"Kai, pulang bareng yuk!" ajak Ren pada Kai yang sedang memasukkan buku-buku nya ke dalam tas.

"Boleh juga" Kemudian mereka berjalan ke luar kelas dan keluar gerbang.

"Aku beloknya ke sini, sampai jumpa!" Ren berbelok ke sebuah persimpangan, tak lain dan tak bukan, dimana kediaman Foo Fighter berada. Kai hanya menanggapinya dengan sebuah anggukan kecil, lalu berjalan ke jalan yang berlawanan dari Ren.

Sriiit

Ren memasuki kediaman Foo Fighter yang menggunakan pintu otomatis, dan untungnya dia tidak berdiri diam sampai berjam-jam hanya untuk menunggu pintunya terbuka, padahal ia salah berdiri, seperti beberapa tahun lalu.

"Selamat datang, Ren-sama" sambut deretan manusia yang berbaris dua banjar membukakan jalan untuk Ren. Ren tidak mengacuhkannya, ia langsung saja memasuki lift dan naik ke lantai sepuluh.

"Fuuuh..." Ren menghela nafas panjang sambil menghempaskan tubuhnya ke ranjang king-size empuk di ruangan pribadi dan sekaligus kamarnya. Bagaimanapun, aku masih bingung, ini perasaan apa? Kenapa aku harus memiliki perasaan ini? Dan kenapa sasaran tembak perasaan ini adalah teman terbaikku sejak kecil, Kai? Ren yang banyak berpikir dan selalu memikirkan hal aneh itu, perasaan aneh yang menghantuinya kemana-mana, menggelungkan tubuhnya sambil memeluk kakinya sendiri.


.

.

.

Todokanai Kimochi (perasaan yang tak tersampaikan)

.

Chapter 1

.

Made by RenReykyuura

.

Disclaimer : Ren and Kai belong to each other

.

Genre : Romance/Friendship, Supernatural

.

Pair : RenKai

.

Rate : T (Kyuu selalu buat yang T desu~)

.

WARNING : OOC, Misstypo, pace cerita yang terlalu lambat atau mungkin terlalu cepat, Bloody scenes, dll.

.

DON'T LIKE? LEAVE THIS PAGE!

.

Enjoy~


Tiga tahun telah berlalu sejak kejadian itu. Kejadian na'as yang mengerikan dan lebih baik jangan diungkit-ungkit. Kejadian itu meninggalkan jejak codet yang luar biasa dalamnya di hati mereka, Ren dan Kai.


-Todokanai Kimochi-


Ren yang ketika itu masih duduk di bangku kelas satu SMP benar-benar aneh. Aneh? Kadang ia pendiam, tapi kadang ia juga tipe orang yang easy-going. Saat musim semi tahun itu, seorang lelaki pindahan dari kota sebelah pindah ke kelas Ren. Si rambut coklat bermata hijau memperkenalkan dirinya di depan kelas. Kai Toshiki, itu namanya. Ia duduk di depan si surai merah yang memandang Kai sedari tadi.

KRIIIIIIING KRIIIIIIING KRIIIIIIIIIIING

"Hai!" Kai menyapa Ren yang tengah melamun pada jam istirahat. Sapaan itu membuat lamunan Ren buyar seketika. "Ah—H-hai!" lamunan panjang Ren buyar seketika saat mendengar seseorang menyapanya dan ternyata itu si anak pindahan. "Namamu Kai 'kan?" Ren mencoba menyesuaikan diri dengan anak baru berambut coklat itu. "Yap! Ke kantin bareng yuk!" Kai bicara pada Kai seperti orang yang sudah kenal lama saja. Orang yang gampang akrab, ya? "Yuk!" Ren beranjak dari tempat duduknya dan berjalan dengan Kai.

"Kau mau pesan apa? Menunya ditempel di sana" Ren menunjuk ke arah kanan, tembok dekat meja paling pojok. "Hmm... Aku bakso saja deh" Kai memutuskan jawabannya sambil memegang dagunya sendiri, seperti orang yang berpikir keras, padahal hanya menu makan. "Oke, aku juga ah! Mbak, baksonya dua porsi, ya!" Ren memesan makanan pada mbak kantin bersurai gold panjang dengan mata hijau yang lebih muda dibanding mata Kai, yak, terkesan lebih segar.

"Oh, ya. Boleh tahu namamu siapa?" tanya Kai yang sedang duduk di meja pojok kiri belakang. "Suzugamori Ren, tigabelas tahun" jawab Ren sambil duduk di sebelah Kai. "Salam kenal!" Kai benar-benar tipe orang yang mudah bersosialisasi, dan benar-benar tampan, sampai-sampai membuat semua siswi perempuan klepek-klepek melihatnya, lihat saja, semua mata perempuan tertuju padanya yang padahal hanya duduk, dan tidak menyapa seorang perempuan pun dari tadi.

"Eh, bakso nya sudah di antar nih. Makasih" ujar Ren pada seorang perempuan berambut ungu muda lembut yang mengantar dua mangkok bakso ke meja dimana Ren dan Kai duduk. Perempuan itu langsung kembali ke dapur kantin dan mengambilkan pesanan siswa siswi lainnya.

KRIIIIIIING KRIIIIIIING KRIIIIIIIIING

"Kembali ke kelas yuk" ajak Kai meletakkan sendok dan garpu nya ke mangkok kosong, bel berdering tepat setelah dua insan itu menghabiskan bakso di mangkoknya. Tanpa perlu jawaban, Kai langsung menarik tangan Ren dan berjalan bersama kembali ke kelas, pastinya dengan berjuta mata siswi perempuan memperhatikan setiap gerak-gerik Kai, seperti agen mata-mata masal yang tentunya dapat disadari Kai dengan mudah.

Di kelas, mereka mengerjakan seluruh tugas kelompok berdua, mendiskusikan pelajaran berdua, yak, melakukan segalanya berdua. Melihat hal itu, semua siswi perempuan yang menjadi fans tak resmi Ren di kelas itu benar-benar iri, atau lebih tepat disebut cemburu, karena pujaan hati mereka hanya melakukan segalanya dengan Kai, Kai, dan Kai, tanpa melihat ke arah lain, khususnya kepada mereka. Kenapa dia bisa dengan mudahnya bergaul dengan Kai, padahal ia hanyalah anak baru yang masuk tadi pagi. Nah mereka para fans Kai? Mereka bahkan tak pernah dipandang Kai walaupun hanya dengan sudut mata. Kalau di rumah, pasti mereka sudah gigit-gigit guling. Yang lebih parahnya, ekspresi para fujoshi bejat yang menyaksikan kedekatan Ren dan Kai. Mereka sudah mimisan dan—oke, lupakan.

Seminggu sejak kepindahan Kai ke sekolah itu, Kai pergi ke rumah Ren untuk mengerjakan tugas kelompok. Tapi yang terjadi malah kejadian na'as .

"Ren! Kerjain tugas yu—" Kai membuka pintu rumah Ren dengan senyum berseri-seri. "—uk?" Kai membulatkan matanya. Senyumannya luntur seketika. "...Re..n..? kau... apa yang kau lakukan...?" Kai terperanjat hebat ketika melihat Ren yang memegang pisau dapur sedang menusuk perut orangtuanya. "O-oi... Ren?" Ren mencampakkan tubuh tak bernyawa itu ke lantai lalu memenggal kepala ibunya sendiri. "Ren...?"

"Oh? Kai?" Ren menoleh ke arah Kai dengan tatapan tak berdosa. "Ada apa?" Ren berbicara pada Kai dengan nada seperti biasanya, wajah seperti biasanya, hanya saja... tubuhnya bercipratan darah, dan banyak cipratan darah di sisi manapun kita lihat di rumahnya. "Kai?" Ren memiringkan kepalanya karena Kai tidak menjawab pertanyaannya, melainkan hanya terdiam dengan mata yang membulat.

"Ren...? kau Ren... kan? Kenapa kau... membunuh mereka..?" Kai ragu-ragu mempertanyakan hal itu, tapi ia benar-benar terkejut melihat Ren yang seperti itu. Sejak kapan Ren berubah menjadi iblis berkulit manusia seperti ini? "...Ren...?"

"Ya, tentu saja aku membunuhnya. Kau tanya kenapa?" jawab Ren dengan nada datar tanpa dosa. Kai tidak menjawab. "Karena aku membenci mereka. Aku tidak butuh mereka. Aku bisa hidup sendirian tanpa mereka. Makanya... kubunuh saja" Kai yang mendengar hal seperti itu semakin terkejut. Ia terpaku melihat Ren berubah drastis seratus delapanpuluh derajat dari Ren yang selama ini dikenalnya. Atau apakah ini memang bagaimana Ren sebenarnya? Dan selama ini yang ia perlihatkan pada Kai tak lebih dari sekedar topeng yang dipakainya saat drama? "Aku tak butuh sampah... Dan apa kau tahu, Kai? Jeritan mereka saat kubunuh... benar-benar menghibur hati lho..." Ren menjilat darah di pisau dapur yang dipegang di tangan kanannya.

"Ren? Oi, Ren! Kau bukan Ren yang selama ini ku kenal! Ren yang ku kenal takkan melakukan hal bejat seperti ini!" Kai membantah kenyataan yang terpampang di depan matanya.

"Kai... kau lemah.."

"Hah!?"

"Jangan pernah menilai sesuatu dari kulitnya. Kulitnya mungkin bagus dan lembut, tapi isinya? Isinya belum tentu sama dengan bagaimana rupa kulitnya. Isinya bisa saja kebalikan dari kulitnya, penuh kegelapan dimana tak setitik cahaya pun dapat menyentuhnya, kasar, atau kejam" Ren mulai berjalan mendekati Kai dengan pisau dapur masih digenggam di tangan. Tatapan yang tadinya tak berdosa kini berubah menjadi tatapan penuh nafsu akan kematian, aura merah gelap pembunuh mengelilinginya, mata merahnya menyala bagaikan darah yang ditimpa lidah api, senyumnya berubah menjadi senyuman sangar yang mengharapkan keputusasaan mangsanya, keinginan yang dilandasi pondasi kuat untuk melihat korbannya berteriak kesakitan dengan darah yang berceceran, bercipratan, muntah darah.

"Re..n...?" Kai tak dapat bergerak. Kakinya serasa dipakukan ke lantai tempat ia berpijak. "Apa yang... kau laku...kan?" Kai tak bisa lepas dari kecemasan yang menggerubukinya dihimpit lagi dengan ketakutan yang akan mengutuknya sampai mati.

"Nee... Kai... Maukah kau menjadi mangsaku yang selanjutnya..?" Ren memperlihatkan pisaunya yang mengkilap dengan darah yang mendekorasikannya di depan mata Kai yang tengah terdiam.

"Ren... ja-jangan... aku masih belum mau menemui malaikat maut..." Kai terbata-bata akibat tekanan batin karena Ren yang selama ini menjadi teman yang selalu ada di sampingnya akan membunuhnya sekarang juga, apa ia akan mati di sini ditangan sahabatnya sendiri? Dengan cara mengenaskan? Seperti ayahnya yang ditusuk? Atau seperti ibunya yang dipenggal? Atau mungkin akan dimutilasi? Oh tuhan, aku belum mau mati... batin Kai bergejolak.

"Sayang sekali, tapi aku malaikat maut nya..." kata Ren sambil mengayunkan pisaunya yang siap menikam Kai dan mengoyak-ngoyak isi perutnya.

Aku tidak mau mati di sini! Kai membulatkan tekadnya untuk kabur dari Ren secepatnya. Kai langsung berlari dengan kencang dan keluar dari rumah yang berdarah itu. Matanya dipenuhi kecemasan, ketakutan, keinginan untuk bertahan hidup, keinginan untuk mendapatkan perlindungan...

"Mau lari kemana?" Ren menurunkan tangannya lalu segera mengejar Kai yang berlari. "Kau takkan bisa lari dari malaikat mautmu ini..."

Nafas Kai mulai tak beraturan, kacau. Ia bingung mau lari kemana. Ia tidak mungkin ke rumah karena nanti bisa-bisa nyawa Ibu dan Ayahnya direnggut oleh pembunuh berdarah dingin sepeti Ren. Di persimpangan, ia melihat ke belakang, memastikan Ren tidak ada di sekitar sana. Lalu ia cepat-cepat berbelok ke kanan dan memasuki sebuah toko buku besar. Ia naik ke lantai atas agar tidak kelihatan dari luar sambil mengatur nafasnya. Sekujur tubuhnya meneteskan keringat dingin dan peluh karena berlari terlalu dipaksakan kencang.

Huuff... Huff...Setidaknya aku akan tetap disini untuk setengah jam untuk memastikan Ren sudah pergi. Kai berpura-pura melihat-lihat buku yang disusun rapi pada rak-rak besar. Kini nafasnya sudah mulai teratur.

Di sisi lain, Ren yang masih mencari-cari Kai mulai bingung harus kemana. Dirinya bukanlah seorang ninja yang dapat menggandakan diri, dia juga bukan Tuhan yang tahu segalanya. Lalu di persimpangan tempat Kai berbelok kanan, Ren juga berbelok ke kanan. Kai yang melihatnya dari jendela langsung harap-harap cemas. Ia memperhatikan gerak-gerik Ren, dan panik tiba-tiba ketika melihat Ren memasuki toko buku dimana Kai bersembunyi. Gawat! Kai bingung bagaimana caranya agar dapat kabur dari Ren. Apa yang harus kulakukan!?

Ren memasukkan pisaunya ke dalam jubah hitamnya, bekas darah yang tadinya menempel di bajunya tertutupi oleh jubah dan memasuki toko buku itu dengan wajah tenang dan berjalan di lantai tersebut sambil mencari sasaran tembaknya. Karena ia tak melihat Kai, ia menaiki tangga ke lantai atas dimana Kai berada.

Kai melihat seseorang yang menaiki tangga. Orang itu berambut merah, dengan jubah hitam. Tidak salah lagi, itu Ren! Kai berusaha untuk tidak panik. Ia pergi ke toilet dekat tempat ia berdiri tadi dan sepertinya Ren tidak menyadari hal itu. Kai hanya berdiri di toilet tanpa melakukan apapun. Tapi ia juga tidak mau kalau harus bermenung di toilet untuk setengah jam seperti orang yang sakit perut, mules, diare, atau apapun lah. Tidak ada pilihan lain. Kai terpaksa mengguyur rambutnya agar rambutnya lurus ke bawah. Tapi Kai merasa hal beginian saja takkan bisa menipu penglihatan Ren. Dan untungnya, di toilet itu ada bedak dan berbagai alat kosmetik lainnya –entah siapa yang menaruhnya. Kai merasa terselamatkan. Ia memakai bedak berwarna coklat muda tebal-tebal agar kulit putih pucatnya terlihat kecoklatan, sekurang-kurangnya kuning langsat. Ia terpaksa memakaikan lensa kontak berwarna ungu keemasan ke mata hijaunya. Ia juga harus memakai eyebrow untuk memanjangkan alisnya. Kai berkaca di cermin di sebelah pintu. Perfect. Kai mengatur nafasnya dan keluar dari toilet dengan penyamarannya. Semoga Ren tidak menyadarinya. Kai komat kamit dalam hati agar Ren menjadi bodoh tiba-tiba supaya ia tak menyadari Kai.

"Permisi. Boleh saya bertanya sebentar?" tanya seorang pria berambut merah pada Kai –yang sedang menyamar— yang tak lain dan tak bukan adalah Ren.

"Ya? Ada apa?" Kai menjawabnya dengan sempurna dan mengecilkan suara beratnya tanpa gugup ataupun cemas –hanya tampang biasa, normal—.

"Apa tadi anda melihat pemuda seumuran saya di sekitar sini? Rambutnya coklat, bola matanya hijau, dan sedikit lebih tinggi dari saya?" tanya Ren dengan sopan se-sopan-sopannya.

"Apa yang anda maksud pemuda berambut coklat itu, rambutnya agak ke samping ya?" orang itu –Kai—memastikan hal yang telah pasti.

"Iya! Anda melihatnya?"

"Tadi sih kami bertemu di sini, lalu katanya ia mau pergi ke taman ria. Ia janjian dengan temannya" jawab Kai dengan penuh kebohongan yang menyelimuti kata demi kata yang dilontarkannya.

"Hmm... Taman ria? Berarti dari persimpangan ini, kita belok kanan, kan?" tanya Ren memastikan arah kemana ia akan berjalan.

"Ya, tapi cukup jauh. Kira-kira empat ratus meter dari persimpangan"

"Baiklah, terima kasih" Ren berhasil dikelabui begitu saja. Ia turun ke lantai dasar dan berjalan ke persimpangan lalu belok kanan dan meneruskan perjalanannya. Kai yang sedang melihat Ren berbelok dari jendela, menghela nafas lega. Begitu ia melihat Ren benar-benar sudah tidak terlihat, ia keluar dari toko buku dan berjalan sekitar sepuluh meter dari sana. Rumah Kai memang dekat dari sini. Kai buru-buru memasuki rumahnya yang tidak terkunci dan alhasil saat seorang wanita bersurai coklat tua melihat Kai memasuki rumah, terkejut. Bahkan Ibunya sendiri tertipu penyamarannya.

"Bu, ini aku, Toshiki" Kai mengelap mukanya dan melepas lensa kontak dari matanya. Kebetulan rambutnya juga sudah agak kering, jadi kembali seperti semula.

"Toshiki? Ibu pikir tadi siapa. Kenapa dandananmu seperti itu?" tanya Ibu yang lega saat mengetahui ternyata itu anak sematawayangnya. Kai bingung mau menjawab apa. Tidak mungkin baginya untuk memberitahu semuanya apalagi tentang Ren, itu terlalu berbahaya.

"Oh, ini. Aku dan Ren bermain pesta kostum di rumahnya. Hehe" Kai menjawab dengan tenang, berusaha nadanya tetap seperti biasa, agar tidak mencurigakan. Dan alhasil rencananya berjalan dengan lancar. Ibunya percaya begitu saja. Mungkin karena ia berpikir anak kecil selalu main yang ada-ada saja.

"Toshiki ini. Cuci muka, gih. Nanti kalau yang lain tau, kamu malah ditertawakan lho" ujar Ibu dengan sedikit tawa. Kai hanya mengangguk dan pergi ke kamar mandi, mencuci mukanya dengan sabun sampai bersih. ia mengeluh karena untuk membersihkan mukanya dari bedak yang sangat tebal seperti itu susah sekali. Ia harus menggosok-gosoknya sampai-sampai beberapa bagian di mukanya memerah karena terlalu kasar. Tapi Kai juga bersyukur, berkat peralatan kosmetik di kamar mandi toko buku itu, nyawa nya terselamatkan. Yak, walaupun sebenarnya dia juga bingung kenapa alat kosmetik bisa ada di tempat seperti itu, bahkan ada lensa kontak yang harganya lumayan mahal. apa jangan-jangan itu milik orang lain yang tertinggal? Tapi Kai malah menggunakannya tanpa sepengetahuan si pemilik? Ah, biarlah. Daripada memikirkan orang lain, lebih baik memikirkan keselamatan diri sendiri dulu.

Huuh... akhirnya bersih juga, gumam Kai sambil melihat pantulan dirinya yang terlihat di cermin kamar mandi itu. Matanya sudah berwarna hijau lagi, wajahnya kembali putih, alisnya sudah seperti bagaimana alisnya yang biasa. Kai tidak pernah menyangka ia akan melakukan penyamaran seperti itu, walaupun sebenarnya ia sangat membenci penyamaran, terlebih ini baru pertama kalinya Kai menyamar. Memakai kosmetik? Jangan ditanya lagi. Sudah pasti si rambut coklat ini baru memakainya untuk pertama kali dalam hidupnya, dan ia juga memutuskan itu waktu pertama dan terakhir kali untuknya memakai kosmetik-kosmetik, peralatan kaum hawa.

Kai pun menaiki tangga, memasuki kamar untuk mengganti baju yang sudah basah gegara air yang membasahinya saat mencuci muka. Fuuh... bagaimana besok ya? Aku jadi cemas bertemu dengan Ren... pikir Kai sambil mencari-cari baju yang akan dipakainya dalam lemari.

"Toshiki! Makan malam sudah siap!" Ibu bersorak dari lantai bawah, memberitahu makan malam sudah siap. "Ya!" Kai menanggapi Ibunya lalu cepat-cepat memakai baju dan langsung turun ke lantai bawah dan duduk di meja makan. "Itadakimasu!" ia makan seperti biasa, tak ada hal yang aneh. Tapi sebenarnya, beribu hal sedang menggerogoti otaknya sampai bolong-bolong bagaikan daun yang dimakan ulat. Semua hal itu jauh lebih sulit kalau dibandingkan dengan rumus matematika aljabar dan geometri, atau rumus fisika dan kimia tentang rumus kimia bahan-bahan, penyusun partikel, atom, nuklir, materi, penyusun alam semesta, para penemu dan pencipta. Tapi Kai berusaha tidak memperlihatkan wajah yang menyiratkan kebingungan hatinya.

"Aku sudah selesai makan" Dalam sepuluh menit, Kai menghabiskan makanannya dan beranjak dari meja makan. Ia kembali menaiki tangga dan memasuki kamar. Kai menghempaskan tubuhnya ke kasur dengan otak yang yang tak lepas dari masalah-masalah. Sebenarnya Ren itu siapa? Kenapa dia berubah menjadi pembunuh berdarah dingin, sang iblis yang berkulit manusia? Atau yang dikatakan Ren itu memang benar? Ren yang saat itu adalah jati dirinya yang sebenarnya? Selama ini dia menggunakan topeng yang benar-benar lekat untuk membuat semua orang tidak mengetahuinya? Aah, kepala Kai serasa semakin berat saja. Kai pun memutuskan untuk tidur. Ia tak ingin terlalu berlama-lama untuk memikirkan hal yang seperti itu. Kai pun menutup matanya untuk tidur.

CTAAAAR!

Kai yang baru saja menutup matanya langsung tersentak kaget. Petir? Kai merasa ada yang janggal. Padahal dari tadi cuacanya cerah. Tak ada badai ataupun hujan. Setahu Kai, petir hanya terjadi saat hujan, berbeda dengan guruh. Kai langsung duduk dan melihat ke luar melalui jendela kamar dan menyingkap kain gorden. Ternyata benar, itu petir. Petir yang menyambar-nyambar disertai kilat putih yang begitu jelas di penglihatan semua orang karena langit malam benar-benar kelam tanpa awan.

Bulan purnama yang terlihat sangat besar bersinar tanpa bintang menemaninya, terbelah menjadi dua bagian yang tidak sama besar, yang satu hanya seukuran bulan sabit dan yang satunya lagi tiga perempat dari ukuran bulan purnama dan berwarna merah. Kai mengucek-ucek matanya, meyakinkan apakah itu bukan mimpi. Kai mencubit pipinya sendiri, rasanya sakit. Kai terperanjat bukan main saat menyadari itu bukan mimpi, ini nyata! Bulan terbelah dua? Apa ini akhir dari dunia? Apakah ini yang disebut kiamat?

Kai yang sedang berdiri terdiam terpaku melihat fenomena aneh seperti itu, tiba-tiba berada di sebuah lorong hitam kelam yang hanya disinari obor di dindingnya. Kai merinding ketakutan. Dimana ini? Kai bingung, padahal sedari tadi, ia berada dalam kamar. Tapi sekarang, kenapa ia malah berada di tempat menyeramkan seperti ini? Telinganya serasa berdengung. Kai memutuskan untuk menyusuri lorong itu walaupun tak tahu kemana ia akan berakhir.

"Selamat datang" ujar sesosok lelaki berambut pirang pendek dengan tiga antena berdiri di kepalanya ditambah dengan indra penglihatannya yang berwarna anggur. Kai yang sedang celingak-celinguk waspada di lorong terkejut melihat pria itu dan tiba-tiba berada di sebuah ruangan yang lebih besar, tapi tetap saja hanya disinari obor.

"Kau siapa?" tanya Kai dengan nada datar dan tampang yang biasa-biasa saja, tapi sebenarnya ia terkejut bukan main ternyata ada orang di sini. Apa itu berarti bukan hanya dirinya yang terjebak dan nyasar ke tempat aneh ini?

"Souryuu Leon. Akhirnya kau sampai juga ke tempat ini, ya, Kai Toshiki" Kai terkejut sekaligus waspada, kenapa orang yang bernama Leon itu tahu namanya? Apa jangan-jangan ia juga sama seperti Ren? Ah, tidak mungkin, batin Kai menyangkal prasangka buruknya itu.

"Darimana kau tahu namaku?"

"Darimana?" Leon menautkan alisnya. "Aku memang sudah tahu namamu, dari dulu" Leon tersenyum menjawab pertanyaan Kai. Tapi Kai malah semakin bingung. Dari dulu? Memangnya dia kenal Kai dari mana? Kapan? Siapa dia? Kai saja tidak pernah bertemu dengan orang ini. Tapi Kai memutuskan untuk tidak bertanya-tanya karena itu hanya akan memperpanjang waktunya untuk berada di tempat seperti ini.

"Lalu? Ini dimana? Kenapa aku berada di sini? Kenapa bulannya terbelah?" Kai mengajukan tiga pertanyaan sekaligus karena dia masih larut dalam kebingungan.

"Hei, hei. Tanya nya satu-satu dong. Ini dimana? Ini adalah tempat dimana jati diri Suzugamori Ren bersemayam. Gelap kan? Tempat ini mencerminkan bagaimana jati diri Suzugamori Ren yang dikuasai kegelapan. Tempat yang kelam ini adalah sisi gelapnya, obor-obor itu sisi baiknya, itu menunjukkan bahwa sisi gelap Ren lebih kuat daripada sisi baiknya" penjelasan Leon malah semakin membuat Kai kebingungan.

"Kenapa kau tahu tentang Ren!?" Kai mulai curiga, jangan-jangan orang ber-antena 3 ini ada sangkut-pautnya dengan Ren.

"Tentu saja aku tahu dia. Ren adalah pion milik pimpinan ku, dan dia pion yang kuat" Leon tersenyum saat melihat Kai terkejut mendengar jawabannya.

"Apa maksudmu!?"

"Ren itu bagian dari kami. Mungkin saja pangkatnya akan naik menjadi rencong. Mirip catur bukan?" Kai hanya terdiam tak menanggapi. Leon yang mengerti maksud Kai langsung melanjutkan jawaban pertanyaan pertama Kai. "Ini dunia Ren, dengan kata lain, Ren sendiri yang menciptakannya" Kai membulatkan mata saat mendengarnya. Dunia yang diciptakan oleh manusia? Apa hal seperti itu dapat dilakukan? "Semua orang memiliki dunianya masing-masing. Jika seseorang memiliki jiwa jahat yang lebih berat, maka dunianya akan kelam, cahaya redup diselimuti kegelapan. Sebaliknya, jika jiwanya baik, cahaya akan menang dan melahap kegelapan"

"Tunggu. Aku masih tidak mengerti. Bagaimana mungkin manusia dapat menciptakan dunia?"

"Hal itu memungkinkan, karena tidak ada hal yang tidak mungkin, dalam bahasamu, bisa dibilang arienai koto wa arienai. Ketika seorang bayi lahir ke dunia, ia memiliki dunia sendiri pula. Di dalam dunia itu, cahaya dan kegelapan seimbang. Yang menentukan dunia itu, ya, hanya dia sendiri. Karena dunia itu sesuai dengan kepribadian si pemilik. Dan kenapa kau berada di sini, itu karena Ren sendirilah yang memanggilmu. Aku sendiri juga tidak tahu alasannya" penjelasan Leon mulai membuat Kai mengerti.

"Lalu, bulan itu bagaimana?" tanya Kai yang masih berdiri di tempat yang sama dengan tempat ia berpijak tadi, ia tak berpindah satu milimeter pun.

"Sama halnya dengan cahaya, ia juga berbentuk berdasarkan kepribadian si pemilik. Kau lihat bulan di dunia ini, kan? Bagian yang lebih besar itu berwarna merah, kan? Bagian merah itu menunjukkan kegelapan dan warnanya tidak selalu merah, ada juga yang berwarna kehitaman. Warna salah satu sisinya adalah putih, melambangkan kesucian dan kemurnian. Sementara bagian yang satunya lagi tidaklah putih, warna nya tergantung dengan kejahatan si pemilik. Bulan di dunia Ren berwarna merah karena kejahatannya, membunuh. Bulan itu akan berwarna merah, mencerminkan darah orang yang dibunuhnya. Semakin pekat warna merahnya, itu berarti semakin banyak ia membunuh jiwa-jiwa manusia. Bulan yang lebih kecil itu berwarna putih, berarti kebaikannya hanya seperempat dari perlakuannya selama ini" bibir Leon tak pegal-pegal walaupun menjelaskannya dengan panjang lebar.

"Oh... Begitu... Satu pertanyaan lagi, kenapa Ren menunjukkan sifat aslinya itu di depan mata ku? Dan lagipula Ren yang selama ini menjadi bahan pembicaraan tiap fans-nya, Ren tidak pernah kasar" Kai melontarkan pertanyaan lagi, dan membuat Leon menghela nafas panjang. Sepertinya Leon mulai capek menjelaskan hal yang terlalu rumit untuk dijelaskan.

"Yang merubah Ren itu adalah semacam virus yang menyerang otak secara langsung, dan membuat seseorang kehilangan akal sehatnya. Ia akan menghalalkan segala cara demi mendapatkan hal yang diinginkannya. Bahkan orang kalem sekalipun dapat berubah menjadi orang yang ambisius. Virus itu diciptakan oleh bos, dan bos telah menanamkan bibit virus itu pada setiap otak manusia, tentunya termasuk kau. Bos tidak pernah memaksa orang untuk menggunakannya. Itu hanya tergantung dengan orangnya, apabila keambisiusan akan keinginan yang ingin diwujudkannya itu semakin meluap-luap, maka virus itu akan bekerja. Nama virus itu... Vyxanestalxes" Leon menjelaskan sebagian mengenai virus yang dinamakan Vyxanestalxes itu.

"Vyxanes...talxes?"


.

.

.

TSUZUKU

.

.

.


RenReykyuura (A/N) : Ciaossu, readers-sama! Gimana fic-nya? Gaje kah? Jelek kah? Terlalu OOC kah? Hancurkah? Bobrok kah? Fic ini saya bikin karena ada request dari temen saya, katanya dia minta bikinin fic RenKai yang melankolis gitu. Tapi ntar hurt-nya muncul pas terakhir-terakhir cerita xD kalau ceritanya hancur, jangan salahkan saya, salahkan teman saya yang nge-request /digorok/ Readers-sama bingung ngga ngebaca nama virus"Vyxanestalxes" nya? Kalau saya sih bingung pas nulis ma bacanya , padahal yang bikin nama kayak gitu saya sendiri /terusterang/ Hmm... readers-sama tau nggak siapa yang saya maksud perempuan bersurai gold panjang bermata hijau segar sama perempuan berambut ungu lembut di kantin sekolah? Kekekeke /tawa nista/ ayo coba ditebak xDD tapi jawaban untuk tiap tokoh 'perempuan' nya Cuma boleh satu, ngga lebih, ngga kurang /banyak cincongnya ah/ nanti di chapter selanjutnya saya kasih tahu jawabannya, tenang, ngga ada hadiahnya kok /dicincang/. Dan btw, ini pertama kalinya saya bikin fic shounen-ai/yaoi yang supernatural XD saya bosen sih kalau Cuma slice of life/drama. Disini Ren kayak yandere gitu, ya? XDDD Hehehehe. Trus, jangan lupa di review ya! Semakin banyak review-nya, semakin semangat pula saya melanjutkan cerita-nya. Soalnya kalau ngga ada yang suka fic-nya, buat apa saya lanjutin kan? Sekalian biar kalian tahu jawaban yang bener nya kekekeke XDD /kayak yang bakalan dibaca orang aja/. Oke, sampai jumpa di chapter selanjutnya! XD

Salam, Kyuu.