A/N: Umm… halo, minna. Saya author baru di fandom Naruto ini. Mohon bimbingannya. XD

Uhh… Saya tahu bahwa fic ini sepertinya tidak lazim mengingat pairnya adalah MinaNaru atau bisa disebut Namikazecest. Tapi tenanglah, fic ini adalah AU (Alternative Universe) Minato dan Naruto tidak memiliki hubungan darah sama sekali. Dan jika Anda tak menyukai pair ini, silahkan meninggalkan fic ini. Saya tak akan menghiraukan flame yang isinya hanya menghina soal pairingnya saja. Karena flame seperti itu menurut saya kurang bijak. ^^

Warning : AU, amatir, mungkin typo. Bagi yang tidak suka sho-ai atau yaoi atau boyxboy, segeralah menyingkir! ^^

DON'T LIKE DON'T READ!

DIAMOND IN THE ROUGH

Disclaimer: Masashi Kishimoto

Genre: Romance/Humor

Pairing: MinaNaru

Rating: T

Story by: Viero Eclipse

-Chapter 1-

Seorang pemuda berdiri tegap dalam kerumunan eksistensi. Guratan masa itu sungguh membuatnya tenggelam dalam kepenatan nalar. Sebuah rutinitas monoton haruslah selalu ia jalani. Meski kata hati dan perasaan segan, masa bodoh dengan hal itu. Ia tak punya pilihan lain.

Rambut pirang keemasannya tergerai pasrah. Tubuh seakan lunglai berkat desakan kerumunan orang di sekitarnya. Helaan napasnya memberat. Tidak nyaman, sakit kepala, terjangkit stress, semua melebur menjadi satu. Yang bisa ia lakukan, hanyalah mempererat genggaman tangannya pada seuntai pegangan bis. Inilah akibatnya jika ia terlambat 5 menit saja di halte bis.

Sungguh nasib.

"Sial. Aku sudah terlambat 20 menit. Tsunade pasti akan marah padaku." keluhan terlontar dari mulut pemuda itu. Pikirannya mengalami falter akibat rasa cemas yang tersugesti dalam dirinya sendiri. Namikaze Minato mungkin tak pernah menyangka bahwa profesinya sebagai pegawai di salah satu perusahaan swasta di Konoha tidaklah selalu menyenangkan. Terkadang, ia berpikir bahwa balutan jas hitam formal yang ia kenakan setiap kali bekerja selalu membuatnya tampak terlihat bodoh. Ia tak bisa mengelak. Pekerja kantoran harus berpenampilan rapi. Itu adalah aturannya.

"Ayo, silahkan dipilih! Kacang-kacang! Minum! Mainan!" seorang penjual makanan keliling mendadak terlihat berjalan menjajakan dagangannya kepada para penumpang bis. Kedua mata biru cobalt milik Minato lekas menatap ke arah sekelilingnya. Sama saja. Rangkaian pemandangan yang ia lihat setiap harinya sungguh tak memiliki satupun perbedaan. Beberapa penumpang lain saling tak peduli. Acuh tak acuh. Sesekali terlihat memikirkan sesuatu. Tak langka pula menemukan beberapa orang yang tenggelam dalam lamunan. Itulah manusia. Makhluk sosial yang terkadang terlihat lebih individualis dari kelihatannya. Minato takkan menafikkan hal itu. Karena ia merupakan eksistensi yang juga masuk ke dalamnya.

"Tuan, maukah Anda membeli dagangan saya lagi?"

Dan kini, berdirilah Sang penjual makanan keliling itu di hadapan Minato. Lagi-lagi seperti ini. Jika penjual itu tak mampu menjual dagangannya, ia pasti akan memohon pada Minato untuk membeli sebagian dari dagangannya.

Mengapa harus Minato?

Hal itu karena Minato adalah seorang pemuda dengan hati putih selapuk kapas bertitahkan mutiara belas kasih yang berlimpah. Gambaran kebaikan Minato mungkin terkesan begitu redudansi, tapi fakta sungguh tak bisa dirubah lagi. Itulah realitas yang terjadi dan Minato seakan tenggelam dalam sirkulasi dejavu yang berkepanjangan akibat rutinitas klise yang ia jalani itu.

"Apa tak ada jajanan lain selain kacang?" tanya Minato. Penjual makanan itu lekas mengeluarkan dagangannya yang lain.

"Saya juga menjual beberapa minuman penambah stamina jika Anda berkenan." Minato tampak skeptis dalam mempertimbangkan sesuatu. Ia ingin membeli beberapa jajanan untuk ia berikan kepada Tsunade agar atasannya itu terlalu marah karena keterlambatannya di kantor. Tapi ia tak mungkin membelikannya kacang. Selain jajanan itu tidak terlalu elit, Minato tak ingin lagi indra pendengarannya menjadi rusak hanya karena terhantam jeritan Tsunade saat timbunan jerawat muncul di paras wanita itu. Dan jangan lupakan juga bahwa Minato pernah tereksekusi hukuman rajam kacang di seluruh tubuhnya sebagai bentuk kekesalan Tsunade. Percayalah, bahwa Tsunade yang sedang marah, sama artinya dengan mimpi buruk.

"Aku beli minuman kesehatan saja."

"Apa Anda tak ingin membeli sebotol jamu awet muda buatan istri saya, Tuan?"

"Ah... Tidak perlu. Aku takut jika aku membelikan atasanku minuman itu, ia akan menjadi tersinggung dan mengira bahwa aku menganggapnya sebagai wanita tua. Beliau sangat sensitif dengan masalah penampilan." Sang penjual itu hanya mengangguk mendengar penjelasan Minato. Sungguh, Minato benar-benar tak ingin mengambil resiko terburuk. Tsunade merajam sekujur tubuhnya dengan ratusan kulit kacang itu sudah cukup menyakitkan. Apalagi jika wanita itu merajamnya dengan botol-botol jamu awet muda. Sungguh, Minato tak bisa membayangkannya.

"Terima kasih banyak, Tuan." penjual itu pada akhirnya lekas berlalu. Minato menghela napasnya sejenak.

Ini akan menjadi hari monoton yang sangat panjang.


"Bagus, Minato. Kau sangat menjunjung tinggi budaya terlambatmu itu. Bagus sekali. Lanjutkan!"

Pernyataan sarkastik itu teralun dengan begitu sentimental dari mulut seorang wanita yang kini terlihat duduk tepat di atas meja kerja Minato. Kedua tangan ia silakan di dadanya. Tatapan yang menyiratkan rasa muak kini telah menjadi pemandangan yang harus dilihat Minato. Monotonitas kedua akan segera dimulai.

"Maafkan aku, Tsunade-san. Tadi aku..."

"Sudahlah, tak perlu alasan! Aku bosan mendengarkan ceramahmu tentang alarm jam yang tak berfungsi, ketinggalan bis, terlena dalam laundry, kurang tidur sampai-sampai kau terlelap di toilet, terlalu terpukau dengan kicauan burung di pagi hari sehingga kau lupa waktu, terlarut dalam acara berbagi kasih dengan penjual makanan di bis, ikut arisan massal dengan para ibu-ibu..."

"Uhh... Ikut arisan massal dengan ibu-ibu itu bukan alasanku, Tsunade-san. Itu tema ceramah keterlambatan Kakashi."

"Ah! Sudahlah! Aku tak mau tahu lagi! Bagiku, kalian semua sama saja! Apapun yang terjadi, tetap saja kau tak bisa meremehkan pekerjaanmu, Minato! Setidaknya kau bisa memikirkan bagaimana kinerja pegawai yang profesional!" dengan perasaan kesal, Tsunade pun beranjak dari meja kerja Minato dan langsung meletakkan tumpukan berkas tepat di hadapan Minato. Pemuda itu terlihat pucat seketika.

"Ini..."

"Ini adalah berkas yang harus kau selesaikan laporannya hanya dalam waktu 3 jam saja."

"A-Apa? Semua ini dalam 3 jam!"

"Kenapa? Apa ada masalah?" tatapan pembunuh dari Tsunade semakin membuat Minato berparas horor. Sungguh, tugasnya kali ini benar-benar jauh dari kata realistis.

"Ti-Tidak, tidak ada masalah. Aku mengerti."

"Bagus. Jika sudah selesai, serahkan seluruh berkas laporan itu padaku."

"Tu-Tunggu..."

BRAAKK!

Belum sempat Minato mengatakan maksudnya, Atasannya itu sudah berlalu pergi dan menutup pintu ruangannya dengan amat kasar. Setelah momen menegangkan itu berlalu, hanya menyandarkan diri di kursilah yang dapat ia lakukan. Ia pun mulai memijat dahinya perlahan-lahan.

'Aku tahu bahwa kewajibanku ini masih belum ada apa-apanya jika dibandingkan dengan orang lain. Tapi jujur saja, aku merasa bahwa semua ini cukup berat bagiku.' keluhan itu terjerit pilu di dalam sanubari Minato. Lelah. Kedua mata biru langitnya itu terlihat begitu lelah. Sebisa mungkin mengalihkan pandangan dari tumpukan berkas-berkas keji yang ada di atas meja. Menarik napas dalam-dalam. Ya, inilah dia. Inilah dunianya. Selamat datang dalam dunia Namikaze Minato.

Konoha Godaime Corporation

Sebuah perusahaan swasta tempat Namikaze Minato bekerja dan memperjuangkan hidup. Di usianya yang kini telah menginjak 23 tahun, ia pun berusaha untuk merintis karirnya sematang mungkin. Dengan berbekal gelar sarjana dan beberapa piagam penghargaan akademiknya, Minato bisa dengan mudah diterima bekerja di salah satu perusahaan swasta terprospek di Konoha itu.

Meski begitu, monotonitasnya tidaklah selalu berjalan mulus. Sebelumnya, Minato hanyalah seorang pemuda biasa yang hidup secara nomaden. Ia berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain sendirian. Ia sudah cukup mandiri untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Dan ia bukanlah tipe orang yang suka menyusahkan orang tuanya. Justru sebaliknya, ia senang jika ia dapat membuat orang tuanya bangga akan kesuksesannya. Ia memang merupakan seorang pemuda yang sangat jujur dan bertanggung jawab.

Menjadi seorang pemuda yang biasa saja, bukan berarti Minato tidak memiliki kelebihan apapun. Selain ia dikenal sebagai orang yang cukup cerdas dan berbakat, ia juga dianugerahi serangkaian fisik yang cukup sempurna. Ia cukup beruntung memiliki wajah yang sangat tampan diiringi dengan postur tubuh yang ideal. Tak heran jika banyak sekali wanita atau bahkan pria, yang mengelu-elukan dirinya dan menjadikan figurnya sebagai sosok pujaan. Dan hal itu bukanlah sebuah kebanggaan di mata Minato. Tapi justru menjadi serangkaian benih-benih masalah yang merepotkan. Ibarat sebuah jalan yang harus kita lalui. Terdapat banyak kerikil dan terjal yang harus kita lalui juga. Ya, meski hidup monoton sekalipun, selamanya tak akan selalu berjalan lurus. Terkadang, ingin sekali Minato menjadi orang yang sederhana tanpa harus memiliki kelebihan-kelebihan seperti ini. Namun, ia pun berpikir, jikalau ia tak memiliki kelebihan apapun, mungkin hidupnya juga tak akan selancar sekarang. Ia sangat bersyukur dengan apa yang ia dapatkan selama ini.

"Kakashi-san, jangan lupa untuk meminta tanda tangan Minato-sama untukku!"

"Aku juga! Jangan lupa requestku! Aku ingin mendapatkan foto Minato-san dengan kostum Bruce Lee~"

"Sampaikan isi hatiku bahwa aku cinta padanya sampai mati!"

"Aku menginginkan rekaman suara seksinya saat ia bernyanyi di dalam WC!"

"Aku ingin mengoleksi celana dalamnya!"

...

...

What the...

BRAAKK!

Dalam sekejap mata, pintu ruangan Minato kembali terbuka dengan cukup brutal. Baru saja ia memikirkan kelebihan fisiknya, bukti nyata itu datang. Seorang pemuda berambut kelabu dengan wajah yang tertutup masker, terlihat berjuang keras untuk mempertahan nyawa di tengah-tengah kerumunan para wanita di depan pintu. Hatake Kakashi, pria itu seakan menjadi benteng pelindung bagi Minato. Karena jika pria berambut kelabu itu tak menahan para wanita di luar sana, mungkin saat ini Minato sudah menjadi santapan para wanita-wanita liar itu.

"I-Itu Minato-sama! Kyaaaa~ Minato-sama! I luph u full!"

"KYAAAAAAA~"

Respon gila membumbung tinggi ke titik supremasi dikarenakan setitik stimulus yang tak terlalu significant. Melihat seorang Namikaze Minato yang terduduk di atas meja kerjanya dalam keadaan pucat saja sudah membuat para karyawati yang bekerja di Godaime Corporation meronta liar. Jeritan ala fangirl semakin memasuki oktaf tertinggi. Bahkan lengkingannya cukup mampu membuat telinga Kakashi mengalami pendarahan hebat, Sang Direktur utama yakni Tsunade, mendadak menderita sakit gigi, para cleaning servis kaum manula mendadak terserang penyakit jantung dan seekor anak anjing imut tak berdosa yang kebetulan melintas di depan gedung Godaime Corporation mendadak sekarat. Sungguh kasihan sekali.

"AARRGH! Apa yang kalian lakukan di sini, hah! Cepat kembali bekerja!" dan jangan salahkan jika kini Tsunade mendadak marah besar seraya mengepalkan kedua tangannya layaknya petinju dunia. Aura kemarahan Sang Direktur utama itu cukup mampu untuk membuat segenap fangirl Minato ketakutan dan kembali ke tempat mereka masing-masing. Distopia berakhir. Dan nyawa Kakashi pun pada akhirnya tertolong.

"Kakashi, apa yang kau lakukan di ruangan Minato? Apa laporan yang kuberikan sudah kau fiksasikan, hah?" Tsunade tampak skeptis. Kakashi hanya dapat menjawab dengan begitu lemah.

"Aku sudah menyelesaikan sebagian, Tsunade-sama. Aku menghadap Minato karena ingin menyerahkan beberapa perincian keuangan. Itu saja."

"Oh, begitu. Ya sudahlah. Sebaiknya kau jangan masuk ke ruangan Minato jika tak ada urusan penting. Teriakan-teriakan girang mereka sudah hampir membuatku gila." keluh Tsunade.

Kakashi pun mengangguk. "Aku mengerti."

"Baguslah. Sekarang, aku akan pergi mencari Shizune. Sepertinya telah terjadi keretakan dalam gigiku. Sialan!" Tsunade pun pada akhirnya berlalu dengan emosi yang labil. Kakashi menghela napasnya tanda lega. Setelah menutup pintu, ia pun disambut tatapan skeptis Minato.

"Ada perlu apa, Kakashi?"

"Aku hanya ingin menyerahkan laporan ini. Aku sungguh heran, bagaimana kau bisa melarikan diri dari para wanita iblis itu. Kian hari, mereka semakin menakutkan saja."

Keluhan Kakashi membuat Minato tertawa. Pemuda tampan itu tersenyum seraya berkata, "Aku selalu kabur melalui pintu darurat. Dan jangan lupa bahwa aku adalah mantan juara utama pelari maraton tercepat semenjak SMA dulu. Aku bisa saja dengan mudah kabur dari serbuan mereka."

Kakashi terkekeh perlahan. Rajutan kenangan masa lalu kembali terngiang di benaknya.

"Haha, tentu aku tak akan pernah melupakan gelarmu dulu, senpai. Namikaze Minato Sang Konoha's yellow flash." Minato tertawa mendengar itu.

"Maafkan aku atas segala kekacauan yang menimpamu hari ini, Kakashi. Jujur saja, aku juga tak ingin mendapat perlakuan berlebihan seperti ini dari mereka." Kakashi menggelengkan kepala sejenak.

"Tak masalah, senpai. Aku sudah terbiasa dengan semua ini," Kakashi pun segera beranjak dari tempatnya. "Oh ya, tolong sampaikan pada Jiraiya bahwa aku masih menunggu buku Icha-icha paradise edisi berikutnya." pungkas Kakashi seraya berjalan menuju pintu keluar. Minato pun lekas menahan pria berambut kelabu itu.

"Tunggu Kakashi, Sebelum kau pergi, ambilah ini." Pria berambut emas itu menyodorkan sesuatu. Kakashi tampak mengerutkan dahinya.

"Apa ini?"

"Itu minuman kesehatan yang kubeli dari pedagang makanan di bis tadi. Tadinya hendak kuberikan kepada Tsunade. Tapi sepertinya, kau lebih membutuhkan itu."

"Huh? minuman kesehatan?" Kakashi menatap lekat-lekat sebotol cairan kental berwarna hijau yang kini sudah berada di genggamannya. Minato mulai menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Semoga saja minuman itu bisa membuatmu tampak lebih bersemangat, Kakashi. Aku sangat prihatin dengan keadaanmu. Kau sudah terlihat seperti orang yang tak punya semangat hidup." Kakashi memutar bola matanya mendengar itu. Ia semakin tak paham dengan pola pikir senpainya itu. Apa Minato tak merasa bahwa perkataannya tadi sedikit membuat Kakashi tersinggung? Kakashi tampak lebih emo dari biasanya.

"Terima kasih, senpai." dan Kakashi pun lekas berlalu pergi. Semenjak itu, ia pun mulai berpikir untuk mengganti masker hitamnya dengan warna pink supaya ia terlihat lebih hidup.


"Hei, anak sialan! Cepat serahkan barang-barang hasil curianmu tadi padaku! Cepat!"

"Ba-Baik, Tuan."

Dalam untaian masa yang bersamaan, terlihatlah siluet realitas yang seakan bertolak belakang. Beberapa anak terlihat memaparkan ekspresi takut tatkala Orochimaru beserta Kabuto dan komplotan preman-preman yang lain tengah berdiri tepat di hadapan mereka. Selamat datang dalam kehidupan anak jalanan, dimana rona perlakuan keras seakan menjadi sebuah tekstur kehidupan bagi para insan manusia yang menjalaninya. Perlakuan lembut hampir mustahil. Keras, sulit, berat dan menyakitkan. Empat kata itu seakan menjadi simbolik akan rumitnya enigma kehidupan liar itu. Hukum rimba berlaku. Yang kuat akan selalu mendominasi komunitas lemah.

"Apa ini? Hanya segini saja hasil yang kalian dapatkan!" geraman Orochimaru menggelegar terselimuti ancaman keras. Konohamaru dan beberapa anak jalanan yang lainnya semakin tenggelam dalam rasa takut.

"Ma-Maafkan kami, Tuan Orochimaru. Hanya inilah yang bisa kami hasilkan." buliran air mata sudah tak mampu lagi terbendung. Paras lelaki mungil itu terlihat rapuh. Orochimaru semakin kesal dengan pemandangan yang sangat menjijikkan baginya itu.

"Aarrgghh! Sudah! Jangan cengeng! Akan kupatahkan leher kalian semua jika kalian tidak mau diam!"

Usaha pimpinan preman berambut hitam panjang itu tidaklah menuai sukses. Ancaman keji itu semakin membuat tangisan Konohamaru dan kawan-kawannya yang lain menjadi semakin nyaring. Sungguh berisik! Orochimaru kehabisan kesabaran.

"Sudah cukup! Akan kuhabisi kalian semua sekarang juga!"

"Hentikan, Orochimaru!"

Seruan itu membuat semuanya terkejut. Masa kegentingan itu terintervensi oleh adanya seorang interuptor. Konohamaru dan yang lainnya terbelalak. Penyelamat mereka telah datang.

"Ka-Kakak..."

"Apa maumu, hah! Jangan berani halangi aku kalau kau masih belum bosan hidup!" gertak Orochimaru emosi. Interuptor itu kini berbalik menatap tajam ke arah pimpinan preman berambut panjang itu.

"Jangan sakiti mereka, Orochimaru. Mereka hanyalah anak-anak kecil yang tak tahu apa-apa. Kau tak bisa mengancam mereka seenaknya!" tak ada rasa takut sedikitpun yang terpancar dalam raut interuptor itu. Hal itu membuat Orochimaru tersenyum sinis tanda remeh.

"Hah, jangan sakiti mereka katamu? Apa maksudmu? Lihatlah hasil yang mereka dapatkan! Hasil sekecil ini tak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan kami!"

Interuptor yang ternyata hanyalah seorang remaja pria itu terdiam sejenak. Kedua mata birunya berangsur pilu saat dihadapkan dengan ekspresi takut yang terpancar di paras Konohamaru dan anak-anak yang lainnya. Mereka membutuhkan perlindungan darinya. Tanpa menimbang-nimbang lagi, ia lekas menatap serius ke arah Orochimaru dengan penuh determinasi.

"Biarkanlah aku yang menggantikan tugas mereka dalam mencuri. Aku bersedia mencuri sesuatu untukmu, asal kau bersedia melepaskan mereka."

Suara tawa meledak dari mulut Orochimaru. Ia sungguh puas karena telah berhasil mempermainkan titik kelemahan seseorang demi kepentingan pribadinya. Hal ini akan sangat menguntungkannya mengingat interuptor yang ada di hadapannya itu bukanlah pemuda yang biasa-biasa saja. Ia juga merupakan seorang anak jalanan yang mencoba bertahan hidup dengan mencuri. Dan ia juga merupakan salah seorang pencuri terhandal di wilayah sini. Orochimaru tersenyum, berharap bahwa ia bisa mendapatkan hasil curian yang lebih banyak dan berharga lagi dari sebelumnya.

"Baiklah, Aku setuju. Serahkan hasil curianmu sore nanti di tempat ini. Aku menunggumu."


"Minato! Cepat berlarilah ke arah pintu darurat! Disana sudah aman!"

"Hah... hhah... A-Aku mengerti. Terima kasih, Obito!" Minato terlihat terengah-engah. Ia berusaha kabur dari kejaran para karyawati yang menyebut-nyebut diri mereka sebagai penggemar pria berambut emas itu. Opini Kakashi ternyata benar. Kumpulan budak pemuja figur obsesi itu semakin lama semakin mengerikan saja.

"Minato-san! Tunggu kami! Jangan kabur!" suara puluhan hentakan kaki semakin mendekat. Minato tak berani menghadap belakang.

"Demi Jassin! Apa dosaku sampai-sampai aku selalu mengalami nasib seperti ini?" Minato hanya dapat mengeluh pasrah. Selesai dari bekerja, sepertinya ia tak bisa semudah itu bernapas lega. Pasalnya, ia haruslah melalui satu lagi ujian baru. Yakni pulang dengan selamat.

"Minato-san! Jangan lari!"

"Whooaaa! Ha-Halte bis! Tolong aku!" Minato terlarut dalam histeria. Ia tak mampu mengendalikan sikapnya sendiri. Tak ada waktu memikirkan etika. Masa bodoh dengan karisma. Keselamatan jiwa adalah prioritas utama!

"Akhirnya Kami-sama! Aku selamat!" doa Minato terjawab. Bis tiba di halte tepat pada waktunya. Tak ingin berlama-lama, ia bergegas menaiki alat transportasi itu. Kerumunan fangirl yang mengejarnya terlihat memasuki masa frustasi.

"Minato-sama!"

"Bye-bye~" pria tampan itu tertawa lega seraya melambaikan tangan dari balik jendela bis. Terkadang, ada kalanya juga ia menganggap semua rutinitas klise ini sebagai hiburan. Sungguh nista memang tertawa melihat penderitaan orang lain, tapi apa mau dikata? Reaktor humoris dalam diri Minato terespon dengan refleksnya.

Dan pada akhirnya, ia berdiri lagi seraya menggenggam erat pegangan bis. Harapan agar ia bisa cepat tiba ke rumah semakin memuncak. Tunggu sebentar. Rumah? Ah, lupakan. Minato belum memiliki rumah sendiri. Nomaden sama saja dengan berkelana. Ia memilih tinggal di sebuah apartement. Meski ia yakin bahwa dengan seluruh penghasilan kerjanya, ia bisa saja membeli sebuah rumah mewah ataupun mobil sekalipun, tetap saja ia memutuskan untuk menyimpan penghasilannya dan mencoba hidup sesederhana mungkin. Ia tak ingin berfoya-foya di masa sekarang. Rasionalisme sudah tertanam dalam diri Minato. Ia ingin menggapai titik sukses lebih tinggi dari saat ini.

Tanpa terasa, masa bergulir begitu cepat membuat Minato tersadar bahwa bis yang ia tumpangi telah terhenti di halte tujuannya. Para penumpang bis berbondong-bondong keluar dan isi bis pun bertransisi dengan penumpang-penumpangnya yang baru. Minato pun ikut menggerakkan langkahnya dan menuruni bis. Hanya tinggal beberapa meter saja, apartementnya pasti sudah terlihat dari tempat ia berdiri saat ini. Dan keadaan di sore hari seperti sekarang ini membuat tepian jalan menjadi padat akan lalu lalang kerumunan para pejalan kaki. Minato pun mulai melangkahkan kakinya secara perlahan di tengah kerumunan eksistensi itu.

Rantai sirkulasi monoton kembali menyongsong kedua mata biru cobalt Minato. Dimulai dari kerumunan orang yang lalu lalang, dan dirinya yang hendak pulang ke rumah dengan keadaan lelah, mengerjakan beberapa laporan kantor yang belum tuntas, esoknya ia mungkin akan terlambat lagi, mengejar bis lagi, dimarahi atasannya lagi, lalu dikejar-kejar penggemarnya lagi. Lagi dan lagi. Terus berjalan seperti itu. Tanpa ada sesuatu yang berbeda...

Benak Minato seakan lelah memikirkan semua itu.

Ia seakan melihat sebuah kaset tape yang diputar beberapa kali. Atau mungkin ia mengibaratkan menjadi sesosok aktor yang harus berperan sebagai orang yang sama. Menjalani alur skenario yang sama secara terus menerus, tak ada perubahan sedikitpun pada plotnya, dan rangkaian cerita itu seakan tak memiliki sebuah akhir. Dunia stagnant yang tak terbatas. Keabadian monoton klise. Sungguh mengerikan. Ia seakan tersesat dalam labirin kejenuhan hidup. Ia hanya menginginkan sebuah warna baru dalam hidupnya. Tidak hanya hitam dan putih saja. Setidaknya ada lumuran kelabu di dalamnya. Tapi, siapa yang mampu memberikan hal itu kepada Minato? Hah... Entahlah. Semakin dipikirkan, semakin penat. Minato tak menyadari, sejak kapan cara berpikirnya menjadi penuh enigma seperti ini.

Bruukk!

"O-Ouch! Ma-Maaf..." benak Minato kembali masuk ke dalam realitas. Ada orang tak sengaja berbenturan dengannya. Minato lekas menatap orang itu. Dan kedua mata birunya mendapati seorang anak laki-laki yang menutupi wajahnya dengan tudung hitam.

Misterius sekali.

"Ah, ti-tidak apa-apa. Ini juga kesalahanku karena..." belum sempat Minato menyelesaikan kalimatnya, pelaku yang menabrak tubuhnya itu sudah berlari menjauhinya. Dahinya mengernyit melihat itu.

"Ada apa dengannya? Orang yang aneh."

Minato pun mencoba menghiraukan hal itu dan melanjutkan perjalanannya. Dengan penuh rasa miris, ia gelengkan kepalanya. "Anak-anak jaman sekarang semakin aneh saja. Baru kali ini aku melihat ada anak yang menutupi wajahnya dengan tudung hitam, berjalan sambil menunduk dan menabrak orang seenaknya. Style kehidupan macam apa itu? Aku tak akan pernah paham dengan pola pikir mereka." Minato berbicara pada dirinya sendiri. Ia berusaha memikirkan alur logikanya. Tunggu sebentar. Sepertinya ada yang aneh dan janggal dengan kejadian yang baru saja menimpanya tadi.

"Sebentar. Orang misterius yang menutupi sebagian wajahnya dengan kain hitam, tertunduk, menabrak orang seenaknya dan lalu panik, ketakutan, berlari..." mulut Minato menganga seketika. Ia pun mencapai kongklusi dalam analisanya. Tanpa ia sadari, tas kantor beserta berkas laporan yang ia bawa telah lenyap. Paras terdominasi horor, ia menjerit dengan begitu kerasnya.

"PENCURI!"


"Apa ini? Kenapa tak ada sepeser pun uang di dalam tasnya?" rasa jengkel lekas melanda tatkala hasil curian yang ia dapatkan dengan jerih payahnya sendiri kini menjadi sia-sia saja. Ia terus berusaha mengacak-acak isi di dalam tas itu, berharap menemukan sesuatu yang berharga. Tapi percuma. Hanya ada berkas-berkas dan dokumen-dokumen kantor yang ia temukan.

"Sial! Apa yang harus kulakukan sekarang? Orochimaru pasti akan menghabisiku!" pemuda bertudung hitam itu mulai menggeram dan mengacak-acak kepalanya. Ada rasa panik dan kesal yang tersirat dalam parasnya.

"Cih! Kukira dia orang kaya, ternyata ia tak memiliki uang sepeser pun! Dasar payah!"

"Siapa yang kau bilang payah, hah!" Sang pencuri pun terkejut. Dengan cepat ia arahkan pandangannya ke arah sumber suara pengintervensi itu. Dan ia pun terkejut. Sesosok pria yang menjadi korban perbuatannya kini terlihat berdiri tepat dihadapannya dengan kedua tangan terlipat di dada.

"Kau adalah anak yang mencuri tasku tadi 'kan? Cepat kembalikan tasku, pencuri!"

"Oh, shit!" tanpa basa-basi lagi, pencuri misterius itu melarikan diri dari Minato. Bawahan Tsunade itupun terbelalak kaget dengan aksi itu.

"Hei! Jangan lari kau! Kembalikan tasku!"

Aksi saling kejar pun terjadi. Minato berusaha keras mengejar pencuri itu. Memang, tak ada barang berharga di dalam tasnya. Minato selalu menyimpan uangnya di tempat yang aman.

"Hei! Tunggu! Jangan lari!"

"Si-Sial!" Sang pencuri itu semakin pucat. Mata birunya terbelalak saat tahu bahwa jaraknya hanya tinggal beberapa jengkal saja dari pria berambut pirang itu.

"Ke-Kenapa ia bisa berlari secepat itu-whoaaahh!" belum sempat ia menyadari realitas, tubuhnya pun tiba-tiba sudah mendarat tepat di atas jalan dengan sangat keras. Ia mengerang sakit lantaran tubuhnya kini sudah dicengkram dari belakang dan punggung tertindih oleh seseorang. Ia terlihat seperti seonggok guling yang dipeluk dengan begitu erat. Ini gawat.

"Kena kau!"

"Aargghh! Lepaskan aku, brengsek!" pencuri itu tetap persisten untuk berontak. Minato tak akan semudah itu melepasnya sebelum mendapat apa yang ia mau.

"Kembalikan tasku dulu, anak muda! Baru aku akan melepasmu!"

"Ggrrhh! Lepaskan aku!"

Duakk!

"Ouch!" Minato mengerang menahan nyeri. Pencuri itu ternyata menyikut perutnya dengan sangat keras.

Kurang ajar!

Bruukk!

"Aakkhh!" pencuri misterius itu meringis tak berdaya. Minato yang kehabisan kesabaran kini telah memutar posisi tubuhnya sehingga ia bisa menindih pencuri itu tepat di atas perutnya. Kini, ia bisa menatap langsung paras pencuri yang masih tertutupi dengan kain tudung hitam itu. Meski tak terlihat, sudah jelas bahwa pencuri itu pasti menahan sakit di tengah cengkraman Minato. Sebenarnya, Minato tak tega memperlakukan anak misterius itu seperti ini. Ia bahkan terlihat seperti seorang pedofil yang hendak merenggut kesucian seseorang. Tapi Minato tak memiliki maksud tertentu, selain hanya menuntut haknya.

"Kembalikan tasku!"

"Kkhh..." pencuri itu tak mengindakan permintaan korbannya. Semakin muak, Minato pun langsung menarik paksa kain tudung yang menutupi wajah pencuri itu. Dan situasi genting itu pun pada akhirnya mengalami fase transisi yang cukup drastis. Minato sedikit terperanjat saat tahu seperti apa wajah pelaku yang telah mencuri tasnya. Pencuri itu semakin pucat lantaran wajahnya telah terekspose. Mata birunya berbenturan dengan tatapan mata biru Minato. Tak ada yang bergerak sedikitpun. Mereka terdiam dalam posisi yang dapat menimbulkan kecurigaan sosial di mata orang awam. Namun, siapa yang peduli dengan pandangan masyarakat? Mereka berdua hanya terlalu terperangah untuk merealisasikan logika yang ada dalam nalar mereka masing-masing.

"…." Minato seakan tercekat. Ia tak mampu menguntai kata. Pencuri itu. Pencuri itu hanyalah seorang anak remaja. Laki-laki. Masih sangat muda. Mungkin sekitar 18 tahun. Dan yang mengejutkan adalah, wajah anak itu sepintas begitu mirip dengannya. Mata biru mereka, rambut pirang mereka dan…

"Kak Naruto!"

Konohamaru dan beberapa anak kecil lainnya terlihat menghampiri mereka. Minato masihlah terperanjat dengan semuanya. Memanfaatkan situasi itu, pencuri itu mencoba melepaskan diri dari jeratan Minato.

"Khhkk! Menyingkirlah dariku!"

"Tu-tunggu—Ahkk!"

Minato terbelalak saat posisi mereka kembali tertukar. Dengan sekuat tenaga, Naruto mencengkram erat tubuh Minato dan mencoba berguling tepat di atas tubuh pria bermata cobalt itu. Lagi-lagi keheningan terlahir. Jarak mereka masihlah terlalu dekat untuk dikategorikan sebagai hubungan kecurigaan sosial. Dan remaja yang identik dengannya itu mulai meletakkan tas curiannya di dekat Minato. Pegawai Godaime Corporation itu semakin tercengang.

"Maaf. Aku tak punya pilihan lain."

"Huh…?" Minato masih tenggelam dalam rasa falter saat pencuri yang mencuri tasnya itu mengembalikan apa yang ia minta. Remaja itu lekas berlari ke arah Konohamaru dan mulai berjalan pergi meninggalkan Minato. Disaat jarak mereka semakin jauh, Minato pun bangkit dan mulai merengkuh tasnya. Ia terdiam. Kedua mata birunya terus menatap sosok pencuri yang kini semakin berjalan menjauhinya. Pikirannya berkecamuk. Entah mengapa, ia bisa merasakan bahwa setelah ini, akan ada warna baru yang akan menghantam dunia monotonnya. Dengan mata terpejam, ia mendongak ke arah langit. Batinnya mendesis begitu lirih. Mendesiskan sebuah kata. Sebuah kata baru yang mungkin mampu mengubah segenap hidupnya. Sebuah perubahan…

'Naruto… '

-TBC-


Mohon Reviewnya! #bows