Semua cerita dimulai dengan sebuah kalimat, Once Upon A Time.

Aku sangat yakin bahwa kalian semua sering sekali mendengar kalimat itu. Ya, darimana lagi kalau bukan dari dongeng pengantar tidur kalian? Sebuah kalimat yang akan membawa kalian menyelami imajinasi terdalam kalian, dan membawa kalian ke dunia kalian sendiri–yang tidak diketahui oleh siapapun, dimana hal-hal mustahil terjadi. Makhluk-makhluk fantasi yang merayap di muka bumi dan udara yang dipenuhi debu peri. Adalah normal jika kau merasa familiar dengan kalimat itu.

Apa kau masih mengingat dongeng-dongeng itu? Apa yang diceritakan dongeng itu? Mungkin seorang gadis malang yang datang ke pesta dansa dan meninggalkan sepatu kacanya, atau seorang gadis kecil bertudung merah yang bertemu serigala? Oh, mungkin seorang gadis petualang yang jatuh ke dalam sebuah lubang dan bertemu kelinci yang memegang arloji, atau dua kakak beradik yang tersesat di hutan dan menemui sebuah rumah dari permen dan roti manis?

Apa persamaan dari semua itu? Semuanya mustahil terjadi.

Oh, aku terlalu banyak bicara hingga melupakan tujuanku yang sebenarnya. Sesungguhnya kekuatan magis yang ada dalam dongeng-dongeng itu tidaklah mustahil terjadi, bukan mitos apalagi fiksi. Dunia itu sungguh ada! Dan aku disini akan mengajakmu masuk ke dunia itu dan bertemu dengan hal-hal yang paling tidak logis di dunia ini. Bertemu dengan hal-hal magis yang sama sekali tak terduga oleh nalarmu, ditentang oleh akal sehat dan logikamu, yang tak mampu dijelaskan oleh ilmuwan terhebat sekalipun. Nah, apakah kau akan percaya?

Marilah, mendekatlah. Genggam tanganku sebab aku tidak bisa membiarkanmu tersesat. Kukenalkan dirimu pada teman-teman seperjuanganku. Mereka bukan fantasi, mereka berbaur layaknya manusia biasa dengan orang-orang. Mereka menjalankan aktivitas seperti biasa. Tapi tahukah dirimu? Mereka menyembunyikan misteri yang paling luar biasa. Kalian akan merasakan ketegangan mereka menghadapi misteri itu satu per satu. Aku yang akan membimbing kalian, persiapkanlah dirimu, saudaraku.

Apa? Apakah baru saja kau bertanya apa kau bisa kembali atau tidak. Tidak, saudaraku, tidak. Tidak ada kata kembali bahkan walau kau baru masuk selangkah saja. Ini memang sebuah permainan, tapi kau tidak akan menemukan tombol reset, restart, undo apalagi quit. Tenanglah, tenanglah… kau masih bisa keluar dari permainan hidup dan mati ini, namun setelah kau berhasil memecahkan labirin magis ini, menguak misteri dan rahasia terdalam. Tidakkah kau tertarik? Apa rasa takut mulai menghantuimu? Peganglah tanganku, saudaraku. Selangkah lagi kau akan merasakan magis yang sebenarnya.

Ilmu hitam? Tongkat untuk mengeluarkan sihir? Apa yang baru saja ada dalam pikiran kalian sungguh konyol! Magis yang sebenarnya sama sekali tidak butuh ucapan-ucapan mantra, apalagi medium untuk mengeluarkannya! Oh, haruskah aku membuka rahasia itu sekarang? Baiklah. Kalian semua memiliki kekuatan magis ini. Tidak percaya? Terserah. Barangsiapa percaya, maka ia akan diterima dengan lapang dada bersama kami, mengembangkan kekuatan itu menjadi sesuatu yang tak terduga. Barangsiapa tak percaya, biarlah kekuatan itu hanya menjadi pajangan belaka. Tiada perlu penyesalan! Dengan kekuatan ini, kalian mampu melihat yang tak bisa dilihat, merasakan yang tak bisa dirasakan dan mendengar yang tak bisa didengar. Kiranya kalian akan mengetahui kehidupan dua dimensi. Nyata dan tidak nyata, kelihatan dan tidak kelihatan. Dua dimensi yang sebenarnya berada dalam satu dunia.

Jangan salah sangka! Aku memang membimbingmu, tapi aku tidak bisa menjamin keselamatanmu jika kau mulai terlibat dalam dua dimensi itu. Apa yang bisa kaulakukan hanyalah berusaha sekuat tenaga mengembangkan kekuatanmu yang akan menjadi sumber perlindunganmu sendiri. Kekuatan yang sekiranya akan mampu mengendalikan dua dimensi itu. Seolah kalian adalah penguasa.

Kekuatan murni yang suci ini hendaknya kalian jaga baik-baik. Jangan sampai kegelapan menyentuhnya barang setitik sekalipun. Tak mampu kalian berkutik bila itu terjadi, jadilah kalian kembali pada debu, pada tanah, hilang dari pikiran dan memori semua orang yang mengenalmu, yang melihatmu dan mendengar namamu. Terlupakan begitu saja eksistensimu, tidakkah itu hal yang sangat buruk? Kekuatan magis hitam adalah sebuah tantangan tersendiri bagi kita semua, mereka siap memangsa kita bilamana mereka telah mengetahui keberadaan kita.

Kekuatan magis kami adalah sebuah rahasia besar. Tak bisa digunakan begitu saja di tengah orang banyak. Tapi tahukah dirimu bahwa kami semua memiliki sebuah anugerah untuk menyembunyikan kekuatan ini agar kelak kami mampu berbaur dengan manusia-manusia pada umumnya? Ya, dewi fortuna beserta kita, sekarang dan selamanya.

Apakah kau sudah memutuskan akan ikut atau tidak? Kutegaskan, jika kalian tidak ingin ikut, maka berhentilah. Berbaliklah dan jangan menoleh ke belakang. Teruslah berjalan hingga kau benar-benar yakin kami sudah terlalu jauh. Jangan pernah mencari tahu, sedikit saja kau melakukannya, kau tidak akan tahu hingga kau sudah terlibat terlalu jauh dan terlambat untuk kembali ke permukaan, saudaraku.

Dan kutegaskan sekali lagi, ini bukanlah kutukan, saudaraku! Tidak, janganlah kau berpikir demikian. Jika kau memilikinya, maka terimalah dengan lapang dada. Biarkan kekuatan itu mengalir dalam darahmu. Menolaknya sama saja membuat dirimu menderita. Ini adalah talenta yang hanya didapatkan oleh orang-orang tertentu saja, tidakkah kau sadar?! Talenta ini ada untuk mengusir mereka yang jahat, menghancurkan mereka yang tak pantas ada di dunia ini, mengadili mereka, memurnikan mereka dan melindungi manusia dari genggaman mereka. Kau akan sangat bersyukur memilikinya.

Ayo, tunggu apa lagi? Kenapa dirimu masih saja berdiam diri di ambang pintu dan ragu untuk melangkah? Mengapa kau tak sambut saja tanganku dan kita akan berpetualang bersama-sama. Tujuan mulia ini sangat disayangkan untuk diabaikan begitu saja, bukan?

Pertanyaan terakhir, saudaraku, apakah kau mau bergabung dengan kami?


Puissance interieure

Resurrectione Sanctorum

Naruto © Masashi Kishimoto

Puissance Interieure © Apocxlypse

Genre/Rate :

Adventure – Fantasy – Friendship – Supernatural – Horror – Mystery

Rate M for Violence and Harsh Words, and Gore in the next chapters

Pairing :

Sasuke Uchiha & Sakura Haruno

Warning: Alternate Universe, maybe Out Of Character, but I'll try my best to not ruin their original personality


Chapter 1 - Sacris


Helaan nafas lolos dari mulutku begitu iris hijauku menoleh ke arah sebuah jam besar tua di sudut ruangan perpustakaan kuno yang ada di kota tempatku tinggal, Konoha. Ya, tidak biasanya aku menghabiskan waktu berhargaku duduk di perpustakaan, membaca lembar demi lembar tulisan yang membahas masa-masa sebelum abad dua puluh. Begitu jam besar itu berdentang cukup kencang, beberapa pengunjung lain, dan tak terkecuali diriku segera mengembalikan buku-buku ke raknya masing-masing. Perpustakaan akan tutup, terlebih ini sudah jam setengah enam sore. Aku harus pulang, mempersiapkan diri, pikiran dan mental untuk memulai sebuah kehidupan penuh kutukan bernama sekolah.

Sungguh, aku berdoa kepada para dewa agar sekolah baruku ini jauh berbeda dengan sekolahku yang sebelumnya. Aku benci, rasanya sampai ingin mati, begitu mataku melihat hal-hal aneh yang tak lazim. Aku tidak minta untuk ini, tak juga ada keinginan dalam hatiku. Apa salahku hingga para dewa mengutuk mataku hingga mampu melihat mereka, para hantu sialan itu?! Nah, terimakasih banyak para dewa, kalian semua berhasil membuatku dihina, dicemooh, bahkan dianggap orang gila oleh banyak orang, terutama teman-temanku di sekolah lama. Tidak ada yang percaya padaku, mereka menganggapku pasien rumah sakit jiwa yang kumat dan harus menjalani rehabilitasi intensif. Aku ini gadis menyedihkan yang lahir dengan kutukan, tidak ada orang yang memperlakukanku dengan baik kecuali Ibuku sendiri. Hanya dia malaikat di antara iblis di dunia ini.

Segera kulenyapkan segala pemikiran itu dalam benakku seiring langkah sepatuku menggema melewati jalan setapak di antara bangunan-bangunan. Dengan cepat kegelapan datang menggantikan surya, awan keperakan yang menghiasi kini hitam sempurna. Tapi bukan berarti bahwa kota ini akan segera tidur. Tidak sama sekali, kota ini masih akan terbangun hingga jam sebelas malam nanti. Aku tersenyum tipis saja, melihat kedai-kedai yang mulai bersiap, dan jendela-jendela bangunan yang bercahaya.

Tapi tatapanku langsung menajam begitu iris ini melihat mereka, para arwah yang keberadaannya mulai muncul. Transparan, tapi tidak benar-benar bening. Tembus pandang, namun aku merasa seolah aku mampu menyentuh mereka. Pernah diriku yang bodoh ini sengaja menabrakkan diri pada salah satu dari mereka yang berjalan di sebelahku dan aku berakhir di rumah sakit karena asma yang kambuh dan hampir mati.

Kupercepat langkahku agar diriku segera sampai di rumah kecil di sudut komplek perumahan. Segera gerbangnya kubuka dengan cukup kasar. Aku buru-buru melepas sepatuku dan menaruh asal di rak sepatu, tak peduli kalau Ibu pasti akan memarahiku karena ini. Rasanya aku ingin cepat-cepat masuk ke bak mandi yang telah diisi dengan air hangat, berendam sampai aku jatuh tertidur dan kemudian seperti biasa ibuku akan membangunkanku, bergegas dengan handuk dan baju yang baru saja disetrika di tangannya agar aku hangat. Ia akan mengeringkan rambut merah mudaku sambil berbicara mengenai harinya, pekerjaannya dan cerita-cerita masa mudanya, kemudian begitu aku sampai di kamar, ada segelas cokelat panas di meja samping tempat tidurku.

Benar saja terjadi.

"Sakura…" Suara lembut ibuku membangunkanku yang tengah berendam di kamar mandi. Bahkan airnya sudah mendingin. Aku menggigil begitu keluar dari kamar mandi dengan sehelai handuk menutupi tubuhku, "Ini bajumu, segeralah pakai sebelum kau masuk angin." ucap Ibuku seraya menyerahkan satu set baju padaku. Hangat sekali.

"Hari ini toko sangat sepi." Ibuku mulai bercerita, "Ibu sempat memutuskan untuk menutup toko dan pulang ke rumah lebih cepat, tapi apa kau tahu, Sakura? Ada seorang pengusaha besar yang membeli banyak kue hingga hampir tak bersisa, dan ia akan datang kembali, katanya." Kalimat itu berakhir dengan tawa. Tangannya membelai pelan rambut merah mudaku, dengan sebuah hair dryer di tangannya yang lain, mengeringkan rambutku.

"Besok kau sudah mulai sekolah, Ibu harap sekolah ini menyenangkan untukmu." Ibu selalu berkata begitu setiap kali aku pindah sekolah ( dan jujur saja sudah sering sekali hal ini terjadi ) "Semoga kau mendapatkan nilai yang baik dan peringkat yang bagus." Doa yang tak pernah dikabulkan oleh tuhan, menurutku. Nilai-nilaiku standar saja, tak pernah mampu membanggakan ibuku. Entah apa yang dipikirkan mendiang ayahku.

"Aku tidak tahu, Ibu. Semoga aku tidak membuat ulah disana."

Begitu rambutku sudah kering benar, Ibu menyuruhku lekas istirahat. Aku masuk ke kamarku, setiap sudutnya dipenuhi wangi cokelat panas yang ada di meja sebelah tempat tidurku. Ini selalu terjadi setiap aku pulang sore hari atau pulang terlambat. Cokelat panas itu segera kuminum–walaupun masih panas dan menyakitkan indera perasaku. Begitu rasa hangat menyelimutiku, aku memutuskan untuk segera tidur saja sebelum kehangatan dan kenyamanan ini lenyap.

Ibuku memang malaikatku. Aku tidak tahu bagaimana jadinya kalau aku sampai kehilangan dirinya. Tidak, aku tidak mau. Sudah cukup aku kehilangan ayahku karena kecelakaan di tempat kerjanya. Sampai saat ini aku sangat protektif terhadap ibuku. Ia tak kubiarkan pergi jauh sendiri, bahkan aku rela membolos ujian sekolah dulu begitu tahu ibuku hendak pergi ke luar kota.

Sekarang, biarkan aku tidur dan mulai berfantasi ria dalam mimpi indahku. Biarkan aku mengukir ceritaku sendiri dan bersenang-senang sebelum dunia yang kejam ini menarikku bangun dan menyelimutiku dengan penderitaan kekal. Selamat tidur.

.


.

Suara burung gereja di luar jendela kamar dan sinar surya yang berhasil masuk ke celah tirai berhasil membangunkanku lebih awal daripada jam wekerku. Aku segera bangun dari tempat tidur, sesaat mengusap kedua mataku dan mengumpulkan jiwa-jiwaku yang masih tersesat di alam mimpi. Tirai jendela kubuka lebar-lebar, kubiarkan mentari menyinari ruangan gelapku dan kemudian aku akan membuka jendela kamar, memberi makan burung-burung gereja itu sebagai tanda terimakasihku karena telah menjadi jam weker paling baik sedunia. Mentari memang bersinar terang, tapi awan keperakan senantiasa menemaninya. Pagi ini tidak bisa kukatakan cerah, mungkin cerah berawan.

Aku tidak suka cuaca seperti ini, kadang bisa merusak mood-ku di luar sana. Tapi aku harus, hari ini hari pertama sekolah dan aku tidak mau mengecewakan ibuku. Maka, tungkaiku langsung membawaku ke kamar mandi dan membersihkan tubuhku. Setelah itu mulai berseragam, menyambar tas yang tak kuisi apa-apa selain alat tulis, ponsel, dompet, buku gambar dan buku kosong, kemudian langsung menuruni tangga turun ke ruang makan. Rumah ini terlihat sepi, ruangan makan terasa hangat. Tudung saji di meja makan menarik perhatianku, dan aku sudah tahu apa yang terjadi. Ibuku pasti sudah pergi lebih dulu ke tempat kerjanya, seperti biasa.

Dan benar saja sesuai dugaanku, aku menemukan sebuah memo yang tertempel di pintu kulkas begitu aku hendak mengambil karton susu.

Dear Cherry, Ibu harus berangkat pagi-pagi sekali karena urusan yang penting, Maaf, ibu tak sempat membuatkanmu sarapan yang lebih baik dan lebih sehat dari sekedar roti isi. Belajar yang benar di hari pertama sekolahmu, ya. Langsung pulang ke rumah bila sudah tidak ada kegiatan di sekolah, dan jangan lupa kunci semua pintu. Ibu sangat menyayangimu, sayang.

Kira-kira begitulah isinya. Aku mencabutnya, langsung meremasnya dan membuangnya ke tempat sampah. Aku tidak marah, sungguh. Aku mengerti, dan hal ini sering terjadi.

Roti isi yang ada di tudung saji tentu saja langsung kuhabiskan–hanya ada tiga potong disana dan aku lapar setengah mati pagi ini. Karton susu yang berisi penuh setengah kuhabiskan pula hingga membuat perutku terasa mual. Kupastikan semua pintu dan jendela terkunci sebelum aku berlari kecil ke garasi dan mengambil sepedaku. Di keranjangnya kuletakkan tasku asal. Kutuntun sepedaku keluar dari gerbang, kemudian setelah mengunci gerbang, aku menaikinya dan mengayuh cepat menuju sekolahku. Bukan tanpa pikiran aku bersepeda ke sekolahku, masih saja mataku menangkap arwah-arwah itu, tapi kali ini mereka tidak begitu terlihat, kurasa karena siang hari. Sialan, kenapa mereka tidak mendekam saja ke neraka dan tidak datang lagi ke bumi. Ini bukan tempat untuk mereka. Oh, aku tidak bisa mengontrol pikiranku sendiri.

Sometimes, aku bisa masuk ke dunia mereka–mereka menyentuhku, kemudian aku melihat potongan-potongan film saat mereka hidup, detik-detik kematian mereka, dan sesekali aku tak mampu mengeluarkan diriku sendiri. Aku hampir mati karena itu–tumbang di tengah keramaian dan menjerit-jerit tak karuan. Tapi segera aku menggelengkan kepalaku untuk melupakan kejadian pahit itu, mengayuh sepeda lebih cepat. Sekolah dengan bagunan yang sudah hampir satu abad umurnya pasti memiliki banyak misteri untuk dijelajahi. Y-ya! Aku memang bilang aku tak suka dengan kemampuan terkutuk itu, tapi kadangkala kemampuan itu mampu menyembuhkan rasa ingin tahuku yang berlebihan.

Ketika aku sampai di sekolah, kulihat gerbangnya sudah terbuka sedikit. Belum banyak orang-orang, tapi sekilas tertangkap oleh irisku beberapa sepeda yang terparkir rapi. Ini bukan sekolah swasta, apalagi sekolah internasional. Bisa dipastikan siswa-siswinya lebih senang berjalan kaki atau naik sepeda untuk sampai di sekolah. Konoha bukan kota besar seperti Tokyo, kota ini seolah kehidupan kecil di atas puing-puing keputusasaan. Setelah memarkirkan sepeda, aku menyambar tasku dan mencari jalan ke ruang tata usaha.

Ugh, lagi-lagi arwah sialan itu. Mereka tidak hanya satu, tapi banyak sekali bahkan dalam koridor pendek sekalipun. Aku berpura-pura seolah aku tak melihat apapun, tapi banyak orang bilang arwah mampu membaca gerak tubuh dan hati kita sendiri. Aku sedikit khawatir soal yang satu ini. Lebih brengsek lagi, kekuatan mereka yang membuatku tertekan, sangat besar dan asing. Langkahku berat seolah gravitasi telah bertambah. Aku dengar bisikan samar mereka, aku merasakan kehadiran mereka, aku merasakan…

Kulit sedingin es baru saja menyentuh kulit pucatku.

Otomatis aku menghentikan langkahku, berharap itu hanya perasaanku namun pegangannya semakin kuat. Sesuatu di bawah sana mencengkeram kakiku seolah takkan melepaskannya lagi. Aku menahan bibirku untuk tidak berteriak atau aku akan menghancurkan kehidupan SMA-ku. Memberanikan diri aku menatap ke kakiku dan aku melihatnya!

Aku melihatnya dengan sangat jelas, ini yang terjelas! Sosok hitam kotor penuh lumpur dan tanah, rambut panjang kusutnya tergerai menutupi wajah, tapi tak menutupi sepasang mata di baliknya. Matanya melotot padaku seolah akan keluar dan menggelinding ke kakiku. Ia mengenakan seragam yang sama sepertiku. Darah keluar dari mana-mana, mata, hidung, telinga, sudut mulutnya. Kulitnya terkelupas-kelupas, banyak luka wajahnya. Beberapa paku menancap di tangan dan punggungnya, dan jalannya yang terseret-seret meninggalkan bekas darah. Aku baru sadar setelah itu, setan satu ini tidak memiliki kaki! Sakit sekali cengkeramannya, seolah arwah itu menancapkan kuku-kuku panjangnya ke dalam kulitku dan hendak merobek keluar daging kakiku.

Aku tidak tahan lagi! Ini sakit sekali!

Telingaku berdenging sebelum telingaku mampu menangkap suara rintihannya, "Jangan… t-tinggalkan… Kami… dingin… gelap sekali…"

"LEPASKAN AKU, BIARKAN AKU PERGI, BRENGSEK!" Tak mampu kutahan lagi umpatan-umpatan yang lolos dari mulutku seraya kakiku kuhentakkan sekuat tenaga. Percuma, arwah itu tak melepaskanku, Dan semakin keras usahaku, semakin banyak pula arwah lain yang berdatangan.

"K-kaki … aku… m-mau… kaki ini… b-berikan kakimu… B-BERIKAN! BERIKAN!" Kali ini arwah itu merayap naik, menarik seragamku dan bahkan mencapai rambutku. Ia memaksaku untuk menatap kedua matanya, dan tangan panjangnya menahan kepalaku. Sekali lagi telingaku berdenging.

Di saat seperti ini, aku akan menutup kedua mataku dan memenuhi hati serta pikiranku dengan kenangan-kenangan indah keluargaku, kenangan bersama ayahku terutama, dan masa kecilku yang terbilang cukup menyenangkan. Aku tidak membiarkan rasa takut menguasai diriku. Ketika kakiku mulai terasa ringan, aku segera berlari meninggalkan arwah itu. Namun ternyata arwah itu mengejarku, entah bagaimana ia bisa mengejarku secepat itu. Aku memaksa kakiku berlari semakin kencang sementara adrenalin mulai mengalir ke seluruh tubuhku. Lari, selamatkan diri!

Siapapun… siapapun! Selamatkan aku dan keluarkan aku dari tempat terkutuk ini!

Aku berlari tanpa melihat jalan, hingga aku terjatuh karena tersandung–tidak yakin apa yang membuatku terjatuh. Bukan itu yang kukhawatirkan! Tapi arwah itu dengan cepat mencapai kakiku, menarikku dengan kasar dan merayapi tubuhku.

Dan hanya sebuah lengkingan nyaring lolos dari mulutku. Selesai sudah.

.


.

Bangunlah, bangunlah anakku. Bukan saatnya kau berada disini. Kau memiliki masa depan, perjalananmu masih panjang. Jangan biarkan ketakutan mengalahkanmu. Bangunlah, anakku…

Aku membuka mataku–cepat. Menyadari bahwa air mata menuruni sudut mataku, langsung kuseka dengan selimut yang menutupi tubuhku. Hangat sekali baik tubuh maupun hatiku sekarang. Aku bertemu ayahku. Ya, aku bisa sadar karena panggilan ayahku. Aku merindukannya, sangat. Mungkin karena itulah aku memimpikannya selama aku tidak sadarkan diri. Aku belum sadar betul sampai irisku mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Tirai putih mengelilingiku. Aku tidak yakin ada dimana, rumah sakit lagikah? Kakiku terkilir, tapi syukurlah sudah dibebat perban dengan baik. Lututku pun telah ditutup plester. Aku ingat, aku terjatuh, arwah itu… Arwah itu mendapatkanku… lalu…

Sayup-sayup bisa kudengar percakapan dua orang pemuda di luar sana, jadi segera kusibak saja tirai putih itu dan benar kudapati dua orang pemuda berdiri memandangiku.

"Ah, syukurlah kalau kau sudah bangun. Bagaimana keadaanmu? Apa sudah lebih baik? Kau menabrak Teme kemudian menjerit-jerit tak karuan. Kami sangat mengkhawatirkan keadaanmu dan membawamu kesini." Salah seorang pemuda dengan rambut pirang berbicara, menjelaskan beberapa pertanyaan yang muncul dalam benakku seraya melangkah mendekat. Aku sempat ingin menyuruhnya berhenti, tapi kurasa ia sadar ia masih harus menjaga jarak. Wajahku sudah menunjukkan dengan baik bahwa aku tidak mudah percaya dengan orang lain.

"Sudah kukatakan padamu, dia melihat arwah itu, Dobe! Dan masih kuingat aku menyuruhmu membereskan yang satu itu dan kaubiarkan begitu saja hingga kekuatannya menjadi sebesar itu?!" Tampaknya pemuda yang satu lagi–pemuda dengan tatapan dingin, kulit seputih susu dan rambut hitam, serta mata sehitam obsidian itu sedikit kesal dengan pemuda berambut pirang tadi. Dan aku tidak bisa mendengar dengan jelas apa yang dikatakan pemuda berambut pirang itu, menaggapi kalimat sang pemuda berambut hitam.

"Kalian siapa?" Aku bertanya tanpa basa-basi. Alis sebelahku terangkat, dan benakku menduga-duga. "Siapa yang membawaku kesini?" Hendak aku bertanya apa yang sebenarnya terjadi karena aku tidak mempercayai memoriku sendiri, tapi kurasa itu akan menjadi pertanyaan paling konyol yang mengundang gelak tawa dua pemuda tinggi di sana.

Pria berambut pirang menunjuk temannya, "Dia yang membawamu kesini, kau menabraknya cukup keras hingga ia sendiri kesakitan." Sempat pemuda itu tertawa sejenak sebelum melanjutkan kalimatnya, "Maklumi saja, arwah disini banyak. Beberapa diantara mereka mengambil kekuatan arwah lain dan menjadi sekuat itu. Mereka terperangkap begitu lama dan menginginkan kebebasan. Oh, namaku Naruto Uzumaki!" Ia menunjuk dirinya dengan ibu jarinya, "Sedangkan dia adalah Sasuke Uchiha." Kali ini ia menunjuk temannya.

"Arwah… kalian bisa melihat mereka?!" Mataku membulat sempurna. Mereka berbicara seolah hal itu hal biasa disini. Apa-apaan mereka? Aku tidak yakin mereka hanya murid biasa disini.

Naruto mengangguk mantap, "Tentu saja. Kami melihat mereka setiap hari, setiap saat, setiap detik dan menitnya. Mereka selalu ada di sekitar kami. Kami benar-benar terkejut melihat gadis sepertimu bisa melihat hal itu dan bahkan merasakannya dengan sangat baik. Siapa namamu, gadis?"

Alih-alih menjawab pertanyaannya, aku malah balik bertanya, "Apa maksudmu?"

Naruto mengangkat bahunya, "Biasanya wanita tidak terlalu peka dengan hal mistis dan kekuatan di sekitarnya."

Ya, aku memang berbeda. Bukan wanita feminim yang cantik dan pintar. Hanya orang gila yang kebetulan tidak mendekam di rumah sakit jiwa. "Namaku Sakura Haruno. Dari distrik 6. Mulai hari ini aku bersekolah disini."

"Astaga, ternyata murid baru! Salam kenal, Sakura-chan!" Tanpa seizinku ia memanggilku dengan imbuhan –chan yang menurutku menjijikkan itu. Baiklah, terserah padanya.

"Bagaimana bisa kalian melihat mereka?" Pertanyaan idiot keluar begitu saja dari mulutku. Mungkin mereka akan menertawakanku. Tapi ternyata tidak, Naruto–selalu pemuda itu, menjawab dengan santai.

"Itu bakat, Sakura-chan!" Naruto tersenyum, memamerkan deretan gigi putihnya kepadaku. Ia seperti tanpa beban, aku sangat iri dengan pemuda yang satu itu, "Oi, Teme! Katakan sesuatu!" Naruto menyenggol tangan Sasuke dengan sikutnya.

Sasuke menghela nafas, kutebak, pemuda itu tidak banyak bicara. Percakapan ini memang tidak penting, aku tidak bertanya-tanya kenapa dia malas terlibat. Ah, aku merasa sedikit bersalah karena menabraknya, tapi tidak ada niatan untuk minta maaf setelah dia berkata, "Kau bisa melihat sendiri sekolah ini memang sekolah bangunan tua, mistis. Gadis penakut sepertimu takkan mampu bertahan seminggu di sekolah ini. Keluarlah sebelum kau semakin menyusahkan kami berdua."

Dasar sialan, siapa kau hingga berani emnyruhku keluar dan bahkan memanggilku gadis penakut. Pria sialan. Tidak perlu kutanggapi pria itu, aku hanya ingin bertanya pada Naruto saja. "Hanya kalian di sekolah ini yang mampu melihat mereka?"

"Tidak juga, ada beberapa teman-teman kami yang bisa melihat mereka. Oleh karena itu, aku dan Teme membuat sebuah organisasi. Oh, itu sebuah klub yang sudah disetujui oleh kepala sekolah. Anggota klub itu adalah mereka yang mampu melihat, merasakan, dan berkomunikasi dengan arwah. Juga orang-orang yang mempunyai kekuatan khusus lainnya, seperti mengendalikan elemen atau hal magis lain."

Apa ia pikir aku akan percaya semudah itu? Kekuatan magis? Apa pemuda ini sedang berkhayal?! Baiklah, pura-pura percaya saja. "Kekuatan magis? Kau membuatku berpikir bahwa kalian adalah penyihir, sungguh."

Naruto tertawa saja mendengar pernyataanku, kemudian menjelaskan lagi padaku dengan sabar, "Tidak, Sakura-chan. Kekuatan magis ini sering disebut orang dengan tenaga dalam. Kau pernah mendengar anak indigo? Mereka yang mempunyai kemampuan khusus? Nah, itulah kami!" Nampaknya Naruto sadar bahwa aku tidak percaya sama sekali. Semuanya terdengar seperti omong kosong untuk menakut-nakuti anak kecil di telingaku, "Aku tahu ini tidak bisa dipercaya dengan mudah, kaupun pasti menganggap kami gila atau kami berimajinasi terlalu tinggi. Tapi kuharap kau percaya." Ia berdeham, "Aku dan Sasuke menggunakan kekuatan ini dan mengembangkannya, sehingga kami bisa mengaplikasikannya terhadap banyak hal. Misalnya, Sasuke tadi menyelamatkanmu dengan memurnikah arwah tadi sebelum arwah itu merasuki tubuhmu, dan aku membuatkanmu sebuah kekai –untuk sekedar proteksi dari arwah-arwah di sekitarmu. Inilah hasil dari pengembangan bakat itu!"

Sekarang Naruto terdengar seperti salesman yang berusaha meyakinkan pembeli untuk membeli produknya, bedanya, Naruto meyakinkanku untuk mengembangkan 'bakat' yang kumiliki ini. Diberi emas satu ton pun aku tidak sudi. "Perlu kuberitahu bahwa berkali-kali aku ada di ambang hidup dan mati karena kekuatan brengsek ini. Dan kalian dengan santai dan secara tersirat menyuruhku mengembangkan kemampuan ini. Yang benar saja! Mereka gila semua.

Naruto nampaknya tak punya sisa kalimat persuasi lagi dalam benaknya, dan kali ini Sasuke yang angkat bicara. "Kau tahu, kau idiot sekali, Nona. Kau tidak bisa mengendalikannya, makanya nyawamu hampir terenggut karena itu."

"Teme! Jangan sekasar itu, kau tahu orang-orang seperti ini sangatlah jarang kita temukan!" Naruto berbicara setengah berbisik, tapi aku masih bisa mendengar apa yang Naruto ucapkan pada pria sialan itu. "Sakura-chan. Walaupun itu kejadian yang pahit, namun aku bisa melihat bahwa kau memiliki kekuatan yang luar biasa, tak mampu dideskripsikan oleh kata-kata." Naruto tersenyum lagi, "Sasuke benar, mungkin karena kau tidak bisa mengendalikannya, makanya berdampak negatif padamu. Aku dan Teme bisa mengajarkanmu cara mengendalikannya! Teman-teman yang lain, aku sangat yakin, mereka tak keberatan."

Aku terdiam, sungguh sialan kata-kata Naruto. Manis sekali bagai kapas gula-gula, tapi sayangnya aku tidak terpancing dengan hal itu. Aku tidak menanggapi soal itu, dan menanyakan hal lain, "Apa tujuan klub itu?"

"Kami meneliti arwah, memurnikannya, Bisa dikatakan mengadili dan memusnahkan mereka. Karena kau tahu, beberapa arwah terperangkap karena ia sudah diisi oleh hal-hal negatif dan sudah berubah menjadi setan. Kamilah yang akan menghabisi mereka dan memusnahkan eksistensi mereka yang tak ada habisnya. " Dan seolah ia sudah tahu apa pertanyaanku selanjutnya, ia langsung berkata lagi, "Nama klub kami adalah klub penelitian arwah, tapi sesungguhnya kami memiliki nama lain. Uchi no Denryoku! Tapi Teme lebih sering menyebut kelompok ini Puissance Interieure. Kami menyebut diri kami, bukan dengan sebutan indigo yang sudah sering kita dengar, tapi Sacris."

"Dobe sangat ingin kau bergabung, nampaknya. Bagaimana, gadis bodoh? Apa kau masih belum bisa mengambil keputusan?" Suara bariton Sasuke menyadarkanku akan lamunanku. Aku terdiam setelah mendengar penjelasan Naruto. Semuanya konyol, tak masuk akal. Sacris, dan apapun itu. Indigo, tenaga dalam, kekuatan murni.

"Tentu saja sebagai gantinya, kami menawarkan perlindungan sehingga kau takkan lagi diserang oleh arwah seperti tadi…" Naruto lagi-lagi mengeluarkan senyumnya, membuka kedua telapak tangannya seolah hendak menyambutku, seolah aku akan menyambut tangannya dan berterima kasih dalam pelukannya. Yuck.

Aku tidak mampu mengambil keputusan.

Tapi kembali aku mengingatkan diriku sendiri. Dengan mereka aku pasti terlindungi, ini demi keamananku selama bersekolah disini. Tak mungkin aku pindah sekolah lagi. Aku skakmat tanpa mereka. Buru-buru aku menggeleng, sejak kapan aku membutuhkan bantuan orang lain untuk masalah yang satu ini. Tidak. Aku tidak selemah itu, sialan.

"A-apa-apaan sih." aku tertawa, dipaksakan tentu saja, "Sayang sekali, aku tidak mau terlibat lebih jauh soal yang satu ini." Aku mengangkat kedua tanganku dengan telapak terbuka di depan dada, "Aku menolak, Uzumaki-san, Uchiha-san. Aku pasti hanyalah menjadi hambatan dalam klub yang kaubangga-banggakan itu." Aku yakin sekali kalimatku ini akan membuatnya diam, aku yakin ia bukan tipe orang yang suka memaksa. Ia mungkin percaya kalimat persuasinya mampu mempengaruhiku. Tapi sayangnya, tidak sama sekali.

Aku mengambil tasku yang ada di nakas , kemudian bergegas keluar dengan langkah yang sedikit terpincang. Hanya terkilir karena jatuh, nanti juga sembuh. Aku berpikir demikian. Aku tidak peduli apa yang dipikirkan Naruto dan Sasuke saat itu, aku hanya mau segera pulang dan tidur saja. Mood-ku hancur total karena kejadian brengsek itu.

Di lain sisi, Naruto menoleh pada Sasuke. "Well, tampaknya kali ini kita gagal merekrut anggota baru, Teme." ucap Naruto, penuh dengan kekecewaan kalimatnya. Usahanya gagal total, mungkin itu yang pertama kali baginya. "Aku tidak bisa memaksanya, aku tidak suka memaksa."

"…." Sasuke tidak berkata apa-apa, namun segera keluar dari ruang kesehatan itu, meninggalkan temannya.

Sedang tenang-tenangnya aku berjalan di koridor sepi, derap langkah berat membuatku waspada. Kupikir itu arwah lagi, namun aku salah begitu sebuah tangan mencengkeram erat pergelanganku dan menyudutkanku.

"A-apa-apaan sih?!" Aku berusaha memberontak, tapi percuma saja. Kekuatanku tak ada apa-apanya. "Sasuke!" Pertama kalinya aku tidak memanggil orang yang baru saja kukenal dengan nama keluarganya, bahkan melupakan imbuhan –san itu. Sasuke mencengkeram kedua tanganku. Kedua matanya menatapku dalam-dalam, dingin sekali. "Kau tidak berkata apa-apa dan seolah kau tidak ingin aku masuk ke dalam klub itu, dan aku memang tidak tertarik untuk masuk. Kenapa sekarang kau yang datang mengejarku dan memaksaku begini?!"

"Apa kau tidak sadar akan posisimu, idiot?!" Ia masih menjaga ketenangan dalam suaranya, tapi aku cukup yakin saat itu ia sedikit merasa kesal dengan tingkahku yang menolak penawaran dari Naruto. "Apa kau mau arwah-arwah menyerangmu lagi? Kau pikir kau bisa bertahan berapa lama di sekolah ini tapi perlindungan kami? Pikirkan baik-baik, apa kau mau mati konyol oleh arwah?"

"Aku bisa mengatasi hal itu sendiri! Aku bukan orang lemah yang harus bergantung pada orang lain untuk melindungi diri! Kenapa kau meremehkanku?!" Dan kutinggikan suaraku, tak peduli jika ia akan membalas membentakku.

"Mengatasi? Bukankah tadi pagi kau baru saja menjerit-jerit tak karuan, dengan mata berkaca-kaca meminta pertolongan?! Kutanyakan sekali lagi, kau bisa mengatasi ini?!" Ia menekan bahuku hingga kakiku goyah, dan aku terjatuh–tangannya masih memegangiku sehingga aku tidak menghantam lantai terlalu keras. Ia dengan kasar melepas sepatu yang kukenakan, membuka kaus kakiku dan tampaknya ia ingin menunjukkan kakiku yang terkilir.

"Aku terkejut pagi tadi! Dan soal kakiku, kenapa harus kau khawatirkan sampai sedemikian rupa?! Itu hanya terkilir karena jatuh! Aku bisa mengatasi hal itu!"

"Jadi kau pikir perban ini untuk kaki terkilirmu?" Ia pemuda yang kuat, aku bisa merasakannya. Ia membawa atmosfir yang tidak terlalu menyenangkan, aku merasa tertekan setiap berada di dekatnya. Tatapan matanya tak menunjukkan kelemahan sedikitpun. Sasuke merobek perban di kakiku seolah ia merobek kertas paling tipis, membukanya kasar hingga aku meringis. "Ini, kau bilang hanya terkilir?"

Oh tidak…

Mataku membulat sempurna. Kakiku memang terkilir, tapi bukan itu yang menjadi fokus kedua lensa mataku. Tapi luka, lima luka di pergelangan kakiku, dengan warna biru keunguan di sekitarnya. Ada bercak-bercak darah yang mengering, dan warna cokelat obat yang kurasa diberikan oleh guru di ruang kesehatan sebelumnya. Impuls syarafku memberitahuku, bahwa luka itu cukup dalam, seolah baru saja tertancap sesuatu disana.

Dan aku teringat, arwah itu… yang mengejarku tadi pagi, menancapkan kuku-kukunya masuk ke dalam dagingku. Lukanya nyata, walaupun arwah itu tidak bisa dilihat oleh semua orang. Ini membuatku semakin sulit membuat keputusan. Sialan! Baru hari pertama sekolah dan sudah seperti ini keadaannya! Aku tidak bisa membayangkan jika setiap hari hal ini terjadi, aku bisa tinggal nama kelas tiga SMA nanti.

"Setidaknya lihatlah dulu." Sasuke merendahkan suaranya, tangannya memakaikan kembali perban itu–hanya sekedar mengikatnya, memakaikan kaus kaki dan sepatuku kembali sementara aku tidak berkomentar sepatah katapun, "Lihatlah dulu kegiatan klub itu, percayalah sedikit kepada Naruto. Tidak perlu kau tanggung sendiri beban ini seolah kau tidak punya siapapun di dunia ini. Tidak perlu jadi sok kuat, munafik."

Aku masih saja terdiam, tak mampu berkutik sampai Sasuke membantuku berdiri lagi. Tapi aku pun tak memberikan jawaban pasti padanya. Begitu aku berdiri, ia langsung meninggalkanku sendirian setelah berbicara beberapa kalimat. Mataku pun tak lepas dari pergelangan kakiku. Begitu mengetahuinya, rasanya nyeri sekali, seperti ingin lepas. Aku memang mendengar apa yang dikatakannya, tapi masih memikirkan apa aku harus? Apa itu penting bagiku? Apakah keselamatanku hanya ada di tangan mereka saja?


To Be Continued


Writer's Note :

** Please Kindly Read This Note. It's Important!**

Konnichiwa, Minna-sama!

Author, yang dulu menggunakan pen-name Yatogami Tohka, sekarang pindah ke akun ini dan merubah pen-name Author menjadi Apocxlypse

Akun Yatogami Tohka tidak bisa dibuka entah mengapa (?). Author sangat amat teramat minta maaf bagi para pembaca yang menunggu update-nya Uchi No Denryoku. Setelah hiatus setahun lebih (?) Author akan meneruskan cerita ini, namun karena perbedaan gaya bahasa dan jalan cerita, maka Author memutuskan untuk merekonstruksi cerita Uchi no Denryoku, dan merubah judulnya juga menjadi Puissance Interieure.

Author akan mengubah diksi dan gaya bahasa Author menjadi lebih literate lagi ( atas saran dari guru bahasa Author juga, karena kemungkinan cerita ini akan dicoba untuk dijadikan novel, walau entah apa ada penerbit yang mau menerbitkan cerita nan penuh imajinasi ini, hahaha. ) Juga mencoba untuk menjaga konsistensi sudut pandang atau point of view serba tahu dan tentu saja sudut pandangnya dari Sakura. Tapi tetap dimungkinkan terjadinya perubahan point of view di tengah cerita mengingat Uchi No Denryoku memiliki cukup banyak karakter dan jalan ceritanya yang acap kali mengalami perubahan sudut pandang agar feel-nya bisa tersampaikan sempurna kepada para pembaca.

Beberapa scene yang ada di Uchi No Denryoku yang lama akan dirombak. Kasus-kasusnya pun mungkin ada yang berubah, seperti contohnya Chapter Summer Time yang mungkin akan dihilangkan atau diganti, atau Leadership Training Camp yang akan dirubah latar tempatnya. Ada yang dihilangkan, pula ada yang ditambahkan. Gore di case pertama nanti pun akan lebih parah jika dibandingkan dengan Uchi no Denryoku yang lama. Author akan mengambil sedikit referensi dari beberapa thriller movie dan horror thriller games. Semoga yang kali ini gore nya lebih sampai pada para pembaca.

Dan masih seperti cerita lama, kemungkinan besar Author juga akan memasukkan unsure-unsur Eragon ( Novel Fantasi karangan Christopher Paolini ) ke dalam cerita, baik dalam penggunaan bahasa elf/bahasa kunonya ataupun meminjam nama. Oh ya, juga perubahan Rate. Karena cerita ini mengandung kata-kata kasar ( walau menurut Author masih dalam batas normal ) dan juga mengandung unsur Gore maka Author mengubah Rate-nya dari T ke M. Tapi tenang saja, tidak ada scene delapan belas plus disini.

Pairing di fanfic ini Sasuke dan Sakura, tentu saja, itu couple kesayangan Author (?), namun unsur romance akan jarang ditunjukkan. Beberapa review berkata Sasuke terlalu cepat "nembak" Sakura di Uchi no Denryoku sebelum ini, maka Author akan membuatnya lebih lama disini. Dan Sakura, ya, dari chapter ini saja sudah sangat terlihat betapa OOC-nya dia. Entah bagaimana Author mengubah karakternya yang ceria dan banyak omong menjadi sosok yang seperti ini. SEBISA mungkin author akan mempertahankan personality dasar karakter aslinya.

Dan Author sangat berharap tindakan yang sangat berani dan nekad ini (?) Tidak mengubah penilaian kalian terhadap jalan cerita ini. *Kembali membaca-baca review Uchi no Denryoku di akun lama* *terharu* *merasa bersalah karena tidak segera update* *salahkan sekolah dan writerblock*

Yosh! Selamat membaca dan jangan lupa review, saudara-saudaraku…

Tanyakan apa saja, Author menerima saran dan kritik yang membangun. Maaf bila ada typo!

Bagi yang sudah membaca Uchi no Denryoku sebelumnya, tidak ada salahnya membaca ulang… *wink wonk*