Permintaan Terakhirku…
(Chapter 1)

Shingeki no Kyojin © Hajime Isayama

Aoyama Akiyoru

Rate T

Angst/Hurt/Comfort, RivaillexEren


"Janganlah bersedih hati, Eren, terlebih putus asa. Aku akan selalu ada untukmu. Aku akan menjagamu hingga ajal memisahkan kita. Aku berjanji demi apapun, semua waktuku hanyalah ada untuk bersamamu."

.

.

.

.

.

"Saudara Eren, saya terpaksa mengatakan ini…

Berdasarkan gejala-gejala yang kau alami, beserta hasil tes yang baru saja kau lakukan,

Anda mengidap penyakit tumor otak yang parah di stadium akhir…

Diperkirakan anda hidup sekitar 1 bulan lagi…"

Kata seorang dokter bernama Erwin yang membuatku dan Eren kaget. Ternyata ini bukan mimpi.

Entah apa yang ada di pikiran Eren, ia tersenyum dan tampak bahagia atas vonis hidupnya yang tinggal beberapa saat lagi disamping kesedihanku yang hampir menjatuhkan air mata.

"Apakah itu benar dokter? Benarkah 1 bulan lagi?" tanyanya dengan nada senang dan antusias. Dibalik kata-kata senangnya ia menjatuhkan beberapa tetes air dari manik hijau zambrudnya dan mengelapnya tanpa memperdulikan aku yang berada di sampingnya.

"Ya, kurang lebih selama itu…" jawab sang dokter sambil kebingungan dengan sikap Eren yang bertentangan dengan prediksinya

.

.

.

.

.

5 Februari 2014, di musim semi yang hangat.

"Rivaille, bisakah hari Sabtu besok kita pergi bersama? Connie menunjukkanku 2 buah tiket bioskop film yang sangat kusuka…"

Eren memanggil namaku di saat aku sedang bekerja.

"Tak bisa, Eren. Kau sendiri tahu kalau ini adalah masa-masa tes skripsimu kan? Aku mau kau dapat menyelesaikan S2-mu dengan sebaik mungkin", tekanku supaya Eren mau mengerti keadaan ia sendiri.

"Tapi, Rivaille, tes skripsiku masih 1 minggu lagi. Akan sayang jika film ini tidak ditonton. Lagipula jurusan seni adalah jurusan yang paling cepat. Menurutku materi 'Perkembangan Musik di Dunia' itu takkan menjadi masalah bagiku. Itu sudah ada di luar pikiranku. Dan juga…"

"Cukup, Eren. Aku sedang sibuk. Aku juga ingin agar kau tetap fokus dengan kuliahmu. Titik."

Keheningan tercipta sesaat.

"Baiklah…" jawab Eren dengan terpaksa.

Entah karena Eren terlalu sedih karena aku tak ingin pergi bersamanya, atau memang ia sedang sakit, 5 menit kemudian, ketika ia akan pergi mengambil minum untukku dan dirinya sendiri, ia pingsan di depan kulkas.

"EREN!"

Panggilku sambil menggoyang-goyangkannya agar ia tersadar kembali. Dan ternyata cara itu sukses. Eren kembali tersadar.

"Eh, Rivaille, sedang apa kau di atasku? Apa yang telah terjadi?" wajah bocah itu sontak memerah.

Secara tak sadar aku menaiki tubuh bocah berambut coklat itu untuk membangunkannya. Lekas aku turun dari tubuh Eren.

"kau baru saja pingsan, bocah. Baiklah. Aku akan pergi denganmu hari sabtu nanti.

"HOREEEE… Aku janji aku yang akan mempersiapkan segalanya untukmu" sambut Eren akan jawabanku. Seperti anak kecil yang senang sekali karena dibelikan es krim, ia mencium pipiku setelah berkata demikian. Seakan-akan ia lupa bahwa baru tersadar dari pingsannya.

.

.

.

(Hari sabtu)

"Eren, ayo cepat. Filmnya akan dimulai 1 jam lagi."

"iya, sabar sebentar"

Kami pergi menuju bioskop yang ditunjukkan oleh Eren dengan menaiki bus tingkat. Memang benar-benar Connie itu, bisa-bisanya ia memberi Eren film bergenre roman-humor. Baru kuketahui hal tersebut ketika aku meminta tiketku kepada Eren yang tadinya sengaja menyembunyikannya daripadaku.

"Sekarang, apakah kau akan membatalkannya karena kau tahu genrenya tidak sesuai dengan keinginanmu?" tanya Eren dengan puppy eyes-nya yang takkan membuat orang tega kepadanya.

"Tidak, tenang saja. Aku akan menemanimu menonton film ini."

"Nah, di sinilah kita duduk. Mari kita beli popcorn dahulu" kata Eren setelah menunjukkan tempat nanti kami duduk.

"Baiklah, tapi jangan rasa karamel!" perintahku karena aku membenci rasa yang terlalu manis.

"Hmm… baiklah. Aku akan membeli yang rasa butter saja", jawab Eren.

Setelah membeli popcorn, kami kembali menuju tempat duduk kami. Film dimulai kurang lebih 15 menit kemudian.

Sungguh, film ini tidak menarik perhatianku. Bahkan aku sangat membencinya. Namun aku terpaksa menyimak film tersebut.

Tepat ketika sang aktor dalam film bertanya pada pasangannya 'apakah engkau sakit?', Eren mengalihkan perhatiannya kepadaku sebentar.

"Sang aktor benar-benar romantis ya…"

Di saat itu juga mengalir darah dari hidung Eren.

"Eren, hidungmu berdarah."

"Eh, kenapa bisa berdarah? Mohon maaf, aku hendak ke toilet sebentar untuk membersihkannya", jawab Eren tergesa-gesa ingin ke toilet.

5 menit kemudian ia kembali dengan tissue menyumbat lubang hidung yang tadi mengalirkan darah.

"Eren, kau sangat konyol. Cepat lepaskan sumbat hidung itu!" perintahku.

"Tapi, Sir…"

"Aku yakin darahnya sudah berhenti keluar. Cepat lepaskan sumbat itu, atau kita pulang sekarang juga?" ancamku agar Eren berhenti menyumbat hidungnya.

"Baiklah, Sir…"

Kami melanjutkan film seperti biasa lagi.

Lama-kelamaan, aku larut dalam kantuk, dan tertidur hingga film selesai

"Rivaille, bangunlah. Film sudah usai", Eren yang membangunkanku ketika lagu penutup film mulai berputar.

"Ah, selesai juga film ini. Apakah kau menikmatinya?"

"Ya, film ini sungguh sesuai dengan genrenya. Apakah kau ingin kita berkeliling dahulu?"

"Lain hari, Eren. Kurasa cukup istirahatku kali ini. Ayo kita pulang."

"Rivaille…" Eren kembali menggunakan wajah memelasnya lagi.

"Maafkan aku, Eren. Pekerjaanku di rumah masih menumpuk" jawabku yang mungkin membuat Eren sedih hingga ia tak banyak bicara ketika pulang menaiki bus tingkat.

Keesokan harinya, ketika aku sedang bekerja di kamarku.

"Rivaille, bagaimanakah tanggapanmu? Rencananya aku ingin melukis bunga ini untuk kupajang di kamar" kata Eren riang sambil menunjukkan gambar bunga matahari di sketch book-nya kepadaku setelah memasuki kamarku. Kuakui, Eren tak hanya berbakat dalam memainkan berbagai alat musik, tapi ia juga berbakat dalam melukis.

"Bagus", jawabku singkat.

"Eh, hanya sekedar bagus saja kah?"

"Eren, baru saja atasanku mengirimkan file pekerjaan yang sangat banyak. Sekarang aku sedang sibuk. Bisakah kau tak menggangguku dahulu?"

"Baiklah…" jawab Eren tak bersemangat. Ia kembali ke kamarnya dengan langkah gontai.

.

.

.

"Rivaille, aku ingin kita pergi ke padang bunga matahari. Aku…"

"Tidak bisa, aku sedang sibuk."

"Rivaille, temani aku nonton pertunjukan orkestra di balai seni pusat kota."

"Maaf, Eren, tapi aku sedang sibuk."

"Rivaille, mari kita pergi ke toko buku, aku ingin membeli sebuah novel baru."

"Eren, aku baru saja mendapatkan liburan sahku. Aku ingin istirahat."

"Rivaille, maukah kau temani aku membeli beberapa tangkai bunga matahari untuk kulukis?"

"Maaf, Eren. Aku sedang sibuk"

"Rivaille, besok universitasku mengadakan pameran lukisan. Lukisanku juga ditampilkan di sana. Maukah kau hadir?"

"Eren, Maaf. Kali ini aku tidak bisa, aku sedang sibuk."

Hampir setiap hari setelah kami menonton film yang direkomendasikan Connie, Eren selalu mengajakku untuk menemaninya pergi. Apadaya, pekerjaan membebaniku sehingga aku terpaksa tak menghiraukan ajakan Eren.

8 Maret 2014, musim semi sedang dalam cuaca cerah

"Rivaille, hampir sebulan ini kita tak pergi bersama. Maukah kau pergi bersamaku hari ini saja ke supermarket untuk membeli kebutuhan sehari-hari untuk satu bulan ke depan?" tanya Eren yang nadanya sedikit memelas kepadaku.

Memang, aku kasihan terhadap Eren. Timbul juga rasa bersalah karena aku selalu menolak ajakan Eren. Biarlah hari ini Eren merasa senang seperti saat pergi ke bioskop kemarin

"Baiklah. Kapan kita pergi?"

"Jam 3 nanti. Benarkah kau akan ikut? Yeiii…" sambut Eren terhadap jawabanku.

Aku hanya dapat memberikan senyumku kepada Eren.

Aku harap, dengan ini Eren dapat sedikit memaafkanku karena mengabaikannya selama hampir satu bulan.

(jam 3 sore)

"Rivaille, kau benar akan ikut kan?" tanya Eren masih tak percaya

"Iya, Eren… buktinya aku sudah siap sekarang. Kau mau pergi tidak, hah? Cepat ganti bajumu!" bentakku mempermainkan Eren.

"Baiklah, tunggu sebentar, Sir. Aku akan kembali dalam 2 menit"

.

.

.

.

.

(di supermarket)

"Apa saja yang ingin kau beli, Eren?"

"Yang pasti kebutuhan sehari-hari kita dahulu, lalu aku ingin membeli beberapa kanvas dan cat yang baru. Cat yang kau beri kemarin sudah habis kupakai untuk pameran kemarin."

Oh iya, Eren mengatakan kalau ia ada pameran kemarin

"Maafkan aku, Eren. Kemarin itu aku tak dapat hadir untuk melihat karyamu dipamerkan di sana…" tanggapku karena merasa bersalah.

"Tak apa, Rivaille. Aku tahu pekerjaan ini sangat berarti untukmu. Yang penting sekarang kau dapat menemaniku pergi, yeiii…" jawab Eren menenangkanku.

Usai mengambil segala kebutuhan rumah tangga, aku dan Eren pergi ke bagian peralatan seni. Memang supermarket di kotaku serba ada.

Sebelum kami memasuki lorong peralatan seni, aku melihat jam tanganku. Tak terasa sekarang sudah jam 7 malam.

Setelah itu, Eren langsung saja mengunjungi rak yang berisi perlengkapan lukis. Kebanyakan berisi 1 set cat dan kuas berbagai ukuran.

"Yang mana, Eren?"

"Nah, ini dia yang kubutuhkan."

Sesaat sebelum ia menyentuh satu set cat pilihannya, Eren kembali jatuh pingsan di lantai.

Kali ini Eren juga mengalirkan darah dari hidungnya.

"EREN! SADARLAH!"

Orang-orang di sekitar kamipun segera berlarian untuk melihat apa yang terjadi.

"Rivaille, gunakan mobilku untuk mengantar Eren ke rumah sakit. Aku akan membawa kalian" pinta Erd, kenalanku dan Eren. Kebetulan ia juga sedang pergi ke supermarket bersama Petra, Gunther, dan Auruo. Mereka adalah orang-orang yang mengetahui hubunganku dengan Eren.

"Baiklah, kami juga akan ikut ke rumah sakit. Aku yang akan membawa mobil", kata Gunther sambil berbicara pada Petra dan Auruo.

(di rumah sakit)

Sebelumnya kami sudah menghubungi rumah sakit, sehingga setelah kami tiba, para perawat sudah bersiap di pintu masuk.

Mereka langsung membawa Eren ke ruang IGD. Kami hanya dapat menunggunya di depan pintu IGD.

"Sebelumnya kami minta maaf…", kata salah seorang perawat yang langsung keluar beberapa saat setelah lampu ruang IGD dimatikan. Tersemat pin nama di dadanya, bertuliskan Christa R. Hal itu membuatku merasa ingin jatuh pingsan pula.

"Dokter spesialis penyakit dalam kami sedang izin hari ini. Kami terpaksa harus merawat INAP Eren sambil menunggu dokter tersebut. Untuk sementara Eren akan dijaga secara intensif oleh dokter umum kami. Kebetulan Eren adalah teman SMA kami", lanjut mantri yang ada di sebelah perawat tadi. Tersemat pula pin nama di dadanya, bertuliskan Jean K.

(di kamar INAP Eren)

"Kondisinya membaik, sepertinya ada masalah di bagian kepala. Apakah pasien menderita penyakit?" tanya salah satu dokter umum muda yang tadi sudah diberitahukan kepada kami, namanya Dr. Armin Arlert.

"Menurut pengakuannya, ia tak pernah menderita penyakit", jawabku dengan cemas.

"Saya ucapkan sekali lagi maaf sebesar-besarnya atas izinnya dokter spesialis kami. Mohon saudara mengerti", sang dokter yang satu lagi merasa bersalah. Namanya Dr. Hanji zoe. Ia adalah asisten sang dokter spesialis, Dr. Erwin Smith.

"Tak apa. Selama Eren bisa diselamatkan."

Hari semakin larut. Jam di tanganku menunjukkan pukul 11.00 PM.

Satu persatu teman-temanku mulai meninggalkanku bersama Eren.

"Rivaille, aku pulang dahulu ya. Besok aku akan datang lagi. Jangan sungkan-sungkan menghubungiku jika ada masalah. Cepat sembuh ya, Eren" sapa Petra sebelum ia pulang sambil mengelus rambut di dahi Eren.

"Iya, Petra. Terima kasih karena tadi mau ikut membawa Eren ke rumah sakit ini. Mau kuantar ?", jawabku dengan tak enak hati, karena ia yang pulang paling malam, kira-kira pukul 11.50 PM.

"Tak apa, Rivaille. Aku juga telah menghubungi ayahku untuk menjemputku."

"Hati-hati di jalan, Petra."

"Iya. Sampaikan pula salamku pada Eren ketika ia sadar nanti."

Pagi-pagi benar Eren tersadar dari pingsannya. Kira-kira pukul 3 pagi.

"Eren, apa kau baik-baik saja? Apa yang kau rasakan sekarang?" tanyaku khawatir dengan keadaan Eren.

"Aku baik-baik saja, Sir. Memangnya ada apa? Mengapa aku bisa ada di rumah sakit?" tanya Eren bingung.

"Bodoh, kemarin malam kau pingsan ketika hendak mengambil cat yang kau butuhkan. Apa kau lapar? Kau baru saja sadar setelah 8 jam tertidur. Kau tahu, kau seperti tidur malam biasa."

"Maafkan aku, Rivaille. Aku sudah menyusahkanmu. Kau bahkan tertidur sambil duduk di samping ranjang ini…"

"Apa peduliku? Yang penting sekarang kau sadar. Apakah kau lapar?"

"Tidak, Sir. Apakah kau sendiri sudah makan, Rivaille?"

"Bodoh. Kenapa kau kembali menanyakan hal yang sama, hah? Baiklah. Aku sendiri memang belum makan. Marilah kita makan bersama. Apa yang ingin kau makan?"

"Betulkan? Hehehe. Apa saja yang penting kau juga makan."

"Baiklah. Tunggu sebentar, aku akan mencarikannya untukmu…"

"Rivaille, kalau dipikir-pikir, aku ingin makan bubur saja. Seingatku di depan rumah sakit ini ada restoran bubur 24 jam" rekomendasi Eren.

"Baiklah jika itu maumu."

Setelah itu aku membelikannya untuk Eren. Dan kami makan bersama di kamarnya. Kira-kira pukul 4, Eren kembali tidur. Akupun juga ikut tidur.

Dokter yang dikatakan oleh Dr. Armin dan Dr. Hanji ternyata baru hadir pukul 8 nanti. Eren baru bangun lagi pukul 7.30 pagi. Sedang aku pukul 6 pagi tadi.

Eren kembali menginginkan bubur seperti yang tadi subuh ia makan, maka kubelikan kembali bubur yang tadi.

Namun, sekembalinya aku dari membeli bubur di seberang rumah sakit, Eren kembali pingsan dengan hidung kembali mengalirkan darah.

"PERAWAT! Eren KEMBALI TAK SADARKAN DIRI!" teriakku sambil menekan tombol darurat kamar INAP.

Perawat dan mantri yang kemarin kembali berlarian datang setelah kemarin subuh mengantar Eren ke kamar ini. Kali ini ia membawa seseorang yang belum kulihat kemarin. Kelihatannya, ialah yang bernama Dr. Erwin Smith.

Ia terus menjaga Eren hingga sadar. Mungkin itu bentuk permintaan maafnya karena kemarin ia izin dari tugasnya.

.

.

.

.

.

Eren terlihat sangat rela sekali dengan penyakit yang ia jangkit saat ini. Sungguh, ingin sekali kuhajar orang ini.

Sadarlah, bodoh!

Sekarang kau di ambang peralihan dimensi!

Kematian sudah menanti di depan jendela ragamu!

Hanya orang idiot yang gembira akan kekakuan tubuhnya!

Ingin aku luapkan emosiku saat melihat ia selalu tersenyum akan apapun kejadian yang ia alami. Bagaikan anak kecil yang diberikan permen kesukaannya, ia berjalan sambil berjingkrak-jingkrak.

"EREN!" teriakku pada Eren yang terlihat sangat senang seperti tak ada masalah yang menimpanya.

"Eh, ada apa, Rivaille?"

"HEI BODOH! MENGAPA KAU SENANG DENGAN REALITAS HIDUPMU?! APAKAH MEMANG KAU BENAR-BENAR INGIN MENGAKHIRI HIDUPMU SECEPAT MUNGKIN?! KALAU ITU MAUMU, AKULAH YANG AKAN PALING PERTAMA UNTUK MENGHABISIMU! COBALAH UNTUK MEMIKIRKAN ORANG LAIN DI SAAT KAU MERASAKAN SESUATU!" emosiku sungguh tak tertahankan. Mataku yang memelototinya juga nadaku yang tinggi dan mengancam tanpa ampun sukses membuat ia terduduk di lantai dengan mata yang hampir menjatuhkan air matanya. Tidak, aku takkan menghilangkan ekspresi marahku yang terdalam kali ini. Meski aku tahu Eren hanya ingin membuatku tak cemas.

"Maafkan aku, Sir Rivaille. Aku hanya ingin kau tak merasakan apa yang kurasakan. Aku hanya ingin kau tahu, bahwa aku ini baik-baik saja. Aku yakin dokter itu 100% salah tentang penyakitku. Sakit yang kuderita hanyalah sebatas sakit kepala biasa disertai arteri di dekat hidungku yang tak terlalu tebal sehingga…" balas Eren akan kata-kataku tadi sambil menangis dalam posisi duduknya di lantai. Suaranya makin lama makin tenggelam oleh tangisannya.

Apalah yang dapat kuperbuat. Aku hanya terdiam dalam pikiranku. Terngiang dalam batinku saat beberapa menit yang lalu dokter menjatuhkan vonis pada Eren tumor otak stadium akhir.

Anda mengidap penyakit tumor otak yang amat parah di stadium akhir…

Diperkirakan anda hidup sekitar 1 bulan lagi…

sekitar 1 bulan lagi…

1 bulan lagi…

Tanpa kusadari, mataku terasa memerah dan memanas. Kurasa ada tombak yang tepat mengenai kantung air mataku. Tombak itu sukses membuatku mengalirkan air mata dalam keheningan.

Posisi kami saat ini sama, sama-sama tersakiti…

Eren dengan penyakitnya yang seharusnya sudah lama ia ketahui, barulah ia disadarkan beberapa menit yang lalu…

Aku, yang hanya terdiam dalam tangisku sendiri, yang tak dapat berbuat apa-apa lagi demi kesembuhan Eren…

Aku mengambil inisiatifku sendiri. Aku memeluk Eren dan meminta maaf atas semua perkataanku tadi. Eren masih terlarut dalam tangisannya. Dan kubisikkan beberapa kalimat pendek di telinga Eren.

"Janganlah bersedih hati, Eren, terlebih putus asa. Aku akan selalu ada untukmu. Aku akan menjagamu hingga ajal memisahkan kita. Aku berjanji demi apapun, semua waktuku hanyalah ada untuk bersamamu."

To Be Continue


A/N:

Bagaimana tanggapan kalian? Hehehe… cerita ini sempat mengecohkan saya dari cerita yang pertama. Udah nggak ngerti lagi gimana nyusun bahasa yang lebih enak dibaca. Idenya mungkin dari film "Buku Harian Nayla"? Mungkin saja, karena ide tersebut baru terbesit dalam otak saya setelah beberapa tahun tak menonton film tersebut. Bisa dibilang harapan yang baru tercapai, karena dari dulu mau bikin cerita yang mirip dengan film itu.

Nggak nyambung ya? Hehehe

Minta pendapatnya ya, para senpai sekalian…

Makasih pada mau baca, follow maupun favorite-in, tunggu kelanjutannya ya…

Aoyama Akiyoru