Request
.
By : Arlian Lee
.
Main Cast
Jung Taekwoon / Lee Jaehwan (GS)
.
Other Cast
Jung Yein / Cha Hakyeon (GS) / Kim Wonshik / Lee Mijoo
..and others..
.
Genre(s)
Romance, family, hurt/comfort, drama, genderswitch, alternative universe, out of character
.
Length
Multichapter
.
Rate
T, T+, PG (16)
.
LeKen! Keo!
.
Don't like don't read, don't do other bad thing.
.
Summary
Ini semua adalah sebuah permintaan. Permintaan untuk diberikan seorang cucu, permintaan dari putri kesayangan, permintaan untuk menikah, permintaan untuk menerima lamaran pernikahan dan permintaan untuk bahagia.
.
.
.
Happy Reading
.
01
.
.
"Kau tidak pulang?"
Jaehwan menoleh. Ia yang sedang sibuk menata buku-buku di almari pun menghentikan aktivitasnya guna memberi perhatian pada Taeyeon; si penanya. Lalu ia menarik ujung bibirnya cantik.
"Sebentar lagi, unni. Buku-buku ini harus segera berada di tempatnya." Jaehwan mengambil satu buku di tangan dan meletakkannya pada lanjutan buku yang ia susun. "Unni mau pulang sekarang? Apa Sunggyu oppa sudah menjemput?"
Taeyeon mengangguk. Ia menepuk pundak Jaehwan pelan. "Maaf ya, unni harus pulang dulu. Apa perlu aku panggilkan Hani untuk membantumu?" Tawarnya. Ada gurat rasa bersalah di wajah cantik wanita muda itu.
Seulas senyum tipis muncul di wajah manis Jaehwan. Kepalanya menggeleng kemudian.
"Sungguh?"
"Ya, sebentar lagi selesai kok, sudah sana! Nanti Sungkyu oppa menunggumu loh, unni." Godanya sembari mengerlingkan mata. Menggoda Taeyeon adalah hal yang menyenangkan.
Wanita muda itu berdecak kecil guna menutupi semu malu yang muncul. "Kau ini! Ya sudah, unni pulang dulu ya? Hati-hati nanti saat pulang." Pamitnya seraya memeluk ringan Jaehwan.
"Beres! Unni juga hati-hati. Sampai bertemu lagi besok!"
Dan Taeyeon pun mulai menjauh dari jangkauan mata Jaehwan setelah ia melambai kilat pada Jaehwan. Wanita itu hanya tersenyum dengan gelengan singkat kepalanya. Ia kembali menata buku yang sempat tertunda karena percakapan singkatnya dengan Taeyeon.
Lee Jaehwan, wanita muda berusia dua puluh enam tahun adalah wanita yang cantik dan pintar. Wanita berpendidikan yang mengabdikan masa mudanya menjadi seorang guru taman kanak-kanak. Tahun ini adalah tahun ke tiga ia menjadi guru taman kanak-kanak setelah ia lulus dari universitas.
Selesai dengan pekerjaannya, Jaehwan mengambil tas jijing yang tersimpan di atas meja kemudian memastikan ulang apakah barang-barangnya tertinggal atau tidak. Setelah itu ia mengedarkan sebentar pandangannya sebelum melangkah keluar ruang guru.
"Loh, Yein? Belum pulang?" Jaehwan berseru ketika melihat salah satu anak didiknya yang duduk sendirian. Wajah gadis kecil itu tampak merengut kesal. Jaehwan tahu, pasti karena Wonshik atau ayahnya telat menjemput. "Yein lapar? Mau makan?" Tanya Jaehwan seraya membelai surai panjang milik Yein.
Gadis kecil itu menggeleng. Ia mendongak dan menatap wajah Jaehwan. Manikan kecil yang terbalut kelopak tipis dengan lipatan tunggal itu membuat Jaehwan terenyuh. Ada binar kesepian disana. Sepertinya Yein cukup lama menunggu lama orang yang menjemputnya.
"Mau pulang dengan ssaem?"
"Tidak perlu, aku sudah datang menjemput."
Seseorang menampik ucapan Jaehwan. Segera ia menolehkan kepalanya dan mendapati Wonshik tersenyum kepadanya. Lelaki ini adalah pengasuh Yein, ah bukan. Ia adalah anak buah ayah Yein dan kebetulan juga Jaehwan mengenalnya.
Jaehwan bangkit dengan tangan membantu Yein untuk ikut bangkit. Lalu ia menatap Wonshik dengan tatapan sedikit kecewa.
"Seharusnya kau hilangkan kebiasaan telat menjemputnya. Kasihan kan dia harus menunggu sendirian."
Wonshik mengangguk. "Maaf! Ada rapat tadi dan aku tidak bisa meminta orang lain untuk menggantikanku. Ya sudah ayo Yeinnie kita pulang." Sahut lelaki itu sebelum menggandeng tangan Yein. "Kami pulang dulu, noona."
"Hati-hati."
Anggukan Wonshik menjadi perpisahan mereka. Jaehwan hanya memperhatikan Wonshik dan Yein yang pelan-pelan mulai mengecil dari pupilnya. Ia tersenyum. Manis sekali Kim Wonshik itu. Walaupun sibuk ia tetap bertanggung jawab. Hanya saja Jaehwan sedikit merasa kasihan dengan Yein. Seharusnya yang lebih bertanggung jawab pada Yein adalah ayahnya bukan malah anak buah ayahnya.
Kesibukan seseorang memang bisa menyingkirkan tanggung jawab sebagai orangtua.
.
.
.
.
Jaehwan ada janji selepas bekerja. Seperti yang dikatakan oleh sang ibu dalam telepon tadi pagi, tempat janjian itu ada di kafe dekat sekolah. Ini bukan janji untuk bertemu antara Jaehwan dan ibunya, bukan. Melainkan sebuah kencan buta yang telah diatur oleh sang ibu.
Ini adalah kencan buta Jaehwan yang kedua setelah yang pertama kemarin sama sekali tidak berbekas dalam benak Jaehwan. Semoga kali ini pilihan sang ibu tidak mengecewakan seperti yang pertama.
Ia duduk dengan tenang di salah satu kafe. Kebetulan jam janjian mereka masih lima menit lagi. Jaehwan sudah memesan satu cangkir green latte untuk menemaninya menunggu siapa teman kencan butanya.
"Lee Jaehwan-ssi?"
Jaehwan mendongak. Iris bulat indahnya mengerjab berulang ketika melihat sosok laki-laki tinggi berdiri di depannya. Ia memindai cepat. Pakaian yang digunakan seperti yang dikatakan oleh sang ibu. Mungkin lelaki ini adalah partner kencan butanya.
"Iya, saya Lee Jaehwan." Sahut Jaehwan kalem dengan senyum manis terulas.
Lelaki itu ikut tersenyum. Ia duduk di depan Jaehwan dengan gerakan sedikit ceroboh.
"Perkenalkan, saya Park Chanyeol. Senang bertemu denganmu. Saya tidak menyangka kalau kau secantik ini." Ucap Chanyeol dengan senyum lebar mempersona.
Oh, Jaehwan bisa menilai dalam sekali pandang bahwa lelaki ini memiliki kepribadian cukup baik. Bisa dikatakan ia memiliki energi yang cukup banyak. Lihat saja bagaimana ia tersenyum. Jaehwan pun menjabat uluran tangan Chanyeol.
"Saya juga senang bertemu denganmu. Terima kasih untuk pujiannya."
Keadaan hening sejenak. Mereka tak lagi bertukar kata setelahnya. Jaehwan enggan untuk berbicara sementara lelaki di depan Jaehwan ini tampak gugup. Mungkin ia memiliki banyak energi positif, tapi sepertinya itu tidak bisa disalurkan bagi mereka yang baru saling kenal.
Lalu pelayan datang membawakan pesanan Chanyeol. Satu cangkir vanila latte dan dua piring cheese cake. Jaehwan hanya memperhatikan lelaki itu menyeduh latte-nya yang masih mengepulkan asap banyak. Wajahnya begitu lucu saat ia merasakan panas dibibir semi penuhnya.
Chanyeol lelaki yang cukup tampan di mata Jaehwan. Wajah cerah dengan hidung bangir dan bibir dengan bentuk lucu menggemaskan, mata bulat besar dan juga telinga lebar. Wajah itu tampan bak anak kecil. Tapi itu bukan selera Jaehwan. Entah mengapa Jaehwan tidak tertarik dengan pilihan sang ibu, lagi.
"Jadi pekerjaanmu apa, Chanyeol-ssi?"
Chanyeol kembali menunjukkan deretan giginya melalui senyum yang kelewat lebar. "Aku seorang guru musik. Kau juga seorang guru kan? Kita sama-sama memiliki pekerjaan yang sama." Sahutnya dengan cengiran yang masih bertahan disana.
"Oh. Ya, aku juga seorang guru. Guru taman kanak-kanak." Jaehwan menatap Chanyeol sambil mengitari pinggiran cangkirnya dengan jari telunjuk. "Lalu, kenapa kau mau ikut kencan buta ini?"
"Aku suka saat melihatmu di foto. Jadi tidak ada salahnya kalau aku mengiyakan permintaan Jikyung eomoni."
Jaehwan hanya tersenyum aneh saat mendengar jawaban Chanyeol. Sebenarnya lelaki ini tampak sopan sekali. Tapi tetap saja, Jaehwan masih belum menemukan titik yang bisa membangkitkan ketertarikannya pada lelaki ini. Oh mungkin nanti ia perlu mengatakan kepada sang ibu bahwa ibu-nya itu tidak perlu repot-repot melakukan ini.
Hasilnya akan sama.
Ya, Tuhan.
.
.
.
.
Malam datang seperti biasa.
Keluarga Lee akan menikmati makan malam bersama. Selalu dan tidak pernah tidak walaupun hanya semalam saja. Rutinitas seperti ini digunakan untuk berbagi cerita atau kisah yang telah keluarga ukir selama seharian. Mereka akan duduk melingkar dengan masing-masing menghadap makanan.
Keluarga Lee hanya bertiga. Nyonya Lee, Jaehwan dan Mijoo, adik perempuan Jaehwan. Untuk sang ayah, Jaehwan dan Mijoo harus kehilangan sang ayah sejak mereka masih mengenyam pendidikan di SMP. Kebetulan Jaehwan dan Mijoo hanya terpaut dua tahun sehingga masih sempat merasakan sekolah bersama, dari jenjang sekolah dasar sampai menengah atas.
"Katakan pada eomma. Bagaimana Chanyeol? Kau suka?" Nyonya Lee membuka percakapan setelah mereka nyaris menghabiskan makanan masing-masing.
Jaehwan mengaduk sisa makanan yang ada di piring sebelum ia tandaskan sepenuhnya. "Aku tidak suka." Sahutnya pelan lalu menyendokkan sisa makanannya ke dalam mulut.
"Tidak suka?" Jeritan Nyonya Lee menuntun Jaehwan mengangkat wajahnya dan memandang sang ibu malas. "Apa lagi alasanmu, Lee Jaehwan? Bukankah Park Chanyeol lelaki yang baik? Dia juga tampan."
"Eomma! Bisakah kau berhenti mencarikanku lelaki? Aku tidak ingin berkencan eomma." Tukas Jaehwan sedikit menaikkan nada bicaranya.
Nyonya Lee berdecak. Ia meletakkan sumpitnya dan menatap serius Jaehwan. Wajah cantik yang tergores sedikit kerutan itu tampak sedikit mengerikan saat marah. Tapi itu tidak membuat Jaehwan takut. Wanita muda itu terlalu sering melihat eskpresi Nyonya Lee yang seperti itu. Apalagi akhir-akhir ini.
"Aku tidak memintamu berkencan, tapi menikah! Kau harus segera menikah, Lee Jaehwan! Usiamu sudah cukup untuk memiliki anak. Apalagi eomma ingin sekali punya cucu." Tanggap Nyonya Lee tak kalah meledak. Wanita itu mengungkapkan segala unek-uneknya lagi. "Kau tidak kasihan melihat eomma yang tampak menyedihkan saat bersama teman-teman eomma? Mereka selalu bertanya, kapan anakmu menikah? Kapan kau punya cucu? Oh, lihat cucuku cantik sekali. Kau tahu? Menantuku sangat kaya. Eomma juga ingin seperti itu." Lanjutnya panjang lebar.
Jaehwan hanya memutar bola matanya malas. Pembahasan yang sama dan sama lagi setiap malamnya. Jaehwan lelah terus saja digempur dengan pertanyaan yang sama. Tak tahu mengapa sang ibu begitu ingin sekali ia segera menikah. Apa hanya karena momongan atau karena yang lain.
"Bukankah Jaehwan sudah bilang kalau Jaehwan tidak ingin segera menikah? Kalau eomma ingin segera punya cucu, suruh saja Mijoo menikah. Dia kan sudah punya kekasih. Minta saja si Hoseok segera melamarnya." Jawab Jaehwan asal. Ia memang tidak memiliki keinginan untuk menikah cepat. Ia masih muda. Jaehwan masih ingin menyelami masa mudanya. Selain itu, Jaehwan juga masih belum menemukan gairah untuk berbagi cinta dengan lawan jenis.
Merasa namanya disebut, Mijoo menoleh cepat setelah meneguk habis minumannya. Tatapan tak suka menghujam wajah manis sang kakak. "Kenapa jadi aku? Aku masih muda. Aku masih kuliah." Tolaknya ketus. Gadis itu mendorong gelas dan mangkuknya yang sudah kosong lebih ke tengah meja. Ngomong-ngomong, Lee Mijoo ini memiliki sifat yang hampir sama seperti Jaehwan.
"Kalau begitu belajar yang benar. Jangan pacaran saja! Seharusnya seusiamu itu sudah lulus. Tapi kenapa kau masih terlambat lulus?"
"Yaa! Unni! Aisshh, jinjja! Kau tidak malu kalau seandainya aku menikah dulu?!"
"Kenapa aku harus malu?" Jaehwan mengambil gelas susu lalu meneguknya pelan. Ia mengusap ujung bibir dengan serbet makan. "Silahkan kalau kau mau menikah dulu. Cepat suruh Hoseok ke rumah."
Mijoo mendecakkan lidahnya kesal. Ia melengos dari tatapan jahil Jaehwan. "Aku juga tidak mau menikah. Lagipula Hoseok perlu bekerja dulu sebelum menikahiku. Aku selesai. Aku tidur dulu. Selamat malam." Tukasnya dengan senyum dipaksa mengembang. Gadis itu bangkit dan meninggalkan mereka.
Jaehwan hanya menggeleng-geleng heran melihat tingkah sang adik yang notabene juga tidak jauh berbeda darinya. Oh, lebih baik sekarang ia bangkit dan membereskan meja makan itu. Ia tidak ingin berada lebih lama di dekat sang ibu. Telinganya masih ingin merasakan ketenangan.
Nyonya Lee menumpuk mangkuk yang kosong untuk dibawa ke wastafel. "Kalau kau sekali lagi tidak suka dengan pilihan eomma, eomma akan meminta tolong pada Hakyeon. Siapa tahu Hakyeon punya teman yang baik untukmu." Celetuknya seraya berjalan menuju wastafel. Meletakkan mangkuk-mangkuk kotor itu dan menyiramnya dengan air.
"Terserah eomma saja lah." Jaehwan ikut menyusul sang ibu dengan tangan membawa nampan berisi peralatan makan yang kotor. Ia menggeser tubuh sang ibu untuk menggantikannya mencuci piring. Sementara Nyonya Lee hanya bisa menghembuskan pelan nafasnya. Apa yang salah ingin segera melihat anaknya menikah?
Toh, Jaehwan juga sudah waktunya menikah.
.
.
.
.
Seandainya Taekwoon bisa lebih perhatian kepada Yein mungkin hal ini tidak akan terjadi. Anak semata wayangnya yang paling ia sayangi memilih tak mengacuhkannya dan menolak untuk makan. Taekwoon jarang berada dalam keadaan seperti ini. Karena selama empat tahun Yein ada di dunia, gadis cilik itu lebih sering bersama neneknya.
Hidup menjadi single parent memang bukan hal yang mudah. Ia harus membagi perhatian untuk Yein dan pekerjaannya. Namun karena Taekwoon bukan sosok lelaki yang begitu telaten dalam merawat anak, ia menyerahkan si kecil bersama orangtuanya. Yein juga menurut dengan neneknya. Hingga itu memberikan efek padanya. Yein terkadang suka tak mengindahkan kehadiran Taekwoon.
Biasanya ada Nyonya Jung yang menemani Yein setiap malam. Tapi berhubung Nyonya Jung sedang ke Jepang, mau tak mau Taekwoon yang turun tangan mengurus si buah hati. Dan hasilnya adalah seperti ini, Yein tidak mau makan. Padahal ini sudah jam sembilan malam.
"Yeinnie, ayo makan sayang. Yein tidak lapar?" Taekwoon membujuk Yein untuk yang ke sekian kalinya.
Lagi dan lagi Yein menggeleng. "Yein tidak mau sama appa! Yein mau sama halmeoni." Jawabnya dengan tangan mendorong piring makanan yang dibawa Taekwoon.
"Tapi halmeoni ada di Jepang, sayang. Ayo makan."
"Ajak Yein ke Jepang. Biarkan Yein sama halmeoni. Yein benci sama appa!"
Lalu gadis cilik itu beranjak dari duduknya dan berjalan menjauhi Taekwoon. Taekwoon hanya bisa menghela nafasnya. Ia meletakkan piring makanan, mengambil segelas susu lalu bangkit menyusul Yein masuk ke dalam kamar. Kalau memang Yein tidak mau makan, setidaknya segelas susu harus ia minum sebelum tidur.
Taekwoon membuka pintu kamar sang buah hati. Yein sedang tiduran di atas ranjang dengan memeluk boneka gorani kesayangan. Lekas ia mendekat pada Yein.
"Baiklah kalau putri appa tidak mau makan. Tapi minum susunya ya? Appa tidak mau kalau Yein sakit tidak makan apapun." Tangan Taekwoon mencoba untuk mengangkat tubuh si kecil untuk duduk. Beruntung kali ini Yein menurut. Gadis kecilnya duduk dengan wajah memberengut menggemaskan. "Ayo minum susu-nya." Taekwoon menyodorkan segelas susu cokelat kesukaan Yein.
Si kecil menerima gelas itu. Detik berlalu ia meneguk habis susu cokelatnya. Menjilat bibirnya dengan lidah lalu mengembalikan gelas itu pada Taekwoon. Taekwoon tersenyum melihatnya. Ia mengusak surai Yein sebelum meletakkan gelas itu di atas meja. Selanjutnya Taekwoon menyelimuti Yein yang telah berbaring. Satu kecupan dalam diberikan pada keningnya.
"Mimpi yang indah ya sayang. Kalau nanti Yein lapar bilang appa, eum?"
Yein mengangguk kecil. Gadis itu mulai memejamkan kelopak tipisnya. Taekwoon tersenyum kembali. Ia memperhatikan wajah tenang sang anak ketika tidur. Wajahnya cantik, hidungnya bangir, bibirnya merah muda dan tipis. Jujur saja, Taekwoon juga jarang sekali menemani Yein tidur. Biasanya ia akan pulang larut dan mendapati Yein sudah tertidur bersama neneknya. Bibir tipis Taekwoon kembali melengkung. Ia merasa miris dan kasihan melihat Yein. Gadis sekecil ini harus hidup tanpa ibu. Ah, Taekwoon mengerang kesal ketika mengingat siapa ibu dari Yein.
.
.
.
.
"Oh, selamat pagi.. Wajahmu kusut sekali, Jung Sajangnim?!"
Sapaan itu membuat Taekwoon berdecak pelan. Taekwoon tidak mengacuhkan pertanyaannya dengan mengarahkan atensinya pada daftar menu yang terpampang di atas sana. Ada yang perlu membuatnya kembali tenang sebelum berangkat bekerja.
"Satu papermint latte, tolong!" Ucapnya seraya merogoh kantung celana belakang. "Yang hangat saja dan bawa pergi."
Hakyeon berdecak. Ia mengetik cepat pesanan Taekwoon sebelum berbalik untuk membuatkan sendiri pesanan Taekwoon. Menunggu Hakyeon membuat pesanannya, Taekwoon hanya berdiam di meja kasir dengan mata yang mengedar. Kafe Hakyeon masih pagi sudah ramai. Pasti menyenangkan sekali jika ia punya waktu untuk duduk di tepi kanan kafe Hakyeon. Ada pemandangan air di dinding dengan suasana alam yang kentara.
Menyenangkan.
Sayang, ia tak punya waktu untuk itu.
Lalu Hakyeon menyodorkan pesanannya pada Taekwoon. "Ada masalah? Wajahmu bertambah kusut setiap harinya." Tanya Hakyeon.
"Yein." Ia mengangkat kopinya dan menyeruput sedikit. Membasahi mulutnya yang kering dengan sensasi pedas panas dari kopinya. "Aku semakin kesulitan untuk mengurusnya. Hahh.. apalagi pekerjaan kantor juga tidak bisa ditinggal begitu saja."
Hakyeon mangut-mangut. Wanita itu bisa melihat bagaimana wajah Taekwoon yang sedikit tertekan harus mengurus seorang anak sendirian. Mungkin memang ada ibunya, tapi ibu Taekwoon sesekali pasti akan keluar negeri untuk ikut mengurus bisnis sang suami. Mungkin ada Wonshik yang menjemputnya, tetap saja, di rumah Taekwoon sendiri yang harus mengurusnya.
"Sooyoung Eomoni?"
"Eomma sedang ke Jepang. Jika saja eomma tidak ke Jepang aku tidak akan seburuk ini."
"Berapa lama?"
"Mungkin dua minggu."
Dan Hakyeon ikut mendesah. Kasihan sekali Taekwoon. Lelaki berstatus teman baiknya itu harus mengurus Yein sendirian. Ia ingin membantu, tapi bagaimana dengan kafe-nya?
"Yein semakin besar. Dia pasti mulai mengerti sesuatu." Taekwoon mengerutkan keningnya. "Apa dia tidak bertanya tentang eomma-nya lagi? Apa dia tidak mencari eomma-nya lagi?"
Wajah Taekwoon mengeras mendengar kata ibu. Sesak dan sakit membuatnya meradang. Ia menggeleng cepat seakan menampik Hakyeon untuk tak lagi mengungkit masalah itu.
"Dia tidak menanyakan eomma-nya, tapi dia malah ingin bersama halmeoni-nya."
"Dan Sooyoung Eomoni tidak selamanya bisa bersama Yein, begitu?"
Taekwoon mengangguk ringkas.
"Kau perlu mencari istri baru. Sampai kapan kau akan seperti itu terus?!"
Taekwoon mendesah. Ucapan Hakyeon membuatnya bergejolak tak menentu. Sempat memang ia berpikir seperti apa yang diucapkan oleh Hakyeon. Tapi, susah rasanya untuk membuka hati. Ada bekas luka yang sulit untuk sembuh. Lagipula, ia juga belum jatuh cinta kepada siapapun.
Dan Taekwoon mengangkat tangan kirinya. Melirik kilat jam di tanga sebelum mengambil kopi yang ia letakkan di meja kasir.
"Aku akan pikirkan! Aku pergi dulu. Aku harus bekerja."
"Baiklah! Selamat bekerja!" Senyum manis mengantarkan Taekwoon untuk pergi dari hadapan Hakyeon.
Ketika tangannya mendorong pintu kaca kafe Hakyeon, ia tak sengaja nyaris bertubrukan dengan seseorang yang akan masuk ke dalam kafe. Senyum kecil diberikan sebagai ucapan maaf lalu ia melangkah pergi dengan tangan membawa segelas latte panas.
.
"Jae!"
Seru Hakyeon begitu melihat Jaehwan masuk ke dalam kafenya. Hakyeon lagi-lagi harus mengerutkan keningnya melihat wajah Jaehwan yang sama kusutnya seperti Taekwoon. Wanita muda yang biasa tampak ceria itu harus melepaskan desahan lelah dan berhambur masuk ke balik konter kafe. Lalu duduk dengan malas di salah satu kursi yang kosong.
"Bisa kau buatkan aku green tea? Aku butuh sesuatu yang menyegarkan." Pinta Jaehwan dengan tangan menyisir surainya yang sedikit berantakan dengan jari.
Sebelum Hakyeon beranjak dari tempatnya, ia lebih dulu meneleng.
"Hari ini hari apa?"
"Uh?"
"Hari Senin?"
Jaehwan mengernyit bingung. Kemudian ia menggeleng. "Rabu, kenapa?!" Tanyanya dengan bumbu kebingungan yang masih terdengar jelas.
"Wajah semua orang hari ini terlihat kusut." Hakyeon melangkah menuju tempat pembuat kopi. "Kau ada masalah?"
"Ya, masih sama."
Hakyeon berbalik. Manikan cantiknya menubruk pada Jaehwan yang tengah memperhatikan wajahnya pada kaca bedak. Sedikit memoles bedak yang hilang dan memainkan pewarna pada bibirnya juga.
"Apa?"
Jaehwan menurunkan tangannya. Tatapan matanya berubah malas. Ia memutar bola matanya kilat. "Apalagi kalau bukan perjodohan. Aku benar-benar bosan dengan keinginan eomma." Sahutnya mengeluh.
"Kau memang sudah waktunya menikah." Hakyeon mulai membuat pesanan Jaehwan. Tangannya cekatan memainkan bahan membuat green tea dan juga meraciknya menjadi minuman berkelas tinggi.
"Jangan menyuruhku! Kau juga sudah saatnya menikah, unni!"
Hakyeon tertawa kecil. Green tea racikannya sudah siap dan ia bawa ke hadapan Jaehwan.
"Setidaknya aku sudah punya kekasih. Tinggal menunggu kapan Wonshik melamarku. Sedang kau?" Ia mengulurkan green tea itu pada Jaehwan. "Siapa lagi yang dikenalkan padamu?"
Jaehwan menerima uluran green tea-nya dan mencicipinya kilat. "Banyak. Dan sama sekali tidak ada yang cocok denganku." Lalu ia mengangkat pandangannya dan menatap Hakyeon. "Apa eomma meminta unni untuk mencarikanku jodoh?"
"Tidak. Jikyung Eomoni tidak memintaku."
"Berarti belum."
"Maksudmu?"
Jaehwan memutar bola matanya malas sebelum bangkit. Memperbaiki letak tali tasnya; ia juga menggenggam gelas green tea dingin di tangan.
"Tunggu saja kalau eomma memintamu mencarikanku jodoh." Hakyeon menaikkan sebelah alisnya. "Jika itu terjadi, tolong tolak! Atau setujui dan carikan aku seseorang yang benar-benar aku suka."
Hakyeon ternganga dengan ucapan Jaehwan; antara ia yakin atau tidak yakin. Bahkan ia tak sadar jika Jaehwan sudah mulai menjauh dari pandangannya. Hakyeon pun geleng-geleng kepala. Tidak paham dengan apa yang terjadi pada orang-orang pagi ini.
.
.
.
Jam istirahat tiba. Jaehwan masih punya banyak energi setelah mengajar anak-anak kecil yang begitu semangat untuk belajar. Semula ia memang kehilangan banyak tenaga untuk mengajar saat berangkat. Namun melihat bagaimana tawa anak-anak kecil membuatnya kembali bersemangat dan tersenyum lebih lepas.
Ini salah satu alasan kenapa ia betah untuk bekerja dengan anak-anak kecil. Tawa dan senyum mereka selalu bisa membuatnya lebih baik. Sekalipun ia tersiksa dengan keinginan sang ibu. Tetapi semuanya seakan hilang ketika melihat wajah ceria pasukan muridnya.
Ia pun meletakkan buku mengajarnya di lemari; berniat untuk pergi makan setelah ini. Saat ia menutup pintu lemari, ia melihat wajah Taeyeon yang sedikit lelah. Ada masalah kah dengan muridnya?
"Unni?!"
Taeyeon menoleh. Sebelah alis naik sebagai tanggapan atas panggilan Jaehwan.
"Unni kenapa? Ada masalah?" Tanyanya seraya menarik kursi plastik di sebelah Taeyeon untuk didudukinya.
"Tidak. Aku hanya merasa heran saja."
"Apa?"
"Kau tahu Jung Yein kan?" Jaehwan mengangguk. "Anak itu sedikit berubah sekarang. Dia tampak tidak bersemangat ketika di kelas. Dia juga tidak antusias seperti biasa. Saat aku tanya kenapa, dia hanya menggelengkan kepala."
"Apa hari ini dia sendirian lagi?"
Taeyeon menaikkan sebelah alisnya. "Uh? Sepertinya iya. Aku tidak melihat halmeoni-nya mengantar." Jawabnya.
"Mungkin itu. Atau unni bisa memanggil appa Yein dan bertanya kenapa Yein jadi seperti itu."
"Bisa-bisa."
Lalu Jaehwan mengangguk singkat. Tiba-tiba ingatannya kembali menerawang saat ia bertemu dengan Yein kemarin siang. Gadis mungil itu sendirian, tanpa teman dan tampak kesepian. Jaehwan memang tidak dekat dengan Yein. Tapi ia tahu, biasanya akan ada neneknya yang menemani kemudian pulang dijemput Wonshik. Tapi kemarin? Gadis cilik itu sendiri.
Yang Jaehwan tahu tentang Yein adalah, ia merupakan anak orang kaya yang sudah tidak memiliki ibu. Jaehwan pun belum pernah melihat ayahnya; hal wajar, Yein bukan anak didiknya di kelas. Setiap hari sang nenek yang menjaga Yein sekolah. Kalau tidak, Wonshik yang bertanggung jawab tentang Yein. Kekasih Hakyeon itu yang menjemput Yein dan juga mengajaknya pulang.
Kasihan. Gadis sekecil itu harus terpisah dari ibunya. Jika nanti ia memiliki anak, ia pasti akan menjaga anaknya dengan baik. Ngomong-ngomong tentang anak, kenapa ia jadi kepikiran rencana sang ibu untuk menjodohkannya? Ah, Jaehwan ingat.
Sang ibu kembali mengabarinya bahwa ada laki-laki lain yang siap bertemu dengannya besok.
.
.
.
.
Kepala Taekwoon pusing sekali. Pijatan berulang yang ia lakukan di keningnya tak membuahkan hasil apa-apa. Masih tetap ada, rasa pening yang mendera. Ia nyaris gagal fokus saat rapat tadi. Jika saja ia tak bisa mengendalikan pikirannya mungkin ada banyak kekecewaan yang muncul dari rekan kerja Taekwoon.
Penyebabnya apa? Salah satu panggilan yang ia terima dari wali kelas Yein. Kabar tentang perubahan sikap Yein membuatnya kalang kabut. Kenapa? Kenapa si kecil jadi pemurung seperti itu? Apa? Apa karena tidak ada neneknya?
Taekwoon menghembuskan pelan nafasnya. Jika terus-terusan seperti ini, ia bisa gila. Ya kalau sang ibu akan pergi keluar negeri hanya sekali? Kalau berulang kali?
Lantas ia meraih cangkir latte-nya yang mulai dingin. Kepulan asap yang sempat mengumpul telah hilang sepenuhnya. Menyisakan cairan cokelat pekat yang dingin; sedingin suhu udara yang tercampur hembusan ac. Selanjutnya, ia membiarkan pekat itu tergelincir dalam kerongkongan.
"Proposal dari Daewoon Group, ingin kau periksa sekarang?" Wonshik datang dengan file di tangan. Taekwoon melirik sekilas ketika Wonshik mulai meletakkan file itu di atas meja. "Kau kenapa? Masih pusing?"
Taekwoon menghembuskan nafasnya lelah. Ia menegakkan tubuhnya dan menatap dalam Wonshik.
"Apa memang aku harus mencari pengganti Yoona? Aku merasa kewalahan mengurus Yein."
Ada lipatan tipis di kening Wonshik. Ia lekas duduk di depan Taekwoon.
"Aku dan Yein tidak begiu dekat saking sibuknya pekerjaanku. Aku bingung harus menghadapi Yein bagaimana lagi."
"Kenapa? Bukankah Yein baik-baik saja?"
Taekwoon mengenggeleng tak setuju. "Kim Taeyeon-ssi, guru Yein menelpon. Dia mengatakan kalau Yein menjadi pemurung. Dia tidak semangat seperti biasanya, prestasinya menurun. Aku takut kalau terus-terusan seperti ini malah akan mengganggu mentalnya." Jelas Taekwoon dengan kekhawatiran yang kentara.
Wonshik paham dengan maksud Taekwoon. Sangat paham. Selama ini ia cukup dekat dengan Yein. Ia tahu jika Yein adalah anak yang ceria. Kalau tiba-tiba menjadi pemurung seperti itu, wajar jika Taekwoon panik dan khawatir.
Ia pun menepuk pundak Taekwoon.
"Apa kau yakin jika Yein membutuhkan eomma baru?" Tanya Wonshik yang ditanggapi bahu mengendik singkat. "Kalau kau masih ragu, lebih baik tanyakan dulu kepada Yein. Siapa tahu, Yein tidak butuh eomma baru. Siapa tahu jika dia hanya butuh kau yang seharusnya bisa bersamanya. Percuma saja jika kau memberikannya eomma baru tapi kau masih tidak memiliki waktu untuknya."
Taekwoon bergeming. Telinganya masih baik mendengarkan ucapan Wonshik.
"Tapi jika memang Yein membutuhkan eomma baru, kau perlu memikirkannya baik-baik. Tidak usah terburu-buru, yang pasti berikan yang terbaik untuk anakmu."
Sebait kalimat yang terdengar dari bibir tipis Wonshik memang ada benarnya. Ia perlu bertanya pada Yein. Ah, yang paling membuat Taekwoon tertohok dengan ucapan Wonshik adalah, ia perlu mendekatkan diri lebih dekat dengan Yein. Perhatian yang ia berikan pada Yein masih kurang. Mungkin itu yang membuatnya jadi kewalahan mengurus Yein seorang diri.
Tapi untuk ibu baru..
Apakah ia bisa memberikan seandainya Yein memang memintanya? Lalu bagaimana jika Yein bukan meminta ibu baru melainkan ibu kandungnya sendiri? Bagaimana? Apa yang harus Taekwoon lakukan jika itu terjadi?
Dan Taekwoon tak tahu harus melakukan apa.
.
.
.
.
TBC
.
Halooooooo...
Saya kembali lagi.. wkwkwkwkw,
padahal saya udah bilang mau hiatus yaaaa?
Udah hiatus selama sebulan, wkwkwkw
Saya gatel pengen bikin FF, dan saya bikin ini deh..
Bagaimana?
Silahkan direview, semoga kalian suka yaaa..
Oh ya, kalo banyak yang review bakal saya lanjut.
Minimal lima review lah, nanti saya lanjut.
Kalo gak ada lima ya gak saya lanjut. Ha ha ha ha ha
Jadi?
.
.
Terima kasih sudah bersedia baca~
.
.
Salam hangat
.
.
~Arlian Lee~
