"Bukankah ini sudah cukup keterlaluan? Kau hanya sengaja ingin membuatku marah―benar? Jelas, jelas sekali. Semuanya tergambar dalam manikmu."

(Ia seharusnya adalah fraktura dari kesedihan, mendengungkan gita asmarandana dalam lamunan.)


Kami berdua berada di kereta saat ini.

Seperti biasa, aku menunggunya ulang di sebelah loker sepatu anak kelas tiga―ia baru saja menyelesaikan klub pulang sekolahnya. Aku tahu persis, karena Miku adalah kapten kebanggaan anggota Klub Basket sekolah. Aku menyenderkan bahu kiriku ke pojok loker yang sengaja diwarnai nila gelap itu: tidak mengindahkan derap kaki banyak orang yang lewat entah di belakang atau depan mataku.

Mereka―pulang ke rumah, melanjutkan kegiatan yang lain, atau mungkin berdiam sampai sedikit larut di sekolah karena harus bersusah payah mendekorasi selasar dan ruangan di sekolah yang lumayan banyak. Darah, peluh, dan air mata, kata mereka, dikorbankan semua. Menurutku tidak berlebihan, seksi kesenian dilihat-lihat cukup berimplementasi dalam lebih di acara ini.

Kulihat―sembari menunggu Miku―mereka juga sampai berdoa agar hujan tidak turun hari ini. Aku tertawa kikuk, dalam bisikan, laun-laun. Dalam hatiku, aku memberi semangat. Aku tidak terlalu mengenal mereka, sedangkan yang tersisa di sekolah hanya sgeelintir dari seksi kesenian dan anak-anak dari klub dalam kategori olahraga―sial, Miku lama sekali.

(Aku berusaha sampai ke loker sepatu sekolah secepat mungkin. Sudah pukul lima, aku mengerang kecil, aku sudah berjanji pada Gumi untuk pulang bersama saat pukul empat seperempat―bodoh, aku terlalu lama menaruh sarung bola, tadi.

Gumi tipikal gadis yang sabar, ah, gadis manisku. Maaf, bukankah ini terlalu menjijikkan? Aku melambaikan tanganku sekilas pada sekerumunan dua sampai enam orang yang membawa cat berbagai warna, palet bersih yang basah dan belasan pita bermilimeter panjang di tangan. Seksi kesenian!

"Hei! Semangat, kulihat kalian sangat bekerja keras hari ini, jangan memaksakan diri!" ujarku sambil terus berjalan, meski melambat karena aku menyempatkan diri melihat reaksi mereka di pantulan netra akuamarinku. Bisa kudengar mereka tertawa senang sembari malu-malu, berterimakasih dengan tidak terlalu lantang.

Anak kelas satu dan dua. Aku terkekeh kecil, bisa kulihat wajah mereka sedikit bersemu merah. Ketika aku berlalu, aku menghela napas kecil. Siswi dari klub olahraga mengambil tempat sebagai 'laki-laki' bila menunjang ilmu di sekolah khusus perempuan sepertiku―dan Gumi, Ah, Gumi!)

Aku merengut sedikit, Miku adalah kakak kelasku, tapi ia tidak terlihat seperti salah satu dari orang yang tingkatannya lebih tua dariku, "Kau terlambat!"

Bisa kulihat ia mengulum tawa, sedangkala aku masih berkonservatif dalam berakting kesal. Ia mengusak rambut hijau mudaku pelan, aku mengaduh sedikit. Memang tidak hujan, tapi petang semakin membuat matahari bersedih―tentu, lihat sinar oranye tua itu, "Miku, kita harus segera pulang, kurasa. Ditambah keterlambatanmu ini, astaga!"

(Aku menarik tangan Gumi, bersiul sedikit. Ia mengeluarkan pekikan bingung, tapi aku tidak berhenti. "Maaf! Kalau begitu hari ini pakai saja kartu depositku untuk membayar tiket kereta, oke, sayang?"

... biasanya akan ada tanggapan menggemaskan darinya. Tapi hari ini, Gumi terdiam.

Mungkin ia hanya terlalu lelah hari ini.)


("Ya, ya. Aku sudah lelah menunggu satu jam tanpa pemberitahuan, tahu!"

Aku tersenyum, namun aku tidak menoleh kebelakang. Lihat?)


tbc.

( dalam kurung - Miku. luar kurung - Gumi. )