Lullaby song
.
.
Shingeki no Kyojin © Isayama Hajime
.
Warnings: OOC/Typo(s)/AU/Crime/Romance/T (mungkin)/Italic for flashback/
Bold for adverb of place and POV (Point of View)/Sebagian besar adalah khayalan Author sendiri
EreRi and a little of EreAru.
.
.
Hamburan kenangan itu menguap dalam anganmu. Tiap deru nafasmu—yang mungkin tak lama itu—hanya ada balas dendam dan kebencian. Kau benci hidupmu, orangtuamu, bahkan Tuhan.
Benci—kata itulah yang memperkuatmu.
.
.
Dinding Maria—saat ini.
.
.
Lelaki itu berjalan tergesa, detak jantungnya berpacu dua kali lebih cepat, matanya memicing—berusaha untuk fokus—ditengah-tengah hiruk pikuk kegiatan manusia di dalam dinding Maria.
Sudah lebih dari 2 jam yang lalu ia berputar, mengelilingi sudut demi sudut bangunan yang ada disini. Giginya bergemeretak, ia mengeratkan jaket wolnya, mengingat cuaca saat ini benar-benar tidak bersahabat.
Manik hijau kebiruannya menatap langit sore yang mendung. Uap panas keluar dari lubang hidung dan bibir merahnya. Helaian rambut coklat gelapnya melambai pelan ditiup angin.
Ah!
Akhirnya. Setelah berjam-jam mencari, ia menemukannya. Sebuah bangunan berarsitektur Eropa kuno berdiri kokoh di antara rumah-rumah penduduk yang berdiri di sekitarnya. Cat dindingnya yang berwarna coklat tanah itu mulai pudar karena diterpa musim yang silih berganti.
Perpustakaan kota.
Kalau tak salah, itu namanya.
Ia memacu langkahnya—menerobos kerumunan menuju bangunan itu. Harapannya untuk bertemu dengan orang itu tumbuh kembali setelah 3 tahun lamanya.
.
.
"Ck, lagi-lagi ada yang meminjam buku dan tidak mengembalikannya. Terlalu," rutuk seorang lelaki. Di tangannya terdapat sebuah buku bersampul hitam dengan ketebalan 50 cm.
"Sudahlah, nanti juga dikembalikan," balas seorang wanita berambut kuning jagung dan bermata biru yang berdiri di sebelahnya.
Pemuda bersurai emas itu mendesah pelan dan berkata. "Oh ayolah... Ini sudah kali ke 10 kita kehilangan koleksi di perpustakaan ini."
"Aku mengerti, nanti kita laporkan saja pada kepala perpustakaan. Oh, tadi ada yang mencarimu," katanya kemudian.
"Siapa?" tanyanya.
"Hmm... Dia bilang kalau dia teman masa kecilmu, begitu."
Lelaki itu mendongak—berpikir sejenak kemudian menatap rekan kerjanya itu.
"Apa dia laki-laki?"
Rekan kerjanya itu mengangguk, lantas berbalik.
"Kalau tidak salah, namanya—Eren Jaeger," jawabnya.
Pemuda bermanik biru jernih itu berdiri—meletakkan buku tebalnya lalu berlari menuju lobi perpustakaan.
Wajahnya berseri-seri. Dipercepat langkahnya agar ia bisa bertemu dengan teman masa kecilnya. Dan di lobi itulah teman masa kecilnya—Eren Jaeger—duduk sambil memeluk tubuhnya.
.
.
Eren Jaeger duduk di sofa burgundy, memandangi langit sambil memeluk lututnya yang gemetar. Sudah 3 tahun ia tidak bertemu dengan teman atau lebih tepatnya sahabatnya itu. Terakhir kali mereka melakukan kontak saat Eren berada di kota Trost.
Ia memejamkan matanya, menghirup dinginnya udara dan menghembuskannya lamat-lamat.
"Huufftt... Aku tidak menyangka, akan tiba juga hari ini," desahnya pelan. Ditatapnya jam yang menggantung di sebelah kanan ruangan. Pukul 04.15, ternyata sudah 20 menit ia duduk bagai patung di lobi yang hanya diterangi oleh lampu 5 watt.
"Eren!" seru seseorang. Eren menoleh, mendapati seorang pemuda mungil, bersurai pirang keemasan, bermata biru jernih, dan mengenakan coat hitam yang kebesaran untuk tubuhnya itu tengah berlari kearahnya.
"Armin?" tanya Eren tak percaya.
Kini, Armin Arlert, teman masa kecilnya itu, berdiri tepat dihadapannya. Dadanya naik turun dengan cepat, nafasnya memburu saling bersahutan.
Manik biru langit milik si pirang itu menatap Eren dalam diam. Semburat merah muda menghiasi pipinya yang kecoklatan. Seulas senyum terkembang di wajahnya yang bulat.
"Eren, akhirnya kita bertemu!" seru pemuda manis bernama Armin itu seraya menghambur kearah Eren dan memeluknya erat.
"Ya, aku senang bisa bertemu lagi denganmu Armin," balas Eren. Ia tersenyum melihat kelakuan sahabatnya.
"Sudah 3 tahun terlewati, dan sekarang kau sudah lebih tinggi dan lebih tampan dariku," kata Armin sedikit kesal.
"Manusia itu pasti berubah, Armin. Dan dalam kurun waktu 3 tahun itu, aku mengalami perubahan."
"Jadi maksudmu, aku tidak berubah?!" seru Armin. Ia mendelik kearah Eren.
"Begitulah. Sebab dari dulu kau kecil—dengan mata yang besar dan bulat jadi kau terlihat seperti seorang gadis daripada laki-laki," gurau Eren.
Alis Armin berkedut samar, lalu ia membuang muka.
"Aku ini laki-laki Eren Jaeger! Walaupun dilihat dari fisik aku tampak seperti... err—kau tahu sendiri kan maksudku..."
Eren tidak melanjutkan candaannya pada Armin yang—sangat—tidak suka disebut sebagai seorang GADIS itu pun akhirnya terkekeh pelan.
"Ya, ya... aku tahu itu. Aku hanya menggodamu," kata Eren. Armin mendengus.
"... Baiklah. Jadi, ada keperluan apa kau kemari?" tanya Armin.
Eren mendesah pelan, kemudian merubah posisi duduknya lalu menatap Armin lekat-lekat—sebelum akhirnya ia menjawab.
"Aku sedang mencari tempat tinggal."
"Eh? Maksudmu?" Armin tidak mengerti.
"Aku... keluar dari pekerjaanku."
"Memangnya apa pekerjaanmu?"
"Pekerjaan utamaku adalah seorang chef sedangkan pekerjaan sampinganku..."
Ia diam sejenak dan mengambil nafas sebelum melanjutkan.
"... Pembunuh bayaran..." akunya pelan. Manik biru safir Armin membola, reflek ia mengambil jarak dengan Eren.
"P-pembunuh bayaran?" tanya Armin tak percaya. Eren mengangguk mengiyakan.
"Ah, bisakah kita tidak berbicara disini? Aku takut identitasku sebagai pembunuh ketahuan, dan kau yang akan terkena imbasnya," ucap Eren.
Armin melihat sekeliling. Kosong. Tak ada satu orangpun yang melintasi lobi ini.
"Baiklah, kita ke apartemenku." Katanya sejurus kemudian. Lalu ia berdiri—menyambar tas-nya dan menggandeng tangan Eren menuju pintu keluar.
Tiba-tiba, ia melihat rekan kerjanya.
"Annie, hari ini aku pulang lebih awal! Ada urusan mendadak!" teriak Armin. Wanita berambut kuning jagung yang baru saja keluar dari ruang administrasi itu mengangguk pelan.
"Hn," hanya kata itu yang di ucapkannya.
Armin tersenyum, lalu keluar dari perpustakaan tempat ia bekerja.
.
.
Apartemen Armin—sudut dinding Maria.
.
.
Armin memberikan secangkir coffee latte pada Eren, dan moca untuknya. Lantas, Armin mengambil tempat duduk di hadapan Eren.
"J-jadi?" Armin membuka pembicaraan. Eren menatapnya lama.
"Aku kabur dari apartemenku di distrik Stohess dan meninggalkan pekerjaanku sebagai chef dan pembunuh bayaran disana,"
"La-lalu…apa tujuanmu datang ke dinding Maria?" tanya Armin ragu.
"Bukankah sudah kukatakan. Aku sedang mencari tempat tinggal… dan seseorang," jawab Eren dingin.
Armin meneguk ludah, lalu menatap Eren. Yang duduk dihadapannya adalah seorang laki-laki yang 180 derajat berbeda dari laki-laki yang dulu pernah dikenalnya dulu. Hati Armin mencelos. Laki-laki ini sangat dingin dan tidak seramah dulu.
"S-seseorang?"
Eren mengepalkan tangannya hingga buku-buku tangannya memutih. Alisnya bertaut dan nafasnya memburu.
"Ya. Dan aku ingin membunuh orang itu dengan tanganku sendiri! Memenggal kepalanya dan meletakkannya di hadapan nisan Mikasa!" ia berteriak. Matanya yang sewarna zamrud itu dipenuhi nafsu membunuh. Darah segar menetes dari luka akibat kuku yang menancap pada telapak tangannya.
"Mi… kasa?! D-dia… meninggal?!" tanya Armin, bahunya bergetar. Air mata mulai menggenang di kelopak matanya.
"Ya, dan aku yakin orang itulah pembunuhnya!"
"B-bagaimana kau bisa yakin kalau orang itulah yang membunuh Mikasa?!"
"Malam itu, aku melihat sosoknya yang berdiri di samping tubuh Mikasa," kata Eren penuh keyakinan.
"Lantas, itukah yang menjadi bukti bahwa memang dialah pelakunya?" tanya Armin.
Eren mengambil nafas berat.
"Saat dia hendak melarikan diri, aku melukai bahu kanannya, menyayat kaki serta wajahnya. Aku hafal betul dengan luka yang kubuat. Dan lagi, aku sudah mengetahui suara dan caranya berjalan… walaupun dia pergi dari kota ini atau menyamar sebagai orang lain, aku akan dengan mudah mengenalinya, lalu membunuhnya." Jelas Eren.
"A-apa yang membuatmu yakin, kalau dia ada dalam dinding ini?"
"Aku sudah keluar masuk dinding Rose dan Sina. Tapi… orang itu tidak ada! Tempat yang belum kudatangi hanya dinding Maria dan Shinganshina! Aku yakin, orang itu pasti ada disini!"
"E-Eren… kuharap… kau tidak melakukan hal bodoh itu…" cegah Armin. Eren menatap bengis kearahnya.
"Lalu, apakah aku harus merelakan kematian Mikasa begitu saja?! Dia tidak bersalah Armin!"
Armin menatap Eren tidak percaya. Eren telah kehilangan pegangan dan harapan. Eren dan Mikasa sudah seperti saudara kandung dan Eren sangat menyayangi Mikasa dan bergantung padanya. Sekarang, saat gadis kuat itu pergi, pada siapa lagi Eren akan bergantung?
Padanya? Tidak mungkin ia bisa melindungi Eren. Selama ini, Eren dan Mikasa-lah yang melindunginya. Saat ini Armin benar-benar tidak tahu harus berbuat apa—pikirannya kosong.
"Kau harus membantuku Armin!" seru Eren. Ia mencengkram pundak Armin keras.
"E-eh?! Kenapa harus aku?!" tanya Armin kaget.
"Karena kau satu-satunya orang yang kupercaya selain Mikasa." Ucap Eren penuh penekanan. Manik matanya yang berwarna jade itu menatap Armin tajam.
Iris biru kristal Armin membulat sempurna. Ia dihadapkan pada pilihan yang sulit—membantu Eren atau membiarkannya menghadapi masalahnya sendiri.
.
.
To Be Continued—
.
.
Hi Minna~
Kali ini saya kembali dengan membawa ff baru
Dan ini adalah ff SnK pertama bagi saya, jadi saya benar-benar minta maaf apabila ada yang tidak berkenan di hati kalian selaku penggemar SnK.
Kritik dan Saran sangat di harapkan oleh saya (_ _)
Sampai bertemu di chapter selanjutnya~~
Jaa~
