.

Alis L tertekuk pertanda bingung.

"Begini, Tuan Lawliet…" Dokter terengah sebentar. "Sebenarnya saya menggunakan metode pemeriksaan yang berbeda pada umumnya."

L mematung.

"Kebetulan hari ini saya memperoleh peralatan baru, sebuah alat injeksi yang jauh lebih efektif ketimbang alat injeksi pada umumnya, hanya saja sulit dipakai. Saya juga harus menyumbangkan tenaga saya selama memompa. Itulah sebabnya saya harus naik ke atas ranjang, agar koordinasi tubuh saya lebih sempurna sehingga tenaga dorongan yang saya berikan bisa lebih maksimal. Saya tidak memberi tahu hal ini agar Tuan Lawliet yang baru pertama kali melakukan pemeriksaan bisa merasa nyaman. Jika Anda merasa terganggu, saya memohon maaf."

L terperangah. Ternyata Dokter Raito juga harus ikut menyumbangkan tenaga sedemikian rupa saat memompa dan tidak ingin L mengetahui usahanya tersebut. "Tidak masalah, Dokter…"

Dengusan senang dari sang dokter terdengar sebanyak satu kali. Sembilan puluh persen bisa diyakini bahwa sang dokter merasa lega. Secercah kekaguman timbul di dada L. Dokter yang masih asing ini telah melakukan pengorbanan demi kepentingan L dan ia tidak ingin L mengetahuinya, bahkan meminta maaf karenanya dan merasa lega karena permintaan maafnya diterima. L tidak bisa menemukan kata lain selain predikat berjiwa besar. Tapi tentu L tidak akan mengungkapkan kekaguman pada orang asing secara langsung.

"Dokter," gumam L, "Jika Dokter menginginkan untuk mempercepat atau memperlambat tempo, Dokter dapat melakukannya. Saya akan berusaha untuk bersikap kooperatif." Akan sulit dan menguras tenaga bagi dokter jika ia harus terus menjaga tempo yang tergolong cepat, maka L mengajukan opsi untuk memperlambat – selain opsi mempercepat untuk berbasa-basi. L pun memutuskan untuk ikut menggerakkan pinggul sebisanya. Hanya itu yang mampu dia berikan, pikir L.

Gerakan memompa terhenti. "Terima kasih banyak, Tuan Lawliet." Lagi, si dokter terdengar manis seperti sedang tersenyum. "Baik, kita lanjutkan pemompaannya."

Slap. Slap. Suara hasil tumbukan kulit L dan alat injeksi terdengar kembali. Napas L tertahan, remasannya pada sprei menguat.

Di luar dugaannya, tempo pemompaan menjadi lebih cepat. Semakin cepat, terlalu cepat malah. Dokter Raito memompa dengan penuh energi, hingga mengakibatkan ranjang bergoyang. L tidak punya bayangan apa yang akan terjadi jikalau para calon pasien lanjut usia yang mengantri di luar sana juga mendapatkan perlakuan serupa.

"AH!" L berseru. Seiring gerakan pompa yang cepat, sentuhan pada prostatnya juga semakin beringas. Sungguh dokter prostat sejati, tiap tusukannya tidak pernah meleset dari prostat L. Ayunan yang membuat alat vitalnya bergesekan pada permukaan ranjang juga semakin liar. Erangan yang sempat ditahannya pun lolos dari mulutnya, ujung-ujung sprei terlepas dari tempatnya akibat dari tarikan genggaman tangannya.

Seumur hidupnya, L baru kali ini merasakan perasaan sedemikian intens – tidak tahu kata lain yang bisa menjabarkannya.

Nikmat.

Sakit, tidak nyaman, tetapi… terasa begitu menyenangkan.

Tanpa sadar L ikut menggerakkan pinggulnya, menyambut setiap sodokan dari tabung silikon dan gerak Dokter Raito, membuat tumbukan pada prostatnya berlangsung lebih mulus, lebih kuat lagi. Kelihatannya rangsangan pada kelenjar prostatnya juga ikut berkontribusi pada reaksi organ vitalnya.

"Ah! Hnnn…!" Kedua kaki L bergerak tidak tentu arah akibat betapa kuatnya rongrongan sensasi yang menderanya. Ia tahu tujuan dari proses pemompaan ini adalah untuk menstimulasi kelenjar prostatnya dan juga mempercepat proses injeksi, tapi sulit untuk memendam keinginan untuk merasakan yang lebih lagi.

Sepertinya Dokter Raito pun menikmati aktivitas ini. Buktinya, sedari tadi L mendapati suara lenguhan dan erangan sang dokter beberapa kali tertangkap telinganya. Entah apa yang membuatnya begitu bersemangat mengerahkan tenaga sedemikian rupa untuk memompa, mungkin saja itu adalah kesenangan tersendiri bagi seorang dokter prostat yang melihat reaksi pasiennya. Remasannya pada kedua bongkah bokong L juga semakin kencang saja, bahkan diselingi tamparan ringan yang membuat tubuh L tergetar. Baiklah, bagi L yang tidak mengerti perihal bidang kedokteran prostat, menurutnya kemungkinan besar dokter prostat memang gemar memompa alat injeksi dan meremas-remas juga menampari bokong pasien.

L mulai menggigit sarung bantal sekarang. Aliran keringat dan desah napasnya saling berlomba. Dinding otot di dalam tubuhnya mencengkeram erat si tabung silikon yang terasa memanas dan bertambah ukurannya. Apakah proses injeksi akan segera terjadi? Pikiran L buyar saat merasakan anggota privatnya yang lain, yang terkena gesekan sprei terus-menerus bereaksi mirip seperti tabung penyuntik di dalam sana… terasa membengkak dan semakin terasa panas. Gigitan pada sarung bantal menguat, ada naluri bahwa sesuatu akan meletup dari bagian itu sementara Dokter Raito terus memacu dengan tidak kenal lelah.

Tumbukan pada titik prostatnya, gesekan konstan pada alat vitalnya, remasan pada kedua sisi bokongnya.

"Hngghh!"

Terlalu banyak.

Ada sesuatu yang sungguh-sungguh ingin keluar dari organ vitalnya.

Gerak pinggul L terhenti. Kegugupan yang sempat ia lupakan datang kembali. Ini semua… rasanya… rasanya… tidak benar. Ke… kenikmatan yang besar ini terasa tidak benar. Ada sesuatu yang salah, tapi L tidak yakin pasti. Tubuhnya kembali menegang dan dinding otot dalamnya mulai mengimbangi tangan Dokter Raito dalam hal meremas-remas.

Lagi, terdengar suara lenguhan dari sang dokter. Tujuh puluh persen ia tahu kalau tubuh L berkontraksi karena tegang. Entah bagaimana caranya dan tingkat keahlian apa yang dimilikinya, sepertinya si dokter sanggup mengetahui bagaimana dinding dalam L merespon melalui perantara alat injeksi, seolah merasakan dengan tubuhnya sendiri.

"Harap tenang Tuan Lawliet." Suara dan napas sang dokter muda menjadi berat dan bergetar. "Saya mengerti bahwa bagian tubuh Anda yang lain juga ikut bereaksi. Itu wajar dan sangat normal mengingat kelenjar prostat merupakan salah satu bagian dari sistem reproduksi tubuh laki-laki. Anda tidak perlu merasa malu atau menahan diri. Fokus Anda sekarang adalah melemaskan tubuh Anda agar pemompaan berlangsung mulus sehingga obat dapat disemprotkan tepat pada kelenjar prostat Anda."

Wajah L yang terbenam pada bantal pun terangkat kembali. Ia ingin semuanya cepat selesai. Ia memutuskan untuk perlahan-lahan kembali menggerakkan pinggulnya.

"Bagus, Tuan Lawliet…" Dokter menanggapi dengan napas tertahan kemudian kembali menaikan tempo memompa.

Slap, slap, slap. Bunyi yang sama beresonansi dengan tumbukan ujung tumpul silikon di dalam sana. Gigi L terkatup pada kerutan sarung bantal, penutup matanya terasa lembab oleh peluh dan juga titik-titik air mata yang terserap. Bagian bawah tubuhnya bergolak, L tahu ia tidak akan sanggup menahannya lebih lama lagi.

Dan saat itu pun datang.

L terbelalak di balik penutup matanya. "Do-Do-Dokter…"

Dokter Raito menyambut dengan sebuah lenguhan. Ia meraih kedua sisi pinggul L dengan mantap dan menghentak maju. Tak pernah rasanya tabung silikon itu tertanam sedemikian dalam ke tubuh L.

L tercekat. Akhirnya… bagian vitalnya melepaskan sesuatu… Pandangannya menjadi buram, otot dalamnya berkontraksi sedemikian rupa sebelum akhirnya ia terkulai lemas di atas matras. Gejolak intens menyebar di seluruh tubuhnya, seluruh indera L terbenam dalam buaian rasa itu sesaat lamanya.

Tiba-tiba, di antara benaknya yang masih samar, L merasa… penuh.

"Nghh… Do… Dokter…" rintih L. Di dalam sana terasa panas…

"Nah, Tuan Lawliet," tukas sang dokter dengan nada senang dan sedikit terengah, "Injeksi obat berhasil."

Terdiam, kemudian L bergumam lemas. "Do… Dokter… O-obatnya… Begitu panas dan kental…"

"Itu reaksi yang bagus. Rasa panas akan membantu mempercepat proses penyerapan pada kelenjar prostat."

"Dokter... seperti akan keluar."

"Ya..." gumam dokter lambat-lambat. "Nanti akan keluar sendiri. Tidak perlu dirisaukan." Diam sejenak. "Akan tetapi lebih baik untuk membersihkannya di sini sekarang juga. Anda tidak ingin merasa risih di perjalanan pulang ke rumah 'kan?"

"Tidak perlu Dokter, Saya-" L menggigit bibir.

Dokter Raito sudah berdiri di belakangnya, menepuk dan meremas. L yang masih belum terbiasa dengan sensasi intens kembali merasakan tekanan di bawah perutnya. Ia, dengan posisi menelungkup, di bawah tatapan mata Dokter Raito yang mengamati reaksi tubuhnya dengan begitu dekat, mengeluarkan cairan...

"Ya," suara Dokter Raito terdengar puas. Satu tepukan keras. "Sudah hampir keluar semuanya, buka kaki Anda lebih lebar dan goyangkan pinggul Anda. Gunakan otot perut untuk mengeluarkannya." Kemudian bunyi basah menggema di ruangan ketika jemari panjang berbalut karet itu menembus liang intim L.

L membenamkan kukunya ke dalam bantal. Sang dokter tidak ingin menunggu. Dinding otot L masih lemas setelah aktivitas injeksi, dan dengan mudah jemari panjang itu bergerak keluar dan masuk. Di dalam sana sang dokter mulai menggoyangkan jarinya naik turun. Dan, entah di sengaja atau tidak, terus menerus menghujam prostat yang sensitif. Kali ini rasanya tidak lagi menyenangkan. L merasakannya, cairan obat kental itu keluar, melumuri paha bagian dalam, hingga tumpah ke kulit matras dan akhirnya tersapu helaian handuk. Sambil terengah-engah, L membantu dokter untuk meliukkan pinggulnya perlahan. Alat kelamin L kembali berkedut pelan seiring dengan guncangan di dalam tubuhnya.

Kemudian-

"Selesai."

Akhirnya jari ditarik keluar, berbuah desahan panjang dari L. Bahkan setelah jari itu ditarik, L masih merasakan sisa-sisa getaran tertinggal di dalam, seolah jari dokter masih ada disana.

Dokter Raito membersihkan paha dan bokong L dengan handuk. "Anda sudah boleh berpakaian dan melepas penutup mata."

L menarik napas dalam-dalam. Dengan tangan masih gemetaran, tangan L bergerak ke belakang kepala untuk melepas ikatan tali penutup mata.

"Biar saya bantu," gumam Dokter Raito dari belakang... telinga L. Ia membuka tali dengan jemari tangan memilin helaian basah rambut L, seperti ingin memijat kulit kepalanya. Ujung jemari lainnya membelai leher belakang L yang basah, dan tanpa sengaja membelai daerah empuk di belakang telinga L. Sementara napas panas berhembus secara teratur, L merasa sang dokter sedang mengeluskan ujung hidungnya pada lekukan di leher…

Jantung L berdentum sekali. Situasinya... terasa tidak wajar.

Setelah penutup mata dilepas, mata L terasa buram dan tidak fokus. Butuh waktu beberapa saat untuk mata L menangkap lipatan-lipatan fabrik hijau muda dari bilik kain. L menyeka keringat di wajah dan leher dengan handuk, kemudian berhati-hati memijakkan kaki ke lantai. Ah. L meringis. Rasa ngilu menjalar dari bagian bawah tubuhnya hingga ke leher bagian belakang, menggoyahkan keseimbangan. Rasanya sakit seperti kram otot. Memar biru tidak diragukan akan terlihat pada bokong dalam waktu beberapa hari.

Dokter Raito sudah duduk di belakang meja kerja, sedang mencatat. "Besok Anda datang kemari untuk pemeriksaan yang kedua."

"Baik, Dokter." Kepala L melewati kerah kaus putihnya. Ia menghabiskan waktu beberapa saat memasukkan kedua kaki ke dalam celana panjang.

"Anda tidak apa-apa?"

L keluar dari bilik kain dan meringis ketika mencoba berjalan. Beberapa tetes terakhir masih mengalir di bawah sana. "Hanya sakit sedikit, Dokter." L mencoba duduk dengan mengangkat kedua kaki, dan meringis lagi, lalu memutuskan untuk duduk selayaknya orang normal.

Mata sehangat madu bergulir menatap tubuh L dari atas ke bawah, untuk kemudian berhenti di lekukan paha L bagian dalam. Senyum profesional terukir di wajahnya. "Ini adalah pemeriksaan prostat Anda yang pertama. Rasa ngilu hanya akan berlangsung dua sampai tiga hari, seterusnya tidak akan apa-apa. Saya telah mengambil sampel lendir dari kelenjar prostat Anda dan hasilnya akan diketahui besok. Saya tunggu Anda besok sore pada jam yang sama."

Besok ia harus kembali? Mengangguk lemah, L membalas tatapan Dokter Raito dengan mata setengah terbuka.

"Baik." Dokter Raito berdiri, menjulurkan tangan antara ingin membantu L berdiri sekaligus menjabat tangan L. "Terima kasih banyak. Semoga hari Anda menyenangkan."

Tangan yang hangat, langsung meremas L ketika mereka bersentuhan. Sebelum sang dokter melepaskannya, L merinding merasakan sentuhan jari yang menekuk dan membelai lembut telapak tangannya.

"Terima kasih banyak, Dokter."

Misa membukakan pintu, L keluar dari klinik Dokter Raito dengan langkah lemas. Di luar klinik, L tidak sanggup melihat wajah para pria lanjut usia yang sedang menunggu giliran, membayangkan mereka akan diperlakukan dengan cara yang sama.

To Be Continued...