Fic ini adalah percobaan pertamaku. Percobaan pertamaku dalam menulis cerita cinta. (Semoga jadinya gak ngaco, ancur dan sebangsanya) Maklumlah, orang yang gak pernah pacaran dari lahir ya begini jadinya. Ngambil teorinya aja dari drama korea
Disini ceritanya Boboiboy jadi lima bersaudara, kembar pertama Halilintar, Taufan, dan Gempa Mereka udah SMA. Kembar kedua Blaze sama Ice mereka masih SMP. Terus karakter teman-temannya Boboiboy juga udah SMA. Sumpah ini OOC bingitz *(alay), dan jelas gak ada super power ataupun alien disini. Cuma kisah cinta antar remaja yang mulai beranjak dewasa diselingi dengan masalah keluarga kaya raya mereka. Jika berkenan silahkan membaca.
Aku terinspirasi dari drama korea tahun 2013, The Heirs. Lalu beberapa juga dari drama lain. Judulnya diambil dari salah satu OST-nya.
Ah, satu lagi. Jika kemungkinan fic ini memiliki kesamaan jalan cerita dengan fic dari penulis lain harap maklumi itu hanya sebuah kebetulan, yang terinspirasi dari The Heirs kan bukan aku doang. Ok, selamat menikmati.
Disclaimer : Boboiboy punya Monsta.
Weight of The Crown
Jika misalnya kau bisa memilih sebuah mahkota. Apa mahkota yang ingin coba kau pakai?
Apakah itu Kekayaan, Ketenaran, atau Cinta?
.
Grup Aba. Sebuah perusahaan coklat dan makanan terbesar dalam negeri. Perusahan ini memiliki saham maupun investasi sampai keluar negeri. Dan saat ini kepemimpinan grup ini dipegang oleh CEO Harun Boboiboy, yang juga merupakan ayah dari lima bersaudara Boboiboy. Intinya bukan ini.
Oke, bagaimana cara mengawali ceritanya? Pada suatu saat–*(suara kaset rusak) alah, udah basi.
Kalau begitu kita mulai ceritanya dari ketika si kembar tiga dan Yaya masih berumur 12 tahun.
Keluarga Boboiboy adalah keluarga kaya raya yang tinggal di sebuah rumah besar di dalam lingkungan keluarga elit. (A/N. 'elit' disini bukan 'ekonomi sulit' ya.*Author yang suka bercanda). Keluarga ini memiliki lima orang anak laki-laki yang akan mewarisi perusahaan milik keluarga ini suatu hari. Sebagai anak-anak dari orang tua yang bisa dikatakan lebih dari berkecukupan, mereka dimanjakan dengan berbagai fasilitas dan kenyamanan.
Mereka punya berbagai barang mewah dan canggih, Apapun yang mereka inginkan pasti diberikan, dan mereka bersekolah di sekolah swasta berstandar internasional yang tentu saja siswanya juga bernasib sama seperti mereka. Bahkan ketika ingin pergi kemana-mana, mereka akan naik mobil, lengkap dengan supirnya pribadinya.
Tapi semua hal itu semu, layaknya sebuah kotak berisi selusin telur, pasti diantara ada satu atau dua buah yang pecah. Begitu juga sebuah keluarga, meskipun dari luar terlihat bahagia pasti ada saja hal yang kurang.
Sementara di sisi lain. Ada anak perempuan, yang hidupnya sangat sederhana, namanya Yaya Yah. Bersama Ibunya yang seorang pembantu rumah tangga di keluarga Boboiboy, mereka tinggal bersama di sebuah rumah kontrakan kecil. Dia hanya bersekolah di SMP Negeri biasa dekat dengan rumahnya. Jadi setiap hari dia berangkat sekolah hanya dengan jalan kaki. Dia cukup menikmati hidupnya itu. Asalkan dia bersabar dan rajin belajar, dia yakin suatu hari dia bisa keluar dari kemiskinan ini.
Hingga suatu hari…
Seperti biasanya Yaya yang masih kelas 1 SMP dan selalu pulang ke rumah dengan jalan kaki itu. Tiba-tiba saja melihat jika Ibunya dan pemilik kontrakan sedang berseteru di depan pintu rumahnya. (Ada apa kira-kira) begitu pikirnya. Kemudian dia langsung menghampiri mereka untuk menjawab rasa penasarannya itu.
"Bisakah anda mengusahakan perpanjangan waktu untuk kami, setidaknya sampai kami menemukan tempat baru?" pinta Cik Yah memohon pada si kontraktor.
"Tidak bisa. Mereka menawariku dua kali lipat dari harga sewa. Ekonomi keluargaku juga sedang sulit, kami sangat butuh uang lebih " ucap si pria pemilik kontrakan itu.
"Ada apa, bu?" tanya Yaya penasaran.
"Ah… itu…" jawab Cik Yah ragu. Bingung bagaimana menjelaskan hal ini pada putrinya itu.
"Ada orang lain yang menawar kamar kalian dengan harga lebih tinggi, jadi mulai besok kalian harus keluar dari sini" jelas si kontraktor.
"Apa!?" seru Yaya kaget. "Bisa-bisanya Paman lakukan itu! Paman sendiri juga tahu, Ibu dan aku tidak punya tempat lain untuk tinggal!"
"Aku tidak punya pilihan. Anakku sedang sakit dan butuh biaya berobat!"
"Ini terlalu mendadak, setidaknya berikan kami waktu untuk mencari tempat tinggal yang lain! Tidak mungkin kami bisa menemukan kontrakan dalam sehari!"
"Sudahlah Yaya." Ucap Cik Yah mencoba menenangkan putri satu-satunya itu. "Kami mengerti. Kami akan bersiap untuk pindah"
"IBU!" seru Yaya tidak terima dengan keputusan ibunya.
Kontraktor mengangguk dan meninggalkan mereka berdua.
"Ibu ini bagaimana sih!? Sekarang kita akan tinggal dimana!?" ucap Yaya keras.
"Ibu akan coba bicara dengan majikan Ibu. Siapa tahu beliau mau membantu kita." Balas Cik Yah "Jadi sekarang kau masuk dan siapkan saja barang-barang penting yang akan diangkut, seperti buku-buku dan bajumu." Lanjutnya menyuruh Yaya.
Yaya hanya memasang tampang kecut, dia masih tidak terima mereka diusir begitu saja hanya karena ada yang menawar tempat tinggal mereka lebih mahal. Apa semua orang di dunia ini hanya mementingkan uang?
Tapi Yaya tetap menurut dan mulai mempersiapkan barang yang akan mereka bawa keluar dari kamar kost sempit mereka itu.
.
"Jadi. Sekarang kalian tidak punya tempat tinggal lagi?" tanya nyonya majikan pada Ibu Yaya dengan angkuh.
"Ya, nyonya." Jawab Incik Yah.
"Baiklah. Asal putrimu tidak merepotkan saja. Dibelakang rumah ada gudang kosong, gunakan saja itu"
"T–Terima kasih, Nyonya" balas Cik Yah dengan raut wajah bahagia sambil membungkukan tubuhnya untuk memberikan hormat.
.
Sementara di luar pagar rumah besar yang kokoh itu. Yaya menunggu Ibunya dengan gelisah, berjalan bolak-balik sambil sesekali menggelindingkan kerikil di jalan dengan kakinya.
Beberapa saat kemudian terlihat ada sebuah tangan kecil yang berusaha menggapai dahan pohon besar yang berada di dalam pagar. Dan terlihatlah sosok anak kecil berbaju merah sedang berusaha menaiki puncak pohon itu. membuat Yaya cukup kaget dan terdiam memandangnya.
"Ya, naik" ucap anak kecil tersebut. Dia kemudian menapakkan kakinya ke puncak pagar. Melompat turun ke jalan dan mendarat dengan mulus tepat di depan Yaya.
Anak kecil itu kelihatan lebih kecil daripada Yaya. Mungkin usianya sekitar 9 atau 10 tahun, tapi dia punya keberanian untuk memanjat pagar setinggi itu. Bocah itu memakai topi hitam yang lidahnya sedikit terangkat ke atas, ditopinya terdapat lambang api, Hoodie dari jaket yang dipakainya di naikkan.
Awalnya dia tidak menyadari keberadaan Yaya. Tapi kemudian dia menoleh, hingga mereka berdua sama-sama tersentak kaget. Dia pun langsung memberikan isyarat untuk diam sambil menempelkan telunjuknya ke bibir.
"Jangan kasih tahu orang rumah kalau aku kabur ya?" pintanya pada Yaya yang masih kelihatan syok, dengan senyuman jahil. "Aku janji akan pulang sebelum gelap" lanjutnya yang kemudian langsung melarikan diri.
Yaya yang masih kebingungan dan dipenuhi pertanyaan di kepala, hanya membalas dengan anggukan kaku. Siapa ini anak? Mau keluar rumah saja pakai acara lompat dari pagar segala?
Beberapa saat kemudian Cik Yah keluar dan membuka pintu pagarnya. Yaya pun langsung menghampiri ibunya itu untuk mengetahui keputusannya.
"Bagaimana, bu?" tanya Yaya tidak sabar.
"Kau pulang dulu ke rumah, ganti bajumu dengan yang lebih bersih, dan pakai dengan rapi"
"Bicaralah lebih jelas, aku tidak paham".
"Mulai sekarang kita akan tinggal disini" ucap Cik Yah sambil menunjuk rumah besar itu.
"APA?!" protes Yaya keras.
.
Setelah berganti baju dan kembali lagi. Ibunya kemudian mengajak Yaya masuk ke dalam. Yaya langsung terkagum-kagum saat baru melihat halamannya saja, tempat ini sangat luas. Bahkan memiliki taman dan juga rumah kaca yang dipenuhi aneka tanaman hias. Setelah berjalan masuk cukup jauh, mereka pun sampai ke gudang kecil di belakang rumah besar tersebut.
Gudang itu sangat lusuh, tapi setidaknya masih layak untuk didiami. Ibunya langsung membuka pintu dan menekan knop lampunya. Cahaya langsung memenuhi seisi ruangan yang terbilang cukup kecil itu.(kira-kira luasnya sama dengan kosan Yaya dan Ibunya sebelumnya) Tempat itu penuh dengan kardus dan barang-barang bekas sehingga kelihatan sangat sesak dan pengap.
Yaya mendesah melihat kondisi ruangan tersebut. Pasti akan sulit mengatur ulangnya.
"Ibu masih ada pekerjaan jadi ibu akan meninggalkanmu dulu. Selagi itu, atur ruangan ini agar bisa dipakai sebisamu. Sisanya biar ibu yang urus setelah pekerjaan ibu selesai, mengerti?" jelas Cik Yah.
"Baik" jawab Yaya.
Kemudian Cik Yah pun pergi kembali lagi ke rumah utama dan meninggalkan Yaya sendirian di gudang belakang itu.
Yaya menarik nafas panjang dan menatap kembali isi gudang yang berantakan itu "Yosh!" gumamnya dengan tatapan penuh semangat.
.
Setelah beberapa saat merapikan, sekarang gudang itu tidak terlihat terlalu sempit lagi. Yaya sudah menyingkirkan dan menggeser barang yang tidak penting. Kardus dan kotak-kotak kosong tersebut digunting-gunting oleh Yaya untuk dipakai sebagai rak buku.
Setelah semuanya beres, Yaya langsung berdiri dan berkacak pinggang. Bangga dengan hasil kerjanya, karena tak ada lagi yang harus di rapikan oleh Ibunya. Lalu dia pun pergi menuju rumah utama untuk memberitahu Ibunya tentang ini.
Yaya membuka pintu belakang, begitu masuk Yaya sangat kagum, rumah ini begitu besar, rapi dan bersih. kemudian dia mencari ibunya ke dapur. "Ibu" panggilnya.
"Ah Yaya, syukurlah kau ada disini." Ucap Cik Yah. "Ibu sekarang sedang sibuk menyiapkan makan siang untuk nyonya besar, bisakah kau antarkan ini ke kamar pojok di sebelah ruangan piano itu?" lanjutnya sambil menyerahkan nampan yang penuh hidangan makanan.
Yaya memperhatikan isi nampan itu. "Memangnya itu kamar siapa?" tanyanya.
"Itu kamar Tuan Muda Ice" jawab Ibunya. Kemudian beliau kembali sibuk mengaduk-aduk isi wajan penggorengan.
Yaya berpikir sejenak. Jadi selain bocah kecil tadi masih ada anak lain? Ya itu bukan hal aneh. Yang membuat Yaya bingung, kenapa dia makan di kamar dan bukan di meja makan? Apa dia sedang sakit?
Sudahlah tidak ada gunanya memikirkan hal itu. Daripada melamun lebih baik Yaya segera mengantarkan makanan ke ruangan pojok itu.
Yaya pun berjalan dengan hati-hati agar isi nampan itu tidak tumpah. Begitu memasuki ruangan utama rumah Yaya kembali kagum. Rumah ini begitu besar dan indah, kesan mewah dan elegan begitu terlihat saat memasuki ruangan dengan sofa mewah dan lampu gantung kristal tersebut.
Sebuah foto keluarga yang begitu besar tergantung di dinding ruangan tersebut, menjawab rasa penasaran Yaya tentang anak dari keluarga ini. Mereka lima bersaudara, dan sepertinya kembar. (A/N. Karena di foto itu mereka gak pakai topi khas jadi gak jelas yang mana Hali, mana Taufan dan seterusnya, apalagi warna mata mereka semua sama.)
.
Begitu sampai di depan pintu kamar tersebut, Yaya pun mengetuk pintunya.
"Masuk" sahut seseorang yang ada di dalam kamar itu dengan nada suara datar.
Yaya pun menekan tuas pintunya dan mendorong pintu itu ke arah dalam. Setelah dia masuk, terlihatlah sebuah kamar bercat aquamarine yang begitu menyejukan mata. Di dalam kamar ini ada sebuah televisi, meja yang diatasnya penuh dengan peralatan melukis. Dipojok kamar terlihat sebuah kanvas besar yang masih kosong. Dipojok lain ada sebuah meja belajar. Juga sebuah rak buku besar yang dipakai untuk meletakan buku-buku pelajaran, kamus, ensiklopedia dan buku-buku not lagu.
Lalu sebuah ranjang besar. Dan diatasnya duduklah seorang anak kecil yang sangat mirip dengan bocah yang ditemui pertama kali oleh Yaya tadi. Dia asik mencorat-coret dan membuat goresan gambar pada kertas sketsa.
"Anu… Aku mengantarkan makanan." Ucap Yaya gugup.
"Letakkan saja di sana" balas anak itu dingin dan hanya memberikan isyarat pada meja beroda di samping tempat tidurnya dengan gerakan kepalanya.
"Baik" Yaya pun berjalan menuju meja yang ditunjuk oleh anak kecil itu. dan meletakan nampan itu disana. Yaya menunduk memberi hormat dan berniat meninggalkan kamar itu.
"Aku belum pernah melihatmu disini. Kau siapa?" tanya anak itu dengan ekspresi cueknya. Masih asik dengan kegiatan menggambarnya.
"A… Aku putri dari Cik Yah, namaku Yaya. Mulai hari ini aku akan tinggal disini, sambil membantu pekerjaan Ibuku" jawab Yaya.
"Oh. Kau putri Bi Yah?"
"I–Iya, Tuan Muda…"
"Panggil saja aku Ice. Kalau kau memanggilku kami semua seperti itu, nanti tertukar dengan Kakak-Kakakku. Lagipula kelihatannya kau seumuran dengan Kak Halilintar dan yang lain"
Yaya diam mematung. Berusaha mencerna kata-kata Ice barusan. Kak siapa dia bilang tadi?
"Ada apa lagi?" tanya Ice masih dengan nada datarnya.
Yaya tersentak dari lamunannya "Tidak…" jawabnya.
"Kalau begitu keluarlah. Aku tidak suka ada orang baru atau orang asing yang melihat keadaanku begini"
"Baik…" Yaya pun segera keluar dan menutup rapat pintu kamar yang hawanya terasa begitu dingin barusan.
.
Kemudian Yaya kembali melangkahkan kakinya menuju dapur tempat ibunya bekerja tadi.
"Kami pulang" terdengar suara gaduh anak-anak diikuti suara langkah kaki menghambur dari pintu depan.
Langkah Yaya terhenti karena suara anak-anak tersebut.
"Lapar banget. Bi makanan sudah siap belum!?" seru seorang anak laki-laki dengan topi yang dimiringkan ke kanan, dia memakai seragam SMP swasta dengan sebuah pin kecil berbentuk angin tersemat di kerah bajunya. Di topinya juga ada lambang yang sama.
"Bukannya Kakak udah makan tadi? Kok bisa lapar lagi?" sahut seorang anak lain yang mengekor di sebelahnya, tapi kali ini pinnya berbentuk tanah dan topinya menghadap ke belakang.
"Aku kan banyak bergerak, jadi kalorinya cepat terbakar" balas bocah dengan topi miring tadi lagi "Lho?" dia langsung tercengang setelah melihat Yaya di ruangan utama.
"Uh?" anak bertopi terbalik tadi juga ikut-ikutan terdiam memandangi Yaya.
Lalu sedetik kemudian muncul anak lain dengan seragam yang sama dan pin berbentuk petir di kerahnya juga, topinya menghadap ke depan. Dia juga langsung mematung melihat keberadaan Yaya. Wajah mereka bertiga sangat mirip dan kelihatannya seusia dengan Yaya.
"Eto… Siapa ya?" tanya bocah dengan pin berbentuk angin itu.
Yaya langsung tersentak dan menyatukan kedua tangannya ke bawah. "Selamat siang. Aku putri dari Cik Yah, namaku Yaya." Jawab Yaya gugup.
"Oh? Anak pembantu." ucap bocah dengan pin berbentuk petir itu sambil melipat tangannya.
Dan ucapan anak itu membuat Yaya semakin gugup dan canggung saja.
"Halo. Aku anak ketiga dari keluarga ini, Gempa Boboiboy. Panggil saja Gempa" ucapnya seraya menghampiri Yaya lalu kemudian mengulurkan tangan kanannya untuk bersalaman
Yaya dengan ragu-ragu membalas salaman dari Gempa. Rendah hati sekali ya anak ini? Mau saja menyapa dan menyambut Yaya dengan baik.
"Ah. Dan yang ini–" ucapan Gempa langsung terpotong karena yang diperkenalkan langsung melompat dan menyalami tangan Yaya dengan penuh semangat.
"Namamu Yaya ya? Aku Taufan, anak kedua. Panggil aja Taufan. Mulai sekarang kita berteman ya?"
"Hah?" Yaya mengerjap bingung. Taufan bilang dia ingin jadi temannya.
"Kau ini. Apa setiap anak yang kau temui juga kau sebut temanmu?" komentar anak berpin petir itu ketus.
"Bukannya bagus punya banyak teman? 'Banyak teman kan banyak rezeki'?" Taufan mencibir.
"Yang benar itu 'anak'." Bocah berpin petir itu membetulkan peribahasa yang diucapkan Taufan.
"Oh iya. Kalau orang berwajah kusut ini. Adalah Kakak kami, Kak Halilintar. Panggil saja dia Halilintar. Jangan terlalu formal padanya, nanti dia muntah." jelas Gempa.
"Siapa yang kau sebut 'kusut' itu?" sewot Halilintar.
"Ah. Mulai hari ini aku akan tinggal sementara di gudang belakang." ucap Yaya.
"Eh~ Tinggal lama-lama juga boleh kok." goda Taufan.
"Iya. anggap saja rumah sendiri, buat dirimu nyaman disini" tambah Gempa.
"Anu. Kami akan segera pindah setelah menemukan tempat baru"
"Hmph…" Halilintar tertawa miring dan mendengus. "Baguslah. Kuharap kau cepat menemukan tempat tinggal baru" ucapnya angkuh sambil melewati Yaya begitu saja dan naik ke lantai dua. Lalu Taufan ikut mengekor di belakangnya.
"Yaya! Nanti sore ke kamarku ya? Aku punya kaset Game baru. Nanti kita main sama-sama, oke?" seru Taufan dari tangga bawah dengan senyum lebar khasnya.
"Oke…" balas Yaya ragu-ragu.
Ucapan Halilintar tadi begitu dingin. Rasanya secara tak langsung dia ingin bilang 'pergilah dari sini'. Yaya begitu sedih mendengarnya, dia merasa keberadaannya seperti tidak diterima oleh semua orang disini.
Dan Gempa seperti mengerti apa yang dipikirkan oleh Yaya "Hei. Kata-kata Kak Halilintar tadi jangan dimasukan dalam hati ya? Dia memang agak ketus, tapi sebenarnya sangat baik. Mungkin dia hanya belum terbiasa dengan orang baru" hiburnya.
"Terima kasih, Gempa" ucap Yaya. Dan langsung dibalas dengan tepukan bahu oleh Gempa. setelah itu dia pun naik ke kamarnya di lantai dua.
.
Sementara Halilintar yang lelah seharian di sekolah. Kemudian masuk ke kamarnya dan langsung melempar ranselnya ke sembarang tempat lalu menjatuhkan diri di ranjang besar dan empuknya.
Kamar Halilintar bercat putih dengan merah gelap sebagai penambah kesan. Di dalam kamarnya terdapat dua buah sofa kecil juga meja kaca di tengah-tengahnya, disebuah sisi ada meja belajar, dan disebelahnya ada rak buku besar, disisi yang lain terdapat samsak tinju yang berguna untuk melepas stress. Lalu sebuah teropong bintang.
Halilintar menutupi kedua matanya dengan tangan. Dia sepertinya menyesali ucapan kasanya pada Yaya tadi. Dia tidak bermaksud berkata seperti itu, hanya saja–Ah, kenapa rasanya begitu sulit hanya untuk bilang 'selamat datang'.
Beberapa saat kemudian Taufan masuk seenaknya ke kamarnya. Ini hal biasa, pasti Taufan berniat untuk menjahilinya. Dan tanpa ragu Taufan langsung terjun ke atas ranjang Halilintar.
"Mau ngapain kau kesini?" tanya Halilintar ketus. Keberadaan Taufan benar-benar mengusiknya, dia sedang malas menanggapi candaan Taufan.
"Alah Kak. Biasa aja dong nyambutnya. Ngomong-ngomong Kak, Yaya itu cantik ya?" canda Taufan.
Halilintar berdecak kesal. "Kalau kau kesini buat nanya itu doang, mending keluar. Lagian ngapain kau tanya hal begituan padaku?"
"Eleh. Jangan salahkan aku ya, kalau nanti kau jadi suka padanya. 'Cintaku pertamaku adalah anak pembantu'~"
"Ish…" Halilintar langsung bangkit dan mempelintir tangan kanan Taufan.
"Arggh! Kak Hali, putus nih, putus! Oke, oke. Aku keluar!" Dan Halilintar pun langsung melepaskan kuncian tangannya pada Taufan.
.
Sore harinya, seperti perjanjian. Yaya datang ke kamar Taufan untuk bermain game, sebenarnya Yaya melakukan ini karena permintaan Taufan lebih mirip perintah baginya. Mau bagaimana lagi, dia bukan siapa-siapa disini, hanya anak pembantu yang numpang tinggal di tempat kerja Ibunya. Dia khawatir jika permintaan Taufan tidak dikabulkan, ibunya bisa kena masalah.
Kemudian Gadis berkerudung pink yang manis itu pun masuk ke kamar nomor dua dari sebelah kiri tangga.
Setelah Yaya masuk terlihatlah sebuah kamar bercat biru langit. Seperti kamar anak-anak yang lain. Di kamar ini ada meja belajar, sebuah ranjang besar yang empuk, dan rak buku besar. Bedanya disini ada sebuah speaker besar, rak besar yang berisi ribuan judul game dan film, pemutar DVD, dan puluhan jenis konsol game. Di kamar Taufan tidak sofa, mungkin karena Taufan suka duduk di lantai jadi sebagai gantinya seluruh lantainya itu ditutupi dengan karpet.
Dan di depan TV layar lebar, duduklah seorang anak kecil dengan baju putih biru. Sedang asik memainkan game balapan lama, Death Race. Saking asiknya sampai tidak sadar Yaya sudah di depan pintunya.
"Taufan" panggil Yaya pelan.
Taufan langsung mem-pause gamenya dan menoleh ke arah pintu. "Oh Yaya! Masuk, masuk." Serunya menyambut Yaya dengan senyuman ramah.
"Nah duduk disini." Ucapnya sambil menepuk lantai di sampingnya. Dan Yaya langsung menurut saja dengan yang disuruh Taufan. "Pegang ini." lanjutnya menyerahkan stik PSP pada Yaya.
"Jadi… kita mau main apa?" tanya Yaya.
Taufan berdiri menuju rak penyimpanan kaset gamenya, dan mencabut salah satu dari kaset yang tersusun rapi disana. Lalu memperlihatkannya pada Yaya.
"Jeng…Jeng. Ini dia!" Taufan menyomobongkan sebuah kaset game battle terbaru.
"Bukankah game itu belum rilis secara resmi ke pasaran, kok kamu bisa dapat? Jangan-jangan versi beta?" tanya Yaya syok dan terheran-heran.
Taufan menggosok hidungnya "Tidak. Ini adalah versi originalnya. Taufan gitu loh" katanya bangga. "Ayo kita main" ajaknya pada Yaya. Dia pun mengeluarkan kaset PS-nya yang sebelumnya dan menggantinya dengan kaset game barunya itu.
Sementara di luar kamar Taufan, Halilintar mengintip dari balik pintu dan mengawasi mereka berdua. Halilintar sudah sangat mengenal perangai Taufan. Jadi mengawasinya karena curiga, soalnya tidak biasanya Taufan seperti ini.
.
Setelah berapa saat main, Taufan benar-benar tercengang, Yaya benar-benar jago main. Sudah berapa kali Taufan kalah telak bahkan Yaya mengalahkannya kurang dari lima menit.
"Mustahil! Kemenangan 20 kali berturut-turut!?" seru Taufan tidak percaya. "Kau yakin belum pernah main game battle begini?"
Yaya mengangguk. Selama ini Yaya hanya memainkan game arcade, atau action adventure. Itu juga kalau ada salah satu dari temannya mengajaknya bermain.
"Aku tidak akan menyerah. Ayo kita tanding lagi" tantang Taufan.
Dan 3 jam kemudian.
Pukul 9 malam. Yaya mulai lelah dan sangat mengantuk. Ini memang sudah jamnya dia tidur, dan ini pertama kalinya dia main game selama ini. Sementara Taufan kelihatan belum kehabisan baterai sama sekali.
"Taufan, aku ngantuk. Sudahan yuk?" pinta Yaya mengantuk.
"Tunggu sebentar. Kau kan masih belum ku kalahkan"
"Aku mau pulang, besok aku sekolah"
"Makanya kalah dulu. Oh iya. Tapi jangan coba-coba mengalah ya, aku tidak terima loh"
Yaya yang sangat mengantuk kemudian memegang stik PS-nya dengan sangat malas. Dan beberapa detik kemudian tubuh gadis itu oleng dan jatuh ke belakang.
"Oh?" Taufan kaget dan berusaha menangkap tubuh Yaya.
Tapi sebelum Taufan sempat menyentuhnya, Halilintar sudah lebih duluan menangkap gadis itu. Tentu saja itu membuat Taufan sangat terkejut.
"Ka–Kak Hali…" kata Taufan nervous.
Halilintar berdecak kesal dan memberikan Taufan tatapan tajam. "Kau ini selalu saja jahil pada orang lain. Kali ini perempuan lagi yang kau kerjai" omelnya yang kemudian menjitak kepala Taufan.
Taufan meringis kesakitan sambil memegangi kepalanya yang dijitak oleh Kakaknya itu. "Maaf, Kak…"
Halilintar hanya menghela nafas kecil. "Aku akan mengantarnya pulang. Bantu aku menggendongnya" perintah Halilintar singkat.
.
Kemudian Halilintar menggendong Yaya di punggungnya dan berjalan mengantarnya pulang. Halilintar yang seorang atlit, memang punya fisik lebih kuat dari saudaranya yang lain. Jadi tidak heran dia bisa menggendong Yaya tanpa terlihat kesulitan.
Saat tiba di dapur Ibunya yang sedang minum langsung tersedak, begitu melihat putra pertamanya itu menggendong Yaya yang sudah tertidur.
"Hali, kau ini sedang apa? Kenapa kau menggendong anak pembantu itu?" tanya Ibunya terheran-heran.
"Taufan mengerjainya habis-habisan. Sekarang dia tertidur, jadi aku akan mengantarnya pulang."
"Meskipun begitu harusnya kau tidak perlu menggendongnya. Biar Ibu panggilkan Bi Yah untuk menjemputnya"
"Tidak usah. Bi Yah juga sudah lelah bekerja seharian, biarkan saja dia istirahat" balas Halilintar sambil meneruskan langkahnya menuju pintu belakang.
.
Di luar rumah utama yang begitu sunyi dan gelap, Yaya membuka matanya dan menyadari sudah ada di punggung Halilintar. Dia sangat terkejut.
"Tidak! Turunkan aku!" seru Yaya meronta sambil memukuli Halilintar.
Halilintar langsung melepaskan Yaya dan menjauh. "Sakit. Kenapa sih tiba-tiba!?" serunya marah-marah.
"Tanya pada dirimu sendiri, kau ini sebenarnya mau apa!?" bentak Yaya.
"Kau ini ya! Sudah kutolong, kuantarkan pulang. Bukannya berterima kasih, malah marah-marah!"
"Siapa juga yang memintamu melakukan itu!? Aku tidak butuh bantuanmu! Kau sombong dan arogan, kata-katamu sangat menyakitkan hati! Mentang-mentang kau anak orang kaya jadi kau bisa seenaknya begitu!?"
Halilintar langsung tersentak dan membelalak.
"Aku bisa mengatasi masalahku sendiri. Jadi berhentilah berurusan denganku."
Halilintar berdeham dan menurunkan topinya untuk menutupi wajahnya. "Karena kau sudah bangun, kau bisa jalan sendiri kan? cepat pulang sana" ucap Halilintar mengalihkan pembicaraan. Kemudian dia meninggalkan Yaya sendirian dan kembali ke rumahnya yang besar itu.
Yaya terdiam memperhatikan Halilintar pergi. Apa ucapannya tadi sudah menyinggung perasaannya?
Keesokan paginya. Di pagi buta yang masih sangat dingin dimana orang-orang masih terlelap dalam tidurnya, Yaya sudah terlihat sangat terburu-buru untuk berangkat ke sekolahnya sambil membetulkan sepatunya yang hanya di pakai seadaanya di depan gudang tadi. Karena sekarang dia tinggal di tempat keluarga Boboiboy yang jaraknya lumayan jauh dari SMP negeri tempatnya bersekolah, jadi dia harus berangkat lebih awal agar tidak terlambat.
Sementara Halilintar memperhatikannya dari balik jendela kamarnya. Biasanya Halilintar tidak akan bangun sepagi ini, apalagi hanya untuk memperhatikan Yaya yang pergi ke sekolah. Mungkin pertengkaran mereka tadi malam itu sangat mengganggunya, hingga dia tidak bisa tidur nyenyak.
.
Siang harinya di rumah keluarga Boboiboy. Yaya sibuk membantu Ibunya di dapur menyiapkan makanan untuk keluarga besar ini. Meskipun sama-sama SMP tapi Yaya pulang lebih dulu dari Halilintar dan yang lain. Sekolah Swasta berstandar internasional memang begitu, selain pelajaran umum ada juga kelas tambahan yang menyita waktu mereka sangat banyak.
"Ya ampun Yaya. Kau tidak perlu ikut-ikutan mengerjakannya" ucap seorang pembantu lain yang merupakan rekan kerja ibunya.
"Aku hanya menumpang tinggal disini, tidak enak rasanya tidak melakukan apapun" balas Yaya yang sedang asik memotong-motong sayuran.
"Baiklah tapi hati-hati ya"
.
Seperti sebelumnya, karena ibunya sibuk Yaya lah yang mengantarkan makanan untuk Ice. Ternyata benar dia sedang sakit, sampai tidak masuk sekolah.
Tapi saat memasuki kamarnya, yang empunya ternyata tidak ada. Kemana dia? Tapi Yaya memilih tak memikirkannya dan meletakkan nampan makanan itu ke tempat biasanya, paling nanti dia juga kembali.
Dan beberapa detik kemudian Yaya mendengar ada yang memainkan piano dari ruang sebelah. Gadis itu langsung tersentak.
Kemudian dengan penuh rasa penasaran dia pun menuju ruangan piano yang ada disebelah. Dan terkejutlah Yaya saat melihat yang sedang memainkan alat instumental itu adalah Ice. Selain jago gambar ternyata dia juga jago main piano rupanya.
Bocah itu fokus dengan lagu yang dimainkannya. Jari-jemari kecilnya dengan begitu lihai memainkan tuts-tuts piano tersebut. Tanpa sedikitpun ada nada yang luput hingga akhir lagu.
Ice mendesah ketika dia menyelesaikan lagunya itu. Kemudian dia menoleh dan menyadari Yaya sudah ada di depan pintu dengan menyunggingkan senyuman manis, memperhatikannya memainkan piano sejak tadi. Tentu saja Ice langsung terkejut, tapi bukan karena Yaya melihatnya memainkan piano
Melainkan karena…
TO BE CONTINUED
Sorry TBC mentok nih.
Fic ini masih percobaan. Gimana menurut kalian?
Tolong jawab. Kalau nggak ada yang mau jawab, nggak kulanjutin atau kuhapus aja ni cerita *(Ngancam bu?)
