Disclaimer: Naruto milik Masashi Kishimoto.

warn: AU; OOC; sasosaku friendship!romance

dedicated for SasoSaku event:

A Lifetime of Memories II

theme: quote

enjoy read~


"Not all of us can do great things. But we can do small things with great love."—Mother Teresa.


Perempuan itu bernama Sakura Haruno, masih muda—duduk di salah satu bangku yang berada di dalam toko. Sendirian, ditemani dengan beberapa hidangan manis yang menambah kalori.

Dia kelihatan sibuk dengan pikirannya sendiri. Beberapa kali, entah sadar atau tidak; Sakura menarik kedua sudut bibirnya membentuk lengkungan senyum.

Sakura sudah menduga jika dalam persahabatan antara pria dan wanita, pasti akan berakhir seperti ini, entah sejak kapan dia menyadari jika ada rasa yang berbeda ketika pandangan mereka saling bersinggungan satu sama lain.

Kala jemari keduanya saling bertautan melengkapi celah … rasanya hatinya bak berpesta pora. Semuanya begitu flegmatis. Banyak yang bilang; jika cinta adalah sumber kebahagiaan. Tapi juga sumber lara.

Sakura paham setiap kebahagiaan tak akan sempurna tanpa terselip rasa sakit.

Rasa sakit yang menelusup ke dalam hatinya ketika kian hari mereka semakin tumbuh dan berkembang, membuatnya menyadari betapa banyak gadis yang terpikat oleh ketampanan sahabatnya yang tahun ini genap berusia 20 tahun sama dengannya itu.

Haruno Sakura bukan lagi gadis kecil berusia tujuh tahun yang senang memakai gaun-gaun manis berenda dan gemar menangis, dan sahabatnya Akasuna Sasori juga bukan lagi seorang bocah laki-laki yang suka bermain game dan bercita-cita menjadi jagoan.

Sakura tersenyum tipis, mengingat bagaimana tingkah Sasori yang dulu ingin menjadi jagoan demi menghajar orang-orang yang membuatnya menangis, untuk melindunginya.

Apakah Sasori masih mengingat impian masa kecilnya itu?

Dia bertanya-tanya dalam benaknya sendiri, sesekali tersenyum sembari menggigit salah satu sisi cake-cup the detzel miliknya yang rasa manis dan lembut memanjakan indera pengecapnya.

Bee's Knees ramai dengan para pengunjung, dan Sakura nampaknya tidak merasa terganggu dengan suasana riuh dalam toko kue favoritnya.

Terlebih karena dua bulan belakangan ini, toko kue itu menggeluarkan trobosan terbaru; yaitu konsep cake-cup berlapis frosting dengan bolu seperti remahan yang ditumpuk rapih dan dimasukkan ke dalam gelas bourbon, tentunya sebagai penggemar makanan manis, Sakura tak akan mau melewatkan untuk mencobanya dan sejenak melupakan acara dietnya.

Sakura menyingkirkan sejenak kuenya, tangan kanannya merogoh satchel bag-nya untuk mencari ponselnya. Dia lalu mendial nama 'Sasori' dan mendekatkan ponsel itu ke telinganya. Rasanya terlalu memikirkan pria berwarna rambut semerah darah itu membuatnya rindu untuk menyapa.

"Hallo?" suara serak layaknya orang yang baru terbangun dari dunia mimpi membuat Sakura mengulas senyum. Pasti Sasori kelihatan sexy dengan rambut merah yang sedikit acak-acakkan tak tersisir.

"Hmmm … apa yang dilakukan pria yang tengah beranjak dewasa hingga bangun sesiang ini?" Sasori yang berada di seberang sana terkekeh pelan. "Kau pasti ke club semalam?" tebaknya yakin.

"Kuberi kau nilai sepuluh karna analisismu yang tepat, Saki…"

Sakura merenggut, lagi-lagi sahabatnya itu menghabiskan malam yang panjang dalam hingar bingar club yang dipenuhi oleh bau alkohol dan rokok. Kira-kira apa ya yang dilakukan pria itu selain meminum berbotol-botol minuman berakohol kesukaannya hingga gemar sekali ke tempat itu, pikir Sakura. Berharap bahwa itu bukan sesuatu yang buruk; seperti bermain jalang contohnya.

"Cepatlah mandi setelah mengonsumsi aspirinmu, lalu jemput aku di Bee's knees." Sakura berkata sambil memilin anak rambutnya ke samping telinga.

"Kau memang selalu merepotkan," dengusan Sasori yang terdengar olehnya tak bisa menahan dirinya untuk tersenyum. "Ya, ya… tunggu aku setengah jam lagi," meski merepotkan, tapi toh nyatanya Sasori tak pernah bisa menolak permintaannya.

Sambungan telepon terputus, dan Sakura kembali dengan kegiatan awalnya. Hari minggu merupakan surga bagi para pelajar—um, tapi tidak juga. Karna dia masih harus disibukkan dengan beberapa tugas makalah yang diberikan oleh dosen jurusannya.

.

.

.

"Eh? Kau yakin mengajakku ke Rucker Park?"

Perempuan muda itu bertanya heran sambil mengernyitkan alis. Pria tinggi dengan tubuh atletisnya yang terbalut oleh t-shirt berwarna coklat tua itu hanya mengangguk singkat sebagai jawaban.

Jelas saja Sakura terheran-heran.

Apa sih bagusnya Rucker Park? Setahunya tempat itu adalah lapangan basket yang terletak di Harlem. Ya, lebih masuk akal disebut sebagai lapangan basket dari pada taman.

"Memangnya tujuanmu ke sana untuk apa, Sasori?" masih penasaran, Sakura bertanya lagi. Bola mata sewarna jade itu memicing ingin tahu. Sasori mengangkat sebelah alisnya, balas menatap acuh sahabat merah mudanya itu.

"Hn. Main basket."

Gadis itu melongo untuk beberapa saat.

Main basket? Bukankah Sasori tidak pandai bermain basket? Adakah jawaban pria Akasuna itu yang sedikit lebih masuk akal, pikir Sakura dengan ujung bibirnya yang berkedut jengkel.

"Kau bercanda ya?"

"Sakura, bisakah kau tutup mulutmu, dear?" bukan hanya bungkam. Sakura kini memilih untuk menundukkan kepalanya. Rona kemerahan menyembul dikedua belah pipi seputih porselen itu. Sedangkan Sasori, entah apa maksudnya—pria berambut merah itu menyeringai tipis melihat gadis itu mati gaya.

Dalam hati Sakura meruntuk. Perempuan yang membiarkan surai merah jambunya jatuh terurai itu memilih untuk menatap trotoar jalanan kota Manhattan.

Entah apa maksud dari Sasori yang menjemputnya tanpa membawa mobil atau kendaraan apa pun—sehingga mereka berdua akhirnya memutuskan untuk berjalan kaki sampai menemukan taxi yang kosong.

Tapi entah kenapa, bagi Sakura; dia seperti menyelam dua tiga pulau terlampaui.

Karena tangan kekar pria Akasuna itu menggenggam jemari kurusnya erat, berbagi kehangatan.

Dua orang yang masih tercatat sebagai warga Negara Jepang yang tinggal di New York untuk melanjutkan study masing-masing itu bungkam satu sama lain.

Sasori yang sudah dasarnya memegang teguh prinsip milik Gaara sepupunya yaitu—keep calm and stay cool tampak biasa-biasa saja. Lain dengan Sakura yang berisik. Gadis yang memiliki aroma harum musim semi itu sendiri bingung harus berucap apa.

"Kau tidak akan macam-macam 'kan Sasori?" akhirnya Sakura bisa menemukan bahan perbincangan. Pria itu mendengus, dengan bibirnya yang sedikit berkedut.

"Aku? Macam-macam dengan gadis berdada rata sepertimu?"

Sakura memberi death-glare. Dia tahu sahabatnya itu memang jauh lebih mesum semenjak beranjak menjadi pria dewasa, dengan hormon-hormon seksualnya yang semakin meningkat menurut Sakura dari hari ke hari. Dia yakin Sasori pasti pernah menjadikannya sebagai objek masturbasi.

"Aku. Tidak. Rata." Mengepalkan tangannya, dengan wajah putihnya yang merona karena malu (atau marah) mendongak menatap pria itu.

Enak saja mengatainya dada rata—yang artinya tidak memiliki body mirip gitar spanyol.

"Hm?"

"Kau menyebalkan!"

Sasori memilih untuk tidak merespon. Pria itu berjalan ke pinggir trotoar tanpa memperdulikan Sakura yang mungkin tersulut emosinya. Melihat Sasori yang ternyata menyetop taxi, gadis itu langsung menyusul Sasori dengan tergesa-gesa.

"Biarpun menyebalkan, toh nyatanya kau tidak menolak ajakkanku. Ya, 'kan? sayang?"

.

.

.

Sakura kelihatan tidak begitu tertarik dengan tempat ini.

Rucker park memang tampak ramai oleh para laki-laki yang sibuk bermain basket—dan beberapa pasangan kekasih. Tempat ini sama saja, tidak ada kelopak bunga bermekaran yang menghias meski telah memasukki pertengahan musim semi. Ini sih tidak ada menarik-menariknya, pikir Sakura setengah kesal.

Sasori kali ini tidak menggenggam jemarinya, pria itu lebih memilih memasukkan kedua tangannya di saku celana jeans hitam yang dikenakannya.

"Sasori, untuk apa kita ke sini?" dia bertanya karena jengah bungkam sejak tadi.

"Apa menurutmu lebih baik kita duduk di bangku itu saja, ya? Saki," bukannya menjawab, pria itu malah memberi pertanyaan atau lebih tepatnya pernyataan karena tanpa persetujuan gadis itu. Sasori telah lebih dulu duduk di sana. Sakura menekuk wajahnya kesal, menurutnya pria itu sangat aneh hari ini.

"Duduklah." Sasori menawarkan dengan menggeser sedikit duduknya. Sakura menjawab cepat tanpa menoleh.

"Tidak."

Sakura memilih untuk berdiri, enggan menatap sahabatnya yang menurutnya sangat menyebalkan. Sedangkan Sasori, pria itu mulai mengambil ponsel dalam saku celananya, memainkan benda berwarna hitam itu—seperti mengetik, dengan sedikit berpikir, terbukti dari keningnya yang berkerut.

Dia mulai merasa pegal di persendian kakinya karena berdiri. Sebenarnya Sakura ingin duduk, tapi nanti Sasori menilai dirinya tidak konsisten. Sakura mengernyit kala merasa ponsel yang dia taruh dalam saku coatnya bergetar.

Sakura mengambilnya dan melihat apa yang tertera di layar:

One message from Sasori

Kerutan di dahinya bertambah menyadari siapa pengirimnya. Dia melirik sekilas kearah Sasori, pria itu tidak melakukan apapun selain menatap orang-orang yang sedang bermain basket—atau mungkin lebih tepatnya membuang mukanya yang sedikit merona, dan tentunya Sakura tak menyadari perubahan itu.

Tidak semua dari kita dapat melakukan hal besar. Tapi kita bisa melakukan banyak hal kecil dengan cinta yang besar. Kuharap kau mengerti maksudku, Sakura.

Berpikir untuk beberapa saat—mencerna baik-baik maksud dari pria Akasuna itu.

Cinta yang besar?

Eh, Cinta?

Kontan wajah seputih porselen itu kembali merona, lebih merah dari yang sebelum-sebelumnya. Tapi iris jade itu kini berbinar, seperti ada suatu kebahagiaan yang mengambang di sana. Dia segera menghampiri Sasori yang tetap stay cool dan memasang raut wajah datar andalan pria itu.

"Sasori?"

"Hm?"

"Kau bercanda, ya?"

"Hm."

"Maksudmu apa sih?" mendengar jawaban singkat yang tidak jelas artinya itu membuat Sakura kembali dongkol. Angin dengan tiba-tiba bertiup sedikit kencang, menerbangkan helaian merah muda milik Sakura.

"Kau masih tak mengerti?"

Kini keduanya saling bertatapan—jade bertemu dengan coklat madu—mungkin bukan perpaduan yang indah.

"Ehm, mungkin aku bukan orang yang puitis. Tapi kau tahu, dengan cinta yang besar, kita mampu melakukan banyak hal-hal kecil." Sasori memutus sejenak penjelasannya, menarik napas.

"Aku mencintaimu entah sejak kapan, atau kenapa, atau bagaimana. Aku tidak pernah berpikir akan jatuh hati pada perempuan berisik dan cengeng sepertimu, kupikir aku akan mencintai perempuan yang sesuai dengan tipeku. Tapi kamu tahu, bahwa cinta memang tidak butuh alasan, dan sangat absurd." Sakura menekuk wajahnya mendengar penuturan Sasori yang secara terang-terangan menghinanya.

"Jadi, mau jadi kekasihku? maksudku, kita bisa menjalin hubungan yang lebih jauh. Bukan hanya sebagai sahabat, ah, you know what i mean." Menyatakan cinta tak pernah semudah mengerjakan soal ujian bagi Sasori. dia berkeringat dingin. Berharap-harap cemas.

Sakura terdiam—apa ini hanya sebuah delusi? Kenapa di sepasang manik matanya Sasori terlihat merona? Ah, memikirkan itu semua membuat otaknya terasa penuh.

"Kau kesambet ya, Sasori?"

Sakura memberi pertanyaan konyol yang membuat Sasori jengkel.

Sasori membuang napas, dia sepertinya salah karena mengikuti saran Gaara yang bilang jika menembak seorang gadis tidak perlu berbagai macam susunan kata-kata romantis.

Tapi ini? Kemana sih otaknya Sakura yang setahunya jenius itu? Sasori tak habis pikir.

Melihat wajah setengah frustasi sahabatnya itu, Sakura diam-diam menyembunyikan tawanya yang hampir meledak.

Dia paham—tentunya seorang gadis memiliki sifat lebih peka dibanding pria.

Jadi Sakura hanya berpura-pura bodoh. Sekali-sekali tidak ada salahnya membodoh-bodohi orang pintar seperti Sasori, 'kan?

Cup ... Sasori kaget saat merasakan sebuah bibir yang lembut menyentuh permukaan bibirnya, hanya sekilas dan sangat sebentar.

Pria itu memandang Sakura bingung, dengan tatapan yang bisa diartikan sebagai apa-maksudnya-Sakura?

"Kau saja yang tidak peka. Sejak puber, aku mulai mencintaimu. Tapi kau benar, kita bisa melakukan banyak hal kecil dengan cinta yang besar. Meskipun caramu menembakku tidak romantis sama sekali," cibir Sakura dengan senyuman mengejek.

Sasori bangkit dari duduknya, mendekatkan wajahnya pada telinga Sakura, lalu berbisik. "Itu tidak penting. Dan maafkan aku karena mengutarakannya di sini—ini semua berkat saran Gaara."

Gaara? dia bukan pria romantis dan Sakura tahu benar bagaimana sifat lelaki itu.

Lalu, Sakura merasa seperti terbang tinggi ke langit, dan mendarat tanpa ancang-ancang saat dia merasa sesuatu yang lembut menyapu bibirnya, begitu basah dan membuai. Otaknya tak mampu mencerna—bungkam melihat kelihaian Sasori yang mencium bibirnya tanpa izin dari sang pemilik.

"Aku mencintaimu, Sakura."

Katanya, memejamkan mata, tak peduli dengan lingkungan sekitar.

Ini akan menjadi kenangan yang terlalu indah untuk kedua sahabat itu—atau yang baru berganti status sebagai sepasang kekasih. Benar kata orang, dalam pertemanan pasti ada cinta, tapi dalam cinta tidak ada pertemanan. Cinta hanya cinta.

.

.

.

selesai. terimakasih sudah membaca. ini fanfict pertama yang saya publish, dan mengalami beberapa perubahan karena telah saya edit. berniat memberikan concrit?