Terkadang mimpi itu terlihat begitu nyata sampai sayang untuk dibangunkan #bilang aja males bangun pagi. Ahahaha.
Yosh, langsung aja deh kalau begitu
Disclaimer: Naruto milik Kishimoto Masashi, Sebatas mimpi punya Aiko Fusui.
Warning: setting jelas AU, sesuai genre, ini fic romance yang dipuisikan #apasih? Typo?sorry. Jika nggak suka, sebaiknya nggak menyakiti diri sendiri ^^
Note: -yang di italic dan ber-POV orang pertama (aku) itu puisinya, sedangkan yang tulisannya biasa an ber-POV orang ketiga (dia) itu ceritanya.
This is my story... minna, enjoy please ^^
Sebatas Mimpi
.
-.-
.
Aku sadar aku tertidur
Lelap dalam pelukan selimut hangatku
Beralih dari langit-langit kamarku yang putih
Mengawang seperti bersayap
Kepada semesta warna tiada batas
"Selamat malam, Hinata-chan. Jangan terlalu memikirkan ujian besok." Ayah mengusap rambut indigonya. Yang terbaring tersenyum, mengangguk mengiyakan. Kecupan selamat malam di kening menutup hari. Lampu terang diganti temaram yang melenakan, dan pintu ditutup dalam debaman yang sangat pelan.
Ia dengan cepat terpejam, merapal do'a semoga diberi kemudahan untuk menghadapi hari esok-ujian masuk universitas yang sudah lama ia impikan. Mimpi kemudian menghampiri otaknya yang beristirahat. Membawanya ke dalam dimensi lain dimana dongeng lain diceritakan.
Aku berkumpul dalam kelompok yang sangat kukenal
Diturunkan dengan pakaian sopan di luar pusat
Mulai, aku berpetualang dalam skenario
Bersama mereka yang tak kuingat wajahnya
Entah apa yang kualami
Mungkin aku berlari, mungkin aku berkeringat
Yang jelas, aku hanya berada dalam mimpi
Dunianya samar namun terasa familiar. Ia merasa mengenali semua yang ia lihat dan ia dengar. Ia kembali pada masa-masa dimana hanya ada keberanian bermimpi tiada batas. Gedung di belakangnya berbeda kota dengan dirinya sekarang, tapi dia bisa berada disana, masuk dan menjadi seorang murid SMP.
Kelasnya masih seperti empat tahun lalu, ramai dan berisik. Wali kelasnya datang, berwajah lembut dan menenangkan. Ia memperkenalkan diri, menandakan bahwa ini hari pertamanya berada di kelas tiga.
Bertemu denganmu, adalah kesalahan
Kau terlalu bisa diandalkan,
Um tidak;
Kau terlalu dekat untuk bisa diandalkan
Menjadi menyebalkan karena terbiasa
Oleh semua tentang dirimu
Lagu, senandung lirih suara kerinduan
Petik gitar mempesona
Mengalun tunggal dalam orkestra yang hanya jadi milikku
Kemudian… whussss
Seperti terlelap dalam pusaran angin
Harapan akan memiliki
Menggapai ruang hampa
…
Suatu perlombaan diadakan kemudian. Di tengah lapangan. Dikelilingi dengan cepat oleh penduduk sekolah, memaksanya -yang entah kenapa di dunia itu menjadi lebih pendek-untuk berada di belakang. Dengan kata lain ia tersingkir dari lingkaran itu.
Tak masalah. Ia tetap menikmati dunianya. Ia melompat-lompat, ikut bersorak jika terjadi selebrasi yang ia tidak tahu apa itu. Pun ketika semuanya menahan nafas dan mendentumkan genderang, ia ikut melebur ke dalamnya.
Lalu dalam waktu kedipan mata, penonton terbagi menjadi dua, memberikan dirinya sebuah jalan yang entah kenapa terlihat begitu indah. Ia pikir di dalam area itu ada pertandingan olahraga atau apa, tapi yang berdiri di ujung pandangannya hanya satu orang berseragam seperti dirinya.
Satu orang. Pemuda. Memandangnya dengan mata penuh sambutan.
Aku percaya ini hanya mimpi
Tapi ini begitu indah untuk diputuskan oleh mata yang terbuka
Seolah semua rasa yang kusentuh
Adalah kenyataan yang menyambutku pulang
Bahkan senyummu, wangimu
Oh...
Masa lalu terkenang
Dan hangatmu terasa seolah begitu nyata
Wahai, Bulan…
Aku tidak percaya ini hanya mimpi
Ia tidak berlari untuk membunuh jarak panjang di antara mereka. Langkahnya juga pendek dan cenderung hati-hati. Tapi dunianya memang luar biasa, ia tiba-tiba berpostur normal dan dalam lima langkah khasnya, ia mencapai jangkauan tangan kepada pemuda yang tetap tersenyum meski ia bertampang datar.
"Halo Hinata." Suaranya masih sama seperti yang ia kenal empat tahun lalu.
Dan yang kusesali
Kenapa ini hanya mimpi
Saat semuanya terasa begitu dekat
Bahkan kerlingan matamu
Masih sama penuhnya dengan rasa percaya diri
Yang tak pernah lekang
Meski aku berontak ingin lepas
Tanganku tergenggam di dalam hangatmu
Rotasi terjadi dalam poros acak
Menciptakan angin dengan tawa
Engkau begitu luar biasa
Dikelilingi percik keajaiban
Tertebar
Membersitkan kebahagiaan semu yang menawan
Berusaha tertawa
Namun, Wahai yang tercinta…
Sulit mengatakan
Ini hanya mimpi
Ia ditarik ke dalam sebuah tempat lain. Tangannya tergenggam aman di dalam telapak pemuda yang sangat ia kenali.
"Sekarang duduklah disini."
Tiada kursi
Tiada ruangan untuk berbicara
Tempat lapang penuh alang-alang
Berayun pelan lewat bisikan angin
Aku belum mengerti
Kompasku tak bekerja dengan baik
Engkau menuntunku
Rebah pada bidang halus yang berwarna lembut
"Katakanlah..." Dirimu berkata
Tapi apa yang ingin kukatakan
Semuanya bertebaran,
Rusuh, hingga saling menghantam diri
Ia lalu duduk pada sebuah tempat yang hampa dari rerumputan. Di sampingnya, pemuda itu mengambil cangkir dan roti kering dari sebuah keranjang piknik. Pemuda itu menawarkan sandwich yang baru selesai ia buat tadi pagi kepadanya. Ia menerimanya, menggigit kecil dan terpukau pada kemungkinan pemuda di depannya ini bisa menjadi chef masa depan.
"Kau mau bicara sesuatu? Katakanlah." Pemuda itu berkata, dengan senyum yang selalu ia ingat sepanjang masa.
Tapi ia terdiam, hanya bisa menatap ke dalam sepasang mata di depannya yang tetap jernih dan dalam. Degup jantung membuat perilakunya kikuk, sandwich di tangannya ia gigit sampai habis.
"Kau tetap rakus seperti biasa." Komentarnya hadir dalam tawa yang Hinata ingin temui. Pemuda itu mengangsurkan cangkir berisi teh hangat yang manis.
"Terima kasih." Akhirnya ia berkata dan ia mendapat pelukan menyenangkan dari pemuda yang masih saja tertawa.
Andai saja Juliet bersamaku
Mendorong keberanian dalam diriku
Menghadapi mimpi yang ada kamu
Dengan tegas, dengan semua cinta yang tersimpan
Tapi kupikir,
Semuanya sia-sia
Karena ini hanya mimpi
Karena kamu hanya mimpi
Ia berdiri, menepuk-nepuk bajunya yang kini sebuah one piece berwarna biru pastel. Selutut dengan pita di belakang yang cerah, melambai karena bisikan angin belum mau berhenti. Tangannya kemudian digenggam lagi.
Di depannya, masih pemuda yang sama, dengan tuxedo putih seperti mempelai ada senyum yang seperti tadi. Keramahan langkanya terganti dengan ketegasan yang ingin diuji coba.
"Kau menyukaiku, kan?"
Aku menyukaimu, kan?
"Ya"
Selamanya
Aku tersenyum, rasanya melegakan
Tapi tetesan air tiba-tiba datang
Pipiku basah, hangat
Dan Kamu,
Mengecupnya, membasuh dengan lembut bibirmu
Aku kembali menangis
"Kamu cengeng."
Aku terisak
Kenapa ini hanya mimpi?
Suara jam berdentang di kejauhan, tidak ada yang memainkan drama cinderella, bahkan mereka tidak berdansa di ballroom. Cahaya terang bersamaan dengan sebuah suara gemerincing. Ia kebingungan dalam kabut yang tiba-tiba datang. Dengan kuat, ia menggenggam tangan si pemuda, berharap tidak akan kehilangan dirinya dari keadaan yang tidak normal ini.
"Aku juga." Tiba-tiba pemuda itu berbicara, mengambil alih perhatiannya dari angin yang terasa semakin kencang.
"Kamu juga apa?" ia bertanya, hatinya berdegup tak tenang. Genggamannya menguat.
Namun dunianya memang luar biasa. Pasir kemudian menggantikan pemuda itu. Seolah terbakar sempurna dari cahaya terang yang tidak mengijinkan Hinata melihat apa yang terjadi.
Kehampaan yang ia rasakan, memberitahunya bahwa petualangannya sudah mencapai batas. Ia menangis. Dan kali ini, tidak ada yang mengusap air matanya.
Duniaku mengusirku dengan kuasanya
Terjerambab di atas ranjang biru
Aku terduduk
Tersentak dari petualangan dilematis
Jam beker merah masih bergetar
Loncengnya terdengar menyakitkan
Jemari tanganku bergetar, berikut diri ini
Kepalaku diserang pening
Dan aku terkapar
Tanganku menggapai udara kosong
Membuka perih dari luka yang tak terlihat
Awang-awang dan khayalan
Tiada cukup memuaskanku
Pada bayangan jawaban akhirnya
Ambiguitas memelukku pada ketidaknyamanan
Rasa sesal menyusup
Ia sakit dan menyakitkan
Mencoba terpejam
Memeriksa kembali perasaan atas pelukannya
Atas genggamannya
Atas tatapan matanya
Atas senyumannya
Bahkan atas detak jantungnya
Hampa menyambutku
Membawakan berita dari dunia sana
Semuanya hanya mimpi
Aku terisak dan kemudian tertegun sendiri
Dalam kenyataan bahwa semuanya hanya ilusi
Yang terasa nyata dalam kenyataanku
Hanya air mata
Yang terus turun tanpa henti
.
-.-
.
Owari
A/N:
Note-nya apa ya? Pair emang saya kosongi #lhah? Jadi pembaca bisa berimajinasi sendiri. Tapiiiii, saya minta review-nya. Kritik, saran, komentar, konkrit, flame, silakan. Paling tidak kasih tau saya gimana kesan kalian membaca fic saya ini.
Salam
Aiko Fusui
