Di taman pinggir kota ada seorang pemuda pengamen biola.

Aku selalu melewatinya ketika pulang kuliah atau kursus piano. Selalu. Dan dia juga selalu ada disitu. Di sudut yang sama.

Lagu yang dimainkannya beragam, terkadang sendu, ceria, hingga menyayat hati. Mulai dari Chopin, Basch, rohani, Bond, hingga lagu teratas chart di TV.

Dan, lagu kesukaanku. Ingatannya akan not hebat sekali dia itu.


.

.

Another

'…karena Tuhan menciptakan cinta disetiap anak manusia. Dan aku, masih manusia sepertimu.'

Peringatan: Representatif didalam cerita ini TIDAK ada sangkut pautnya dengan negara asli. Baik segi ekonomi, geografi, sosial budaya dan sebagainya. Kisah ini FIKSI semata, jika ada kesamaan nama, tempat, kejadian, organisasi, itu merupakan ketidaksengajaan atau demi jalan cerita. Sakurazaka Ohime sama sekali tidak mengambil keuntungan apapun dalam segi materiil pada penggunaan karakter 'Hetalia' dan judul-judul lagu yang tertulis didalam cerita.

Warning: AU, multi pairing dengan pairing utama South ItalyXMonaco, Twin US (Amerikanya kembar cewek-cowok :yaomingface: ), penggunaan nama manusia, kemungkinan OoC, bahasa tidak baku dan kasar, sinetron, dan ada Francis Bonnefoy.

1st Note: Benda ini tadinya saya perkirakan ga lebih dari 5k, tapi apa daya, salahkan masakan Iggy sampe bisa 10k lebih. Makanya bakal saya potong-potong jadi beberapa chapter yang saya publish dalam 1 atau 2 hari (no, ga multichapter, saya masih trauma). You've been warned, yang tidak berkenan dipersilahkan untuk close tab atau tekan tombol back, untuk yang berkenan, please enjoy the rest and review will be wonderfull! :)

.

.


Waktu itu musim gugur satu tahun yang lalu. Kursus pianoku selesai lebih awal dan kupikir crepes cokelat cukup mendiamkan perutku yang protes kelaparan. Tak ingin menghabiskannya dijalan, duduklah aku di bangku taman. Tepat didepan pengamen itu. Memperhatikannya yang hanyut akan permainannya sendiri.

Tiba-tiba, terdengar 'Ave Maria' darinya. Membawa ingatanku ke masa lalu.

Dulu, kakakku pernah bilang Tuhan mempermainkannya saat kekasihnya meninggal. Kupikir itu kutukan untuknya, dan tak akan menghampiriku.

Aku berdiri menghampiri tempat sampah, membuang bungkus crepesku, dan angin berhembus. Cukup kencang untuk bisa menerbangkan kertas-kertas not yang kuhimpit diketiak. Kertas-kertas itu berhamburan dari map sesuka hati angin membawanya. Hanya beberapa yang sempat tertangkap. Aku sedang mempersiapkan penampilanku di resital, jadi puluhan kertas not itu wajar. Dan, sekarang mereka berhamburan dimana-mana. Sebal, kupunguti satu per satu kertas itu. Kenapa aku juga harus kena kutukan itu sih?

Tapi kita tak akan pernah mengerti rencana Tuhan bukan?

Aku sedang berjongkok mengambil kertas bertuliskan not 'Palchebel: Canon' ketika ada tangan menjulur padaku. Menawarkan bantuan untuk berdiri. Aku mendongak dan mendapati si pengamen itu. Tersenyum. Aku menggapainya dan berdiri. Dia memberikan beberapa lembar kertas padaku.

"Terimakasih." ucapku refleks saja.

Dia hanya mengganguk sebelum berkata, "Duduk saja disitu. Sayang kalau nona cantik harus merunduk-runduk dan roknya kotor. Biar aku yang ambilkan, tinggal sedikit kok." dan ia berbalik, mulai memunguti kertas-kertas notku.

Gombalannya bagus, sayang tak akan mempan padaku yang nyaris tiap hari digombali kakak sendiri.

Dan, aku tak terbiasa dilayani, jujur saja. Tapi aku tak ingin membuatnya tak enak hati karena menolak bantuannya, jadi terduduklah aku dikursi awalku. Sekarang memperhatikannya yang berjongkok-jongkok atau terkadang berlari karena kertas itu kembali terbawa angin. Aku tersenyum saja melihatnya.

Kupikir apa yang dilakukannya cukup melelahkan, dan dia pasti butuh sesuatu untuk mengaliri kerongkongannya. Tanpa pemuda itu sadari aku berdiri dan kembali menghampiri kedai tempat aku membeli crepes tadi. Sebentar dan aku sudah duduk kembali dengan sebotol minuman penambah ion dan kopi kalengan di tanganku. Hanya beberapa menit kemudian, pemuda itu menghampiriku. Menyerahkan tumpukan kertas not yang kubalas dengan memberikannya saputangan sambil berkata, "Terimakasih. Ini, lap keringatmu."

"Thanks." Balasnya pendek sambil berbalik, berjalan menuju tempatnya semula. Dari kejauhan kulihat disimpannya saputanganku di saku jeansnya dan dia membereskan biolanya.

Dia menghampiriku, menaruh kotak biolanya di kaki kursi dan melempar diri duduk di sebelahku. Langsung saja kuberikan minuman bagiannya. Dia mengambilnya tanpa ragu. Saat dia membuka penutupnya, dia berkata, "Besok kau ambil saputanganmu ya."

"Padahal kau kembalikan sekarang juga tak apa."

"Mana tega kuberikan saputangan penuh keringat begitu." Dan dia meneguk minuman itu hingga habis.

Kujulurkan tanganku saat botol itu kosong, menawarkan bantuan untuk membuangnya. Dia mengerenyit saat melihat kopi kalenganku yang kosong.

"Kau beli kopi kalengan dan aku minuman penambah ion?"

Aku mengangkat alis sebelum menjawab, "Berikan apa yang tubuhmu butuhkan, bukan inginkan. Itu kata ibuku." Dan aku beranjak menuju tempat sampah yang sama saat membuang bungkus crepes tadi.

Aku baru kembali duduk saat dia bertanya, "Kau mau menggelar resital ya?"

"Darimana kau tahu?"

"Jarang orang membawa kertas not sebanyak itu. Lagipula kulihat ada beberapa lagu yang kau tandai. Kau masih menyusun lagunya?"

"Ya. Masih ada beberapa lagu yang aku ragu." Aku berhenti sejenak dan mengulurkan tangan didepannya, "Emily Grimaldi Bonnefoy."

Dia diam sebelum tersenyum simpul menjabat tanganku, "Lovino Vargas."

Setelah diam sesaat, dia memulai kembali pembicaraannya, "Pilihan lagumu menarik walau agak random. Klasik, Depapepe, Maroon 5, sampai One Direction." Ujarnya sambil sedikit tertawa.

Ku abaikan saja tawanya itu dan kujelaskan, "'Payphone' itu permintaan temanku Alfred, aku kalah main poker dan malas mentraktirnya selusin burger, jadi kuturuti saja. 'Little Things' itu permintaan ayahku, karena resitalnya tepat di ulang tahun pernikahannya dengan ibu. Entah apa yang dia akan lakukan di kursi penonton saat kumainkan lagu itu." Aku tertawa kecil membayangkan, "Klasik untuk penilaian guru-guruku dan kalau Depapepe sih pilihanku pribadi." Lanjutku panjang lebar.

"Hmm.." Dia menjawab pendek sambil memejamkan matanya. Tangannya terbuka melebar di sandaran kursi, sedikit menyentuh pundakku. "Keberatan tidak kalau kuberi saran?" Tanyanya tiba-tiba.

"Tidak?" Aku agak ragu, memang sih ada beberapa lagu yang aku masih belum yakin. Tapi, bagaimana kalau masukannya malah membuatku tambah bingung? Dan, ini piano bukan biola.

"Bagus. Sebentar, kutunjukkan." Dia bangkit dan mengeluarkan biolanya. Selama ini aku memperhatikannya dari jauh, tak kusadari betapa terawatnya biola itu.

"Biolamu bagus." Ucapku tanpa sadar.

"Hm? Biasa saja." Jawabnya pendek dan berdiri mengambil posisi, "Aku punya saran untuk 'Snow Dance' mu. Daripada sulit kujelaskan, kutunjukkan saja ya. Oh, tangkap nadanya ya, ini biola bukan piano." Jelasnya dengan tawa kecil diakhir kalimatnya.

Aku memutar mataku dan mengangguk. Menunggu permainannya tanpa perasaan apa-apa. Aku sudah beberapa kali mendengar permainannya. Bagus dan sempurna, itu saja yang kutangkap dan kutahu darinya.

Tapi, aku tak pernah tahu, kalau tepat disaat dia mulai menggesekkan instrumen itu, semua bisa terhenti. Tak ada gemerisik pohon, tak ada kicau burung, hanya ada suara biolanya. Jelas, murni, bersih, melantunkan irama cepat 'Snow Dance'. Jujur saja, aku sempat tak menangkap nada awalnya karena terpaku. Tapi begitu sadar kembali, aku kembali terkejut. Selain nada yang ia perbaiki, semuanya persis dengan not yang akan kumainkan.

"Bagaimana?"

Ucapannya sukses sepenuhnya menyadarkanku.

"Kau, pernah memainkannya sebelumnya?" Kujawab pertanyaannya dengan pertanyaan yang mengusik benakku.

"Belum, aku baru lihat dari kertasmu tadi." Jawabnya datar.

"Kau bisa main piano? Atau instrumen lain?"

"Sedikit, sama saja seperti biola. Lalu sedikit gitar, drum dan saxophone." Dia menjawab agak kesal, "Hei jangan jawab pertanyaanku dengan pertanyaan!"

"Ah, maaf. Memang apa yang kau mainkan dengan caramu adalah bagian yang aku masih ragu. Sebentar, biar kucatat dulu." Agak salah tingkah, aku mengeluarkan pulpen dari tas dan menarik lembaran not 'Snow Dance'.

Aku baru akan mencoret not di kertas itu saat dia menghentikanku, "Catat di baliknya saja. Kau belum mendengarnya di piano. Nanti kau kecewa kalau tak sesuai harapanmu."

Benar juga. Aku membalik kertas itu dan mencatatnya.

"Hmm.. Berikutnya mungkin untuk 'Payphone'…" Gumamnya sambil memegang dagunya dengan tangan yang mengenggam busur.

"Kau tahu lagu itu?" Tanyaku sambil tetap mencatat.

"Adikku kadang memainkannya di piano." Jawabnya datar.

"Adikmu bermusik juga?" Tanyaku sambil memasukan lembaran not kedalam map.

"Iseng saja. Dia lebih memilih menuangkan perasaannya di kanvas daripada di piano. Biola ini pun diberikannya padaku padahal hadiah ulang tahunnya dari kakek."

"Yah… Tiap orang punya cara sendiri-sendiri untuk mengungkapkan perasaannya."

Dia menyeringai sedikit sebelum berkata, "Tentu." dan mengangkat biolanya.

Aku sudah siap kali ini. Tapi, kali ini aku jadi mengetahui ada perbedaan skala antara aku dan dia. 'Sedikit' yang tadi dia katakan jelas tidak sedikit buatku. 'Sedikit' baginya adalah mampu menghanyutkan orang yang sudah siap untuk tidak terhanyut, dengan permainannya.

Lagi-lagi kata, "Bagaimana?" Darinya yang berhasil membawa kesadaranku.

Beruntung aku masih menangkap permainannya.

"Ada sedikit perbedaan di bagian rap." Jawabku mengerenyit sembari terpejam, mencoba mengingat nada yang tadi terlalu menghentak.

"Aku mencoba memainkannya sesuai permainan adikku. Karena menurutku lebih pas."

"Hmmh. Biar kucoba nanti." Balasku sambil mencatat lagi.

Kali ini keheningan datang. Merasa tak enak, aku memecahkannya.

"Hei."

"Hm?"

"Kau membaca semua not yang tadi kau pungut?"

"Tidak. Cuma yang ada tandanya saja."

Tanpa sadar aku mempererat genggaman pulpen ditanganku. Hebat. Dia hanya punya waktu beberapa menit membaca not-not itu. Tapi sudah bisa memainkannya dengan sempurna. Tamparan keras untukku, jujur saja.

"Aku penasaran saja. Kertas bertanda pertama yang kupungut itu 'Gymnopedie No. 1' lalu kertas bertanda berikutnya 'Payphone'. Random sekali menurutku." Lanjutnya setengah tertawa. Aku diam saja.

"Tapi dari penasaran itu aku jadi tahu lagu mana yang kira-kira paling kau suka." Lanjutnya lagi dengan nada setengah menantang.

"Oh ya?" Tanyaku memancing, sambil membereskan lagi kertas-kertas not itu.

"Mau coba?" Seringai melebar di bibirnya.

"Besok kau dapat minuman gratis kalau benar." Ujarku dengan senyum menantang.

"Tepati itu." Ucapnya pendek sebelum ada seringai di bibirnya. Aku mengangguk, dia mengangkat kembali biolanya.

Satu menit belum terlewati, mataku sudah membulat tak percaya, kekalahanku sudah pasti. 'Pavane for the dead princess' mengalun sempurna.

Namun, kali ini berbeda, suara biolanya menyayat. Membuat pikiranku kosong, dadaku sesak, dan seluruh inderaku terpaku. Melodi darinya membawaku keluar dari situ. Hanyut entah kemana, terbawa alunannya yang terlalu menusuk. Memerintahkan adrenalin meremangkan bulu roma dan menggetarkan pundakku. Semua terjadi cepat. Melodi sepanjang lima menit terasa kurang buatku saat itu. Hatiku meminta lebih dari itu, berharap waktu berhenti dan lagu darinya terus berlanjut. Jangan berhenti.

"Bagaimana? Aku lebih suka memainkannya di piano sih. Toh, Ravel menulisnya untuk pi— Hei, kau baik-baik saja?"

Tekanan di kalimat akhir darinya menarikku kembali walau belum sepenuhnya.

"Apa? Aku.. Eh? Kenapa aku.." Dengan kembalinya kesadaranku, akhirnya kusadari aliran air mata dipipiku.

"Kenapa..? Aku.. Ma, maaf.. Iya, itu lagu kesukaanku.. Uh.. Kenapa sih aku ini..?" Aku sudah tak mengerti lagi apa yang kuucapkan. Salah tingkah dan hilang kendali adalah yang kulakukan saat itu. Air mataku terus bergulir di pipi seperti apapun aku menghapusnya. Aku tak mengerti, perasaan seperti ini baru pertama kali menghampiri.

Tanpa kusadari dia mendekat, dan menepuk lembut pundakku.

"Sudah sore, ayo kuantar pulang." Ujarnya lirih. Tanpa daya, aku mengangguk saja.


Aku bukan seseorang yang mudah bicara atau bergaul dengan orang lain. Apalagi lawan jenis. Di keluargaku, hanya aku yang begini. Butuh waktu beberapa bulan untukku bicara akrab dengan teman satu kelompokku, Alfred. Dan beberapa bulan tambahan untukku berteman dengan temannya, Kiku. Sekarang aku tak mengerti, aku bisa bicara panjang lebar dengan pengamen yang semusim sebelumnya hanya kulewati tanpa perhatian apa-apa.

Yang beberapa menit sebelumnya membuatku menangis karena permainan biolanya.

Namun, sesaat setelahnya berhasil membuatku tersenyum dengan cerita-cerita mafianya.

Yang barusan saja mengucapkan kalimat kasar khas Italia pada kakakku yang nyaris menciumnya.

Namun, mengucapkan sampai jumpa dengan senyum terpulas diwajah setelah melihatku kembali tertawa.

Yang ketika punggungnya sudah tak terlihat membuat kakakku bertanya,

"Emily, kau jatuh cinta padanya, ya?"

Mudah sekali untukku menyanggah. Tapi percuma, kakakku terlalu ahli soal cinta.

"Dia membuatku menangis dengan biolanya. Apakah itu artinya, iya?"

Ah, kak, senyumanmu itu cukup jadi pertanda.


Kakakku bilang, perasaanku lah yang membuatku bisa bicara dengannya. Tapi aku sendiri tak tahu dan tak mengerti. Aku hanya senang menjahilinya dengan menaruh minuman penambah ion diantara receh dalam kotak biolanya, lalu duduk di bangku tepat didepan tempatnya mengamen. Mengklaim sepihak status penggemar nomor satunya. Menikmati tawa kecil di bibirku saat melihatnya mengerenyit menatap botol minuman dariku. Merasakan tawaku berubah menjadi cengiran saat ia tetap meminumnya walau menggerutu.

Apakah semua itu cinta? Aku tak tahu. Yang kutahu hanya, aku menikmati kebersamaanku dengannya.

Ya, pertemananku yang lancar saja. Seperti pertemanan biasanya, makan siang bersama—kalau aku sempat, mengobrol panjang lebar—setelah dia selesai mengamen, bertukar nomor ponsel, itu saja.

Sama seperti saat itu.

Saat itu siang hari dibulan ketiga aku berteman dengannya. Kami duduk dikursi yang sama seperti tiga bulan kebelakang. Setelah menghabiskan minuman masing-masing—yang akhirnya ia terbiasa dengan penambah ion, kami berdua terdiam. Entah, perasaanku berkata kalau hari ini akan terjadi hal yang memancing masalah kedepannya. Tapi kucoba tepiskan itu.

"Hei, bagaimana resitalmu?" Tanyanya tiba-tiba, memecahkan keheningan.

"Berjalan lancar kok. Besok gladi bersih terakhir."

"Hmm.. Baguslah."

"Hm mh. Oh!" Pembicaraannya berhasil mengingatkanku pada satu niat yang nyaris terlupakan.

"Ini untukmu," Lanjutku sambil menyodorkan dua buah amplop putih bermotif sulur dan pita keemasan, "Undangan resitalku. Memang tidak berbayar, tapi karena itu untuk penilaian, hanya orang yang punya undangan yang bisa masuk." Jelasku setelah melihat tautan di alisnya.

"Yang satu untuk Feliciano." Tambahku saat dia tetap tak bergeming.

"Dia di Italia Emily."

"Oh, oke. Tapi kau disini, kan?"

"Iya, iya, cewek tukang paksa." Ujarnya sambil mengambil satu amplop.

"Terimakasihnya mana cowok tukang gerundel?" Balasku sambil memasukkan amplop Feliciano ke tas.

"Terimakasih ya, kacamata."

"Sama-sama, rambut mencuat."

"Kepang desa."

"Suspender kuno."

"Cewek kopi."

"Cowok tomat."

"Poker."

"Mafia."

"Cewek tidak mau kalah."

"Cowok tsundere."

"Ha?"

"Hehehe.. Kalah kau! Traktir aku es krim!" Ucapku senang sambil tetap terkekeh.

"Apa apaan? !"

"Sudahlah, ayo berdiri." Seruku sambil menarik tangannya.

"Eh, oi! Apa sih? Lagipula apa itu tsundere?" Tanyanya setengah berteriak sambil terseret olehku.

"Nanti kalau kau bertemu Kiku, tanya dia saja apa artinya!" Jawabku setengah berlari.

"Siapa lagi si Kiku itu— Hei, jangan lari!"

"Yang sampai duluan dapat triple scoop!"

"Oi! Kau ini umur berapa sih? Emily!"

Dan dia mengejarku dengan cepat—coret, sangat cepat. Tak mau kalah, aku mempercepat lariku. Kami sampai di kedai es krim dengan nafas terengah-engah. Aku tertawa melihatnya mengomel dan mengumpat—walaupun akhirnya dia ikut terkekeh juga. "Sudah lama tidak lari-lari." Katanya.

Saat itu, rasa cemas di hatiku terlupakan sama sekali. Aku terlena dengan tawa yang berderai diantara aku dan dia.

.

.