Chapter 1: Second Riddle
Disclaimer: Yang sudah sekian kali saya ketik, anda baca. Harry Potter all characters bukan milik saya. Namun ada beberapa karakter yang resmi datang dari imajinasi author. Dan fic ini sah buatan saya. :D
N/A:
Heloha. Saya kembali lagi! Kali ini mempersembahkan cerita yang murni datang dari imajinasi saya saat merenung memikirkan malming nanti mau jalan kemana T.T *ditonjok*
Cerita ini asli buat memuaskan batin author. Yah mudah-mudahan reader suka sama fic ini. Maaf kalo ficnya gaje, maklum author masih baru belajar sih. Hehehe.
Capcuss deh!
Enjoy ^.^
-o0o-
Perempuan itu berjalan tertatih di dalam gelapnya malam. Angin dingin bersemilir menyapa kulit putih pucatnya. Berlindung dalam jubah hitam panjang, dia mengusap perut besarnya.
"Sabarlah nak. Sebentar lagi kita sampai di rumah ayahmu."
Diketuknya pintu gubuk satu-satunya di hutan sebelah utara Little Hangleton. Tidak ada yang menjawab. Diketuknya lagi pintu kayu berhiaskan ular asli itu. Setiap ketukan semakin lemah. Menggambarkan sakit luar biasa di tubuhnya dan perutnya yang terasa semakin berat. Ia sudah tidak punya cukup tenaga untuk bersuara apalagi berteriak.
Pintu perlahan terbuka. Mata si pemilik gubuk terbelalak mengerikan.
"Aku tidak menginginkanmu lagi, perempuan jalang."
-o0o-
"Apa maksudmu, Dumbledore? Dia? Mempunyai keturunan? Kau gila."
Snape terduduk kaku di ruangan Dumbledore. Otaknya sibuk mencerna informasi yang baru saja ia dapatkan.
"Bukan keturunan, Severus," ujar Dumbledore sambil berjalan mengitari meja kerjanya.
Alis lawan bicaranya bertaut keheranan, "Lantas apa?"
"Aku tidak tahu pasti. Yang jelas anak itu akan bersekolah di Hogwarts tahun ini."
-o0o-
Harry mulai mengepak buku-buku di kamarnya. Tahun keenam di Hogwarts akan dimulai besok. Dan Harry masih bingung mengapa keluarga Weasley belum juga menjemputnya. Biasanya dia akan meminta Paman Vernon untuk mengantarnya ke King's Cross. Namun kali ini Harry tak yakin pamannnya mau mengantarnya ke stasiun setelah mereka bertengkar hebat seminggu yang lalu.
Mereka terlibat pertengkaran sengit. Harry tidak tahan dengan sindiran Paman Vernon di rumah. Sehingga langsung mengacungkan tongkat sihir ke muka pamannya dan bersumpah tidak akan mau tinggal bersama keluarga Dursley lagi.
Keluarga Dursley tentu saja sangat senang mendengar Harry ingin pergi dari rumah. Memang itu yang mereka inginkan sedari dulu.
Melihat Harry pulang lagi saat liburan natal dan musim panas membuat mereka jengkel lagi. Akhirnya Harry memutuskan untuk benar-benar meninggalkan rumah, pikir mereka.
Sayangnya Harry terbakar emosi dan telah bersumpah seperti itu. Akal sehatnya benar-benar telah tertutup kemarahan. Menyesal sudah tak ada artinya lagi. Dia tidak akan mungkin menarik kata-katanya sendiri. Harga dirinya bisa hancur lebur jika ia tidak menepati sumpahnya.
Mungkin tekanan dari kematian Sirius membuatnya sering kalap. Harry masih belum bisa menerima kematian Sirius. Dendam kepada Bellatrix menusuk sampai ke tulang dan mengalir di darahnya.
Melihat ke sekeliling kamar, ia menemukan pecahan cermin milik Sirius yang diberikan untuknya. Harry mengambil cermin itu dan berkata,
"Aku memang harus cepat-cepat keluar dari rumah ini."
"Potter! Ada orang aneh di halaman rumahku yang ingin bertemu denganmu!" teriak Paman Vernon dari lantai bawah.
Terlonjak dari kasurnya, Harry langsung berlari ke tangga. Pasti Mr Weasley yang datang, batinnya.
Setelah menuruni anak tangga yang terakhir, ia sangat kaget melihat siapa yang datang.
"Prof- profesor Dumbledore?"
Dumbledore tersenyum di ambang pintu rumah, "Halo, Harry. Aku penasaran, sudah bolehkah aku masuk sekarang?"
Paman Vernon melirik ke Dumbledore dengan mata menyipit dan memalingkan muka yang mulai memerah karena marah. Sementara Dumbledore masih bersikap kalem dengan baju eksentriknya seperti biasa.
"Kalau tidak boleh masuk juga tak apa. Kau hanya perlu membawa semua perlengkapan sekolahmu dan kita akan berangkat berpetualang malam ini. Agar besok aku bisa mengantarmu ke King's Cross." Gumam Dumbledore ke Harry.
Cengiran khas Harry sudah tidak tertahankan lagi.
.
.
.
.
Suasana aula besar saat hari pertama tahun pelajaran baru ramai seperti biasanya. Celotehan anak-anak di keempat meja asrama akan terus berlanjut jika tidak ada seleksi asrama dan Dumbledore tidak memberhentikan mereka dengan pidatonya.
Berbeda dengan suasana di aula besar, beberapa anak murid tahun pertama sedang gemetar cemas di aula depan. Menunggu aba-aba dari profesor Mcgonagall untuk masuk ke aula besar dan mengikuti acara yang belum pernah mereka lakukan dan yang saat ini mereka cemaskan: Seleksi Asrama.
"Kalian bisa berhenti gemetar tidak sih?" kata seorang gadis bermata onyx abu-abu. Dia berbeda dari murid lainnya di aula depan. Sangat berbeda.
Profesor Mcgonagall akhirnya muncul dan memerintahkan mereka masuk ke aula besar. Saat pintu dibuka dan mereka masuk, tidak biasanya murid-murid di aula besar ber-'ohh' secara bersamaan. Mereka bukannya heran dengan anak-anak tahun pertama. Tetapi mereka takjub melihat gadis berambut hitam berombak sebahu dan mata abu-abu tajamnya yang menyapu ke seluruh penjuru aula besar. Rambutnya hitam pekat membingkai wajah putih pucat oval runcingnya yang terlihat tegas. Tubuhnya kelewat lebih tinggi dari anak-anak tahun pertama.
"Astaga. Mungkin dia yang Profesor Dumbledore bicarakan kemarin." Bisik Harry ke Hermione dan Ron.
"Huh? Kau belum menceritakannya, mate! Blimey. Dia cantik." Balas Ron seakan berbicara ke dirinya sendiri.
"Sorri. Aku lupa. Lagipula itu seperti pembicaraan yang tidak penting, Profesor Dumbledore hanya sekilas membahasnya." Kata Harry sambil melihat gerak-gerik gadis asing itu.
"Kira-kira berapa umurnya?" timpal Hermione yang sedari tadi hanya diam saja.
"Aku kurang yakin. Mungkin seumuran dengan kita?" jawab Ron sementara Harry hanya mengangguk.
Hermione ikut menatap gadis yang mungkin sedang jadi topik pembicaraan utama di aula besar saat ini. Lalu berbisik, "Well kita lihat saja. Profesor Dumbledore pasti akan segera memperkenalkannya."
Sementara anak-anak tahun pertama dipanggil satu persatu menurut abjad. Murid-murid di aula besar masih penasaran dan tidak sabar menunggu giliran gadis asing tersebut.
"Rovelda, Hawkins." Panggil profesor Mcgonagall. Pemuda berumur sebelas tahun maju kedepan menuju kursi penyeleksian asrama. Topi seleksi dipakaikan ke kepalanya. Hanya butuh waktu sebentar, si Topi Seleksi meneriakkan,
"Huplepuff!"
Murid asrama Huplepuff bersorak menyambut anggota baru asrama mereka, sama seperti asrama lainnya.
"Riddle, Hanna."
Mata profesor Mcgonagall membelalak sendiri sehabis membaca nama itu. Para staf pengajar terkejut bukan main. Sama halnya seperti Trio Emas. Murid-murid di aula besar banyak yang menganga lebar. Namun hanya sebagian. Sebagian lainnya bertanya-tanya tidak mengerti. Sepertinya nama Riddle masih belum banyak diketahui kalangan penyihir remaja.
Gadis asing bertubuh tinggi itu maju dengan mantap ke kursi penyeleksian. Dia duduk tenang sementara orang-orang di aula besar menatapnya makin heboh dengan banyak bisikan, bukan- sekarang sudah menjadi pembicaraan yang seru. Asal-usul nama aneh keluarga Riddle dengan cepat menyebar ke seluruh bagian aula besar.
Hanya tiga orang yang kelihatan tidak terbawa suasana di aula besar. Yaitu Dumbledore, Snape, dan Hanna sendiri. Sebenarnya dia sudah tidak terkejut dengan respon orang-orang disini. Dumbledore sudah memberitahu segalanya. Sebagai ganti dari riwayat hidup detil yang telah ia ceritakan ke Dumbledore.
"Perhatian semuanya!" Dumbledore maju ke podium yang biasa ia gunakan untuk berpidato. Namun seharusnya tidak secepat ini. Di tengah-tengah seleksi asrama?
"Saya sudah mengira kedatangan Miss Riddle akan menggemparkan seisi aula besar. Mungkin harus ada sedikit penjelasan disini. Miss Riddle akan bersekolah di Hogwarts dan langsung memulai tahun keenamnya-"
Trio Emas belum mempercayai apa yang mereka lihat dan dengar. Mereka duduk kaku sambil menatap satu sama lain.
"Demi Merlin, Harry. Mungkinkah dia.." tanya Ron terbata-bata.
"Keturunan Voldemort?" sambung Harry. "Aku tidak tahu, Ron, ini semua- mengejutkan."
Harry melirik sepintas ke sebelahnya. Dan melihat kegelisahan yang sangat jarang terjadi pada Hermione. Harry ingat, terakhir kali ia melihat Hermione gelisah dan kaku seperti ini hanya pada saat troll menyerangnya di tahun pertama. Bedanya, Hermione tidak panik sekarang.
"Mione? Kau tak apa?" tanya Harry cemas. Ron langsung mencermati air muka Hermione. Dan merasakan ada sesuatu yang tidak beres.
"Aku- ok. Hanya saja, Harry, Ron, apa kalian menyadari? Dia menatapku tajam terus-terusan." Jawab Hermione gugup.
Benar saja, Hanna seperti tertarik melihat Hermione. Bukan karena Hermione duduk kaku dan gelisah seperti itu, Hanna tahu tatapannya yang membuat Hermione salah tingkah. Dia hanya senang mempengaruhi orang lain. Seringai menghiasi wajahnya.
"Miss Riddle sudah diberi pembelajaran ringkas tahun pertama hingga tahun kelima selama liburan musim panas kemarin. Karena dia telah lumayan dapat menguasai pembelajaran tersebut, dia dapat bersekolah disini sekarang sebagai murid tahun keenam." Lanjut Dumbledore.
"Kurasa semuanya sudah jelas-"
"Tunggu profesor Dumbledore. Maaf jika saya menyela, saya hanya penasaran, kenapa Riddle baru bersekolah disini pada umur kira-kira lima belas atau enam belas tahun?" tanya salah satu murid kelas tujuh Ravenclaw.
"Pertanyaan yang bagus Mr Belby. Miss Riddle baru bersekolah disini sekarang karena status penyihirnya baru muncul saat dia berumur lima belas tahun. Kasus seperti itu memang dapat saja terjadi karena berbagai alasan. Dan alasan tersebut hanya saya dan Miss Riddle yang mungkin tahu." Jawab Dumbledore dengan senyum misteriusnya yang khas.
"Sesi pertanyaan ditutup tanpa dibuka," lanjutnya diikuti dengusan murid-murid senior di aula besar.
"Sekaranglah tugas Topi Seleksi untuk menyeleksi asrama yang cocok untuk Miss Riddle dan juga murid tahun pertama yan tersisa." Tutup Dumbledore sambil kembali ke kursinya.
Sejenak aula besar hening total menunggu Topi Seleksi memutuskan pilihannya. Anak-anak asrama Slytherin kelihatan antusias sekaligus takjub melihat adanya Riddle baru di dunia ini. Walaupun mereka belum tahu pasti Hanna keturunan asli Riddle atau bukan, keturunan yang sama dengan Voldemort, penyihir hitam yang paling mereka takuti.
"Hmm. Sangat menarik. Kau mempunyai dua pilihan disini," kata Topi Seleksi ke dalam kepala Hanna. "Ketertarikan kuat terhadap ilmu pengetahuan dan sekaligus haus akan kekuasaan."
"Kau ingin di asrama mana? Ravenclaw? Atau mungkin Slytherin?" tanya Topi Seleksi.
"Yang kau anggap paling cocok denganku saja." Jawabnya santai.
"Baiklah.. Slyvenclaw!" teriak si Topi Seleksi.
Lagi-lagi Riddle ini menggegerkan suasana di aula besar. Kening para profesor berkerut-kerut tidak mengerti. Baru kali ini Topi Seleksi menempatkan murid di dua asrama sekaligus.
"Haha. Aku bercanda. Maaf. Hanya peregangan suasana. Jangan ciptakan suasana tegang seperti ini dong. Aku hanya bingung mau menempatkan another Riddle ini di asrama mana. Antara Slytherin dan Ravenclaw. Oke, setelah kupikir-pikir.. bagusnya anak ini ditempatkan di asrama.."
Meja Slytherin gaduh dengan pukulan meja yang menderu dari seluruh muridnya. Kecuali Draco Malfoy. Dia kelihatan sedang berpikir keras semenjak nama Riddle baru ini disebutkan.
"Aku tidak pernah mendengar ada nama Riddle lagi selain nama kecil Pangeran Kegelapan." Desahnya dalam hati.
"RAVENCLAW!"
Asrama Slytherin harus kecewa dengan kepercayaan diri mereka. Dan asrama Ravenclaw harus bersiap menerima murid brilian sepertiku, inner Hanna bersorak gembira. Dia belum pernah merasa segembira sekarang. Karena hidupnya yang dulu hanya kelam dan dalam kegelapan. Baru kali ini dia merasakan secercah cahaya harapan dari sekolah barunya. Hanya disini ia menjadi spesial seperti ini.
Berjalan anggun ke meja asrama Ravenclaw dan duduk di bagian paling depan, dia tersenyum ke teman-teman barunya.
"Well seperti yang sudah kalian ketahui, namaku Hanna James Riddle. Salam kenal." Katanya dengan suara yang agak serak karena sedari tadi tidak bicara.
Teman-teman asramanya menyambutnya dengan perkenalan dan jabatan tangan yang formal. Dan acara seleksi asrama dilanjutkan kembali. Setelah penyeleksian asrama selesai, piring-piring serta gelas di seluruh meja aula besar terisi penuh dengan makanan dan minuman yang membangkitkan selera.
Dengan sengaja Hanna menoleh ke meja Gryffindor dan menatap mata coklat Hermione langsung. Hanna bisa membacanya. Dia ketakutan. Hanna menyeringai di tempat duduknya dan mulai makan. Besok dan hari selanjutnya akan menjadi hari yang tidak terlupakan baginya.
.
.
"Apa? Nama tengahnya JAMES?" tanya Harry terkaget-kaget.
"Hei calm down, Harry. Aku tahu kau ingin lebih tahu tentang dia lebih lan-" ujar Seamus Finnigan di samping tempat duduknya di kelas sejarah sihir.
"Bukan. Bukan itu maksudku. Aku tidak percaya bahwa nama tengahnya bisa sama denganku." Harry menatap kosong ke mejanya sambil berbicara kepada dirinya sendiri.
"Oh ya aku hampir lupa nama tengahmu, Potter." Seamus tertawa garing. Setelah melihat raut muka serius Harry, tawanya terhenti.
"Bagaimana bisa? Apa nama itu memang kebetulan sama dengan ayah atau..." pikirannya terus berpacu menyambungkan beberapa kemungkinan. Namun setiap kali Harry yakin ia akan menemukan jawabannya, saat itu juga Harry merasa dia masih membutuhkan banyak informasi dan kepastian.
Profesor Binns menjelaskan tentang Perang Troya yang melibatkan Yunani. Selagi sebagian besar murid-murid Gryffindor dan Huplepuff tahun keenam tidur dengan pulas di meja mereka. Namun tidak pada Harry. Matanya menatap kosong tetapi pikirannya sedang bekerja.
Aku harus meminta penjelasan langsung dari Profesor Dumbledore, batinnya.
.
.
"Kerumunan naga," kata Harry ke gargoyle yang langsung menyingkir dari tempatnya. Harry melangkahkan kaki ke tangga spiral yang ditengahnya terdapat patung elang emas besar. Tangga itu berputar ke atas menuju kantor Dumbledore.
"Masuk." Gumam Dumbledore dari dalam ruangannya. Bahkan sebelum Harry mengetuk pintu.
Profesor Dumbledore terlihat sibuk dengan berbagai perkamen di meja kerjanya dan tidak memperhatikan Harry sama sekali. Menyuruh Harry duduk pun tidak.
"Um. Profesor, saya hanya.." Harry mulai membuka topik.
"Dari mana kau tahu password kantorku, Harry?"
"Kau memberitahukannya saat kita di perjalanan menuju rumah profesor Slughorn, sir." Kata Harry kalem.
"Ah ya, aku bahkan lupa menggantinya." Dumbledore bergumam kepada dirinya sendiri.
Harry berdiri gelisah di tempatnya. Menyadari sikap Dumbledore yang aneh ini, dan perasaannya mulai tidak enak.
"Aku tahu kau datang kesini untuk membahasnya, bukan?" lanjutnya. "Apa yang ingin kau ketahui tentang 'dia', Harry?" kini mata biru terang Dumbledore beralih dari perkamen di mejanya dan menatap Harry lurus. Juga mengisaratkan Harry untuk duduk.
"Saya sangat penasaran sir. Tentang nama si Riddle ini. Apakah dia- anak dari Voldemort?" tanya Harry langsung.
"Bukan,"
Pemuda rambut acak-acakkan itu tampak sedikit lega dan berkata, "Kalau begitu namanya hanya kebetulan sama dengan Tom Riddle. Syukurlah."
"Aku tidak ingat kapan aku mengatakan itu."
Kelegaan yang menerpa Harrry sirna sudah. Kini guratan cemas menghiasi wajahnya. "Lalu siapa dia sebenarnya?"
Dumbledore mendesah sambil berkata, "Kau benar-benar ingin tahu? Kurasa memang seharusnya aku memberitahumu. Dan aku berharap kau bisa menjalankan 'peran' mu dengan baik."
"Sebentar, sir. Peran? Saya tidak mengerti." Ucap Harry keheranan.
"Let me explain to you..."
"I'm all ears."
-o0o-
Hanna PoV
Ini kamarku yang baru. Berhiaskan panji-panji biru Ravenclaw. Bersama empat perempuan yang mungkin akan menjadi sahabat atau musuhku nanti.
Aku melepaskan jubah sekolahku dan memakai jubah asrama Ravenclaw. Senyum menghiasi wajah ovalku ketika bercermin dan menemukan bayangan yang lain.
"Kau cocok memakainya, Riddle." Ujar seorang gadis berwajah oriental yang tingginya hampir sama denganku.
"Oh kau mengagetkanku, Su," kataku menoleh langsung ke belakang dan menaikkan kedua alisku. Semua teman sekamarku telah datang rupanya.
"Sejak kapan kalian ada disini?" tanyaku keheranan.
Si gadis berambut pirang terkikik dan berkata, "Well sejak kau bercermin dan senyum-senyum sendiri." Yang langsung diikuti kikikan gadis lainnya di kamar itu.
Mungkin wajahku sudah hampir bersemu merah. Ini pertama kalinya aku diejek dengan candaan yang menyenangkan. Bukannya cemohan yang para Muggle itu sering lemparkan kepadaku dulu.
"Anyway, itu wajar, Riddle. Kau murid baru disini, yang kami tak tahu alasannya. Tapi santai saja. Disini kami akan membimbingmu agar mudah beradaptasi dengan Hogwarts." Kata Su Li lagi.
"Terima kasih sekali kalian sudah menerimaku dengan baik disini. Dan- oh ya, jangan memanggilku dengan nama belakang lagi. Panggil saja Hanna." Senyum yang kuusahakan agar terlihat bersahabat sepertinya berhasil. Mereka membalas tersenyum juga dan menggangguk.
Aku berjalan ke tempat tidurku dan duduk disana ketika Padma Patil, yang kurasa keturunan India, berujar, "Kami hanya terbiasa menggosipkanmu sejak kemarin di aula besar dengan nama Riddle. Hm tentunya kau menyadari itu kan? Menyadari bahwa nama Riddle agak sedikit, um, spesial?"
Mata abu-abuku melirik dengan cepat ke Padma, maksudku kelewat cepat. Atmosfir di kamar itu langsung berubah total. Yang aku tak tahu kenapa sebabnya. Tetapi hanya saja saat mereka mengungkit tentang nama belakangku, aku sedikit tersinggung.
Aku hanya menjawab singkat, "Ya. Tentu saja aku menyadarinya."
"Tapi kau tidak mempersalahkannya 'kan?" tanya Sarah Fawcett, si gadis berambut pirang.
"Tidak terlalu. Kurasa itu memang wajar. Aku sudah mengetahui tentang nama Riddle kok." Kataku mencoba santai untuk mengembalikan suasana nyaman yang baru saja hilang.
"Jadi.. kau bukan keturunan Kau-Tahu-Siapa?" tanya Su ragu-ragu.
Aku menaikkan sebelah alisku, "Menurutmu?"
.
.
Harry menarik nafas dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan untuk merilekskan diri dari hal yang baru saja ia dengar. Kepalanya sudah tidak pusing berpikir seperti tadi lagi. Tetapi sekarang otaknya mencoba mencerna dan menerima cerita baru yang sulit dimengerti.
"Peranku untuk mengalahkan Voldemort akan dibantu olehnya? Yang kau bilang barusan, saudaranya sendiri?"
"Kurang lebih seperti itu, Harry. Kau masih belum yakin bahwa Hanna adalah saudara dari Tom Riddle?" tanya Dumbledore serius.
"Kau bisa mengeceknya di pensieve. Cari memoriku dengan profesor Trelawney beberapa bulan yang lalu. Ada disamping kanan rak itu." Dumbledore menunjukkan letak memori yang ia maksud kepada Harry.
Tanpa dikomando lagi, Harry bangkit dan mengambil memori itu lalu menuju ke pensieve.
"Apapun yang akan kau lihat dan dengar, Harry, kumohon cermatilah." Kata Dumbledore lagi sebelum Harry menenggelamkan kepalanya ke permukaan pensieve.
TO BE CONTINUED
N/A
Terimakasih sudah membaca sampai habis. Silahkan tinggalkan kritik dan saran pada kotak review di bawah ini...
