Aruji-sama bilang, dia berasal dari dunia di balik rerimbunan pohon sakura, jauh dari sini.

"Ah, Sayo-kun, selamat pagi!" ah, Aruji-sama menyapaku. Dia tersenyum. Aku harus membalasnya dengan tersenyum juga, 'kan?

Tapi, aku tidak tahu bagaimana cara tersenyum.

"Selamat pagi," akhirnya hanya itu yang kukatakan. Tidak dengan senyum, tidak dengan apapun.

Aruji-sama tidak mengatakan apa-apa lagi. Senyumannya berubah aneh, lalu ia pergi menyapa yang lainnya.

Aruji-sama tersenyum, tapi dia tidak terlihat senang.

Apa Aruji-sama memang tidak senang?

Tapi karena apa?

Ah, mungkin sebaiknya aku mulai tersenyum sekarang.

Aruji-sama bilang, aku tidak perlu khawatir akan apapun lagi.

"Kau tidak perlu membalas dendam lagi..." katanya dengan nada lembut. Tangannya sibuk mengupas jeruk.

"...tidak perlu khawatir aku akan menjualmu..." katanya lagi, kali ini membenahi helaian rambutnya yang diterbangkan angin, mengganggu pandangannya.

"...katakan saja padaku kalau kau butuh sesuatu..." Aruji-sama mengambil jeruk lain dan mengupasnya.

"...aku tidak akan menggunakanmu untuk membalas dendam, jadi..." Aruji-sama menatapku, dengan senyuman.

Ya, senyum yang aneh itu.

Senyum yang tidak tampak senang.

"...yang sering kau katakan itu, 'Apakah kau ingin aku membalaskan dendammu pada seseorang'..."

Aruji-sama berhenti sejenak. Menatap mataku, ia berkata dengan nada yang aneh.

"...tolong jangan katakan itu lagi," katanya.

Aruji-sama bilang, dia tidak akan bahagia hanya karena dendamnya terbalaskan.

"Ah, kau lihat di sana itu, Sayo-kun?" Aruji-sama suatu hari menunjuk ke arah pohon-pohon sakura. Karena saat itu musim semi, jadi rerimbunan itu masih dipenuhi bunga sakura merah muda.

"Lihat, dari sana lah aku datang," katanya. Aku mengangguk mengerti.

"Aku tidak tahu kapan ini semua akan selesai, tapi..." suara Aruji-sama melemah. Saat aku mendongak, wajah Aruji-sama menjadi aneh. Dia memejamkan matanya, dan dia terlihat sangat sedih.

"...aku...tidak ingin kembali."

Angin yang berhembus membawa beberapa kelopak sakura yang berguguran. Harusnya itu indah. Kousetsu selalu menyukai bunga-bunga sakura yang berguguran. Terlihat damai, katanya, jadi harusnya ini pemandangan bagus, bukan?

Lalu kenapa Aruji-sama sedih?

"Apa... karena orang itu?" tanyaku.

Ah, apa yang kukatakan.

Aruji-sama sudah bilang agar aku tidak menanyakannya lagi...

Aruji-sama memandangku dengan terkejut. Yah, aku tahu. Maaf, maafkan aku...

"Apa... apa Aruji-sama ingin aku..."

"Tidak perlu, Sayo-kun," potong Aruji-sama. Ah, sekarang dia sudah tersenyum.

Senyum yang sedih itu lagi.

Kenapa?

"Terima kasih karena sudah memikirkanku, Sayo-kun," katanya, lalu berbalik menuju citadel, "tapi kupikir, balas dendam tidak akan membuatku bahagia."

Lalu kenapa?

"Sudahlah, kita kembali saja."

Kenapa Aruji-sama terus sedih seperti ini?

Suatu hari, Aruji-sama pulang dengan wajah aneh.

Hari itu musim dingin. Salju turun dengan derasnya. Kemungkinan besar, badai bisa saja datang. Syukurlah, Aruji-sama bisa pulang sebelum badai terjadi.

Ada yang aneh dengan Aruji-sama. Sejak pulang dari pandai besi, dia tidak menyapa orang lain. Hachisuka yang datang bersamanya juga tidak berkata apa-apa. Mereka berdua diam, tidak seperti biasanya. Aruji-sama langsung masuk ke kamarnya, tidak berkata apa-apa pada siapapun. Padahal Aruji-sama biasanya ramah.

Sudah kuduga.

Aruji-sama masih memikirkan orang itu.

Aruji-sama masih memikirkan dendamnya.

"Hachisuka," setelah Hachisuka merespon, aku segera menanyainya, "apa ada yang terjadi dengan Aruji-sama?"

Hachisuka diam saja. Ekspresinya tidak berubah, dia hanya kembali menyesap tehnya seperti tidak terjadi apa-apa.

Dan memang itulah yang kemudian ia katakan.

"Tidak ada apa-apa, kau tidak usah khawatir."

Ya, Hachisuka.

Memangnya aku akan percaya?

Maka dari itu, aku pun mengunjungi Aruji-sama.

"Aruji-sama?" panggilku.

"Ah, Sayo-kun," Aruji-sama masih menjawab. Syukurlah.

("...tolong jangan katakan itu lagi.")

Aku ingat Aruji-sama pernah mengatakan hal itu. Gawat. Kalau begitu...

...apa yang sebaiknya aku katakan?

"Sayo-kun," katanya tiba-tiba. Aku hanya bisa menjawab pelan.

"...maafkan aku," suara Aruji-sama... kenapa terdengar lemah sekali?

Setelah itu, Aruji-sama tidak mengatakan apa-apa lagi. Tidak peduli seperti apapun aku bertanya, Aruji-sama tidak mengatakan apa-apa lagi.

'Maafkan aku'...

...itu apa artinya?

Seseorang itu adalah seseorang dari dunia Aruji-sama, begitulah.

Aruji-sama tidak ingin kembali ke dunianya. Seseorang itu pastilah sangat jahat. Aruji-sama pastilah menaruh dendam yang sangat besar pada orang itu.

Meskipun tersenyum, Aruji-sama tidak senang.

Semuanya pasti karena orang itu.

'Maafkan aku' yang dikatakan oleh Aruji-sama...

...juga pasti karena orang itu.

Aruji-sama sedang bersedih.

Pasti karena orang itu.

Aku harus membuat Aruji-sama senang.

Kalau begitu, hanya ada satu hal yang bisa aku lakukan.

Ya, 'kan?

000

Aruji-sama sudah lebih tenang sekarang. Entah karena percakapan apa, Aruji-sama tiba-tiba menjadi sangat marah. Dia bahkan meninggalkan pedang yang baru saja selesai di tempat pandai besi.

"Jangan katakan apapun pada Sayo."

Pesan Aruji-sama sebelum kami sampai di citadel itu, tentu saja itu perkara mudah. Aku mungkin hanya pedang, tapi aku tahu apa yang terjadi. Aku tahu seperti apa kisah Sayo. Jika Aruji-sama sampai tidak ingin Sayo mengetahuinya, kejadiannya pasti tidak jauh-jauh dari dendam.

Ya, mungkin aku hanya sebilah pedang yang mendapat wujud manusia untuk sementara, tapi aku tetap bisa berpikir.

Jangan samakan aku dengan pedang palsu di luar sana, ya!

"Saljunya semakin deras," aku membuka pembicaraan. Aruji-sama mengangguk sambil menyesap tehnya.

"Anginnya juga semakin kencang. Untung kita sampai tepat waktu," katanya.

"Dengan cuaca seperti ini, musuh pun pasti tidak akan bisa bergerak." Aruji-sama menghela napas.

"Semoga saja mereka berpikir demikian, ya..." memandang keluar jendela, Aruji-sama bergumam pelan. Sayang sekali, aku tidak tahu apa yang ia gumamkan.

Yah, sudahlah. Kalau Aruji-sama ingin aku mendengarnya, dia pasti akan mengatakannya lebih keras.

Tiba-tiba, Aruji-sama bangkit berdiri.

"Ada apa?" Aruji-sama tidak menjawabku. Dia bergegas berlari keluar.

"Aruji-sama! Apa yang anda lakukan?! Sebentar lagi akan ada badai!" segera setelah aku menyusul Aruji-sama, aku melihatnya.

Kousetsu menunggangi kuda dengan kencang, menembus derasnya salju dan angin. Kecepatan itu... pasti ada sesuatu yang terjadi.

"KOUSETSU!" jerit Aruji-sama, berusaha memanggil Kousetsu. Percuma saja. Dengan kecepatan itu dan angin sekencang ini, Kousetsu pasti tidak akan mendengarnya.

Sesaat kemudian, Souza datang menghampiri kami. Berita yang Souza sampaikan membuat Aruji-sama membeku.

"Sayo menghilang."

000

Aruji-sama tidak mengganti pakaiannya. Tangan dan bibirnya membiru. Ya, ini pasti dingin sekali, tapi Aruji-sama tidak mengganti pakaiannya ke pakaian yang lebih hangat.

Begitu mendengar berita menghilangnya Sayo, Aruji-sama segera berlari. Bahkan tidak mengenakan alas kaki (aku yang harus membawa dan mengingatkannya, kau tahu), Aruji-sama berjalan tak tentu arah mencari Sayo.

"Apa tidak ada tempat yang terlintas di pikiran anda?" tanyaku, berusaha menggali ingatan Aruji-sama. Aruji-sama menghentikan langkahnya. Setelah mengambil napas dan sedikit menenangkan dirinya, dia mulai mengingat-ingat.

"Aruji-sama pasti tahu kenapa Sayo menghilang, bukan?" pancingku, sambil berjalan pelan-pelan menembus salju.

"Apa tidak ada tempat yang terpikirkan? Sama sekali?" Setelah pertanyaanku itu, langkah Aruji-sama perlahan melambat.

"...sakura..." gumamnya—tidak, kali ini aku bisa mendengarnya.

"Barisan pohon sakura di dekat danau!" seru Aruji-sama. Aku mengangguk, lalu segera membawa Aruji-sama ke tempat itu. Wah, tubuh Aruji-sama benar-benar dingin. Tangan dan kakinya pasti sudah mati rasa dari tadi. Dalam keadaan normal, Aruji-sama pasti sudah pingsan.

Tapi tidak.

Wah wah...

...Aruji-sama pasti sangat memikirkan Sayo.

000

Aku sudah berada di barisan pohon sakura.

Tempat ini, tempat di mana Aruji-sama berasal. Kalau aku bisa membalaskan dendam Aruji-sama, kalau aku bisa membunuh orang itu untuk Aruji-sama...

...Aruji-sama tidak akan sedih lagi.

Ya, aku harus melakukannya.

Pertama-tama, aku harus pergi ke dunia Aruji-sama dulu.

"—YO!"

Ah, dasar bodoh.

"—YO!"

Aku... tidak tahu caranya...

"SAYO!"

Dingin...

Semuanya... gelap—

"SAYOOOOO!"

Saat aku bangun, Aruji-sama ada di sana.

Aku tidak berada di danau, aku tidak berada di barisan bunga sakura.

Ah, aku sudah kembali ke citadel.

Ah, Aruji-sama menangis?

Ah, Kousetsu, Souza, Hachisuka, mereka ada di sini...

"...kenapa..." kata Aruji-sama di sela isakannya, "aku sudah bilang, jangan memikirkannya lagi..."

Ah...

"AKU SUDAH BILANG, 'KAN!"

Aruji-sama berteriak... dengan keras.

Dia menangis...

Dia... memelukku.

"Tubuh Aruji-sama... dingin..."

"Aku sudah bilang... jangan katakan apapun tentang dendam lagi."

Ya, Aruji-sama...

...kau memang sudah mengatakannya.

"Tapi, Aruji-sama jadi sedih karena hal itu..."

Aruji-sama menyeka air matanya. Ia menatapku dalam-dalam, lalu memelukku lagi. Satu kata ia gumamkan berkali-kali.

"Maaf... maafkan aku..."

"Kenapa... Aruji-sama minta maaf?"

"Karena sudah membuatku cemas, Sayo-kun. Maaf karena sudah membuatmu memikirkanku sampai seperti ini," jelas Aruji-sama.

"Tidak apa-apa," kataku, "aku hanya ingin Aruji-sama... tidak bersedih."

Aruji-sama tertawa kecil. Ya, Aruji-sama tertawa.

"Kalau begitu, tolong lakukan dua hal untukku."

"Apa itu?"

"Pertama, kau harus tersenyum, oke?"

"...'oke'?" Apa itu 'oke'?

"Ahahahaha... itu hanya ungkapan, kira-kira artinya sama dengan 'setuju'," lagi, Aruji-sama tersenyum.

Ya, masih senyum sedih yang biasanya, tapi yang kali ini rasanya...

...lebih hangat.

Aku mengangguk.

"Nah, kalau begitu, yang kedua," lanjut Aruji-sama, "tolong lupakan semua tentang dendamku... dan orang itu."

Hal itu membuatku terkejut. Ah, bukan. Bukan permintaan Aruji-sama yang membuatku kaget. Yang mengagetkanku adalah wajah Aruji-sama. Dia tersenyum, tapi...

...kali ini, bukan senyum sedih lagi.

"Tapi, kenapa?"

"Akan kuceritakan alasannya suatu hari. Pokoknya, saat ini, lupakan saja dulu, oke?" Yah, tidak masalah. Aruji-sama tersenyum. Tersenyum senang. Saat ini, itu saja sudah cukup.

Lagi, aku mengangguk.

Kemudian aku mencoba tersenyum.

"Oke," kataku.

Entah kenapa, mata Aruji-sama terbelalak.

"Wah, senyuman Sayo-kun ternyata manis juga!"

Aruji-sama bilang, aku sudah tidak perlu khawatir.

Akhirnya, Aruji-sama menceritakan semuanya. Malam itu, suatu malam musim panas. Kami bermain dengan kembang api sementara Aruji-sama mulai bercerita. Tentang apa yang terjadi, bagaimana ia sampai menyimpan dendam begitu lamanya, dan apa yang terjadi pada orang itu sekarang, tentang semuanya.

"Orang itu... sebenarnya sudah lama aku tidak bertemu dengannya."

Aku mendengarkan cerita Aruji-sama dengan tenang, mataku terpaku pada kembang api kecil di tanganku.

"Saat ini, entah dia masih hidup atau sudah mati, aku sudah tidak tahu lagi. Ya, harusnya aku sudah tidak mengingat-ingatnya lagi, tapi aku tidak bisa."

Aruji-sama mulai menggerak-gerakkan kembang apinya.

"Aku ini memalukan, dendam pada orang yang bahkan sudah tidak kuketahui nasibnya. Dendam karena masalah yang sudah selesai lama sekali. Yang payah... sebenarnya aku."

"Ah, Aruji-sama, habis..."

"Oh, benarkah? Sini, biar kunyalakan satu lagi," Aruji-sama mengambil sebatang lagi kembang api dan menyalakannya.

"Jadi, kau tidak usah khawatir lagi, Sayo-kun," Aruji-sama menggerak-gerakkan lagi kembang apinya, seperti menggambar sesuatu.

"Aku tidak akan memikirkannya lagi, jadi kau juga jangan, ya?"

Aku mengangguk.

"Yang terpenting sekarang, kita lakukan yang terbaik di sini, melawan musuh yang datang dan menyelesaikan masalah yang ada di sini."

Aku mengangguk lagi.

"Itu gambar apa?" tanyaku akhirnya, menanyakan apa yang Aruji-sama gambar dengan kembang apinya.

"Oh, ini? Ini bintang," kata Aruji-sama sambil menggerakkan kembang apinya membentuk lima garis.

"Bintang?"

Aruji-sama mengangguk.

"Memangnya bintang bentuknya seperti itu?" Aruji-sama tertawa.

"Tentu saja, Sayo-kun, bintang bentuknya seperti ini," katanya.

"Be-benarkah?" aku jadi ikut tertarik menggambar bintang.

Ternyata...

...menyenangkan.

Aruji-sama bilang dia tidak akan bersedih lagi.

"Wah, wah, Sayo-kun tersenyum lagi! Manisnya!"

"Ma-manis?"

Aruji-sama tersenyum lebar, lalu mengacak-acak rambutku.

Jadi, aku pun tersenyum lagi.

"Aaaahhh! Sudah cukup Sayo-kun! Kamu terlalu manis!"

Jadi, aku akan percaya.

Aruji-sama Said...

By

chounojou

disclaimer

DMM and Nitroplus

.

.

END