The Painting Memories
Disclaimer : Hetalia punya Hidekaz Himaruya
Pairing : Italy x Fem!Italy, slight Romano x Fem!Romano
Rated : K dan T
Genre : Romance and Friendship
Warning : human name used, AU, OOC (mungkin), typo, dll
Fic ini untuk Mitsuru Kaoki (dan untuk semua yang suka pairing Heta/Nyota hehehe), semoga kamu suka ficnya~~~ Q_Q
FYI :
Italy dan Romano = Feliciano dan Lovino Vargas
Nyo!Italy = Alice (jangan disalahkirakan sama Nyo!England ya)
Nyo!Romano = Chiara (saya bikin disini Chiara mempunyai sikap yang lebih well-mannered daripada Lovino, tapi tetep tsundere)
"Hei, kau tidak apa-apa?" seorang anak dengan rambut yang dicepol asal-asalan bertanya pada anak lain di hadapannya.
"I-Iya..." yang ditanya pun hanya berusaha menghentikan tangisnya, tangannya yang kecil mengibas-ngibas baju putihnya yang kotor.
"Syukurlah. Ngomong-ngomong, kau orang baru disini ya? Aku baru pertama kali melihatmu, kasihan sekali kau baru datang ke daerah ini tapi sudah diganggu sama anak-anak itu," si anak bercepol memasang tampang kesal mengingat tingkah laku anak-anak usil itu.
"Tidak apa-apa... aku sudah terbiasa dibuli... *hik*," kata anak berjubah putih dengan pelan sambil menundukkan kepalanya, ia kembali sesenggukan dan matanya mulai berair lagi.
"H-Hei jangan nangis! Tidak apa-apa, selama ada aku disini anak-anak itu tidak akan berani mengganggumu!"
"T-Terima *hik* kasih... veee... *hik*~~"
Anak bercepol itu tersenyum melihat si anak berjubah putih mulai menghentikan tangisnya. "Kita berteman yuk! Kau bisa memanggilku 'Al'!" lanjutnya bangga.
"Al..." si anak berjubah putih menggumamkan namanya. Dengan masih sesenggukan, ia mulai menyebut namanya sendiri, "Namaku... Fel-Feli.. *hik* Felici.."
"Hmmm? Namamu siapa?" Al mendekatkan wajahnya ke arah anak berjubah putih demi memperjelas pendengarannya. Sedangkan si anak berjubah putih sedikit kesusahan untuk berbicara karena masih sesenggukan.
"Feli-Felicia... *hik* ... Felicia... n-"
"Ooooh jadi namamu Felicia ya? Senang berkenalan denganmu!" Al langsung mengerti apa yang 'Felicia' katakan, ia langsung mengulurkan tangannya sebagai tanda perkenalan. Sedangkan anak bernama Felicia itu hanya menatapnya gugup dan akhirnya menerima uluran tangan Al.
.
.
"Aliiiiiiiiiceeeeee, cepat banguun! Kau pikir ini sudah jam berapa?"
"Hmmm?" seorang gadis bernama Alice membuka matanya dengan malas, ia menatap seorang gadis lain yang membangunkannya barusan. Gadis yang membangunkannya itu sudah memasang tampang bete dan berkacak pinggang.
"Apa sih, Chiara? Biarkan aku tidur lima menit lagi..." katanya sambil menyelimuti dirinya kembali dengan selimut corak pizza.
Gadis berambut gelombang gelap bernama Chiara itu langsung membuka selimut Alice dan otomatis langsung memperlihatkan tubuh Alice yang tengah terbaring nyaman di tempat tidur. "Daritadi kau bilang lima menit terus! Mentang-mentang ini hari Sabtu, bukan berarti kau bisa bermalas-malasan sepanjang hari, Alice sayang," ucap Chiara kesal.
"Hah? Ini hari Sabtu ya?" Alice malah bertanya.
"Iya, memangnya kenapa? Jangan jawab kalau kau mau tidur lagi."
"Jam berapa? Jam?" Alice bertanya lagi, kalau Chiara membangunkannya jam 7 pagi, Alice bisa menjawab kalau ia memang mau tidur lagi.
"Jam 10 kurang 20 menit," jawab Chiara, mulai bingung dengan pertanyaan Alice.
Saat itu juga, Alice langsung mengangkat kepalanya, matanya langsung terbuka lebar, dan rambutnya tampak amburadul. "APA?! SUDAH JAM 10 kurang 20 MENIT?!"
Chiara hanya terkejut mendengar teriakan dadakan Alice, gadis itu melongo melihat Alice yang segera bangkit dari tempat tidurnya dan bergegas ke kamar mandi dengan panik. "H-Hei Alice, kenapa tiba-tiba kau terburu-buru begitu?"
"Aku harus cepat siap-siap, kalau tidak aku bisa terlambat kerja!" seru Alice cepat dan langsung menutup pintu kamar mandi. Tak lama, Chiara mendengar suara cebar-cebur dari dalam.
"Bahkan hari Sabtu begini ia masih bekerja, anak itu benar-benar memaksakan diri deh," gumam Chiara menghela napas. Alice dan Chiara sudah berteman lama, dan Chiara sudah menganggap Alice sebagai adiknya sendiri. Mereka berdua pergi ke kota besar di Italia untuk bekerja dan tinggal di apartemen bersama-sama. Selama ini Chiara lah yang selalu mengurus Alice yang tomboy dan slebor itu, walau sifat Chiara lumayan keras dan rada tsundere terhadapnya, tapi ia memang sangat peduli dengan Alice.
Chiara merapikan tempat tidur Alice dan menyusun barang-barangnya yang berceceran, bahkan ia menemukan kotak pizza yang sudah kosong di lantai. Chiara jadi pusing memikirkan kenapa 'adik'nya itu malas sekali merapikan kamarnya. Sifat Alice yang begitu selalu mengingatkannya akan Lovino, pacarnya. Kalau tidak salah Chiara pernah mendengar kalau Lovino punya adik, dan adiknya itu sangat rajin kalau dibandingkan dengan Lovino. Mendadak Chiara kasihan dengan adik Lovino, pasti dialah yang selalu mengurus Lovino seperti halnya ia mengurus Alice.
Ketika menyusun barang Alice, Chiara memperhatikan sebuah lukisan yang diletakkan di samping tempat tidur Alice. Lukisan itu memperlihatkan potret seorang anak laki-laki bercepol... err sebenarnya bukan anak laki-laki, tapi anak perempuan bercepol, soalnya Chiara tahu kalau model dari lukisan itu adalah Alice saat masih kecil. Gayanya yang tomboy dan liar itu membuat orang-orang mengira dia adalah anak laki-laki.
Chiara tidak tahu siapa yang melukis dan menjadikan Alice yang aneh itu sebagai model, tapi ia mengakui kalau lukisan ini sangat bagus, warnanya terlihat lembut dan berkesan hangat. Sang pelukis pasti sudah pro dalam hal ini. Selain itu, ia juga memperhatikan ada sebuah tulisan dibalik kanvas, tulisannya terlihat berantakan dan berkesan 'anak-anak', tapi ia masih bisa membacanya dengan jelas.
"From Feli to Al"
"Dari Feli untuk Al..?" gumam Chiara bingung, ia tidak mengenal satupun nama yang tertulis dari kanvas itu, tapi ia bisa menduga kalau si 'Al' ini adalah Alice, berdasarkan dari singkatan namanya. Lagipula model lukisan ini kan Alice, jadi ia asumsikan kalau 'Feli' ini adalah pelukisnya dan ia memberikan hasil lukisannya pada Alice.
Chiara memutuskan untuk tidak memikirkan masa lalu Alice terlalu jauh, ia meletakkan kembali kanvas itu ke tempat asalnya dan pergi dari sana.
.
Alice kini sudah berpakaian rapi, rambut gelombangnya diikat dengan gaya ekor kuda, tak lupa ia memoleskan sedikit bedak di wajahnya. Setelah itu, ia mengambil tasnya dan keluar dari kamar. Di ruang tengah, ia melihat Chiara duduk di meja makan sambil menonton TV, dan di meja makan itu sudah terletak sepiring roti dengan selai dan jus jeruk. Ya, sarapan itu untuk Alice saja, kalau Chiara sih sudah sarapan dari tadi pagi.
"Pagi, Chiara!" seru Alice tersenyum lebar.
"Tepatnya, pagi menjelang siang," balas Chiara. Alice hanya tertawa dan ia langsung duduk di meja makan, tangannya langsung menyambar roti selai itu dan memakannya.
Chiara memperhatikan cara makan Alice yang sedikit terburu-buru, "Pelan-pelan makannya, nanti kau tersedak."
"Habigh akhu sudah telagh, jadi harush cepagh-cepagh," kata Alice dengan mulut yang masih penuh, membuat Chiara sedikit ngeri melihatnya. Setelah menelan roti itu sepenuhnya, Alice meminum jus jeruknya dengan gaya orang minum bir.
Chiara lalu berdiri dan mengambil kunci mobil, "sudah siap? Biar kuantarkan."
"Benarkah~~?" Mata Alice berbinar, ia lalu memeluk Chiara, "terima kasih, Chiara! Kau memang baik sekali!"
"H-HEI! Lepaskan aku!" Chiara kesusahan melepaskan pelukan Alice.
Alice lalu melepaskan pelukannya dan tersenyum cerah, "habisnya kau tidak pernah mengantarku sih, jadi aku senang ketika kau menawarkanku!"
"B-bukan berarti aku bersedia mengantarmu tahu, tapi ini karena aku juga mau pergi, jadi sekalian saja kita sama-sama!" kata Chiara. Alice melihat Chiara yang sudah berpakaian rapi dan dandanannya terlihat lebih cantik daripada biasanya, penampilannya itu tampak tidak seperti orang yang mau pergi bekerja.
"Loh, bukankah kau libur kerja hari ini?"
"Siapa bilang aku mau kerja, aku ada janji..." jawab Chiara, wajahnya sedikit memerah.
"Janji? Waaaah dengan 'dia' ya~~~?" Alice bertanya dengan nada menggoda. Chiara tidak heran kalau Alice tahu, tapi tetap saja wajahnya masih memerah kalau Alice mulai menggodanya tentang si 'dia'.
"Uuuh... kapan sih kau mau mengajak si Lavina itu kesini, kan aku juga mau kenalan. Aku ingin tahu seganteng apa dia," kata Alice manyun.
"Namanya Lovino," Chiara meralat Alice. "Lagipula kalau aku mengundangnya, nanti dia bakal digoda oleh 'seseorang' di rumah ini," kata Chiara sambil melirik ke arah Alice.
"Idiiih, Chiara jahat deh mencurigaiku begitu~," protes Alice, sedangkan Chiara hanya tersenyum.
"Daripada kau sibuk bekerja setiap hari, lebih baik kau dandan sedikit, terus cari pacar. Selama ini kau kerjanya hanya melirik-lirik pemuda tampan saja, tapi tidak ada satupun yang kau pacari. Siapa tahu dengan punya pacar, tingkah lakumu yang seperti laki-laki itu sedikit berubah. Aku bilang begini bukan karena aku khawatir, tapi kau terlihat menyedihkan kalau seperti ini terus," kata Chiara memulai khotbahnya.
"Iya iyaa, aku sudah dengar, Bu Chiaraaa..." kata Alice, ia mendorong-dorong Chiara menuju mobil demi menghentikan nasihat Chiara kepadanya.
.
Di perjalanan, Alice menunjukkan jalan tempat ia bekerja pada Chiara. Ternyata tempat Alice bekerja cukup jauh, dan shiftnya mulai pada jam 10, pantas saja Alice begitu terburu-buru. Chiara heran, pekerjaan apalagi kali ini yang diambil Alice, semangat kerja Alice kadang-kadang membuatnya tercengang juga.
Suasana di mobil cukup hening, hanya ada suara mesin mobil yang berjalan, musik khas Italia dari radio, dan juga suara Alice bersenandung kecil mengikuti lagu itu. Tiba-tiba Chiara teringat akan lukisan Alice kecil yang dia lihat di kamarnya, mendorong Chiara untuk bertanya. Bukan, bukan berarti ia ingin ikut campur tentang masa kecil Alice, ia cuma penasaran saja...
"Hei Alice."
"Hmm?"
"Feli itu siapa?" tanya Chiara tanpa basa-basi.
Alice mendadak terdiam dan sedikit terkejut ketika mendengar nama itu meluncur dari mulut Chiara. Gadis itu lalu melihat ke arah temannya, "Darimana kau bisa..."
"Tahu? Aku melihat sebuah kanvas di kamarmu dan ada tulisan dibaliknya, disana tertulis nama 'Feli'. Kuperhatikan sepertinya kau sangat merawat lukisan itu dari dulu, aku merasa aneh saja mengingat kau selalu ceroboh kalau menjaga barang-barangmu," jelasnya sambil fokus memandang ke arah jalanan.
Alice terdiam sejenak, pikirannya melayang kepada sosok anak kecil mengenakan baju serba putih, suaranya lembut, senyumnya seperti malaikat, tapi sangat penakut dan cengeng. Alice sangat senang dan nyaman berteman dengannya, dia lucu, perhatian, polos, dan gampang dikibuli, sehingga selalu menjadi bahan tertawaan Alice kecil. Tapi sayang, pertemanan itu hanya berlangsung dua hari saja, karena...
"Alice? Kok malah diam?" Suara Chiara menyadarkan Alice dari lamunannya.
"M-maaf hehehe..." Alice nyengir sebentar, lalu ia melanjutkan, "Feli itu... bisa dibilang teman masa kecilku. Aku pertama kali bertemu dengannya ketika ia diganggu oleh anak-anak nakal tetangga, lalu aku menolongnya dan berkenalan dengannya."
"Jadi yang melukismu itu hanya anak kecil? Aku kira seseorang yang sudah profesional dan lebih dewasa," Chiara lumayan terkejut mendengarnya.
"Iya, dia sendiri yang bilang kalau dia suka melukis, ia juga sempat memperlihatkan hasil karyanya kepadaku. Waktu itu aku juga tidak percaya kalau lukisan-lukisan itu buatan dia," kata Alice sambil tertawa kecil.
"Lalu sekarang dia ada dimana? Apa kau masih berhubungan kontak dengannya? Menurut ceritamu sepertinya dia anak yang baik, pasti kalau sudah dewasa ia adalah seorang pria yang lembut," tanya Chiara (sedikit) tertarik.
"Hahaha, sayangnya Feli itu bukan laki-laki, tapi perempuan. Namanya saja Felicia, tingkah lakunya feminin, lemah lembut, cengeng pula," kata Alice tertawa sambil mengibaskan tangannya.
"Yaaah... kirain..." Chiara manyun.
"Kalau soal berhubungan kontak..." Alice menghela napas sejenak, raut kekecewaan terpancar dari wajahnya, "... kami sudah tidak berhubungan lagi."
"Kenapa?"
"Dia tiba-tiba menghilang, tanpa memberitahu, tanpa ucapan perpisahan, dan tanpa jejak. Tidak ada orang yang tahu kemana dia pergi, aku terus mencarinya kemana-mana, tapi dia tidak pernah muncul lagi..." gumam Alice dengan mata yang menerawang. Chiara tertegun melihat ekspresi Alice yang baginya tampak asing, ini pertama kalinya ia melihat temannya seperti itu.
"Satu-satunya yang aku temukan ketika datang ke bukit tempat dia biasa berada adalah kanvas yang terbalut kain putih, kanvas itu adalah lukisan yang kau lihat di kamarku," gadis itu menyelesaikan ceritanya sambil menutup mata.
Alice kecil mencari kesana-kemari, tapi ia tidak menemukan Felicia dimanapun, ia bertanya pada orang-orang, tapi tidak ada yang tahu. Kaki kecilnya lalu melangkah cepat ke arah sebuah bukit kecil, tempat dimana ia pertama kali bertemu Felicia, dan sepertinya Felicia selalu menggunakan tempat itu untuk melukis. Alice kecil sangat berharap kalau ia datang kesana, ia akan bertemu Felicia seperti biasa, melihat Felicia sedang melukis pemandangan alam dan menyambut kedatangan Alice dengan senyum.
Tapi satu-satunya yang ia temukan hanya sebuah barang berbentuk persegi panjang yang dibungkus dengan kain putih. Alice mengambilnya dan membuka kain putih itu. Ia terkejut ketika melihat sebuah lukisan dengan dirinya sebagai model, di lukisan itu ia tampak tersenyum bahagia, kakinya berpijak di rerumputan yang luas, dan kelopak bunga bertebaran di sekitarnya. Alice tidak tahu kapan Felicia melukisnya, ia tidak pernah meminta Alice untuk menjadi model lukisannya. Di dalam hati Alice merasa tersanjung dan bibirnya menyunggingkan senyum.
Tapi senyuman Alice tidak berlangsung lama karena ia tidak menemukan Felicia juga. Alice berpikir, kalau ada lukisannya disini, berarti Felicia juga ada di sekitar sini. Mungkin dia sedang bersembunyi saat ini dan ingin mengejutkan Alice.
"Feli! Aku tahu kau ada disini! Cepat keluar sekarang juga atau aku sendiri yang akan mencarimu dan menggelitikmu seharian!" teriak Alice dengan senyum yang menantang. Biasanya ancaman kecil begitu sudah membuat Felicia ketakutan dan langsung menampakkan dirinya sambil mengibarkan bendera putih tanda menyerah. Tapi sekarang berbeda, Felicia tetap tidak muncul, suaranya juga tidak terdengar sama sekali.
Alice tersenyum lagi, "hooo sepertinya kau sudah lumayan berani ya. Aku ucapkan sekali lagi, keluar sekarang juga, Feliii! Kita tidak sedang bermain petak umpet tahu."
Sekali lagi, tidak ada sosok seorang anak berpakaian putih yang muncul.
Kali ini Alice mulai khawatir, sebenarnya daritadi ia tidak merasakan tanda-tanda ada orang disini, tapi ia tetap tidak mau mempercayainya. "Felicia! Aku serius akan menggelitikmu sepanjang hari! Berhenti bercanda, ini tidak lucu!" Alice sengaja membuat suaranya lebih garang, berharap Felicia menjadi lebih ketakutan dan segera keluar.
Suasana tetap hening, hanya suara angin semilir yang menyambut Alice.
Alice menjadi kesal dan mulai mencari-cari Felicia di sekitar bukit, dibalik pohon, di semak-semak, dibalik batu besar, tapi tetap nihil. Alice masih berusaha mencari sampai ia tidak sadar bahwa sebulir air mata mengalir dari sudut matanya, bibirnya bergetar dan mulai sesenggukan. Sekarang ia baru percaya kalau Felicia sudah tidak ada, bahkan mungkin tidak akan muncul lagi di hadapannya.
"Feli... kenapa kau pergi begitu saja... *hik*, kau jahat..." gumam Alice sambil melihat lukisan yang sejak tadi dipegangnya, setitik demi setitik air mata Alice jatuh mengenai lukisan itu. Ini pertama kalinya ia merasa begitu sedih, begitu lemah, begitu cengeng, dan pertama kalinya pula ia merasa menyerah.
Chiara termenung, pandangannya sejak tadi fokus ke jalanan tapi ia juga cemas memikirkan perasaan Alice saat ini. Di dalam hati ia sedikit bersalah juga menanyakan tentang 'Feli' padanya, alhasil sekarang Alice hanya terdiam dengan ekspresi datar. Melihat sikap Alice yang berubah seperti itu, membuat Chiara tahu kalau waktu itu Alice pasti sangat terpukul. Setelah itu suasana kembali hening dan keduanya tampak sibuk dengan pikiran masing-masing.
Tak terasa akhirnya mereka berdua sampai di tempat kerja Alice. Chiara terkejut melihat tempat itu, ternyata tempat kerja Alice itu sebuah restoran khas Italia yang juga restoran kelas atas terkenal. Restoran ini adalah salah satu saham bisnis milik Vargas Corp, perusahaan raksasa yang paling kaya se-Italia. Bukan hanya restoran saja, tapi mereka juga mendirikan perusahaan, hotel, bahkan resort yang juga merambah di seluruh penjuru Eropa.
"S-Sejak kapan kau bekerja disini?" tanya Chiara. Sebenarnya baik Alice maupun Chiara sudah mempunyai pekerjaan tetap, malah pekerjaan tetap itu membuat hidup mereka lumayan mapan. Tapi Chiara tidak gila kerja seperti Alice, Chiara masih ingin menyetarakan hari kerja dan hari santainya.
Alice berpikir sebentar, "sejak kapan ya? Terlalu banyak pekerjaan yang kutangani sih, jadi aku lupa hahaha!"
Chiara terdiam sebentar, "... kau tahu, sebenarnya aku janjian dengan Lovino di restoran ini..."
"Haaaah? Benarkah itu? Kalau begitu aku bisa bertemu dengan dia langsung dong!"
Chiara sebenarnya tidak keberatan kalau Alice bertemu dengan Lovino, tapi tetap saja ia bakal terganggu (dan malu) kalau ia bertemu Lovino dengan adanya Alice di sekitar mereka.
"Tidak apa-apa! Aku tidak mengganggu kok, paling hanya mengintai sedikit saja hehehe," kata Alice menepuk pelan pundak Chiara. Tapi justru hal itu membuat Chiara semakin tidak nyaman.
"Oh iya, Lovino berkata kalau ia juga mengajak adiknya ke sini dan mau memperkenalkannya padaku. Adiknya itu baru kembali dari luar negeri, tadi Lovino menjemputnya di bandara," jelasnya.
"Wah sepertinya si Lavina itu kaya sekali ya, dia mengajakmu ke restoran mahal ini, terus adiknya saja baru kembali dari luar negeri. Kau beruntung sekali deh Chiara, sebagai temanmu aku jadi bangga juga!"
"Jelas saja dia kaya, Lovino itu sebenarnya cucu dari pemilik Vargas Corp. dan restoran ini adalah milik mereka," jawab Chiara biasa, tapi reaksi Alice tampak tidak biasa.
"APA!?" teriak Alice heboh sampai Chiara menutup kedua telinganya. Alice tidak menyangka kalau pacar Chiara itu adalah orang yang sering muncul di media-media seperti koran, TV, dan majalah. Walau satu atap dengan Chiara sekalipun, ia tidak pernah tahu menahu.
"Jangan teriak di telingaku seperti itu dong!" omel Chiara.
"B-berarti si Lavina bisa dibilang bosku dong, wah aku harus sopan-sopan sama dia nih!" Alice pun mendadak mengurungkan niatnya untuk menggoda Lovino.
"Sebenarnya iya, tapi bisa dibilang tidak juga. Restoran ini bukan bagian dari saham Lovino, tapi milik adiknya. Dengan kata lain, pemilik restoran sekaligus bosmu itu akan datang hari ini bersama Lovino," jelasnya, membuat Alice semakin menciut. Tapi walau begitu, ia penasaran dengan wajah adik Lovino. Selama ini Alice hanya mengetahui wajah Lovino lewat majalah atau koran, sedangkan wajah adiknya malah jarang sekali eksis.
Chiara memarkir mobil mereka, ia melihat mobil Lovino sudah terparkir disana, itu berarti Lovino sudah menunggunya di dalam. Alice memperhatikan bahwa pengunjung perempuan jadi lebih banyak dari biasanya, sepertinya mereka hanya ingin melihat Vargas bersaudara.
"Baiklah kita berpisah disini, Chiara. Selamat berjuang ya!"
"T-tapi sebelum itu, aku mau menanyakan sesuatu..." kata Chiara, terdapat sedikit semburat merah di kedua pipinya. "Bagaimana menurutmu penampilanku...? Bukan berarti aku ingin dengar pendapatmu atau apa, aku hanya ingin tahu kalau misalkan penampilanku ada yang jelek," lanjutnya.
Alice tertawa, kedua tangannya bergerak merapikan rambut gelombang Chiara sejenak dan menatanya agar lebih cantik. "Nah, sekarang sudah siap. Kau cantik kok, sangat malah!" katanya sambil mengedipkan mata.
"Alice, kau membuatku malu tahuuu," kata Chiara memerah, tapi ia perlahan tersenyum juga. Chiara pun akhirnya berjalan meninggalkan Alice menuju pintu depan restoran, banyak pengunjung perempuan yang melihat ke arah Chiara dan berbisik-bisik, sepertinya mereka iri sekaligus kagum dengannya. Chiara memang sudah lumayan terkenal sebagai pacar Lovino, mereka semua mengenal Chiara sebagai cewek yang keren dan high class, tidak heran kalau semuanya ingin menjadi seperti dirinya. Alice tersenyum geli kalau memikirkan apa jadinya kalau mereka tahu sifat asli Chiara yang tsundere dan lumayan nervous-an itu.
Sebelum masuk dari pintu belakang resto, Alice sekilas melihat Chiara sudah bertemu Lovino, Lovino tampak mencium pipi Chiara dan sang gadis sendiri hanya malu-malu. Melihat itu membuat Alice menjadi 'awwwww'-ed di dalam hati. Kemudian ia memperhatikan pemuda lain di sebelah Lovino, wajahnya tidak terlalu kelihatan karena dia berdiri membelakangi Alice. Tapi Alice bisa melihat kalau dia mempunyai gaya rambut yang sama dengan Lovino, hanya saja warna rambutnya lebih terang. Pemuda yang ia asumsikan sebagai adik Lovino itu menyalami Chiara dengan antusias, dan Chiara sendiri tersenyum melihatnya. Alice bersyukur melihat adik Lovino sepertinya sangat ramah kepada temannya.
Belum sempat Alice melihat wajah adik Lovino, ia tiba-tiba ditarik dari dalam. Ternyata yang menariknya adalah rekan kerjanya yang sesama pelayan.
"Hei, kau ini kemana saja sih baru sekarang datangnya?" tanya rekannya itu.
"Maaf, maaf, tadi aku agak telat bangun~~~"
"Dasar, untung saja manajer tidak tahu. Cepat kau kenakan ini sebelum ketahuan!" katanya sambil menyerahkan pakaian pelayan ke arah Alice. Pakaian pelayan itu lumayan mewah dan terlalu feminin bagi Alice, agak kurang nyaman sebenarnya, tapi Alice mengabaikannya.
Belum sempat Alice bernapas, ia sudah disibukkan dengan berbagai macam hidangan yang segera ia antarkan pada tamu, belum lagi mencatat pesanan, membersihkan meja yang mau diisi oleh tamu lainnya, ditambah lagi pengunjung sangat membludak karena ini hari Sabtu.
"Aliice! Tolong antarkan hidangan ini ke meja nomor 20!"
"Baiiik!" balas Alice, ia lalu mengambil nampan yang sudah berisi hidangan ala Italia yang menggiurkan, salah satunya pasta. Restoran ini terkenal dengan pastanya yang sangat enak, tapi menurut Alice pizzanya juga tidak kalah enak sih.
Alice pun menuju meja 20, ia terpaku sejenak ketika melihat yang menempati meja 20 itu ternyata Chiara dan Vargas bersaudara. Entah kenapa ia merasa gugup, tapi Alice tetap berusaha memasang wajah biasa. Bagaimanapun juga ia harus bersikap profesional di depan bosnya.
Gadis itu akhirnya sudah berada di depan mereka bertiga. Ia menundukkan kepalanya sedikit, berharap Chiara tidak memperhatikannya, untungnya mereka bertiga lagi mengobrol dengan serunya dan tidak terlalu menyadari kehadiran Alice. Alice meletakkan hidangan itu pelan-pelan, matanya mengambil kesempatan untuk melirik ke arah adiknya Lovino. Wajah Alice mendadak memerah ketika melihat wajah adik Lovino dari dekat, wajahnya cukup tampan, matanya yang sering tertutup itu tampak lucu, senyumnya yang merekah juga terlihat manis. Ia sepertinya sedang seru berbicara pada Lovino dan Chiara, kelihatan sekali kalau ia orang yang ceria dan talkative.
Ketika meletakkan sepiring pasta di depan adik Lovino, Alice masih saja memandanginya. Selain karena wajahnya yang cakep, Alice merasa familiar dengan pemuda itu. Mungkin Alice sesekali pernah melihatnya di TV, koran, atau majalah, tapi rasa familiar ini begitu dekat dan dalam. Karena rasa familiar itulah Alice berusaha berpikir keras dimana ia pernah bertemu dengannya, walau keadaannya saat ini sedang tidak tepat.
"Alice?"
'Oh, sial...' pikir Alice ketika mendengar suara Chiara memanggil namanya, membuyarkan semua lamunannya terhadap si pemuda Vargas.
"Alice, kaukah itu?"
Dengan perlahan Alice mengangkat sedikit kepalanya, ia memperhatikan ketiga orang di depannya itu. Baik Lovino ataupun adiknya sama-sama melihatnya dengan bingung. Alice pun mengalihkan pandangannya dari mereka dan kembali melihat ke arah Chiara dengan senyum maksa, "h-hai... Chiara.. hehe.. err.. saya permisi dulu!" Alice pun langsung kabur dari sana dengan tidak kerennya.
Di balik dapur, Alice memarahi dirinya sendiri karena langsung lari begitu saja, bukannya memberi salam atau apa. Tapi posisinya sekarang adalah sebagai pelayan, bukan sebagai teman Chiara yang pantas diperkenalkan oleh kedua pemuda itu, dia merasa serba salah dan tak tahu harus bagaimana tadi. Tapi yang jelas, Alice merasa buruk karena mungkin sudah mempermalukan Chiara di depan kedua Vargas itu.
"Bodoh sekali aku ini! Sejak kapan aku jadi pengecut?! Kesan pertama berakhir dengan jelek!" katanya sambil memukul kepalanya sendiri, marah campur malu. Dia tidak sadar bahwa si manajer restoran sudah berdiri di hadapannya sejak tadi.
"Sedang apa kau melakukan hal yang tidak jelas begitu, Alice? Cepat bawa hidangan itu ke meja nomor 33!" katanya dengan muka judes.
"Siap, Bu!" Kembali, Alice lari tergopoh-gopoh menyajikan hidangan pada tamu.
.
To Be Continued
AN : Tadinya pengen one-shot aja, tapi sepertinya bakal kebanyakan kalau cuma satu chapter. Jadi saya pisah jadi dua chapter^^
