PENGENALAN TOKOH

.

.

Halilintar: 30 tahun.

Usiaku 30 tahun. Usia yang sudah sangat cukup untuk menikah. Sayangnya kekasihku terlalu sibuk mengejar karirnya. Berkali-kali aku melamarnya namun jawabannya selalu sama

Maaf Hali. Aku belum siap. Aku ingin mengejar mimpiku terlebih dahulu. Ku harap kau mengerti.

Hek! Sudah bosan aku mendengar jawaban itu. Haruskah aku mengerti dirinya di saat dia sendiri tak pernah memahamiku?

Bagaimanapun aku pria normal yang butuh seorang istri untuk memenuhi seluruh kebutuhanku (if you know what i mean).

Padahal aku menjanjikan kebahagiaan tiada tara untuknya, karena aku sangat mencintainya. Apa susahnya sih menerima lamaranku? Aku bisa menjadikannya bak ratu dalam negeri dongeng bahkan tanpa dia harus lelah bekerja.

Lama-lama aku berpikir dia tidak serius denganku. Seringkali aku menuduhnya berselingkuh dengan lelaki lain. Hal inilah yang selalu menjadi pemantik api dalam hubungan kami. Lalu setelah itu dia akan marah dan tidak bisa dihubungi selama beberapa hari. Aku sungguh kesal dengan sifatnya yang satu ini.

Hingga akhirnya terlalu jenuh, dan entah setan apa yang merasukiku mengucapkan penawaran iseng pada sekretasiku.

Sekali lagi, hanya sekedar iseng.

.

Yaya: 25 tahun.

Sejak kecil aku bercita-cita menjadi seorang designer baju muslimah yang sukses. Menciptakan gaun-gaun syar'i yang indah, pakaian dengan berbagai model namun tetap menutupi seluruh tubuh dan lekuknya, hingga tak kan ada lagi wanita muslimah yang malas mengenakan hijab hanya karena alasan berhijab itu kuno, kaku, konservatif, ketinggalan zaman, atau yang paling parah ada yang berpendapat 'jilbab menutupi keindahanmu'.

Sungguh ingin ku bantah semua opini tersebut.

Itulah sebabnya aku masih setia membujang, bahkan menolak lamaran kekasihku sekalipun usia kami memang sudah seharusnya untuk menikah.

Bukan karena aku tidak mencintainya. Tetapi dia memintaku agar fokus mengurus dirinya saja setelah kami menikah. Jika ku lakukan itu, bagaimana dengan mimpiku? Dengan cita-citaku?

Ku harap dia mau menungguku, setidaknya sampai mimpiku tercapai, ku rasa.

.

Fang: 29 tahun

Fotografi awalnya hanya sekedar hobi yang sering ku lakukan sejak masih sekolah menengah. Siapa sangka akhirnya aku akan terjerumus menekuni bidang ini. Semua berawal karena gadis itu. Gadis dengan kerudung merah jambu. Pertemuanku dengannya yang dimulai empat tahun yang lalu takkan pernah ku lupakan. Bahkan aku sering tertawa sendiri jika mengingatnya.

Tapi walau bagaimana pun aku harus berterimakasih padanya, dia mengantarkanku pada dunia ini lebih dalam. Dunia fotografi yang sangat ku cintai. Secinta hatiku untuk hatinya.

Baik, baik aku mengaku aku telah jatuh cinta pada Yaya sejak pertama bertemu. Awalnya ku kira aku hanya sekedar tertarik karena memang dia cantik. Tapi aku salah, perasaan itu terus tumbuh, semakin tinggi dan semakin tinggi. Semakin besar dan semakin besar.

Hingga saat ku tahu ternyata dia telah memiliki seorang kekasih, sudah terlalu lambat untuk menghentikan perasaan ini.

.

Ying: 24 tahun

Namaku Ying, asalku dari China. Aku tinggal di…, ah rasanya tidak penting. Ku rasa memang tidak ada yang penting dalam hidupku, kecuali nenekku tentu saja. Beliau satu-satunya tujuanku untuk bertahan hidup hingga saat ini.

Bisa dibilang, hidupku cukup datar. Aku tidak pernah bermasalah dengan siapapun, oh itu sebelum aku bekerja di sebuah perusahaan raksasa.

Sebenarnya pekerjaannya tidak sulit, menjadi sekretaris pribadi sang CEO muda bahkan mungkin dianggap keberuntungan tersendiri oleh orang lain. Tapi bagiku, tidak, yang menyulitkannya adalah karena bosku ini sangat menyebalkan.

Sekalipun tidak betah, namun gaji yang diberikan perusahaan ini terbilang besar. Cukup untuk membeli obat-obatan yang harus rutin dikonsumsi oleh nenek. Walau bagaimanapun kesehatan nenekku tetap yang terpenting. Jadi, aku memutuskan untuk menahan gejolak batin ingin resign dari tempat itu.

Dan entah, suatu keberuntungan atau kebuntungan karena aku memilih tinggal.

Karena siapa sangka, bosku yang menyebalkan itu, datang bak malaikat maut memberi bantuan di saat aku benar-benar membutuhkannya.

Bantuan bersyarat.

Penawaran gila.

Dan bodohnya, aku menerimanya.

Menerima syarat gila yang dia tentukan.

Hingga pada akhirnya, aku terkubur dalam lubang yang ku gali sendiri.

.

.

Disclaimmer: Boboiboy dkk copyright to monsta

This story is mine.

Tidak ada keuntungan atas pembuatan fanfiksi ini.

Warning: Adult!theme, adult!chara, rate T+, HaliYaya, HaliYing, FangYaya, drama, hurt, romance, OOC.

Happy Reading

.

.

Jika ditanya apa hal yang paling dia benci di dunia ini? maka Halilintar akan menjawab, 'Menunggu.'

"Apa? Kau membatalkannya?!"

Halilintar dengan suara tinggi, membentak seseorang di ujung telepon.

"Ya, aku tahu kau sibuk. Tapi please Yaya, sudah berapa lama aku menunggu kesempatan ini." posisinya sampai berganti dari duduk menjadi berdiri karena kesal.

"Bla…bla…bla…Sudah ku katakan, sebaiknya kau berhenti bekerja saja."

Yaya yang saat ini tengah pusing karena jadwal shownya yang tiba-tiba berubah hingga harus memutar otak agar semua bisa selesai tepat waktu, dibuat semakin pusing karena kekasihnya yang tidak bisa diajak bekerja sama.

"Hali, ku mohon, kali ini saja. Aku harus berangkat ke Paris siang ini juga. Showku dimajukan, kau tahu kan betapa pentingnya show ini untukku, ini akan mengenalkan hijab di-"

"Dan aku tidak." Halilintar memotong dengan tegas.

"Hali…"

"Aku memang tidak pernah penting untukmu, Yaya."

"Bukan begitu…"

Yaya berusaha menjelaskan.

Fang yang melihat raut kebingungan di wajah Yaya, segera menghampiri partner kerjanya tersebut, meninggalkan kesibukkannya mengarahkan model yang sedang berpose.

Fang bertanya dalam bahasa isyarat, Yaya membalas dengan lambaian tangan.

"Fang, cepatlah! Aku tak punya banyak waktu." Fang mengumpat dalam hati. Kesal setengah mati dengan modelnya yang banyak bicara.

"Ya…ya…"

Fang segera kembali pada pekerjaan, sementara Yaya, jidat tak bersalah ditepuknya keras-keras. Kenapa tadi Fang harus ke mari.

"Kau bersama dia lagi?" Suara Halilintar terdengar mengintrogasi dari seberang telepon.

"I-iya." Jawab gadis itu ragu-ragu.

"Bukankah sudah ku katakan agar kau menjauhinya!" Bentak Halilintar.

"Hali…kau tidak mengerti…Kami murni hanya partner kerja. Dia rekanku sejak pertama kali aku-"

"Tapi dia menyukaimu Yaya." Halilintar memejamkan mata saat mengucapkan kalimat tersebut.

"Kata siapa?"

"Firasatku yang mengatakan."

Tok…tok…tok

"Siapa lagi!" bisik Halilintar kesal.

"Masuk."

Halilintar dengan jelas mendengar Yaya tertawa kecil di ujung teleponnya.

"Ku rasa kita sudah sepakat untuk tidak membicarakan hal ini lagi. Tuduhanmu itu tidak berdasar, 'Tuan Halilintar'."

"Ini berkas yang harus anda tandatangani sekarang juga. Karena client kita sudah menunggu di ruang rapat." Gadis cantik yang berstatus sebagai sekretarisnya tersebut diabaikan samasekali.

"Kita juga sudah sepakat agar kau menjaga jarak darinya, Yaya. Ku ingatkan jika kau lupa."

Bolpoint di tangan kanannya diremas begitu kuat. Terlalu kuat sampai batang bolpoint berlapis karet tersebut patah jadi dua.

Suara si penelpon tak terdengar cukup lama. Sepertinya Yaya mulai berpikir dan merasa bersalah, pikir Halilintar. Tapi ternyata…

"Kau sungguh kekanakan Halilintar. Kenapa kau melarangku ini itu hanya karena firasatmu saja? Sebagai seorang pemimpin perusahaan harusnya kau tahu arti profesionalitas. Aku dan Fang terikat kontrak kerja. Aku tidak bisa memutuskan hubungan kerja secara sepihak." Fang menengok ketika namanya disebut-sebut.

Oke, kesabaran Halililintar sudah habis.

"Jadi kau lebih memilih bersama si brengsek itu daripada-"

"Jaga ucapanmu Halilintar!"

Seketika Halilintar membungkam dengan irisnya yang sudah merah jadi semakin merah.

Ying yang berada di hadapan bosnya namun kehadirannya bahkan tidak disadari baru kali ini melihat aura seram di wajah sang atasan. Biasanya sih raut menyebalkan yang dia lihat.

"Kau ini kenapa sih? Aku pastikan aku tidak akan selingkuh! Kenapa kau tidak pernah percaya padaku? Kenapa kau selalu menuduhku macam-macam? Padahal aku sendiri tidak pernah menuduhmu sekalipun kau sering menggoda sekretarismu!" Suara Yaya di telepon terdengar begitu emosi. Namun yang membuat Halilintar tertarik adalah statement Yaya yang terakhir tadi.

"Menggoda?" Halilintar tertawa mengejek, "Jangan bercanda Yaya, Aku tidak pernah bermaksud menggoda Ying." Safir sang sekretaris membulat seketika saat namanya terseret.

"Aku hanya senang melihat ekspresinya saat berbicara denganku."

Mau tidak mau wajah Ying merah padam.

"Kau jangan mencoba memutar balikkan fakta. Masalah kita di sini adalah 'kau' dan 'Fang'. Bukan aku, dan Ying." Tukas Halilintar tegas.

Ying mulai merasa canggung karena sedari tadi diabaikan tapi namanya disebut terus-terusan. Sungguh dia tidak tahu apa-apa dan tidak berminat mencari tahu juga. Singkatnya dia tidak peduli dengan masalah bosnya.

Baru saja dia hendak berbalik melangkah menuju pintu. Lebih baik dia kembali 10 atau 15 menit lagi. Namun sang atasan menyadari entitasnya.

"Kau? Sejak kapan kau di situ?" Tanya Halilintar setengah membentak.

Ingin rasanya Ying melempar kepala sang bos dengan buku manajemen setebal hak sepatunya agar kebiasaan buruk sang CEO segera hilang.

"Bapak sendiri kan yang menyuruh saya masuk tadi."

"Siapa yang mengizinkanmu memanggil saya 'Bapak'? Saya belum menikah, saya belum setua itu." Sahutnya agak keras sengaja untuk menyindir Yaya yang teleponnya masih aktif.

Dalam hati Ying kesal sendiri. Sudah kesepakatannya memang dia harus memanggil Halilintar dengan…

"Maksud saya, Tuan Halilintar sendiri yang menyuruh saya masuk tadi. Saya ingatkan jika Tuan Halilintar lupa."

Sang atasan tersenyum tipis, itu kata-katanya barusan yang ditujukan pada Yaya. Tapi, pria beriris ruby itu sedang malas berdebat dengan sekretarisnya, kekasihnya lebih penting saat ini.

"Ya sudah, pergi sana."

"Dari tadi juga aku mau pergi tau!" Ying membatin.

"Baik, Tuaan."

Halilintar kembali memokuskan diri pada panggilan teleponnya.

"Hallo, Yaya kau mendengarku?"

Yaya bukan orang yang suka diabaikan, dua menit Halilintar menghilang dari telepon tadi sudah cukup membuat Yaya kesal.

"Sudah?"

Halilintar kembali memperbaiki posisi duduknya. Emosinya sudah lumayan turun.

"Baik Yaya. Begini saja, aku akan berbicara dengan keluargaku jika memang kau memang tidak bisa hadir malam nanti."

Yaya mulai merasa lega, sebelum Halilintar melanjutkan perkataannya.

"Tapi setelah show itu. Kau harus membuang Fang dari daftar teman kerja maupun daftar teman tapi mesra mu."

Yaya ingin protes.

"Jika ada kerugian yang harus kau tanggung karena hal tersebut. Katakan saja padaku, aku akan mengurusnya."

Yaya benar-benar marah sekarang. Bukan apa-apa, tapi ini soal harga diri dan keprofesionalannya dalam bekerja.

"Kau egois! Ku katakan sekali lagi…Aku akan melakukan apa yang menurutku benar. Aku akan bekerja sama dengan siapapun yang ku rasa berkualitas. Dan Fang, sangat berkualitas."

Lalu, Yaya pun mematikan teleponnya secara sepihak.

"Ya-Hallo, hallo…Yaya…Arrghh."

Brakk

Halilintar membanting teleponnya terlalu kuat. Benda elektronik tersebut sampai jatuh menciduk lantai.

Bayangkan saja, sebegitu pentingkah si Fang itu dalam hidup kekasihnya? Bahkan lebih penting dari Halilintar itu sendiri. Lihat saja respon Yaya tadi.

Emosi Halilintar seketika meluap sampai diambilnya apapun yang pertama kali disentuh oleh tangannya, lalu melemparkannya dengan keras ke arah pintu.

Dan…

Bukkk!

Buku setebal 15 sentimeter dengan cover satu senti, mendarat mulus di jidat sang sekretaris yang baru saja hendak memasuki ruangan sang atasan.. Sungguh malang nasibnya. Baru empat bulan bekerja, sudah tiga kali pingsan di kantor. Sekedar info, pertama kalinya dia pingsan yaitu pas hari pertamanya bekerja, dia kaget karena baru masuk ke ruangan sang bos, sudah disuguhi pemandangan yang bagi orang lain sangat menggairahkan, tapi bagi Ying, itu adalah musibah terbesar. Yakni, Halilintar berganti pakaian di ruangannya.

Kali kedua yaitu karena kecerobohan Ying sendiri. Kasusnya mirip seperti sekarang, bedanya waktu itu benar-benar murni karena kesalahannya.

"Shiitt!"

Halilintar menyalahkan tangannya sendiri kenapa mengambil buku setebal 15 sentimeter dan melemparnya ke pintu. Akhirnya anak orang yang harus jadi korban.

Dengan sigap Halilintar segera menghampiri Ying yang terkapar di lantai. Menepuk pelan pipinya, namun karena tidak ada respon, dan juga tidak ada orang lewat untuk dimintai tolong. Halilintar berinisiatif segera melakukan pertolongan pertama. Daripada dia dituntut ke pengadilan karena tuduhan tidak menjaga keselamatan karyawan.

Oke, sebenarnya Halilintar samasekali awam tentang dunia kesehatan, tapi sedikit banyak dia tahu pertolongan pertama pada orang pingsan. Yaitu:

Satu, baringkan korban di tempat yang tenang dan sepi. Ruangannya sudah tenang. Halilintar hanya perlu sedikit memperbaiki posisi Ying agar lebih nyaman.

Dua, naikkan kaki korban di posisi lebih tinggi dari jantung, sekitar 30 sentimeter di atas dada.

Halilintar memutar otak, bagaimana caranya melakukan hal itu.

Ah! Halilintar tahu. Buku setebal lima belas sentimeter dijadikan pengganjal di bawah betis sang sekretaris. Lalu lima belas senti selanjutnya dia peroleh dari sepatu hak Ying kemudian ditaruh di bawah kakinya, bertumpuk dengan buku tersebut.

Tiga, Kendurkan ikat pinggang, kerah, atau apapun yang dapat menghambat peredaran darah.

Halilintar melakukannya dengan sigap.

Matanya melirik sekilas pada rok yang dikenakan sang sekretaris. Halilintar sampai heran, roknya sudah cukup ketat, kenapa masih pakai ikat pinggang. Wanita memang aneh.

Dengan segera, ikat pinggang tersebut terlepas dari tempatnya. Tak lupa kaitan rok sang sekretaris juga dilepas dengan perlahan.

Di situ Halilintar menyadari satu hal, ternyata sekretarisnya memiliki tubuh yang ideal. Ah lupakan…selanjutnya…

Halilintar terlalu focus hingga tidak sadar korban yang hendak disadarkan mulai mengerjapkan matanya beberapa kali.

Terakhir kerah baju. Sekretarisnya terlalu mengancing kemeja hingga ke atas, maka Halilintar berniat melepas dua kancing teratas.

Namun, baru di kancing pertama.

"KYAAAAAAA!"

Plakkkk!

Tamparan keras mendarat mulus di pipi sang pria tampan.

"BOS MESSUUUUMMMM!"

Ying berteriak sekencang mungkin lalu segera berdiri merapikan pakaiannya.

Halilintar yang sebenarnya memiliki tujuan mulia hanya bisa cengo di tempat. Terlebih ketika para karyawan yang lain datang berhambur ke lokasi kejadian.

Seketika karyawan mulai ramai berbisik-bisik. Kesalahan Halilintar adalah dia lupa menutup pintu setelah dibuka oleh Ying sebelum gadis itu pingsan.

Ying memandang risih tubuhnya sendiri, pakaiannya sudah tertata, tapi telinganya ikut panas mendengar bisik-bisik tersebut. Sementara Halilintar hanya bisa menyesali kebodohan sang sekretaris. Ditolongin malah bertingkah, jadi begini kan.

Gopal yang merupakan tangan kanan alias orang kepercayaan Halilintar segera datang mengamankan keadaan.

"Halilintar, to-tolong jelaskan pada kami semua apa yang sebenarnya terjadi." Sahut Gopal.

Tapi Halilintar enggan menjelaskan kejadian yang sebenarnya, toh buat apa. Dia sangat tahu tipikal para karyawannya, jadi ketimbang memberi penjelasan. Pria beriris ruby tersebut memilih menebar pandangan membunuh ke setiap penjuru karyawan yang memperhatikannya. Maka barisan orang-orang kepo tersebut bubar jalan dalam sekejap.

Semua orang sudah pergi dari ruangan Halilintar, termasuk Gopal. Oh ralat, tidak semua, ada seorang gadis yang menjadi korban masih diam di sana menuntut penjelasan.

"Apa yang kau lakukan?" ketus Halilintar.

Ying menatap sang atasan dengan kesal.

"Harusnya aku yang bertanya. Apa tujuanmu sampai harus melepas kaitan rokku segala, hah?!"

"Tadi kau pingsan, dan aku berusaha menyelamatkanmu. Kau harusnya berterimakasih, bukan malah menampar dan meneriakiku segala." Jawab Halilintar.

"Aku tidak percaya. Tampang sepertimu itu memang tercipta untuk mengganggu ketenangan orang. Dasar bos mesum!"

"Ck,"

Lalu sang sekretaris keluar dari ruangan sang atasan sambil membanting pintu. Lupa sudah tujuan awalnya datang ke ruangan tersebut untuk apa.

.

.

-o-

.

.

"Cheeeeerrs!"

Malam itu Yaya merasa lelah sekaligus senang sekali. Tidak sia-sia perjuangannya datang ke negeri ini sampai harus bertengkar dengan sang kekasih.

Shownya berjalan lancar, bisa dibilang sukses malah. Terbukti busananya yang berkonsep 'Memancarkan keindahan' tersebut mendapat apresiasi yang tinggi dari masyarakat sana. Yaya memang belum memasarkan trend hijab, tapi setidaknya dengan menampilkan 'pakaian tertutup' untuk shownya, sudah mulai membuka jalan untuk segera menggapai mimpinya.

"Kau terlihat kusut, mau kembali ke hotel?"

Yaya dan timnya, yakni para model, para assistant designer, lengkap dengan sang fotografer sedang merayakan kesuksesan mereka di sebuah caffe di kota Paris.

Menanggapi pertanyaan Fang, Yaya menggeleng pelan.

"Tidak, tapi ku rasa aku butuh angin segar." Keluhnya.

"Mau berjalan-jalan?"

Yaya pun menerima ajakan tersebut dengan senang hati.

"Semuanya, kami mau keluar dulu sebentar, nanti kalian langsung saja kembali ke hotel."

"Okay" Koor para tim nyaris berbarengan.

Namun, sebelum kedua entitas itu pergi, ada sepasang mata milik seorang gadis cantik yang diketahui sebagai salah satu model dalam tim tersebut, yang melirik tidak suka.

.

.

"Ughh dinginn…" Yaya merapatkan kedua lengan untuk menimbulkan kesan hangat. Padahal dia sudah memakai jaket, memang tidak tebal karena dia tidak menyangka cuaca di luar akan sedingin ini.

Fang dengan sigap segera melepas jaketnya kemudian dipakaikan untuk melapisi bagian punggung Yaya.

"Eh?" Yaya sedikit terkejut.

"Apa yang kau lakukan?" ujarnya ketika Fang melepas topi kupluk miliknya lalu memakaikannya di kepala Yaya.

"Menghangatkanmu." Sahut Fang ambigu.

"Tapi, kau bagaimana?"

Sang pemilik rambut landak tersenyum hangat, "Jangan pikirkan, aku laki-laki. Kau perempuan, daya tahan tubuhmu berbeda dariku."

Yaya berusaha menolak dengan melepas jaket milik Fang. Tapi dengan sigap, sang pria menahannya.

"Aku tidak mau kau sakit." Sahut Fang tegas, "Ka-karena itu sangat merepotkan, kalau kau sakit pekerjaan kita bisa berantakan. Kau harus menjaga tubuhmu karena akan ada banyak proyek yang menunggu kita." Lanjut Fang terdengar seperti formalitas.

Yaya tersenyum, "Kau baik sekali."

Melihat Yaya yang tersenyum manis begitu mau tidak mau membuat Fang jadi gemas. Tak tahan, maka hidung mungil yang tidak pesek juga tidak mancung milik sang gadis dipencet seperti anak kecil.

Yaya segera menepis tangan Fang dari hidungnya, kemudian memprotes,

"Kau kira aku peliharaanmu." Sahutnya dengan bibir manyun.

Duh Tuhan, Yaya yang tersenyum saja sudah membuat jantung Fang berdebar, apalagi kini gadis itu malah memajukan bibirnya. Fang semakin gemas.

"Aww,,bwkan bwrti kw bweh mwnggntw sasaranmu. Hahh!" Yaya lega karena bibirnya sudah lepas dari cepitan maut jari-jari sang fotografer. Sementara sang pelaku, hanya bisa tertawa melihat hasil kejahilannya sendiri.

"Awas kau ya!" Lalu tiba-tiba Yaya ingin menimpuk Fang dengan sepatunya. Lumayan, hak setinggi 12 sentimeter rasanya cukup untuk membuat lengan memar.

Maka Fang segera lari menghindari serangan sang designer, kini keduanya tampak seperti anak kecil yang main kejar-kejaran di malam hari kota Paris.

Namun, tiba-tiba.

"Aww." Yaya berhenti mengejar dan meringis kesakitan. Fang yang mendengarnya langsung panik dan segera menghampiri Yaya.

"Kau tidak apa-apa?" tanya Fang khawatir.

BUUKKK!

"Kena kau! Ahaha."

Sepatu hak tinggi yang disembunyikan di balik badan sukses menghantam lengan sang fotografer. Fang meringis seketika, sadar setelah ini lengannya pasti akan membiru. Yaya benar-benar kejam.

"Kau menipuku bocah! Lihat saja, aku akan membalas!" Gertak Fang sambil bercanda.

Maka sebelum Fang sampai mengejarnya, Yaya buru-buru memasang sepatunya kembali dan berniat kabur dari tempat itu.

Tapi sayangnya rencana tak berjalan mulus.

Langkah kaki Fang lebih lebar dari gadis itu. Tenaganya juga lebih kuat, maka sebelum Yaya melarikan diri. Dirinya sudah berada di samping gadis itu. Yaya hendak kabur, tapi….

Bruukk

Yaya tersandung kakinya sendiri. Nyaris gadis itu terjatuh ke trotoar. Untungnya Fang segera menangkap tubuh mungil tersebut. Mendekapnya hingga menyisakan sejengkal jarang di antara manik masing-masing.

Selama sepersekian detik Yaya merasa terhipnotis. Pandangannya tenggelam dalam lautan manik kelam milik sang fotografer. Bukan hanya Yaya, Fang pun demikian. Rasanya keduanya tenggelam mengagumi keindahan mata masing-masing.

"Ma-maaf." Fang lebih dulu sadar akan posisi mereka.

Yaya mengangguk canggung. Entah kenapa atmosfer yang sebelumnya ceria tiba-tiba berubah sedingin pluto.

Fang juga masih kaku dan memikirkan bagaimana cara mencairkan suasana.

Loving can hurt, loving can hurt sometimes. But it's the only thing that I know. When it gets hard, you know it can get hard sometimes. It is the only thing that makes us feel alive.

"Yaya, handphonemu?"

"Ah? Hah…Iya."

Entah apa yang Yaya pikirkan sampai dirinya tidak menyadari handphonenya berdering sedari tadi.

We keep this love in photograph

Yaya memandang nama yang tertera di layar.

"Dari siapa?" Tanya Fang.

Enggan menjawab keduanya, baik teleponnya maupun pemuda di hadapannya. Yaya mematikan sang handphone dengan melepas baterainya.

"Hey, hey…ada apa? Dari siapa?" Tukas Fang.

"Orang teregois sedunia." Jawab Yaya sekenanya.

Langkahnya dipercepat. Fang mengikuti dengan setia.

"Ku tebak, Halilintar?"

Langkah kaki dihentikan segera.

"Kalau sudah tahu jangan lagi bertanya." Ketusnya. Perjalanan tanpa tujuan dilanjutkan.

"Woww…wooww, sang designer muda marah rupanya." goda Fang.

"Aku sedang malas membicarakannya. Jadi ku mohon jangan menyebut namanya di depanku."

"Oke." Fang segera menutup mulut dengan tangannya.

Sementara Yaya terus saja berjalan tanpa arah tujuan.

"Hey, kau mau kemana?" Fang mengejar.

"Mencari halte bis untuk kembali ke hotel. Tidak mungkin kita kembali ke caffe, mereka semua mungkin sudah pulang."

"Bis? Kenapa tidak pakai taksi saja?"

"Itu terlalu mudah, kita harus merasakan yang lebih susah di negeri orang."

Fang menggaruk-garuk kepala tanda tak mengerti dengan pikiran Yaya.

"Kalau begitu kenapa tidak coba jalan kaki saja?" tantang Fang, "Lagipula memangnya kau serius ingin kembali ke hotel? Tidak mau jalan-jalan dulu?"

Yaya berhenti sebentar. Menghadap kiri dan menatap Fang dengan pandangan datar.

"Ini pertama kalinya kan kau menginjak menginjak Paris. Sayang lho kalau dilewatkan begitu saja." Fang memanasi, modus sebenarnya supaya Yaya mau diajak jalan-jalan.

Yaya kemudian berpikir sejenak, "Hmm….Boleh, enaknya ke mana? By the way kau jadi guide nya ya."

"Siap Bos!" Fang menaruh empat jarinya di depan kening, tanda memberi hormat sambil bercanda.

"Ayo, ikut aku."

.

.

"Ch, diriject lagi." Halilintar membuang smartphonenya ke atas meja, sembari berdecih kesal karena teleponnya lagi-lagi tidak dijawab, lebih tepatnya dimatikan, alias diriject!

"Masa iya dia sudah tidur." Halilintar melirik jam tangan sekilas, "Paling di sana baru jam sembilan." Tukasnya.

"Hahh!" Halilintar merebahkan diri di atas sandaran sofa.

Berpikir apa yang sedang Yaya lakukan di sana. Halilintar takut jika kekasihnya direnggut oleh pria berkacamata itu. Firasat buruk Halilintar muncul karena mereka kerap bersama. Pernah waktu itu Halilintar mengkhawatirkan Yaya setengah mati karena sang kekasih tidak bisa dihubungi selama satu minggu. Tapi rupa-rupanya, calon tunangannya itu sedang berlibur bersama teman-temannya, termasuk pria itu.

Emosi Halilintar langsung meluap ketika mengetahui hal tersebut. Halilintar sangat mencintai Yaya, sangat mencintainya. Dia tidak rela Yaya pergi bersama laki-laki lain. Apalagi si rambut landak itu. Halilintar tidak ingin Yaya berpaling darinya. Halilintar juga takkan pernah mau menerima perselingkuhan. Tidak akan pernah.

Tok…tok…tok

"Masuk."

Ying membuka pintu perlahan.

"Rapat diadakan sepuluh menit lagi, Tuan Halilintar silakan bersiap. Permisi."

"Hey…" Halilintar menghentikan langkah Ying.

"Iya?"

"Aku belum menyuruhmu pergi. Aku haus, bawakan aku air minum." Titah Halilintar.

Ying hanya mengangguk lalu segera keluar dari ruangan itu. Hal ini mau tidak mau membuat Halilintar mengernyit heran. Biasanya jika dia menyuruh-nyuruh sekretaris itu maka dia setidaknya akan membantah seperti "Maaf, itu bukan tugas saya, itu tugas Office Boy." Atau, "Anda punya kaki kan, silahkan mengambilnya sendiri."

Tapi kali ini, aneh…Ying terlalu….penurut.

"Ini minumnya."

Halilintar memperhatikan wajah Ying sejenak. Begitu murung, begitu kusut. Seperti bukan Ying yang Halilintar kenal. Apa gadis ini sedang menyimpan masalah?

Apa Ying masih terganggu dengan gosip-gosip yang menyebar di antara mereka. Memang sejak insiden waktu itu Ying dan Halilintar mulai digosipkan oleh berbagai pihak, dari manajer sampai cleaning service katanya membicarakan mereka. Katanya sih, sebab Halilintar tidak pernah mendengarnya langsung.

Tapi apa iya hanya gara-gara rumor itu gadis yang biasanya berani melawan ucapannya ini akan rubuh seketika? Rasanya tidak mungkin. Lalu ada apa? Ah Halilintar penasaran tapi gengsi harus bertanya.

Segelas air putih langsung diteguk sampai habis.

"Kita rapat sekarang." Halilintar beranjak dari kursinya.

.

.

"Huuu" Yaya tertawa gembira sambil berpegang pada bahu Fang.

"Bagaimana?"

"Menyenangkan. Ini pertama kalinya aku naik sepeda malam-malam di tengah kota."

"Lebih tepatnya dibonceng, aku nih yang kayuh." Protes Fang.

"Iya deh iya, eh tapi aku tidak menyangka ada rental sepeda di sini. Padahal sudah malam."

"Ini kan Paris, beda sama Kuala Lumpur. Di sini siang malam sama saja. Malah kalau malam lebih ramai dengan pasangan yang berkencan." Jelas Fang. Yaya manggut-manggut memahami.

"Baru jam sembilan. Kau punya waktu tiga jam berkeliling. Mau ke mana?"

"Hah? Hanya tiga jam? Sebentar sekali."

Fang menghela nafas sabar, "Kau harus beristirahat sebelum jam dua belas malam."

Bibir Yaya mengerucut, "Seperti Cinderella saja."

"Sudah jangan banyak protes, sebutkan destinasimu."

"Mmmm, Eifel?"

Fang tersenyum, "Kenapa kau memilih eifel?"

Yaya mengendikkan bahu, "Hanya ingin."

"Baiklah, berpeganglah Nona." Lalu kayuhan sepeda pun Yaya rasakan semakin kuat.

.

.

To Be Continued

.

.

A/N

Hai semua, jumpa lagi bersama saya dengan fict baru! Yuhuu! *fictlamabelumkelarmalahbikinyangbaru *egp_ah

Halo minna san, Kali ini aku datang membawa fanfict bertema agak-agak dewasa nih, agak-agak lho ya… dan ada yang bisa nebak kelanjutannya gimana? *ssttt

Baiklah, tanpa banyak cincong Fanfiksi ini ku persembahkan buat adek dumayku: Furene Anderson

It's for you honey, I know it's very late, but…

Kayak kata pepatah, Lebih baik terlambat daripada tidak samasekali. *ngeles

Jadi ceritanya aku pernah janji mau ngasi kado ultah berupa fanfict maret kemarin, dan dikerjainnya malah Juni, hahahah *sungkem *maafkeundaku

Hope you'll like it Fur ^^

Well…semoga kalian suka, the last, silahkan sampaikan uneg-uneg atau apapun di kotak review. Flame juga gapapa deh *ternyatadiflameituasikjuga *sinting

The last…

Review please…