Title: "Just A Little Bit of Your Heart"
Cast: Jimin, Yoongi, Jin, Taehyung, Jungkook (BTS)
Pair: MinYoon / Jimin x Yoongi
Rated: T to M
TWOSHOT.
WARNING! MALE SLASH! B X B! YAOI!
Don't Like? Don't Read!
.
.
"I hear a little love is better than none..."
.
.
.
Yoongi POV's
"Hyung, hari ini aku ada urusan sebentar. Mungkin akan pulang larut, tidak perlu menungguku, ne?" ucapannya terus terngiang dikepalaku sejak sejam yang lalu.
Hanya saja, aku tidak bisa jika tidak menunggunya.
Dia pergi dari pukul 8 pagi, dan sekarang sudah pukul 1 malam, namun dia belum kembali, aku khawatir tentu saja. Ini sudah terlalu larut. Tidak biasanya ia pergi hingga larut begini.
Perkenalkan...
Aku, Min Yoongi namja berumur 20 tahun. Aku dan kekasihku, Park Jimin tinggal disebuah apartment yang sama didekat kampus. Kami sengaja memilih apartment ini agar mudah menjangkau kampus tanpa harus ketinggalan mata pelajaran.
Tiinn...
Aku yakin itu adalah suara klakson mobil seseorang. Setahuku, tadi Jimin tidak menggunakan mobil ke tempat urusannya itu. Aku hanya mengintipnya dari balik jendela kamarku, aku tidak ingin keluar, dia tidak menyuruhku untuk menunggunya. Dan meskipun aku serumah dengannya bukan berarti aku sekamar dengannya.
Saat ku perhatikan dengan jelas, ku lihat Jimin turun dari mobil putih itu bersama seorang namja lainnya yang sepertinya duduk di kursi pengemudi. Mereka terlihat jelas sedang— berciuman. Aku mengucek mataku berulang-ulang kali berharap aku sedang bermimpi atau apalah sejenisnya, tapi saat Jimin memiringkan kepalanya, aku akhirnya yakin kalau itu nyata bukan mimpi atau sebagainya.
Mereka berciuman. Tepat di depan gedung apartemen ini. Tepat dihadapanku...
Aku berjalan gontai menuju kasur empuk kamarku. Tak terasa setetes air yang tadi sempat menggenang di pelupuk mataku, jatuh. Dengan segera aku menghapusnya dan mencoba untuk tertidur. 'Itukah urusan yang pagi tadi ia katakan?'
.
.
.
Tok.. Tok.. Tok..
"Yoongi-hyung?"
"Ne, masuk saja.." suara ketukan pintu membuatku terbangun dari tidurku yang tidak begitu lelap. Dan dari suara panggilan tadi, sangat jelas kalau itu adalah Jimin. Memori tentang kejadian semalam tiba-tiba terputar, kepalaku berdenyut, namun aku segera menepis memori itu. Aku tidak ingin membebani pikiranku.
Aku melirik jam weker di atas meja nakasku, ini sudah pukul 7.30 pagi, dan bersyukur karena ini hari minggu, seharusnya aku sudah bangun dan membuat sarapan, namun kakiku rasanya lemas, dan hari ini rasanya sungguh dingin.
"Kau kenapa, hyung?" tanya Jimin saat melihatku bersender pada bingkai tempat tidur tanpa melepas selimut tebal yang ku kenakan. Ia hanya menggunakan kaus biasa dan boxer selutut. Ia berjalan mendekat ke arahku dan berdiri di salah satu sisi ranjang.
"Tidak, aku hanya lelah.." tanpa sadar aku mendengus saat mengucapkan kata lelah, ku lihat ia mengernyit bingung. Dan sesegera mungkin aku tersenyum lembut. Aku tidak ingin membuatnya khawatir, jika aku masih di khawatirkan, tentunya.
"Benarkah hyung?" dia kembali bertanya, aku hanya mengangguk lemah, kali ini ia menyelipkan tangannya dibalik rambut yang menutupi dahi-ku.
"Kau demam hyung!" serunya heboh. Ia jadi berlarian heboh ke sana kemari, mulai dari mencari kotak P3K dan lain sebagainya. Aku hanya terkekeh. Aku merindukannya.
.
"And I'll still be a fool... I'm a fool for you..."
.
Siapa sangka ia menemaniku di kamar hingga pukul 11 siang ini. Aku memberanikan diri bertanya tentang urusannya.
"Jiminnie, apa kau sedang tidak ada urusan?" tanyaku sambil menatap pucuk kepalanya, ia sedang tiduran dengan posisi badan terduduk dikursi dan kepalanya berada di ranjang.
"Hmm?" dia hanya membalas dengan gumaman, ku lihat ia semakin menyamankan kepalanya di ranjang. Ingin sekali aku meraih pucuk kepala itu, dan mengelus rambutnya. Namun kuurungkan niatku saat teringat kejadian semalam. Aku hanya tersenyum pahit.
"Kau bisa telat. Kalau ada urusan pergilah, aku tidak apa-apa.." ucapku lagi sambil memainkan ujung selimutku. Padahal semua yang ku katakan berbanding terbalik dengan semua yang ku ingin dan ku rasakan.
"Tidak, hyung! Aku ingin menjagamu.." ia mengangkat kepalanya dan menatap ke arahku dengan tatapan tajam, aku tidak begitu mengerti, aku hanya menatapnya sayu. Mataku yang sayu jadi semakin sayu saja ketika sakit.
Aku tersenyum pahit, entah mengapa kata yang tadi ia ucapkan sungguh terasa seperti ribuan pisau menyerbu jantungku. Aku terdiam.
"Hyung... apa ada sesuatu yang mengganjal pikiranmu?" ia bangkit dari kursi dan duduk di sampingku di sisi ranjang dan menatapku.
"Ani" jawabku singkat dengan sedikit gelengan lalu aku tersenyum padanya. Aku merunduk.
"Hyung?" ia kembali memanggilku, saat aku berbalik wajahnya sudah sangat dekat dengan wajahku, ia menyelipkan sebelah tangannya di antara rambutku, menahan rahangku disana, dan ibu jarinya dia gunakan untuk mengelus pipiku.
"W-Waeyo, Jiminnie?" aku gugup tentu saja, apa yang akan ia lakukan, apa dia akan—
"Hyung, aku merindukanmu.." dia berbisik di depan bibirku, aku meremas gugup baju bagian depannya, suara dengan nada rendahnya itu membuatku mabuk. Namun entah mengapa rasanya ngilu saat mendengar ia mengucapkan itu.
Sedetik kemudian bisa ku rasakan bibirnya menekan dan mengulum bibir bawahku. Aku hanya bisa mengikuti gerakannya. Ia memberikan remasan kecil di pinggangku saat mendapatkan respon lebih.
Tapi rasanya, ada yang aneh. Debaran halus dan hangat yang biasanya menyelimuti, kini bercampur dengan rasa lain yang sulit diartikan. Sakit.
Saat ku rasa ia mulai menjalarkan tangannya ke tengkukku untuk mendapatkan akses lebih, aku buru-buru menarik diriku dan sedikit mendorongnya. Ia sedikit terkejut dan menatap bingung ke arahku yang sudah berdiri di dekat ranjang.
"Panggilan alam.." ujarku pelan, ia terdiam sejenak lalu kemudian terkekeh. Saat ingin berjalan ke kamar mandi, ia menarik tanganku dan menaruh bibirnya diatas bibirku, hanya sekedar menempel begitu saja.
"Aku akan menagihnya nanti.. aku kecanduan, hyung. Kau berhutang padaku.." dia berbicara dengan bibir yang masih menempel di bibirku. Aku hanya memberengut saat ia menjauhkan dirinya lalu terkekeh lagi. Tanpa sadar saat berjalan, aku tersenyum hanya untuk menahan air mataku.
'Adakah orang yang lebih bodoh dariku?' batinku saat masuk ke kamar mandi.
Aku hanya membasuh wajah, kemudian termenung di depan kaca wastafel. Sama skali tak ada panggilan alam, aku hanya tidak bisa melanjutkannya, rasanya sakit.
Air yang sedari tadi ku coba bendung di mataku, akhirnya tumpah juga. Aku terisak. Rasanya aku adalah korban paling naas disini. Aku tidak ingin melepasnya.
Setelah menyelesaikan semuanya dikamar mandi, aku kembali berjalan ke arah kasur, aku bisa mendengar samar-samar suara Jimin sedang berbicara... err, sendirian? Mungkin sedang menelpon. Aku berusaha untuk tidak memperdulikannya. Namun aku bisa mendengar dengan jelas apa yang Jimin katakan diakhir panggilan itu.
"Ne, hyung.. aku akan ke sana malam nanti.. sampai jumpa hyung! Ne, nado saranghae"
Sesuatu kembali menusuk jantungku, dan memukul kepalaku seenaknya. Aku mulai gelisah. Rasanya aku ingin mati saja. Kenapa aku sebodoh ini? Bukankah harusnya aku sadar, bahwa ia bahkan sudah tidak mencintaiku lagi.
Cklek..
"Hyung? Kau sudah tidur?" aku bisa mendengar suaranya dengan jelas sepertinya ia hanya berdiri di depan pintu setelah ia membukanya. Aku sama skali tidak tidur, bukannya tidak ingin, tapi tak bisa, bahkan jika aku memaksanya.
"Mungkin pengaruh obat.. selamat tidur hyung" ucapnya lagi, posisiku yang membelakangi pintu membuatnya dengan mudah mengira aku tertidur, kata-kata yang membuat air mataku jatuh dengan sukses. Ia kemudian kembali menutup pintu.
Aku membalikkan badanku ke arah pintu, menatap pintu itu dengan sayu.
Kepala dan dadaku sakit secara bersamaan. Aku sedikit mendongak, setidaknya aku harus menahan air mata ku agar tidak habis.
'Apa harus ku akhiri?' bahkan saat batinku berkata begitu, dadaku terasa sesak.
"I know I'm not your only, but I'll still be a fool..."
.
.
.
Beberapa hari setelah itu, Jimin jadi lebih sering pulang larut malam, dan semakin sering pula aku melihatnya bermesraan dengan kekasih barunya.
Sekarang, malam ini sudah pukul 11 dan aku yakin dia belum akan pulang, perutku yang sedari tadi kosong semakin meronta minta diisi. Alhasil, ku paksakan kakiku melangkah ke dapur untuk mencari se-cup ramyun. Semoga masih ada.
Aku menyeduh ramyun instan itu sambil menghayal, entah apa yang ku pikirkan. Pikiranku melayang kemana-mana. Tinggal 2 semester lagi, dan aku akan wisuda. Maklum karena aku sudah kuliah sejak 17 tahun. Tentang Jimin yang semakin jarang menghabiskan waktu bersamaku, itu sih terang saja karena Jimin sudah memiliki seseorang yang dicintainya. Rasanya aku sedikit –banyak- iri. Sungguh sangat menyenangkan dapat dicintai orang yang kau cintai.
Wangi ramyun itu menguar dan menggoda indra penciumanku, semakin membuat perutku mengadakan konser besar-besaran.
Dan, acara makanku harus tertunda saat ingin membuang cup bekas ramyun itu, karena hell sampah di kantongan super besar itu kini hampir menggunung di sisi dapur. Terpaksa aku menyeret kakiku lagi untuk membuang sampah-sampah ini.
Beruntung lift sedang tidak bermasalah, jadi aku tidak perlu bersusah-payah untuk naik-turun tangga nantinya.
Saat sampai di gerbang, aku melihat mobil putih itu lagi. Kali ini aku melihatnya dari dekat, itu berarti Jimin sudah pulang. Ku percepat langkahku ke arah tong sampah besar di sisi lain gerbang dan bersender di salah satu tembok gerbang itu, lelah man! Jarak dari apartment ke arah tempat pembuangan sampah itu jauh. Aku mengambil nafas sejenak dan menghembuskannya perlahan.
Dan tanpa sengaja, sayup-sayup aku mendengar...
"Aku mencintaimu, Park Jimin!"
"Apa hyung? Aku tak bisa mendengarmu!"
"Aku mencintaimu, Park bodoh!"
Lalu terdengarlah tawa merdu seorang Park Jimin. Rasanya sesak. Ku coba pukuli dada kiriku, dan menghirup oksigen sebanyak-banyaknya, namun rasanya aku akan tersedak jika seperti itu terus. Air mataku melengos jatuh tanpa ku suruh.
Dengan kasar ku usap air mataku itu dan cepat ku langkahkan kakiku masuk ke dalam gedung apartment yang sudah ku beli dengan Jimin. Kami patungan untuk membeli apartment itu. Rasanya jika mengingat moment itu, seperti ribuan kupu-kupu menghambur dari perutku. Dan sekarang semuanya tinggal kenangan saja. Miris.
Saat hampir sampai di depan lift yang hampir tertutup, aku melihat siluet seorang Park Jimin. Kuurungkan niatku untuk berlari masuk ke dalam lift yang hampir penuh itu.
.
"I can't even think straight, but I can tell... you were just with him"
.
"Yoongi-hyung? Kau dari mana saja?" Jimin menghampiriku dengan wajah khawatir -entah apa gunanya memasang wajah seperti itu- di depan pintu saat pintu itu terbuka.
"Dari membuang sampah.." jawabku se-biasa mungkin, agar tak terlihat bahwa aku sedang sedih. Dia akan menganggapku lemah.
"Benarkah?" dia mencoba memastikan, aku hanya menjawabnya dengan sedikit anggukan dan senyum seperti biasanya.
"Padahal aku ada dibelakangmu lho, Jimin!" sambungku, aku sengaja mengarah kepada pembicaraan itu. Rasanya pasti takkan mengenakkan menjadi kekasih baru Jimin, dia pasti memiliki perasaan takut dan was-was kalau aku pemarah atau aku mengancam akan bunuh diri seperti yang di film-film. Tapi, aku tidak seperti itu, lebih baik jika ini semua dibicarakan.
"Dibelakangku?" dia nampak sangat terkejut saat mendengar ucapanku, aku hanya mengangguk.
"T-Tapi, se-sejak kapan hyung?" dia terlihat gugup skarang
"Hmm, sejak... kau turun dari sebuah mobil?" aku berusaha tersenyum. Dia membulatkan matanya penuh.
"H-Hyung, k-kau—"
"Ne, aku sudah tau" jawabku sambil tersenyum lembut. Jimin semakin memasang tampang terkejut yang menurutku sangat lucu itu.
"H-hyung, i-ini tidak seperti yang—"
"Arraseo.." potongku lagi. Aku menarik nafas dalam sebentar lalu menghembuskannya perlahan dan menatapnya.
"Aku sudah tahu, Jimin. Mengapa kau menutup-nutupinya dariku?" tanyaku kemudian.
"Hyung, aku hanya tidak ingin menyakitimu" jawabnya lagi, aku tersenyum tapi kali ini terlihat jelas menyiratkan kesedihan.
"Bahkan jika kau menutupinya seperti itu pun, akan tetap menyakitiku" tak terasa air mataku jatuh, tak sanggup untuk ku bendung, aku mengusapnya kasar. Persetan jika nanti ia menganggapku lemah. Ia berjalan perlahan ingin mendekatiku.
"Berhenti!" lirihku padanya sambil menggelengkan kepala. Ia sedikit berjengit, namun ia tidak berhenti.
"Uljima, hyung.." aku bisa merasakan hangatnya pelukan dari seorang Park Jimin lagi, mungkin untuk yang terakhir kalinya.
"Hyung—"
"Bawa dia kesini Jim, aku tidak akan melarang kalian. Aku tidak mungkin memaksamu untuk melepasnya kalau kau mencintainya, bukan? Jangan diam-diam begini, tidak apa-apa.." aku mendorong perlahan tubuhnya agar menjauhiku. Rasanya perih.
"Hyung, tapi kan—"
"Sudahlah, Jimin, tidak apa-apa.. aku tidur dulu ne? Aku lelah. Kau juga tidur, besok bawa dia kemari ne?" untuk kesekian kali aku memotong perkataannya, aku tidak ingin mendengar alasan apapun lagi, aku tidak ingin mendengar ia mengucapkan apapun. Ini sudah terlalu jauh dari kata cukup.
Dan bodohnya aku, menyuruhnya untuk membawa 'ia' untuk datang besok.
Sepertinya besok akan jadi hari bersejarah. Apa perlu ku lingkari tanggal besok dengan spidol berwarna merah?
.
Sinar mentari pagi masuk dari balik tirai jendela yang masih tertutup, ku coba membiasakan retinaku dengan sinar itu.
Ku lirik jam weker di meja nakas samping tempat tidurku, pukul 7.00 tepat. Ku langkahkan kakiku ke arah kamar mandi untuk mandi, aku baru ingat kalau hari ini jam 8.00 nanti aku ada kelas. Jadi harus bergegas jika tak ingin terlambat.
Setelah siap dengan penampilan dan tas ranselku, aku keluar kamar dan berjalan ke arah dapur. Ku lihat masih ada ramyun yang semalam ku masak tanpa ku sentuh sedikitpun, ramyun itu sudah 'bengkak'. Aku tersenyum miris saat mengingat kejadian semalam. Rasanya ingin ku benturkan kepalaku ini di dinding berulang-ulang kali.
"Hyung?" suara berat Jimin membuyarkan lamunan bodohku, ia terlihat sangat kacau.
"Tidurmu nyenyak?" tanyaku padanya sambil membuat sandwich biasa untuk sarapan. Dia mengangguk.
"Bagaimana denganmu, hyung?" dia balas bertanya. Aku mengangguk bodoh.
"Syukurlah.." ujarnya lagi, aku mengerti dengan maksudnya. Tapi, aku benar-benar hanya tidur tidak lebih dari stengah jam.
"Kau ada kelas pagi, hyung?" dia bertanya lagi, aku tersenyum lalu mengangguk sambil menyodorkan piring berisikan beberapa potong sandwich kepadanya dan aku duduk di kursi sebelahnya setelah ia berucap 'terimakasih'.
"Hyung?" panggilnya, aku hanya menoleh dan memiringkan kepalaku, seperti orang bodoh. Belakangan ini, aku sering bertingkah seperti orang bodoh entah mengapa.
"Aku... aku sudah mencoba untuk menghubunginya semalam, dan dia bilang dia bisa datang malam ini" ujarnya panjang lebar, butuh beberapa menit bagiku untuk mencerna setiap kata-katanya, hingga akhirnya aku mengerjap dan kemudian tersedak sandwich yang tengah ku kunyah.
"B-Benarkah?" dan kembali normal dari tersedakku saat ia menyodorkan segelas air putih. Ia mengangguk.
"Baiklah. Akan ku bantu kau membuat makanan nanti..." ujarku setelahnya. Dia tersenyum.
"Terimakasih, hyung" gumam Jimin, aku hanya mengangguk dan menepuk-nepuk pundaknya. Benar-benar perilaku bodoh.
"Baiklah. Aku ke kampus dulu ne? Kalau butuh apa-apa jangan hubungi aku, segera saja hubungi 911. Jika kau lupa pada 911, langsung saja menghubungiku, ne?" lihat, bahkan kata 'jika ada apa-apa, hubungi aku' ku perpanjang hingga berbelit-belit seperti itu.
Tapi... ia tetap tersenyum merespon dan mengangguk.
Sesak...
.
Dikampus...
"Yoongi-yah!" seorang namja bersurai red wine dengan postur tubuh tinggi tegap berlari ke arahku, aku hanya terkekeh melihatnya berlari seperti itu, padahal aku sama sekali tidak bergerak kemana-mana dan dia mengejarku. Lucu skali.
"Kenapa kau berlari seperti itu, Seokjin-hyung?" tanyaku masih terus menertawainya.
"Aduh! Appoyo, hyung.." dia menjitakku, aku hanya mengelus-ngelus kepalaku. Jitakan seorang Kim Seokjin itu tidak main-main man!
"Kau dari mana saja, eoh? Kenapa kau selalu hilang dari peredaran?" dia mengambil posisi duduk disampingku.
Kim Seokjin, teman seangkatanku, namun dia lebih tua setahun dariku. Dia itu idola kampus, semua fans-nya baik namja maupun yeoja sering sekali memekik tertahan dan melayangkan tatapan iri pada orang-orang di dekat Seokjin termasuk aku. Tapi, aku tidak peduli. Salah mereka sendiri yang tidak mau mendekatinya. Padahal Seokjin-hyung itu orangnya cukup terbuka.
"Siapa yang menghilang dari peredaran? Dan-eoh, sejak kapan kita memiliki radar?" kali ini aku yang bersungut-sungut mendengar kata 'radar'. Ia menjitakku lagi.
"Aish, hyung! Ini sakit kau tahu.." keluhku. Ia terkekeh.
"Tak tahu kah kau, aku merindukan dongsaeng manisku yang satu ini~" ekspresinya membuatku menahan rasa jijik. Ia tertawa.
"Hyung—"
"Yoongi.." dia memotong ucapanku.
"Aku ingin bercerita, boleh?" padahal aku baru saja ingin menceritakan sesuatu. Tapi sepertinya masalahnya lebih serius dibandingkan aku, jadi aku memilih untuk mengangguk.
"Kau masih ingat Tae kan? Taehyung? Adikku? Aku akan membunuhmu jika kau melupakannya" kata-kata terakhirnya membuatku tertawa lepas.
"Iya aku tahu, hyung! Ada apa dengannya?" aku sudah selesai dengan tawaku dan mulai menanggapi dengan serius ucapannya.
"Dia dicampakkan oleh uke-nya.." dia mendengus. Aku mengernyit bingung.
"Dicampakkan? Karena apa, hyung?" aku mulai terbawa suasana cerita ini, sepertinya seru. Ia menunduk lalu menghembuskan napasnya, lalu menatapku.
"Molla. Katanya karena seme yang ia temui lebih tampan dibanding Taehyung.."
"Mwo?" dia segera membungkam mulutku dengan tangannya karena hei kelas sudah hampir penuh dan aku malah berteriak seperti tadi.
"Hanya karena itu? Astagah, hyung! Ingatkan aku untuk membunuhnya nanti.." dia sudah melepaskan tangannya dari mulutki, lalu aku kembali berdesis.
"Aku tak akan mengingatkannya padamu! Karena hell, Taehyung terlihat seperti orang frustasi skarang.." Jin-hyung kembali mengeluh.
"Tae pasti sangat mencintainya" simpulku kemudian, Jin-hyung mengangguk.
"Siapa nama kekasih Tae, hyung?" tanyaku lagi, ia kembali menatapku.
"Jung—"
"Dosen Kwon sudah datang!" teriak salah seorang dari sudut ruangan, membuat suasana gaduh kelas jadi hening. Aku sempat melirik ke arah Jin-hyung berharap ia melanjutkan nama kekasih Taehyung tadi, karena hell aku tak bisa mendengarnya.
"Kita lanjutkan sebentar" bisiknya, aku mengangguk.
Pelajaran pun dimulai.
.
Dan akhirnya Jin-hyung tidak melanjutkan ceritanya, karena hingga kelas selesai kekasihnya yang masih kelas 2 SMA itu terus merengek padanya minta dijemput. Mau tidak mau Jin-hyung harus menjemputnya.
Aku pun langsung pamit pulang, pelajaran dari Dosen Nam terakhir tadi itu benar-benar membuatku lelah fisik maupun mental.
.
.
"And I don't feel the need to know who you're with...
I can't even think straight, but I can tell... you were just with him"
.
Saat sampai di gerbang apartement, aku melihat mobil putih itu. Seketika aku merutuki diriku sendiri, dan merutuki Dosen Nam karena membuatku pulang sejam lagi sebelum makan malam di mulai. Jadi, mungkin bukan aku dan Jimin yang membuat makanan itu untuknya, tapi dia dan Jimin membuatkan makanan untukku. Akulah 'perusak' disini.
Katakan padaku, haruskah aku merasa senang?
Aku langsung melangkahkan kakiku masuk ke dalam apartment yang lumayan besar itu. Aku harus menyalahkan diriku sendiri karena kebiasaanku yang tak pernah mengetuk atau melakukan apa-apa, karena ku pikir takkan ada yang terganggu. Karena Jimin juga sudah terbiasa untuk itu. Tapi kali ini, aku harus berjuang mati-matian untuk berdiri dengan kakiku yang sudah seperti jelly di ruang TV dekat dapur.
Karena, lihatlah! Jimin dengan kekasih barunya sedang making out di meja dapur, dengan apel yang jatuh di sekitaran mereka. Aku bingung harus melakukan apa.
Terpaksa aku mengambil langkah mundur perlahan, aku menyerah. Rasanya tak bisa berdiri lagi. Lemas. Dan salahkan sesuatu yang merobek sesuatu dibalik dada kiriku. Aku harus kembali ke depan pintu, dan mengulangi semua ini. Tapi—
Dug
Traang!
Aku menahan napas, terlalu lama hingga terasa sesak saat aku menjatuhkan sesuatu yang berada di ruang TV itu. Aku merutuki semua kesialan yang ada padaku hari ini. Terlebih saat kedua pasang mata itu melihat ke arahku.
'Aku tertangkap basah di apartmentku sendiri? Lol, how funny is it?!'
"A-ah, mi-mianhae.." aku segera mengambil sesuatu yang ternyata terbuat dari alumunium itu dan menaruhnya kembali pada tempatnya.
Mereka sekarang sudah memperbaiki posisi, karena tadi Jimin mengangkat kekasihnya ke atas meja dapur. Dan itu sangat extreme.
"Mi-mianhae.." sekali lagi aku berucap dan membungkuk beberapa kali ke arah mereka. Tatapan canggung dari keduanya –terutama dari Jimin- membuatku sesak.
"A-ah, hyung.. kemarilah" Jimin menarik salah satu kursi meja makan dan menyuruhku untuk duduk, begitupula dengan kekasih barunya.
Karena diperlakukan sama dengan orang lain oleh kekasihmu itu terasa menyakitkan...
Suasana canggung kembali menggerogoti ruangan. Aku hanya melanjutkan makanku, selain ingin tenang sejenak, aku benar-benar lapar.
"Hyung, yang tadi itu.."
"Sudahlah tidak apa-apa. Kalian kan kekasih, tak ada salahnya" aku memotong ucapan Jimin (lagi) sambil tersenyum lembut menatap mereka berdua.
"Lagipula, kau belum memperkenalkan kekasihmu yang manis itu padaku.." sambungku lagi, lalu menaruh alat makanku dan menunggu jawaban dari mereka.
Kekasih baru Jimin itu manis, mungkin itulah yang membuat Jimin menyukainya. Dan cengirannya yang lebar itu, jika dibandingkan denganku; aku hanya bisa tersenyum.
Ku lihat mereka saling bertatapan, sebelum akhirnya kekasih Jimin itu angkat bicara.
"Annyeong, hyung. Aku Jung Hoseok, hyung bisa memanggilku apapun, bangapseumnida" ucapnya sambil membungkuk sedikit, dan tersenyum.
"Oh, namamu bagus! Perkenalkan, aku Min Yoongi.. bangapda" aku balas tersenyum padanya, ia nyengir dan mengusap belakang kepalanya dengan canggung.
"Ah, eoh... mm..."
"Yoongi, panggil saja Yoongi-hyung" jawabku mengerti dengan jalan pikirannya, dia tersenyum.
"Yoongi-hyung, mari makan.." ucapnya kemudian, aku hanya tertawa sedikit lalu melanjutkan makanku. Dia namja yang lucu dan unik, pantas saja...
"Wah, kalian mengabaikanku" Jimin mengomel lalu mendengus. Kekasihnya itu tertawa. Aku hanya tersenyum kecil melihat mereka. Serasi. Itulah yang ku pikirkan.
Setelah itu yang terdengar hanyalah suara dentingan piring yang beradu dengan peralatan makan. Sesekali juga terdengar tawa mereka yang saling menimpali candaan. Aku hanya bisa terkekeh kecil mengikuti alur cerita yang ku perankan sendiri.
Ini sudah memasuki hampir 2 minggu setelah Jimin memperkenalkan kekasih barunya itu padaku. Semuanya masih biasa saja, hingga...
"Hyung, Hoseok ada masalah dirumahnya. Bolehkah dia tinggal disini?" tanya Jimin dengan Hoseok yang bermata sembab berdiri di sisinya di dalam rangkulannya.
Aku hanya bisa mengangguk mengiyakan. Hoseok pun dengan setengah berlari memelukku, lalu menggumamkan kata terimakasih berulang kali. Aku? Pasrah...
.
"Can I get Just A Little Bit of Your Heart again? Thats's impossible..."
.
.
"Yoongi!" dari suaranya sangat jelas itu adalah Seokjin-hyung. Kebiasaan buruk berteriak di hadapan orang yang sudah melekat.
"Hyung, berhentilah berteriak di hadapanku.." aku sedikit menggosok telingaku, menandakan bahwa telingaku sedikit merasa terganggu dengan teriakannya. Ia hanya terkekeh lalu menjitakku. Satu lagi kebiasaan buruknya yang bisa kalian catat.
"Yoongi.. entah apa yang membuat Tae menjadi lebih baik skarang" ia mulai dengan curhatan tentang adik kesayangannya.
"Benarkah? Syukurlah.." balasku sambil tersenyum, aku tertular rasa bahagia bahkan hanya melihat wajah bahagianya.
"Yoongi, kemana Jimin? Kenapa aku sudah jarang melihatnya? Biasanya kan kalian seperti cat dan dinding yang tak bisa terpisahkan.." ia celingak-celinguk untuk memastikan bahwa dia benar-benar tak melihat Jimin disekitarku.
"Terkadang cat akan mengelupas, hyung.. dan itulah saatnya ia akan diganti dengan cat yang baru.." tanpa sadar aku berkata seperti itu dengan nada sendu, aku sempat melihat wajah terkejutnya mendengar ucapanku.
"Yoongi? Gwaenchana? Sedang tak terjadi apa-apa kan?" dia menatapku dalam-dalam, aku tersenyum lembut sambil menggelengkan kepalaku.
"Gwaenchana, hyung" aku meluruskan kakiku, yang agak pegal karena terus duduk di kursi kantin kampus yang masih agak sepi.
"Hyung.." panggilku padanya yang tengah sibuk dengan alam pikirannya.
"Waeyo?" tanyanya sambil menatapku.
"Aku sudah memutuskan untuk mempercepat wisuda ku.." ucapku lagi, sebenarnya aku ingin mengatakan ini sejak lama, namun tak ada kesempatan sama skali.
"Eh? Benarkah? Berapa bulan dari skarang?" tanyanya lagi.
"4 bulan.. ini sudah minggu ke dua, sekitar 14 minggu lagi.." jawabku kemudian, ia tersenyum lalu menepuk-nepuk kepalaku dengan sayang.
"Setelah itu kita akan terpisah.." ujarnya kemudian, aku mengangguk mengiyakan.
"Aku menyayangimu, Yoongi.." ucapnya lagi, aku tersenyum sedih. Lalu mengucapkan 'aku juga, hyung' setelah itu semuanya kembali seperti semula.
"Ku harap, aku bisa bertemu seseorang sepertimu lagi nanti hyung.. kau kakak yang baik, terimakasih ne?!" aku membuka suaraku lagi, ia tertawa canggung.
"Takkan ada yang sepertiku dan sepertimu lagi, Yoongi" jawabnya kemudian.
"Oh, come-on hyung! Jangan jadi sesedih itu, aku hanya akan wisuda.." ucapanku berbalik dengan yang terjadi, aku menangis. Dasar cengeng.
"Kau berkata seperti itu, tapi kau menangis! Dasar bodoh.." ia menjitakku lagi, aku tersenyum dan mengusap kasar air mataku.
"Setelah itu kau akan kemana?" pertanyaan yang paling tak ingin ku dengar.
"New York.."
.
.
"Just a little bit of your heart is all I want.."
.
.
Aku pulang malam lagi, pasalnya Seokjin-hyung membawaku ke rumahnya, bertemu dengan adik kesayangan dan kekasihnya yang imut itu. Lalu mengantarku pulang setelah makan malam di rumahnya. Dan sekarang aku benar-benar lelah.
Mulai besok, aku akan mengikuti mata pelajaran ganda, semuanya serba ganda, mempercepat wisuda itu sama saja dengan menyiksa diri. Namun aku sangat ingin melakukannya, karena tak ada lagi yang bisa ku lakukan dirumah.
Lagipula eomma sudah mengirimiku surel beberapa waktu lalu.
Pintu apartment sama sekali tidak berderit saat aku membukanya, ini sudah hampir pukul 10 malam waktu KST. Mungkin Jimin dan Hoseok sudah tidur. Dari beberapa waktu lalu, aku melarang ada siapapun yang mengganggu aktifitasku di kamar. Karena hell tugas everywhere. Jadilah Hoseok tidur bersama Jimin, entah bagaimana posisi mereka, aku tidak peduli, aku sudah tidak peduli dengan semua rasa sakit ini, entahlah mungkin karena aku sudah terbiasa.
Tapi tetap saja... sakit itu terasa sangat nyata.
Baru saja aku ingin membuka kenop pintu kamarku, rasa haus lebih menguasai tenggorokanku, jadilah aku ke dapur terlebih dahulu dan memuaskan tenggorokanku.
Saat melewati kamar Jimin, terdengar suara-suara aneh. Aku menenggak salivaku kasar, dan agak menempelkan telingaku pada pintu kamar itu. Dan aku semakin menenggak salivaku, dan menautkan kedua jemari tanganku erat. Bibirku gemetar tatkala mendengar suara itu semakin keras...
"Jiminhh-nnhh movehh~ fashterrhh..."
"Kh-khau ketat hyungh~"
Ku gigit bibirku kuat-kuat menahan panas yang menjalar di mataku, ingin mati rasanya. Dan bibirku berdarah tanpa ku sadari. Rasa hausku menguap begitu saja. Aku berjalan gontai ke arah kamarku. Ingin sesegera mungkin tertidur, dan semoga saja tak terbangun lagi.
Aku tersenyum samar di atas tempat tidur, menutup mata dengan lenganku.
'Selamat tidur, Min Yoongi bodoh..'
.
.
"Cause I'm a fool for you..."
.
.
Brakk
Aku terbangun mendengar suara itu, suara sebuah pintu atau apapun itu yang terbuat dari kayu dibuka dengan kasar, kulirik jam di meja nakasku jam 6.25 pagi KST, ini masih sangat pagi. Dengan langkah tergesa aku berjalan menuju dapur, asal suara itu. Dan menemukan Hoseok disana...
"Hoseok, kau sedang apa?" suara yang pertama kali ku keluarkan, jadi wajar jika suara itu serak.
"Eh, hyung.. maaf membangunkanmu, aku mencari pain killer.." ucapnya dengan wajah yang jelas sedang menahan sakit, ia terlihat susah saat berjalan.
Memori tentang kejadian semalam terulang kembali, kepalaku berdenyut. Aku memijit pelipisku sebentar, lalu tersenyum ke arahnya.
"Kau bisa menemukannya di laci meja ujung itu.. mungkin ada dibawah.." ucapku, dia mengangguk dan berjalan perlahan bahkan sangat lambat ke arah meja itu, lalu menggumamkan kata terimakasih saat menemukan apa yang ia cari.
Aku memberikannya gelas berisi air, lalu dengan cepat ia meminumnya.
"Hyung, bibirmu kenapa? Membiru seperti itu, apa kau baik-baik saja? Sepertinya robek.." ia menelisik wajahku, aku hanya terkekeh.
"Tidak apa-apa, semalam aku mengantuk dan tanpa sengaja pintu kamarku menabrak bibirku, dan jadilah seperti ini.." dia juga ikut tertawa. Dan hening lagi.
"Untuk apa kau meminum pain killer?" tanyaku saat dia merasa baikan, dan duduk di kursi meja makan dengan beberapa potong sandwich dan 2 gelas susu.
"Ah, itu.. untuk.. anu—"
"Eh, apa kau tak mau membangunkan Jimin? Dia ada kelas sepertinya pagi ini.." aku melirik jam di dinding, mencoba membantunya agar tidak canggung, aku yakin dia tak akan menceritakannya padaku, secara tak langsung aku masih kekasih Jimin.
"Oh, benarkah? Hyung, kau tau banyak tentang Jimin ya.." dia menunduk.
"Hmm.. tenang saja, kau juga nanti akan tau banyak tentangnya. Kalian terlihat begitu serasi.. pelajarilah lebih banyak tentangnya, kalau kau tak bisa nanti juga kau akan terbiasa.." itu hanya racauan, tapi ia menanggapiku dengan mata berbinar.
"Baiklah, hyung! Aku akan berusaha. Aku membangunkannya dulu, ya hyung?" dia beranjak dari kursinya ke kamar nya bersama Jimin. Aku menelungkupkan kepalaku diantara kedua lipatan tanganku saat ia menghilang dari balik pintu.
'Apa yang sudah kau katakan, Yoongi bodoh?'
"Apakah aku salah? Aku hanya ingin dicintai olehnya...
meskipun sedikit..."
.
"Hyung, kau ada kelas pagi juga?" Jimin menatapku yang lagi mengikat tali sepatu, dengan mulut yang penuh dengan roti bakar, aku hanya mengangguk.
"Kau mau membawa mobil?" aku mengangguk lagi.
"Kita berangkat bersama, ne?" dia bertanya lagi.
"Terserah kau saja.." jawabku sambil mengambil kunci mobil yang tergantung didekat pintu. Hoseok kemudian setengah berlari mengantar kami ke depan pintu.
"Annyeong, hyung~" ucap Jimin lalu mengecup bibir Hoseok sekilas, aku pura-pura tidak melihat, namun ada sesuatu yang teriris lagi.
'Mau sampai kapan kau begini, bodoh?'
Di dalam mobil...
Kata Hoseok, Jimin pasti lelah karena semalam, dan aku harus mengorbankan diriku untuk menyetir mobil. Memangnya aku ini siapa sebenarnya?
"Hyung, sudah lama kita tidak berdua seperti ini, ne?" dia membuka percakapan dengan nada canggung, aku tertawa hambar.
"Benarkah? Aku tidak merasa begitu.." jawabku dengan nada datar, semenjak dia mendobrak pintu kamarku hanya untuk pamit makan malam bersama Hoseok beberapa waktu lalu dan tepat di saat aku harus menyelesaikan 4 makalah dalam waktu semalam, membuat darahku mendidih bahkan sampai skarang.
"Hyung, kau masih marah?" tanyanya, aku menggeleng.
"Maafkan aku, saat itu aku tidak tahu kalau—"
"Iya terserah.." potongku, telingaku lama kelamaan panas mendengarnya mengoceh.
"Hyung, soal hubungan kita..."
Duh, ini dia..
"Kau maunya bagaimana, hyung?" dia melanjutkan pertanyaannya.
"Semua ada ditanganmu, Jimin" jawabku lagi. Dia menoleh ke arahku, aku tidak balas menoleh, aku tidak ingin mati di jalan seperti ini.
"Hyung, tidak bisa begitu. Aku tidak bisa memutuskan ini sepihak karena, aku tak ingin menyakitimu hyung" ucapnya kemudian, aku menyeringai.
"Kau sudah memutuskan sepihak untuk mencari kekasih baru, dan sekarang untuk memutuskan saja, kau tak mau memutuskan sepihak?" aku meremas setir yang ada di tanganku kuat-kuat.
"Sudah ku bilang, aku tak ingin menya—"
"Jika rasa sakit yang kurasakan berbentuk, Jimin... mungkin kau tak bisa melihat wajahku lagi, takkan ada kulit, semuanya luka" potongku. Ia terkejut.
"Dan, kegiatan macam apa yang dilakukan Hoseok bersamamu sampai dia harus mengobrak-abrik kotak P3K untuk mencari pain killer?" tanyaku ketus masih sambil menyeringai. Ia terkejut, pasalnya aku belum pernah menunjukkan perilaku seperti ini padanya. Aku pun tak tahan dengan diriku yang seperti ini.
"H-Hyung—"
"Kau tak ingin ada yang menanyakan hal itu seketus ini lagi kan?" potongku dengan senyuman lembut padanya. Akhirnya aku bisa kembali ke diriku yang selalu mencintainya.
"Hyung, kau menakutiku.." dia mendengus lega.
"Jangan selalu menganggap remeh seseorang hanya karna kau tahu dia akan selalu memaafkanmu.." ucapanku membuatnya seperti orang kalah telak.
"Aku akan di wisuda beberapa minggu lagi.." aku menyambung ucapanku, dia terkejut lagi, sebanyak itukah kejutan yang bisa ku berikan padanya?
"Apa maksudmu, hyung?" dia bertanya dengan wajah bingung bercampur terkejut. Rahangnya mengeras.
"Aku mempercepat wisudaku, menggandakan semua mata pelajaran.. itulah yang membuatku sangat marah padamu, saat itu aku disuruh membuat 4 makalah dan harus selesai dalam semalam, mustahil bukan? Dan kau membuat darahku semakin mendidih saja.." aku mendengus, terdengar kekehan kecil darinya.
"Mianhae, hyung.. jadi kau akan diwisuda di umur 20 ya, hehe.. chukkhae hyung" ia kemudian tertawa lebar.
"Apa perlu kita rayakan bersama?" dia bermonolog sepertinya, aku hanya menggeleng, membuatnya terkejut.
"Eomma sudah ribuan kali mengirimiku surel.." dia merubah raut wajahnya menjadi mengeras lagi.
"Hyung, aku sedang tak ingin berdebat.. tentang eomma" kilahnya.
"Wae? Kau tidak sendiri disini kan?" aku balas berkilah. Ia menatapku lagi.
"Aku akan pulang ke Daegu untuk beberapa saat, menjemput eomma dan pergi ke New York.." aku mencoba untuk menceritakan tujuanku. Dia terlihat marah.
"Tidak!" ketusnya.
"Siapa kau? Berani skali melarangku bertemu eommaku sendiri?!" aku balas membentaknya.
"Min Yoongi! Bukankah kita sudah pernah membicarakan ini sebelumnya.. tunggu sampai aku wisuda.." dia tak bisa menahan emosinya, sementara aku? Masih mengulang kata-katanya yang tak dapat dipercaya itu.
"Lalu apa yang akan ku dapatkan saat kau wisuda?" aku balas bertanya ketus.
"Sudah pernah ku bilang bahwa aku akan menikahimu!" kali ini dia benar-benar emosi, aku hanya bersabar menahan emosiku, aku menyeringai.
"Aku tidak mau menikah denganmu, asal kau tahu.." suara datarku membuatnya membelalakkan matanya.
"Apa katamu? Bukankah kau sendiri yang bilang bahwa kau akan menikah denganku?" dia memelankan suaranya.
"Menikah dengan namja yang sudah tidur dengan orang lain? Dimana pikiranmu? Sebaiknya kau berpikir dulu, kau ada di posisi mana sekarang, sebelum mengutarakan pikiran bodohmu itu! Kau melupakan kekasih barumu yang tampan itu, eoh?" masih dengan suara datar.
"H-Hyung—"
"Lalu bagaimana jika Hoseok itu adalah lelaki istimewa yang bisa mengandung?" aku bisa melihat ia menenggak salivanya kasar. Aku kembali menyeringai.
"Tapi aku tak ingin kau pergi, hyung.." dia menunduk dalam.
"Bullshit! Lalu kau mau aku mati dalam rasa sakit melihatmu making out dengannya setiap hari dan aku hanya menjadi babu?" dia terbelalak, kata-kata kasar yang keluar dari mulutku membuatnya terkejut bukan main.
"Kau tidak sadar seberapa banyaknya kau menyakitiku Park? Dan skarang kau mau aku bertahan denganmu di rumah itu? Kenapa kau tak skalian membunuhku saja, Park? Kau egois!" emosiku meluap, tapi yang keluar bahkan tidak sampai dari setengahnya.
Aku belum mengatakan tentang Taehyung...
"Hyung, kalau kau merasa terbebani seperti itu, mengapa kau tak memberitahukannya dari awal? Agar aku—"
"Kau pikir aku bisa tega kepada orang yang ku cintai, ingin rasanya aku berteriak kepada siapapun yang mau mendengarku bahwa orang yang ku cintai telah mencintai orang lain dan mereka –hiks- making out –hiks- didepanku" aku memberhentikan mobil dan memukul klaksonnya cukup keras membuat klakson itu berbunyi nyaring dan cukup panjang sambil terisak. Aku bahkan hampir gila skarang.
"Hyung, maafkan aku... aku, astagah! Apa yang sudah ku lakukan padamu, hyung? Maafkan aku.. maaf hyung" ku lihat ia menjambak rambutnya sendiri, dan mengeluarkan butiran air mata dari pelupuknya.
'Aku tidak tega melihatnya seperti ini, aku terlalu mencintainya..'
"God! Can you hear me? What must I do?
I just love him too harder..."
"Sudahlah, Jim! Hari ini kau libur saja dulu, akan ku buatkan surat izin... ku antar kau pulang" aku mengelus kepalanya sebentar dan memutar arah mobilku. Persetan dengan jam, 'toh tak akan kena hukuman jika terlambat setengah jam.
.
.
Dari kejauhan, aku bisa melihat mobil sport berwarna hitam pekat ada di depan gerbang apartment, dari jauh nomor polisi mobil itu sangat ku kenal. Mobil Taehyung.
"Jimin, Jimin.." aku menepuk pelan pipinya, ia tertidur sejak tadi, ia terlihat lelah. Ia pun membuka matanya perlahan sambil melenguh, dan memijit pelan pelipisnya ketika ia benar-benar bangun.
"Waeyo, hyung?" dia bertanya dengan nada suara khas orang baru bangun tidur.
"Kita sudah sampai.." ucapku sambil tersenyum lembut.
"Ah..." dia menatapku sedikit ragu sesaat sebelum ia keluar dari mobil. Aku menghela nafas kuat-kuat. Rasanya aku ingin membuang nafas ini.
Ku lihat punggungnya telah menghilang dari balik gerbang. Sepertinya sudah masuk. Aku memutar mobilku dan menjalankannya sebentar, hingga berhenti di bawah pohon yang lumayan jauh dari gerbang.
Tiba-tiba ponsel di saku celanaku bergetar, aku belum menjalankan mobil, masih diam di jarak yang lumayan jauh dari gerbang apartment. Ku lirik layar ponselku.
Taehyung.
"Yeoboseyo?"
"Hyung, kau dimana?"
"Aku? Di jalan, ingin ke kampus. Ada apa, Tae?" jawabku, aku tidak berbohong, toh setelah ini aku akan pergi ke kampus.
"Bisakah kau pulang? Dan jelaskan semuanya pada orang ini!"
"Jelaskan apa? Pada siapa?" aku mengernyit bingung, hingga mendengar suara Hoseok dan Jimin sedang bertengkar.
"Ini sudah sesuai batas perjanjian kami, aku ingin membawa pulang Hoseokku.. aku tidak tahan tanpa dia" ucapannya membuat mataku terbelalak. Teringat kembali percakapan kami beberapa waktu lalu dirumah Seokjin-hyung.
Flashback...
"Jadi begitu..." Seokjin-hyung tampak manggut-manggut mengerti. Mendengar penjelasan Taehyung sebelumnya bahwa ia murung karena namja yang didekati Hoseok ternyata sudah memiliki kekasih.
"Karena kalau namja itu sudah memiliki kekasih, maka Kookie yang akan menang.. makanya aku murung hyung. Tapi, skarang mereka sudah baik-baik saja, hahaha" jelas Taehyung lagi, Seokjin hanya terkekeh. Aku masih bingung.
"Jadi, kalian menjadikan seorang namja sebagai barang taruhan?" tanyaku, mereka semua menoleh padaku yang masih berpikir.
"Yah, begitulah hyung" jawab Jungkook, aku hanya manggut-manggut.
"Siapa nama namja itu?" tanyaku lagi.
"Jimin. Park Jimin" seketika mataku dan Seokjin membulat, membuat dua bocah dihadapan kami memasang wajah bingung.
"Ada apa, hyungdeul?" tanya Jungkook takut-takut.
"Lalu, apa kalian mengenal nama kekasihnya?" tanya Seokjin tiba-tiba, membuatku melemparkan deathglare padanya.
"Ah, itu—"
Tiba-tiba pesan masuk di ponsel keduanya bersamaan.
'Aku lupa memberitahu nama kekasihnya, hehe xD namanya Min Yoongi! Ia namja yang manis, baik, dan penyabar. Kulitnya seputih susu..'
Pesan dari Hoseok. Taehyung dan Jungkook menelan ludahnya kasar.
Seokjin terkekeh melihat ekspresiku mendengar Jungkook membacakan pesan itu. Dan wajah takut-takut Jungkook yang menggemaskan.
"Tidak apa.. lanjutkan saja, takkan ku beritahu! Anggap saja kalian tidak pernah memberitahuku" ucapku setelah mendengus.
"Mian, hyung.. kami tidak tahu kalau ia kekasihmu" ucap Taehyung dan diangguki oleh Jungkook. Seokjin masih tertawa.
"Hmm, tapi jika terjadi sesuatu jangan pernah hubungi aku! Jangan pernah! Apapun itu!" kecamku pada mereka, keduanya mengangguk patuh. Seokjin kembali tertawa.
"Dan, hyung! Tak ada yang lucu.."
Flashback end.
"Bukankah sudah ku bilang untuk tidak menghubungiku?" tanyaku kesal pada Taehyung.
"Mian, hyung! Tapi, aku harus membawa Hoseok pulang.." ucapannya membuatku mendengus sebal.
"Ck! Kau ini jinjja... bawa saja dia pergi tak ada susahnya" ucapku lagi.
"Baiklah, ku biarkan saja Jimin disini ne?" dia balik bertanya, aku kembali mendengus.
"Terserah" telepon terputus.
Aku masih belum mau menemui Jimin yang tidak percaya saat ku katakan tentang itu sebelum ia tertidur di mobil tadi. Dia bilang kalau aku hanya iri pada Hoseok, kalau iri tentu saja, tapi yang ku katakan bukan kebohongan.
Aku sudah merelakan segalanya demi kebahagiaannya, terutama perasaan...
Aku mengatakan itu demi kebahagiaannya, aku memilih diam agar dia dapat menyadarinya sendiri. Aku tak ingin ia mengetahui hal itu dariku, kata-kata 'iri' dan lain sebagainya pasti akan terucap untukku, aku tak ingin mendengar itu. Tapi, aku memilih mengorbankan perasaanku demi mengatakan semuanya.
Namun rasa sakit itu tetap terasa nyata... saat ia menghujamku dengan kata-kata kasar, mengatakan bahwa aku 'pembohong', mengatakan bahwa aku 'iri', 'bodoh', 'gila' dan lain sebagainya. Aku tertawa hambar dan meremas suraiku sendiri.
Dari jauh ku lihat mobil Taehyung perlahan menjauh setelah ia dan Hoseok masuk ke dalam mobil itu. Batas taruhan mereka hanya sampai Hoseok berhasil dikendarai oleh Jimin. Aku merasa sangat marah. Tapi, aku tak bisa berbuat banyak.
"And now, he leave you!"
.
.
Dikelas...
"Astagah, Yoongi! Kau terlambat!" satu-satunya temanku dikelas –Seokjin- tengah berteriak lagi, wajar karena ini sudah jam istirahat.
"Hmm.." bahkan Seokjin terlihat jahat dihadapanku. Aku sedang tak ingin bertemu siapapun.
"Ku dengar dari Taehyung, ia menang di taruhan itu.." suara Seokjin tiba-tiba parau, aku menoleh padanya.
"Hmm" jawabku dengan gumaman.
"Maaf ne, Yoongi! Aku bahkan tak bisa menghentikannya, aku terlalu sayang pada mereka berdua hingga tak sanggup membuat mereka berdua tidak tertawa lagi seperti yang mereka sering lakukan belakangan ini.." Seokjin berucap panjang lebar, aku hanya mengangguk.
"Tak apa" jawabku lirih.
"Benarkah?" aku mengangguk.
"Aku ingin mengantarkan ini pada Dosen Sang.. aku pergi dulu" setelah mengobrak-abrik isi tasku aku menemukan makalah pelajaran Dosen Sang dan segera berlalu dari hadapan Seokjin.
'Jin-hyung pun begitu, dia merelakan perasaan sahabatnya sendiri demi kebahagiaan adik kecil dan kekasihnya.. tanpa tahu harus berbuat apa, faktor dari lelah'.
.
.
Ponselku bergetar tepat saat pelajaran gandaku selesai, tinggal beberapa orang saja yang berada di kampus, sekarang sudah pukul 11.30 malam waktu KST.
Aku menatap nanar nama di ponsel itu.
Jiminnie
Entah apa yang membawaku menekan tombol accept.
"Yeobose—"
"Hyungie~" suara ini, dia mabuk kah?
"Jimin kau kenapa?" tanyaku yang seketika panik mendengar suaranya.
"Hyung~ kau dimanaa?" astagah, dia benar-benar mabuk.
"Kau dimana Jimin? Katakan biar ku jemput.." tanyaku lagi.
"Hm? Aku dirumah..." terdengar lenguhan dari seberang sana, aku mengusak rambutku frustasi, dan berlari menuju tempat mobilku di parkir. Lalu melesat kembali ke apartme setelah mengatakan 'tunggu aku, jangan lakukan apapun' lalu telpon itu putus.
TBC
.
.
.
Duh, ini fic pertama saya, maaf kalau alurnya selalu keluar dari jalur, maaf kalau kecepetan alurnya, pokoknya saya tau fic saya ini masih sangat kurang. Jadi dibutuhkan reviews dari para pembaca, hehe :D
Ini hanya twoshot, sebenarnya mau disatuin aja, tapi untuk part 1 masih rated T, ntar dibuatin rated M di part 2 nya. Dibuatin NC-nya MinYoon xD
