"Hyung."

"Hm?"

"Aku mencintaimu."

"Aku sudah tahu, Jiminie."

"Kalau Hyung?"

"Iya, iya. Aku juga mencintaimu."

"Hehe."

.

.

.

.

"BAH! Cinta dengkul lu! Kalo yang namanya cinta ga mungkin dia lagi-lagi batalin kencan lu demi 'mantan' jeleknya itu kan!"

"Njiiir! Kalo gue jadi lu, udah gue blender si kurus itu! Sama mantannya kalo perlu!"

Jimin hanya mendesah malas mendengar umpatan kesal dari dua sahabatnya. Memandangi sebentar keduanya bergantian lalu semakin berwajah lesu menatap layar Iphone yang sedari tadi diam tanpa suara.

"Putus dah! Putus! Putusin aja dia! Gue yang ga tahan ngeliat lu diginiin terus, Chim."

"Benar kata Hobie, Chim. Mending cari cowok lain deh. Yang lebih peka-an, yang lebih perhatian dan yang lebih manusiawi."

Sekali lagi, Jimin hanya mendesah malas. Seraya berdiri, pemuda Busan itu bergerak mengambil lembaran Won dari dompetnya dan meletakkan itu di atas meja.

"Eh eh eh! Ke mana lu, Chim?"

"Chim mau ke mana?"

"Kookie-a... Hobie-a..."Jimin menyasak totebag hitamnya dan tersenyum hambar, "aku duluan ya. Lagi kepengen sendiri dulu."

Hoseok dan Jungkook saling pandang dan sama-sama menarik bibir.

"Ou. Oke, oke,"angguk mereka serentak. Kemudian hanya melambai-lambai pelan melepas kepergian Jimin dari meja mereka. Dan berteriak keras tanpa malu dengan puluhan mahasiswa di sekitar sana.

"JANGAN LUPA KASIH KABAR YA, CHIIIIMMM!"

.

Jimin juga yang salah, karena dia terlalu baik- begitu menurut Hoseok.

Sedang bagi Jungkook- pacar Jiminlah yang sangat pandai memanfaatkan kebaikan seorang Jimin.

Dan Jimin sendiri?

Dia sendiri tidak tahu. Entah siapa yang harus disalahkan dalam hubungan mereka yang semakin lama semakin merenggang, semakin lama semakin sepihak.

Apa karena dia yang terlalu mengumbar-ngumbar perhatian? Apa karena dia yang tak pernah bosan menyatakan cinta? Apa karena dia yang berkali-kali memaafkan? Apa karena dia yang selalu maklum akan segala hal? Apa karena dia yang bersikeras untuk tetap percaya? Apa karena dia yang-

"Hiks!"

Satu isakan lolos. Setelah Jimin berkutat pada file bernama YoonMin di galery handphonennya.

"Saeggya..."rintihnya menahan kesal dan amarah. Cepat-cepat mengusap kasar kedua pipi, lalu tiba-tiba bangkit dari bangku halte bersiap melempar benda pipih pada genggemannya-

"Kan bisa dihapus, kenapa hapenya musti dilempar segala sih."

-sebelum seseorang tiba-tiba menginterupsi dengan tenangnya. Tangannya seketika terhenti dan dia langsung menoleh ke arah sampingnya.

Seorang pemuda berkaca mata frame besar, bersurai hitam rapi dan buku-buku tebal di pangkuan sedang memandangi Jimin dengan wajah datar, "pelampiasannya kan bisa ke yang lain, sayang tau,"lanjutnya tanpa merubah air mukanya meski alis Jimin sudah menukik tajam kepadanya.

"Kau tau apa!"decak Jimin tak suka. Padahal sebenarnya membenarkan perkataan pemuda berkulit pucat itu. Jimin hanya tak senang diingatkan melalu intonasi dan raut muka yang kelewat datar.

"Kalian udah pacaran selama tiga tahun. Kau yang menembaknya duluan kan. Awalnya hubungan kalian sangat baik- mesra. Tapi lama kelamaan sepertinya dia mulai acuh dan sering menutup-nutupi sesuatu darimu. Bahkan dia berbohong pada anniversery kalian yang kedua. Lalu tetap sok-sok mempertahankanmu padahal mulai menghubungi mantan lamanya. Puncaknya pada kencan kalian kemarin, dia bilang bahwa bibinya sakit tapi nyatanya dia malah pergi jalan dengan mantannya itu."

Hanya satu tarikan napas dari pemuda tak dikenal. Menjelaskan dengan cepat tanpa ada jeda. Namun bukan itu yang membuat Jimin terperangah tak percaya, mengerut kebingungan dan menatap dengan waspada. Bukan karena ucapan pemuda itu seperti rap yang dilantunkan idol favorit Jimin. Tapi isi perkataannya yang jelas-jelas-

"Kau stalker ya!"pekik Jimin mundur beberapa langkah. Tak sampai keluar dari atap halte, karena sore ini Kota Seoul didera hujan deras. Tapi dia akan rela basah kuyup jika pemuda asing itu kembali mengatakan hal-hal yang tidak mungkin diketahui-

"Kau pikir aku tuli apa,"sambung si pucat dengan malas, "ceracauanmu itu terdengar jelas tahu,"tukasnya beralih dari Jimin, kembali memandangi guyuran hujan di hadapannya, "di awal kau juga menelpon sese- ani, sepupumu kan. Aku tidak menguping, hanya saja suaramu terlalu keras karena sedang marah. Dan kau menuding aku tau apa. Yaaa, aku jawab sebisa aku menyimpukan kan. Kenapa malah menuduhku stalker. Dasar."

Jimin termangu mengerjap cepat. Lalu berkedip pelan menyorot heran sosok berpembawaan tenang berbalut coat hitam. Sangat pelan seolah kelopak mata Jimin sedang dikendalikan oleh tombol slowmotion. Mulutnya sedikit terbuka dan belum mau menutup sampai dia duduk tepat di samping sang detektif dadakan bergaya mahasiswa teladan.

"Gamsahamnida,"ujar Jimin tiba-tiba.

"Hha?"

"Ani. Kalau kau tidak menyela, aku akan benar-benar melempar-"

"Hadiah dari Bibimu itu."

"Waw!"mata sembab Jimin seketika berbinar. Ia condongkan tubuhnya lebih dekat dengan pemuda yang sepertinya sepantaran dengannya itu, "apa? Apa lagi yang bisa kau simpulkan mengenaiku?"tanyanya semangat. Merasa sangat tertarik pada sosok yang seolah acuh ternyata menyimak dengan sangat baik. Dan menyimpulkan dengan benar.

"Namamu Park Jimin, mahasiswa tingkat dua jurusan seni- ani, Fakultas Seni, Jurusan Dance."

"Oooh!"kagum Jimin bertepuk tangan.

"Kau tergesa-gesa mengambil kartu bismu, jadi tadi kau sempat menjatuhkan kartu mahasiswamu kan."

"Astaga! Aku langsung mengambilnya begitu terjatuh. Apa penglihatanmu setajam itu heoh?"

"Aku bukan melihat, tapi memperhatikan. Sisi melankolisku membuatku secara tak sengaja memang memperhatikan dengan baik pada sekitar, tidak sekedar melihat saja."

"Ooo,"Jimin mengangguk-angguk takjub, "apa lagi?"tanyanya semakin bersemangat. Entah mengapa kekesalan terhadap pacarnya menguar entah ke mana. Jimin memang seorang yang gampang untuk melupakan kejadian menyakitkan. Dan seseorang yang juga langsung bersemangat akan hal-hal yang menarik bagi dirinya, "apa lagi?"ulangnya tak sabar.

"Tidak hanya lahir di Busan, kau memang berasal dari sana. Salah satu umpatanmu menggunakan dialek Busan yang sangat kental."

"Benar! Benar!"

"Selama kau kuliah di Seoul kau tinggal bersama Bibimu."

"Hm?"

"'Sepertinya aku akan pulang larut malam ini. Tolong katakan ke Bibi ya, Hyung.' Izin yang dipakai jika kau memang sudah lama tinggal dengan Bibimu itu. Dan Hyung-mu itu, jelas-jelas bukan Hyung kandungmu, karena kau berbicara dengannya memakai bahasa Seoul. Berarti kemungkian besar dia adalah sepupumu."

"Hoooo. Lagi!"

"Em,"pemuda itu menoleh sebentar ke arah Jimin, lalu kepalanya kembali menghadap ke depan, "sweet tooth, pecinta makanan manis. 'Bodoh sekali aku selalu luluh dengan segala macam dessert yang dia traktir untukku' begitu kata-katamu kan ketika memandang kesal salah satu selca kalian di sebuah cafe."

"Hn."

"Lebih tepatnya es krim. Kau sangat suka es krim. Strap handphone-mu adalah hadiah dari Toko Es Krim Y&Y kan. Hanya yang berlangganan akan mendapatkan itu."

"Ne!"

"Kau hanya memiliki dua sahabat dekat. 'Benar kata Hobie- Benar kata Kookie.' Hanya dua nama itu yang selalu kau ulang-ulang."

"Apa lagi?"

"Em... Warna favoritmu hitam."

"Karena casing hapeku?"

"Bukan, tapi dari cincin yang sempat kau elus sesaat. Kau mengelus bagian hitam sekilasnya sambil tersenyum tenang. Hitam kan ya?"

"Yup. Lagi!"

"Kau-"

Pembicaraan mereka terpotong karena sebuah bis datang mendekat.

"Naiklah, aku di sini hanya karena ingin berteduh. Rumahku dua blok dari sini,"begitu kata pemuda itu sebelum Jimin bertanya kenapa ia tak bergerak untuk bersiap-siap naik.

Jimin begumam hmm panjang sarat tak rela. Sedikit kecewa karena ternyata tak bisa melanjutkan obrolan tentangnya selama perjalanan.

"Em, satu lagi,"sambung sosok kurus bersurai hitam itu tepat sebelum bis benar-benar menepi di halte mereka, "aku juga tahu alamat emailmu."

"Eh?"

"Maaf, untuk yang satu itu- well, aku memang sedikit menajamkan penglihatanku-"

"Mengintip?"

"Nah,"desah si pucat seolah tak terima dikatakan 'mengintip'. Tapi sosok manis penuh ekspresif yang berbanding terbalik dengan dirinya memang sempat membuatnya tertarik entah mengapa. Jadi dia memang memperhatikan Jimin jauh lebih tajam dari biasanya. Bahkan menilik, menyorot baik-baik layar handphone yang dimainkan Jimin.

"Mungkin aku-"

"Aku menantikannya,"sela Jimin, tersenyum manis, "silahkan hubungi aku, aku masih ingin mendengar 'hipotesis' mu itu. Hihi. Dan kalau bisa, jangan hanya membicarakanku saja. Aku juga akan senang jika kita membicarakan hal lain- em, Min Yoongisshi?"

"Nah,"senyum Yoongi tipis melirik sekilas buku tebalnya, tertera hangul Min Yoongi di cover buku itu.

Kepalanya kemudian menunduk samar pada Jimin yang membungkuk pamit kepadanya.

Keduanya terpisah dengan senyum yang masih tercipta di bibir mereka.

.

.

-END-

.

.

Note: Ceritanya nama pacar Jimin itu Yoonjae, dua tahun lebih tua dari Jimin, jadi Jimin namain couple mereka juga YoonMin hehe.

Gaje ya? Hahahahaha.

Gamsahamnida ^^

.

.

Ganto, 10th September 2016_