少女の祈り

Summary:

Kabut yang begitu tebal. Dingin. Udara ini begitu menyesakkan. Sendiri. Begitu sepi menambah aura mencekam. Abu-abu. Yang terlihat hanya warna itu. Gambaran suatu ketidak-pastian yang memuakkan. Ingin berlari. Ingin menghindar. Ingin lenyap.

Aku ingin warna yang pasti. Putih, tapi itu terlalu suci dan bersih untuk diri ini. Baiklah, hitam-pun akan kuterima, mungkin itu lebih cocok untukku. Yang terpenting kuingin kejelasan. Agar dapat kuambil sebuah keputusan.

'Tuhan, tunjukan jalan yang terbaik untuk hambaMu ini.'

.

.

Hitam. Ah~ memang benar ini yang terbaik untukku. Lebih nyaman karena tidak menyiksa dan membohongi diri sendiri seperti saat warna yang kudapat itu putih.

Syuut~

Cahaya? Kenapa bisa ada setitik cahaya masuk kedalam kegelapan ini?

Syuut~ syuut~

Jangan! Tolong jangan meluas! Biarkan disini gelap. Biarkan warna hitam yang mengelilingiku!

"Hinata…"

Suara itu? Aku masih dapat mendengarnya. Bagaimana bisa? Apakah ini artinya aku kembali gagal?

"Hinata, kau dapat mendengar ibu, nak?", suara itu terdengar lagi. Panggilan yang terucap darinya terdengar penuh kecemasaan. Senangnya bila ia sungguh mencemaskan diriku.

Kuingin membuktikannya. Benarkah ia cemas? Perlahan kucoba membuka kelopak mata.

PUTIH! Kenapa cahaya terang menyilaukan itu harus berwarna putih? Memejamkan mata memang lebih baik. Merah?! Kenapa justru merah yang kudapati? Sial, warna sialan itu mengingatkanku kembali dengan "orang itu". Membuat kepalaku menjadi pusing.

Seharusnya aku sudah tahu bila dirumah sakit itu penuh dengan warna putih. Bagaimana aku bisa yakin bila sekarang aku berada dirumah sakit? Karena aku gagal. Sekarang masih bisa mendengar suara ibu dan menikmati udara yang keluar masuk ke organ pernafasaan itu adalah buktinya.

"Hinata, Hinata, kau benar sadar, nak?", kali ini nada kegembiraan juga terselip dari suara itu.

Ia cemas dengan keadaanku dan bahagia dengan kesadaraanku? Benarkah? Kuingin sekali melihat kepastian itu di raut wajah ayu miliknya.

Perlahan kubuka kelopak mata memberi akses agar iris ini dapat menangkap gambaran disekitar. 'Putih, silahkan tertawa. Kuhanya ingin melihat wajah ibuku.' Mengabaikan terang putihnya cahaya yang seolah mengejek, perlahan kualihkan pandangan ke sisi ranjang –dimana kuterbaring– mengikuti sumber suara yang mencemaskanku itu.

Sentuhan tangan lembut yang hangat terasa menggenggam tangan kiriku. Hangat tangan ibu mengalir ke seluruh tubuh. Disana benar ibu sedang menunjukkan sebuah senyuman kepadaku, senyum senang kelegaan.

"Syukurlah kau sudah sadar, sayang.", gumamnya seraya mengusap helaian rambutku. "Selamat ulang tahun,", ucapnya lalu mencium keningku. "Maaf, Ibu terlambat sehari untuk mengucapkannya."

Kukira aku tak akan menjalani kehidupan diusia 18 tahun walau hanya sekedar sehari. Nyatanya aku sudah dua hari bernafas diusia yang ke 18 saat ini.

Sorot mata yang ibu perlihatkan saat mengucapkan selamat ulang tahun, sungguh sangat kurindukan. Teringat dulu saat kecil ia selalu memberikan pandangan kasih sayang itu kepadaku. Namun pandangan itu teralih. Kuikuti objek pengalihan tatapan ibu dan...

Deg!

Ternyata bukan hanya ibu yang ada diruangan ini. Orang itu, ia juga ada disini. Dengan wajah dan aura dinginnya. Ia berdiri berjarak satu meter dari sisi kanan ranjang, menghadap keluar jendela yang memiliki pemandangan salju turun. Walau ia membelakangiku, namun bola mata ini masih dapat menangkap gambaran salah satu sisi wajahnya.

Entah apa yang dirasakan dan difikirkan orang itu saat ini, ketika ku tersadar dan kembali gagal dari usaha yang beberapa kali telah ku lakukan.

Muak melihat wajahnya itu kualihkan kembali tatapan kepada ibu. Cih, oh~ ternyata aku salah mengartikan kecemasaan yang ibu perlihatkan. Sebenarnya yang ibu cemaskan itu ialah hal yang akan orang itu lakukan bila kali ini aku benar berhasil dalam aksi Bunuh Diri.

.

.

少女の祈り (Shōjo no inori)

Story by Dinding Biru

for Gaara Hinata Love Parade 2012-2013 Tema Warna

Disclamer | NARUTO © Masashi Kishimoto

少女の祈 milik Acid Black Cherry (maaf om Yasu saya pinjem judul lagunya)

Pair | Hinata. H X Gaara

Rate | T (sebenernya bingung nentuin rate)

Genre | General, Romance –kurang terasa–, Hurt/Comfrot,.

Warning | AU, OOC, Typos, Tata letak waktu —sedikit— membingungkan, diksi yang kurang jelas,

FirstPOV pertama yang kubuat jadi bakalan Gaje, etc.

.

.

"Datanglah kesisiku dan kau akan melihat semuanya membaik.",

Tawaran yang diucapkan oleh 'orang itu' dengan nada dingin. Sebuah tawaran yang ternyata menghasilkan warna abu-abu bagiku, namun sebuah warna putih bagi keluarga Hyuuga.

Sebenarnya yang menerima tawaran itu bukan diriku, namun Ibu. Beliau menerimanya tanpa pikir panjang. Ibu mengira itu sebuah lamaran yang datang dari lelaki tampan yang memiliki harta melimpah dengan marga bangsawan yang tersandang pada namanya.

Namun sesungguhnya itu adalah sebuah tawaran untuk bertransaksi. Tawaran itu datang tepat disaat yang mendesak. Ketika perusahaan Hyuuga mengalami krisis dan ayah yang di vonis mengidap gagal ginjal, yang harus rutin cuci darah, dengan komplikasi stroke –yang saat itu– ringan.

Aku menolak. Adu mulut dengan ibu adalah hal yang tak pernah kulakukan seumur hidup, kali ini tak terhindari. Bahkan adu mulut itu penuh dengan nada tinggi, bentakkan dan diakhiri dengan tangisku yang pecah karena aku kalah oleh kalimat yang beliau lontarkan. Kalimat yang begitu menyakitkan, kalimat yang mampu membuatku membencinya.

"Kau lebih memilih hanya dibeli orang itu saja atau dibeli banyak pria hidung belang? Berkobanlah sedikit demi ayah dan keluargamu yang telah menerimamu."

Mendengar pertanyaan dan kalimat itu serasa ada sebuah tombak yang menhunjam jantungku. Jadi selama ini keluarga Hyuuga tak pernah menerimaku? Ternyata pernyataan yang tak sengaja terdengar olehku—beberapa tahun lalu itu benar. Bahwa sebenarnya aku tak diinginkan terlahir menjadi anak pertama Hyuuga Hiashi –ayahku–, karena ramalan itu. Ramalan yang menyatakan bahwa bila terlahir seorang bayi perempuan sebagai anak pertama dalam garis keturunan Hyuuga, maka keluarga Hyuuga akan mendekati sebuah kehancuran.

Tapi disitu dikatakan "mendekati", bukan? Berarti ramalan itu masih tidak terbukti kebenarannya bila jalan menuju kehancuran itu dibelokkan. Maka cara yang dipilih Ibu untuk membelokkan jalan itu adalah dengan menjualku kepada orang itu.

Dan akhirnya aku pun datang kesisi orang itu. Bukan sebagai tunangan yang baru dilamar, namun sebagai boneka yang baru dibeli.

.

.

.

Musim semi tahun ini diusiaku yang masih belia, disaat seharusnya aku kembali kesekolah dan menjadi siswa senior di High School, dimana semestinya aku masih bisa bersenang-senang menikmati masa muda yang penuh warna, masa-masa indah yang tak pernah terulang. Namun disinilah diriku sekarang berada…

Terkurung di sebuah istana. Istana yang menurutku neraka yang kapan saja siap melahapku dalam panasnya bara api. Istana yang penuh kemewahan yang dapat kunikmati. Namun aku tak mampu atau lebih tepatnya tak sudi untuk menikmatinya. Karena kemewahan itu diberikan oleh seseoran yang mengurungku orang itu. Orang itu yang sama yang telah membuat warna abu-abu mengelilingi hidupku.

Sebuah tanda tanya besar selalu berputar dalam benak. Kenapa orang itu memberikan begitu banyak uang untuk membeli boneka seperitku? Kenapa harus membayar begitu banyak hanya untuk mempermainkan seseorang ah~ maksudku sebuah boneka? Dan kenapa boneka itu harus aku?

Boneka yang selalu tak dianggap selama sebulan pertama berada disisinya kala orang itu sedang berada di rumah. Aku-pun bingung bagaimana harus bersikap didepannya. Dan akhirnya aku lebih memilih untuk diam.

Bingung, bosan terus terdiam di rumah bak istana itu. Saat akhirnya ada kesempatan keluar bersama salah satu pelayan di rumah ini untuk belanja di swalayan, ku rasa sayang untuk menyianyiakannya. Walau sang pelayan sempat melarangku untuk ikut.

"Nona, saya tidak yakin anda diperbolehkan keluar rumah oleh Tuan.", ujarnya dengan suara lirih. Meskipun bukan sebuah kalimat larangan, namun didalamnya terdapat maksud tersebut.

Aku mencoba membujuknya, meminta dengan menunjukan raut wajah memohon. Dan itu berhasil, pelayan wanita yang baik itu mengijinkanku ikut dengannya ke swalayan. Namun ternyata itu keputusan yang salah.

Pukul tujuh malam, sepulangnya dari swalayan aku dan pelayan –yang pergi bersamaku– dikejutkan oleh keberadaan orang itu di dalam rumah dengan aura menakutkan mengelilinginya. Menunjukkan tatapan tajam kepadaku.

Tap~ tap~ tap~

Langkah kaki yang lebar diciptakanya untuk menghapiri kami. Dan ketika orang itu tepat berada dihadapan kami…

PLAK!

Aku terkujut. Sebuah tamparan diterima oleh pelayan yang telah baik kepadaku. Sebenarnya bila yang terkena tamparan itu diriku, aku sudah siap. Tapi kenapa pelayan itu yang ia tampar?

Saat tangan orang itu kembali terangkat, aku menahannya. "Sa-saya, yang salah. Saya yang me-memaksa agar mengijinkan saya i-ikut dengannya.", ujarku mengatakan yang sebenarnya agar orang itu tak kembali memukul pelayan itu. Dan seketika itu pula, orang itu menyeretku dengan kasar membawaku kelantai atas –kekamarnya.

Malam ini, malam dipenghujung musim semi yang biasanya sejuk, justru terasa begitu dingin bagiku. Akhirnya tubuh boneka ini digunakan oleh sang pemilik. Persatuan yang dipaksa membuatku merasakan sakit yang sangat dalam jiwa maupun raga, pengorbanan pertamaku setelah menjadi boneka orang itu.

"Seharusnya sebuah boneka itu hanya boleh berada dengan pemiliknya, tidak akan pergi bila tak dibawa oleh pemiliknya."

Kalimat itu terucap dari bibir orang itu setelah ia menyelesaikan permainan pertamanya dengan si boneka. Kalimat yang menegaskan bahwa memang diriku ini ia anggap sebagai boneka.

Kecupan orang itu berikan pada kening si boneka, memeluknya dalam dekapan yang begitu erat. Dan menurutku, dekapan itu baru akan terlepas saat orang itu sudah bosan dengan boneka miliknya.
Boneka milik Gaara Sabaku.

.
.

| 少女の祈り || DINDING BIRU |

.
.

Sejak malam pertama Gaara menggunakan tubuhku sebagai pemuasnya. Aku merasa menjadi seseorang yang asing bagi diriku sendiri.

Tersenyum itu adalah hal yang sudah biasa kulakukan dulu. Namun sekarang , tersenyum, untuk apa tersenyum? Senyuman ialah sebuah perwujudan dari sebuah perasaan senang– bahagia. Sekarang apakah aku bahagia? Tidak, aku tidak bahagia dengan warna abu-abu yang ada mendefinisikan diriku.

Abu-abu, seperti warna lembaran-lembaran kertas yang terjilid pada sebuah buku usang. Sampul yang terlihat masih bagus, namun halaman didalamnya sudah tak lengkap dikarenakan robekan-robekan pada bagian yang penting dan begitu banyak bercak-bercak pula goresan-goresan tinta hitam memudar didalamnya. Buku yang tertata pada rak tertinggi perpustakaan yang tak tersentuh. Buku usang yang tak seorang-pun ingin–sudi memahami isi didalamnya.

Setiap hari berdoaku pada Tuhan, karena hanya padaNya diriku hanya bisa mengadu dan meminta pertolongan. Namun kenapa tak segera ada pertolongan? Aku sudah lelah dipermainkan seperti ini oleh orang itu.

Suatu ketika sikapnya begitu lembut dan manis terhadapku. Mengajak diriku ikut bersamanya. Sebuah makan malam romantis dilengkapi sinar bulan yang menerangi. Awal dimana kumenyadari sisi lain dari Gaara.

Perlakuan Gaara selanjutnya kepadaku juga menjadi berbeda. Tak pernah ia mengabaikanku. Menanggapi keberadaanku dengan beberapa interaksi dan percakapan, meskipun masih tetap dengan ekspresi dan cara bicara yang dingin, namun aura yang ia berikan hangat. Membuatku nyaman.

Tanpa terasa sebuah benih cinta muncul dalam hatiku. Entah itu disebut cinta atau tidak, yang pasti baru pertama kali ini aku merasakan perasaan yang begitu asing namun nyaman seperti ini. Dan saat itu ku mencoba memberikan hal yang sama kepadanya, seperti yang ia berikan padaku. Saling membagi dan menerima. Semua begitu indah, seolah mampu melambungkanku sampai ke luar angkasa.

'Tuhan, biarkanlah tetap seperti ini.'

Namun… doa sederhanaku itu tak terkabul. Sikapnya seketika berubah, ia menjadi sosok yang dulu. Orang itu kembali pada perangainya yang dingin dan selalu mengabaikan diriku. Hal itu membuatku kembali jatuh, terhempas dengan begitu cepat setelah ia lambungkan.

Kembaliku sebegai boneka dimatanya. Benda bernyawa yang selalu digunakan bermain. Hanya menjadi pemuas. Dan terkekang dalam kungkungannya.

Kepercayaan yang menjadi peganganku mulai menipis. Doa yang sering terlantun dalam hatiku-pun mulai tak terdengar. Cahaya yang selalu menuntunku menghilang. Tertutup kabut yang semakin tebal dan menggelap.

Inginku berlari mencari cahaya itu kembali tuk menuntunku kejalan yang benar. Namun tak kuasa tuk terus menghindar dari penyiksaan yang membuatku ingin lenyap.

Untuk pertama kalinya kumencoba lenyap dengan cara menelan beberapa pil berdosis tinggi. Salah satu cara yang menurutku tidak akan menyakitkan. Namun itu gagal.

Gaara yang mengetahuinya hanya diam dan memeluk tubuh si boneka yang setelahnya tak berdaya terbaring pada pembaringan.

Kedua kalinya di saat ada kesempatan, kumenggunakan tambang dan mengikatkannya pada langit-langit gudang. Namun urung kulakukan kala mendengar sebuah pertanyaan…

"Kau masih ingat keadaan ayahmu dirumah sakit, bukan?"

Terdengar seolah pertanyaan, namun itu adalah sebuah ancaman yang selalu orang itu ucapkan saat diriku tak patuh terhadapnya. Ancaman yang akan memunculkan kembali perasaan seorang anak.

Terakhir, ketika ku sudah membuang semua rasa dan hanya mengikuti pergerakan waktu yang menimbulkan keletihan. Musim dingin, di malam terakhir kumenjadi gadis berusia 17 tahun, kumelangkahkan kaki menuju dapur. Mencari sebuah benda yang disebut dengan pisau.

Benda yang terbuat dari logam itu terasa dingin kala bersentuhan dengan kulit terluarku, namun seketika terasa panas ketika tepian tajam pisau itu menggores kulit dan nadi pada pergelangan tanganku.

Merah, bukan warna helaian surai orang itu, namun warna dari sebuah cairan kental yang mengalir disepanjang telapak tangan dan menetes di ujung-ujung jariku, mengotori marmer dapur yang semula bersih tanpa noda.

Untuk pertama kalinya aku tertarik denga warna merah. Kuarahkan lagi mata pisau itu pada titik lain dibagian tubuh yang kurasa akan mengeluarkan banyak cairan sewarna bunga mawar layu itu.

Jangan bertanya bagaimana rasanya setelah berhasil menggores bagian-bagian pembuluh darah pada tubuhku, karena seperti yang kukatakan sebelumnya, aku sudah membuang semua rasa dan karena setelahnya aku sudah tak mengingat apa yang terjadi. Yang teringat olehku hanya genangan cairan kental berwarna merah pada marmer dan gelapnya warna abu-abu yang menutup ingatanku diusia 17tahun.

.

.

Fin~ (?)

.

.


a/n : Halo~ semua! Selamat pagi, siang, sore, malam. *lambai-lambai tangan* Jangan Terkecoh Dengan Tulisan "Fin~"yang diatas, kerena mungkin ada lanjutannya. Tapi mungkin lo ya~ ^^v. Entah fic ini menggandung tema warna atau tidak, yang jelas saya terinspirasi dari salah satu warna (disebut beberapa kali di atas) yang menggambarkan ketidak pastian hidup. Maaf buat admin" GaaHina All The Way karena saya nyumbang fic kurang bermutu untuk event yang kalian adakan m(_ _)m

Sebenarnya, sejujurnya, sesungguhnya bukan Shoujo no Inori ini yang mau saya ikutin buat GHLP, tapi fic lain yang idenya udah muncul saat tahu tema GHLP Warna. Namun karena ada insiden (menyedihkan) membuat saya menggantikannya dengan Shojo no Inori ini., T^T malah curhat #PLAK

Untuk semua yang sudi membaca isi perasaan saya halah~ maksudnya bagi semua yang sudah mau membaca fic gaje saya ini, saya ucapkan banyak "Terima Kasih!" m(_ _)m

Bagaimana menurut kalian tentang fic ini? pasaran ya ceritanya? dapat dipahamikah tulisan saya?
Dibawah ada kolom review, mungkin ada yang berkenan mengisinya dengan komentar, kritik atau saran? Beneran Butuh Saran dan Kritik.,

Sekali lagi saya ucapkan, Terima kasih!