PURNAMA KEDUA BELAS

Remake from Andrea Hirata's novel, AYAH.

Park Jimin x Min Yoongi

BTS and some characters belong to God, their parents, and their agency.

Rated T

Warn: BxB! M-preg! Typo(s), boring, etc

Enjoy yas!

Malam senyap, kecuali suara angin menyapu atap-atap rumah sederhana di pinggiran Kota Metropolitan Busan. Menampar-nampar pemukiman yang seolah terkucilkan dari peradaban gemerlap kota terbesar kedua setelah Seoul. Di pemukiman itu tidak ada hiruk pikuk yang menjemukan. Seperti hunian mewah, pusat perbelanjaan, dan lampu disko yang menyilaukan. Pemukiman itu seperti di-anak tirikan. Tapi jangan salah, mereka masih bersyukur Tuhan masih mewariskan langit, satu lukisan tumpuan penat dan harapan.

Bagi mereka langit di pemukiman itu lebih surgawi daripada langit-langit di pusat Kota Busan. Langit mereka lebih bersih, baik secara harfiah bersih dari polusi kota maupun bersih dari lampu-lampu disko yang mewah. Adakalanya lampu-lampu itu mencoba mengalahkan keelokannya.

Langit mereka berbeda, lebih lapang. Jika malam naiklah ke atap rumah khas orang Korea, maka kau akan menemukan langit yang memupukkan kelegaan. Si mungil yang bertaburan, dan maha dewi yang terang benderang. Begitu terang sehingga Jimin yang duduk sendirian di beranda rumah sederhananya, sedih, kesepian, dan merana seakan dapat melihat gurat nasib yang membujur di anak-anak sungai garis tangan kirinya. Sedangkan tangan kanannya memegang pensil, bukan sembarang pensil. Didekapnya pensil itu, dan ia masih merasakan dadanya melambung seperti kali pertama ia menerimanya belasan tahun yang lalu.

Seekor kucing berbulu hitam tak terawat melompat lalu bergelung nyaman di pangkuan Jimin. Dalam hidupnya, kucing itu sudah bertekad akan setia mengikuti Jimin sampai ajal menjemputnya. Pasalnya, hanya Jimin yang sudi menampung kucing udik sepertinya. Dan yang lebih riskan, kisah cinta dan biduk rumah tangganya sama seperti Jimin, dihempas ombak lalu karam. Kucing pujaannya, kucing putih berbulu lebat milik tetangga sebelah telah minggat bersama kucing yang lebih tinggi kasta daripadanya. Kadang kucing hitam Jimin ini bingung, apakah kucing pujaannya itu terlalu jalang untuk kelas kucing ataukah dia yang terlalu buruk rupa. Kucing Jimin hanya bisa mengeong pilu.

Jimin sebenarnya pemuda yang tampan, sangat malah. Beberapa teman saudaranya dulu banyak yang mencoba mendekatinya, tapi apalah dikata. Sekarang ia lebih mirip orang yang terkena tekanan batin. Selalu muram, tak ceria sebagaimana ia dulu.

Yoongi, oh, Yoongi. Seseorang yang telah membuatnya hampir gila karena kasmaran. Cinta pertamanya, belahan jiwanya, segala-galanya. Tapi seribu sayang, pun jika Jimin bisa mengambilkan satu buah bintang, tak sedikitpun Yoongi mengacuhkannya. Lalu bayangan hitam putih berkelebat, menjalar lalu mencuat dari otaknya. Gambar saat Jimin masih sekolah tinggi. Gambar waktu Jimin mengambilkan sapu tangan Yoongi yang jatuh di lapangan upacara.

"Siapa yang menyuruhmu mengambilnya, hah?! Berani-beraninya kau! Asal kau tahu saja, aku bisa mengambilnya sendiri!" padahal Jimin menyerahkan tak kurang khidmat seperti saat ia hormat kepada bendera kebangsaan.

"Ini... notes kecil untukmu, Yoongi. Sesuai dengan warna kesukaanmu." Jimin menyerahkannya dengan selembut mungkin. Tapi jelas ia gugup. Notes itu adalah hadiah harapan tiga lomba menulis puisi tingkat pelajar, prestasi tertinggi Jimin saat itu. Bercucuran keringat ia mencoba menyaingi Hwan Chin-I, penyair klasik Sijo pada abad ke-15. Dia ingin Yoongi bangga kepadanya. Tak usah ya, aku bisa beli sendiri, kata Yoongi.

Jimin sedih, gelisah, kecewa, lalu menderita. Banyak orang yang geleng-geleng kepala melihat kelakuan Jimin yang hanya terpaut pada seorang saja. Tak bisa dibelok-belokkan.

Banyak kali, Taehyung, kawan idiotnya, mengingatkan bahwa bisa saja ia berakhir di pusat rehabilitasi gangguan jiwa jika kepalanya dipenuhi dengan Yoongi, Yoongi, dan Yoongi. Dan banyak kali pula ia mengingatkan dirinya sendiri akan hal itu. Namun tetap saja, cintanya untuk Yoongi tetap membelenggunya.

Kim Namjoon, pria berkacamata, bekerja sebagai pegawai biasa di sebuah pabrik, meskipun gajinya tidak seberapa, tapi cukup untuk menghidupi keluarga. Ia pulang dari bekerja pukul empat sore. Malam dilewatkannya dengan membantu belajar anaknya dan anak tetangga, membaca buku dan satu kegiatan yang membuat Jungkook sangat mengaguminya, yaitu menyimak siaran radio. Istri, tiga anak, pegawai pabrik, buku, dan radio. Dalam lingkaran itulah hidup Namjoon berputar, hari demi hari, bulan, lalu tahun, taka da hal lain.

Suatu ketika, Jungkook bertanya, "Yah, mengapa ayah sangat menyukai radio?"

Namjoon tersenyum sejenak, mengenang radio itu juga kegemarannya. "Dari radio kau bisa mengetahui segalanya, nak. Bahasa-bahasa asing di negeri yang jauh, lagu-lagu yang indah dan irama yang tak pernah kau dengarkan sebelumnya."

Kadang Jungkook tak habis pikir. Mengapa radio? Di rumahnya terdapat seperangkat komputer tabung biasa, itu dibeli ayahnya di toko barang bekas dengan harga murah. Tapi Namjoon tak pernah menyentuhnya. Ayahnya berkata, "pakailah itu, nak. Anak jaman sekarang lebih banyak yang menggunakan komputer sepertinya."

Baiklah jika kondisi radio itu masih bagus dan segar bugar. Tapi itu hanya sebuah radio klasik yang orang akan mengagguk jika ditanyai apakah radio itu layak dilindas buldozer atau tidak. Jika tombol powernya ditekan, bunyi kemerosok, timbul tenggelam, lalu menguing. Harus kerja keras untuk menemukan frekuensi yang bersih. Satu dua kabelnya sudah mengintip-intip keluar. Tabung-tabungnya sudah berdebu. Seandainya jika disebut teknologi, radio itu sudah tidak relevan lagi dengan Korea yang sekarang. Terlalu kontras dengan ketampanan Ilsan.

Namjoon sebenarnya orang yang cerdas, tapi karena beberapa alasan ia tidak bisa melanjutkan sekolahnya hingga universitas. Hingga takdir meletakkannya dengan kejam sebagai pegawai biasa. Teman-temannya sudah tinggal di apartemen mewah, berbeda dengan dirinya yang tinggal di apartemen sewaan kecil yang sudah untung tidak kumuh dan layak ditinggali.

Radio itu diletakkan di sebuah lemari kaca ruang tengah, satu-satunya lemari yang masih bagus di apartemennya. Kadang Jungkook geleng-geleng dibuatnya. Di mata orang, ayahnya terlalu naif untuk sebuah radio kuno di jaman ini. Ini satu-satunya hadiah ulang tahun ayah yang tersisa dari kakek, kata Namjoon. Dan Jungkook sekali lagi, selalu mengagumi orang berlesung pipi itu.

TBC

Halo, remake pertama, story pertama d ffn.

Review ya dikit dikit, yang ikhlas tapi:D

Terima kasih yang sudah baca

ED,