Disclaimer:

Naruto © Masashi Kishimoto

Undercover © liaprimadonna

Dedicated event #racuNS Special Sasuke's bornday


Undercover; ks. rahasia, menyamar. u. agent polisi/agen rahasia.


Markas Besar Kepolisian Prefektur, Konoha.

Bau kayu mahoni menyengat dalam ketegangan solid yang berlangsung selama hampir satu jam. Penjabaran kasus meluap dari garis-garis tulisan yang terus bergulir pada layar proyektor besar di sudut depan. Terkadang foto terpampang, bergulir cepat, dan memiliki penjelasan khusus yang tak luput harus dimengerti oleh semua bagian rapat kasus kali ini.

Salah satu Kepala National Police Agency, Hatake Kakashi, berkata, "Aku tidak mengerti kenapa Polisi Prefektur tidak bisa menangani kasus ini. Sebagian besar patroli bahkan diperluas demi padatnya pengawasan di Konoha. Apakah sesulit itu untuk mengungkap sebuah pembunuhan berantai, Inspektur?"

Inspektur Uzumaki Naruto menenggakkan kepala. "Kasus ini sedikit rumit. Aku resmi mengundang anda ke markas ini untuk perencanaan tugas langsung ke lapangan."

Bisik-bisik bergemuruh pada seisi ruang rapat markas kepolisian tersebut. Tidak terlalu terkejut dengan perihal rapat yang digelar langsung secara dadakan ini. Semua tahu, bahwa Inspektur mereka; Uzumaki Naruto adalah bentukan karakter pria yang tidak bisa diam di tempat menunggu laporan.

"Tugas lapangan?"

"Ya, aku akan turun untuk tugas lapangan."

"Jelaskan kenapa kau ingin terjun langsung ke lapangan." Kakashi menatapnya. "Apa kau tidak punya bawahan?"

Pertanyaan klise, Naruto mendengus.

"Jika rencanamu kali ini bisa menembus kepalaku, mungkin aku bisa mempertimbangkannya," lanjut Kakashi. "Tugasku mengkoordinir para polisi di seluruh prefektur, asalkan tidak menyalahgunakan kewenangan kepolisian, aku bisa mengevaluasinya."

Naruto membisiki asisten yang memonitori proyektor, dengan cepat asisten itu menurut. Alih-alih bergumam, semua mata kembali pada layar.

"Seperti yang sudah anda lihat sebelumnya; tujuh korban. Spesifikasi; laki-laki, gay, waktu kematian dini hari. Jarak kematian para korban berkisar kurang lebih empat-lima hari, namun tempat kematian berbeda-beda. Menurut hasil otopsi para korban sempat mengalami kekerasan seksual sebelum dibunuh secara sadis."

Gambar-gambar itu sudah diputar.

Proyektor kembali menyorot gambar enam mayat korban mengenaskan dengan luka di sekujur tubuh. Sebagian wajah korban lebam dan tersayat di beberapa bagian. Waktu kematian beserta spesifikasi lainnya tertera. Kakashi melihatnya sekilas, lalu menatap Naruto.

"Pelaku memiliki masalah dengan pria homoseksual," cetus Kakashi.

"Tidak hanya homoseksual, pelaku juga diduga pengincar gay antar ras. Tolong perhatikan foto yang ini."

Layar memerbesar dua foto berisi empat mayat korban. Wajah mereka rusak, tersayat, dan lebam yang membiru.

"Dua orang korban merupakan sepasang kekasih. Dua yang lain; tidak." Naruto menatap pada sebundal file di tangannya, yang merupakan data-data penyelidikan. "Foto pertama Houzuki Suigetsu kiri, Juugo kanan—merupakan pasangan gay antar ras."

Kakashi mendengarkan.

"Foto kedua, kami memotret berdampingan untuk memperkuat hipotesa."

Mata hitam Kakashi menyipit, proyektor sungguh silau ketika ia membaca sederetan huruf. Matanya sudah benar-benar tua.

"Tidak ada saksi mata. Pelaku sangat pintar memilih tempat pembunuhan. Saat ini polisi jaga sudah menyisir tempat-tempat sepi, motel dan kelab malam terselubung yang diduga merupakan tempat perkumpulan para pria gay."

"Jadi, apa yang ditemukan di sana?"

"Tidak ada. Belum."

Kakashi mengerutkan dahi. "Konoha merupakan tempat kecil, seharusnya tidak sulit menemukan pasangan gay di wilayah ini."

Dari nadanya Kakashi terlihat agak jengah dengan hasil nihil penyisiran itu. Naruto menatap datanya, berpikir.

"Kami masih meraba figur pelaku dari beberapa interogasi yang dilakukan di beberapa tempat. Belakangan ini tempat-tempat semacam itu menjadi sepi karena rumor pembunuhan berantai tersebut, sangat sulit mendapatkan pria gay berkeliaran. Mereka tidak memakai tanda pengenal gay, bukan?"

Mungkin Naruto mencoba berkelakar dengan suara datar dan wajah keras berpikir. Kekesalan yang hampir meluap di mulut Kakashi tertelan. Sekarang ia mengerti kenapa mereka belum bisa mendapatkan pelaku.

"Dari semua yang kau coba jelaskan padaku, dimana yang merupakan rencana?" Kakashi bertanya. Memancing ketegangan berlanjut, hingga semua mata menoleh kembali pada Naruto.

"Operasi undercover."

Kakashi melirik. "Apa?"

"Aku akan menyamar menjadi pria gay yang berkeliaran sampai dini hari," Naruto menegaskan, riuh bisik-bisik kembali penuh pada ruang rapat itu.

Prosedur penyamaran memang bisa digunakan dalam proses penyelidikan lapangan. Para polisi akan menyamar menjadi warga sipil biasa yang berbaur dan bergabung di keramaian secara normal. Identitas mereka dipalsukan, sebagian besar tokoh penyamaran ini adalah polisi yang jarang berpatroli di beberapa wilayah dan pos jaga.

Tapi kalau yang melakukannya seorang Inspektur? Itu seperti membiarkan lawan mencekal pion King dalam bidak catur dan membuatnya tidak bisa berjalan. Skak Mat.

Kakashi memutus keributan dengan dehamannya. "Hal seperti itu sangat riskan untuk seorang Inspektur."

"Sudah kuduga anda akan berkata seperti itu."

Kakashi mengincar keseriusan dalam ekspresi Naruto, tapi yang ditemukan hanya kilat mata yang nekat. "Mau bagaimana lagi. Jika aku menolak, kau akan bersikeras 'kan?" katanya jenaka. "Yang aku herankan adalah apakah tugasku di sini hanya untuk berkata; iya saja? Lucu sekali. Tidakkah kau mengenal proposal pengajuan atau semacamnya?"

"Well, kau adalah tukang koordinasi kegiatan."

"Jangan menyebutku tukang, itu membuatku agak jengkel," sahut Kakashi.

"Ya, ya," potong Naruto cepat-cepat. "Hanya karena ayah menyuruhku untuk meminta bantuanmu, maka aku melakukannya."

Sekelebat Naruto mendengar bisik meremehkan ucapannya yang selalu mengaitkan segala hal dengan sang ayah. Namikaze Minato, ayahnya, adalah seorang Perdana Menteri yang membawahi langsung organisasi berskala national; National Public Safety Commission—suatu badan permerintah yang bertanggung jawab di bidang supervisi administratif terhadap National Police Agency.

Minato sendiri tidak berwenang untuk memerintah atau mengendalikan langsung komisi keselamatan publik nasional ini. Itulah alasan kenapa dirinya meminta Naruto untuk melakukan koordinasi banding dengan Kakashi.

Namun bukan hal baru, jika Naruto seringkali menggunakan nama ayahnya untuk melakukan sebuah rencana sepihak. Polisi banyak mengeluh, namun Naruto tahu bagaimana ia bersikap demi menjaga kesenjangan antara polisi dan warga. Ia tahu apa yang terbaik. Maka ia sangat menyukai pekerjaan yang langsung dilakukan di tempat.

Ya, Naruto memiliki beberapa karakter kuat sebagai pemimpin; impulsif, terlalu suka memerintah, dan tidak suka ditentang.

Seseorang mengangkat tangan. "Inspektur, lalu bagaimana tugas bawahan jika anda bertindak sendiri?"

"Aku sudah mempertimbangkan rencanaku matang-matang, semua sudah ada di dalam kepalaku."

"Apa kau berniat melibatkan diri sebagai umpan?" tanya Kakashi lurus, tepat sasaran.

Dan Naruto tersenyum simetris, jawaban yang lebih dari cukup untuk Kakashi.

"Aku akan mengajukan ijin ke Departemen Pusat. Kapan operasi akan dilakukan?" Kakashi bersiap menerima jawaban mengejutkan.

"Secepatnya."

Ia menatap pria itu.

"Sesegera mungkin. Segera setelah rapat ini berakhir. Aku sudah menyiapkan kerangka pelaksanaan."

Kakashi tahu bahwa Naruto sudah matang ketika mengemukakan rencana. Rapat besar ini pasti hanya sebuah formalitas karena ia didesak sang ayah. Tapi Kakashi juga tahu, bahwa dedikasinya untuk rakyat tidak pernah pecah karena sepucuk jarum.

"Dengan siapa kau akan bertugas? Aku harus berpikir dua kali jika kau melakukannya seorang diri," imbuh Kakashi cepat. Ditatapnya pria blonde yang menjabat sebagai Inspektur Jenderal Prefektur Konoha itu.

"Aku berkulit tan, jadi pasanganku harus pria berkulit putih. Dengan begitu kami nampak seperti pasangan antar ras—seperti incaran pelaku."

"Apakah kau akan mengumpulkan beberapa polisi berkulit putih untuk diseleksi?"

Naruto bergumam, menggeleng kepala. "Aku sudah mendapatkan kandidat dan bermaksud menjadikannya sebagai pacarku dalam operasi ini." Matanya bergulir ke meja pertama di sudut belakang. "Apakah kau setuju, Uchiha Sasuke-kun?"

Riuh kembali mengambang di langit-langit.


Naruto dihadapkan dengan satu bawahan terpilih dalam menjalankan operasi penyamaran yang ia rencanakan, yaitu polisi yang baru dipindahtugaskan di markas kepolisian yang dipimpinnya, Uchiha Sasuke.

Merupakan anak dari Uchiha Fugaku selaku Ketua Umum Departemen Pusat.

"Ini hanya pura-pura," tukas Naruto.

"Apa yang membuatmu memilihku menjadi pacar anda, Inspektur?" kata Sasuke.

"Hanya pura-pura," ralat Naruto. "Kecuali kau menganggapnya sebagai hubungan sungguhan, aku tak keberatan."

Jawaban yang melenceng jauh, Sasuke melampiaskan kesalnya dengan menatap sepatu.

Naruto menatap pria itu dengan wajah tertarik. "Dimana kau bertugas sebelum ini?" tanyanya.

"Koban. Aku tergabung dalam satuan patroli yang bergulir dari pos ke pos."

"Kau polisi jaga?"

"Ya."

Naruto mengangkat bahu. "Tak masalah, kita bisa menangani hal itu nanti," katanya, memeriksa sticky note berisi grafik kasar rencananya.

Menangani, pikir Sasuke. Polisi jaga memang jarang terjun untuk operasi undercover, yang dimaksud menangani oleh atasannya ini mungkin adalah penggantian personel tugas. Sasuke akan lega jika hal itu terjadi.

Bayangkan saja, menjadi pura-pura gay, entahlah, itu hal yang tidak pernah terpikir olehnya. Apakah ia harus mencari beberapa referensi di internet agar terlihat normal? Ia bukan aktor, omong-omong. Ekspresinya sangat tidak bervariasi jika tidak terlalu terdesak.

Fokusnya kembali pada Naruto ketika suara kertas yang membuka terdengar. Lihat betapa heningnya tempat ini tanpa suara itu. Ruangan pemimpin memang hebat; kedap suara meski ia berteriak sekeras mungkin.

Naruto menunjukkan beberapa nama tempat beserta alamatnya pada Sasuke. "Aku menyaring beberapa kelab dan motel berdasarkan informasi. Dari keterangan pengunjung, tempat-tempat inilah yang kemungkinan dikunjungi pria gay. Kebetulan lokasi pembunuhan juga tidak terlalu jauh dari sana."

Sasuke menunduk, mengedip setiap kali membaca satu kalimat.

Di kursinya, Naruto mendesis. "Apa aku tak menyuruhmu untuk duduk sebelumnya? Ya. Maaf jika aku lupa. Tapi bisakah kau duduk? Kau membuat mataku sakit."

"Baik."

Wangi kayu-kayuan terpadu rempah dan mint langsung meraba sensor penciuman Naruto. Tidak terlalu menyengat. Ada bau lain sekilas seperti Schinus yang membuat sesuatu dalam diri Naruto panas. Rasanya gerah dan... dan bergejolak.

Ia mengangkat tangan sejenak. "Uchiha Sasuke, wangimu, entahlah... membuatku sedikit turn on?" pungkasnya skeptis.

Di sisi lain Sasuke meringis. "Aku tahu seharusnya tak nekat memakai ini. Aku baru tahu kemarin, parfumku mengandung sedikit bahan aphrodisiac. Sepupuku yang membelikannya sebagai hadiah. Seharusnya mempunyai sepupu gila sepertinya membuatku bisa lebih cepat menyadari hal ini, tapi rupanya aku masih kecolongan."

Wow.

Dalam hati Naruto terkejut dengan kalimat panjang itu. Ini pertama kalinya Sasuke punya ekspresi berbeda selain diam dan datar. Ternyata desas desus yang didengar dari penggosip kepolisian mengenai Sasuke tidak sepenuhnya akurat. Sebaliknya, pria ini memiliki begitu banyak warna dalam ekspresinya.

"Tidak masalah. Hanya saja, jangan membuatmu terlalu dekat dengan wanita. Mereka bisa sangat buas ketika bernafsu."

"Aku minta maaf."

Naruto mengibas tangan. "Dan jangan gunakan parfum itu ketika sedang melakukan operasi. Pria homo jauh lebih menakutkan."

"Terima kasih atas perhatiannya, Inspektur."

Naruto tercekat, blank.

Ia perhatian? Itu hal yang terlalu gamblang, omong-omong. Menurutnya itu adalah responsibilitas normal atasan terhadap bawahan.

Naruto berdeham. "Jadi, aku minta kesiapanmu untuk melakukan operasi besok. Dengan paksaan Kakashi, aku benci hal ini, kita akan dikawal dari jauh oleh beberapa polisi. Apa kau siap?"

"Siap, Inspektur."


Operasi hari pertama.

Apollo Club.

Adalah nama pertama dalam daftar yang telah dibuat.

Naruto muncul dari Jeep hitam dengan penampilan yang manly; kaus oblong putih, celana jeans hitam, dan Emperio Armani yang melapisi bisep kekarnya. Sekilas ia terlihat seperti orang asing; kacamata hitam dan jam tangan Rolex terbaru. Sempurna.

Dari pintu yang berbeda, Sasuke juga muncul, tidak mencolok. Hanya saja mampu membuat Naruto bergumam 'tampan' beberapa kali ketika pandangannya mengarah pada kemeja putih berlengan pendek dan jeans biru di kakinya.

Ia mengulurkan tangannya pada Sasuke. "Bergandengan?" tawarnya.

Sasuke meringis canggung, masih merasa tidak nyaman dengan ide ini. Rambutnya terasa seperti mencekik di kepalanya.

"Ayolah, kau harus tenang. Jangan khawatir tentang apa yang orang katakan padamu," bisik Naruto.

"Rasanya sedikit aneh. Rambutku tercekik."

Naruto tertawa. "Mana ada rambut tercekik, sayang."

Sasuke mendengus. Ia mengumpati pria blonde ini dalam hati. Menjadi bawahan dalam sebuah lapak kerja memang sangat tidak menyenangkan. Bisa-bisanya Naruto memintanya untuk mengikat rambutnya yang panjang dengan karet.

Dan... bagus, sekarang kepalanya sakit.

"Ayo."

"Baik, Inspektur."

"Tunggu!" seru Naruto. "Sudah kubilang panggil aku Naruto. Na-ru-to. Mengerti?"

"Ya. Naruto."

Keduanya berjalan merapat. Aroma masing-masing menyatu dengan perpaduan yang pantas; citrus dan mint—diam-diam Naruto nyaman ketika membaui udara.

"Kau tidak memakai bau Schinus lagi," kata Naruto tiba-tiba.

"Maaf?"

"Aphrodisiac."

Sasuke murung. "Anda memintaku untuk tak memakainya."

Naruto membatu. "Bisa kau hentikan kalimat formal itu? Aku pacarmu sekarang, bersikaplah normal," katanya.

"Aku tahu."

"Ayolah, Suke, kita harus menangkap penjahat 'kan?"

Nada itu terdengar tidak seperti wataknya yang biasa. Berkali-kali lipat menyebalkan. Genggamannya menguat, langkahnya mantap menggiring pada pintu masuk. Sasuke mendesah. Mereka tiba di pintu dengan satu pria penjaga berpostur besar dan seram.

Di luar dugaan, penjaga itu membiarkannya lewat begitu saja. Ia tidak terlihat seperti risih atau muak melihat dua orang pria bergandengan tangan. Ini suatu yang mengejutkan.

Naruto menarik Sasuke pada lounge. Pria blonde itu duduk nyaman dan pegangan mereka terlepas. Sasuke sendiri berdiri—mengobservasi tempat. Seperti berita yang didapat, tempat itu sekarang sepi pengunjung. Dan anehnya tidak ada pasangan gay di sini.

"Inspektur—"

"Ssst!" potong Naruto, mendelik panik.

"Maksudku—Naruto," Sasuke merasa aneh pada lidahnya, "aku tak melihat pasangan gay di sini."

Naruto setuju. "Kau benar. Bukankah ini kelab—"

"Aku akan memeriksa di sana."

"—Hei!"

Sasuke meninggalkan Naruto dan melesat menuju sudut anak tangga melingkar yang berlabuh pada ruangan lain di lantai dua. Matanya menangkap papan kecil dengan simbol yang tertera di dinding kiri tangga itu. Ia tersenyum.

"Hei, kau pergi ketika aku sedang bicara," keluh Naruto, tiba-tiba ada di belakangnya.

"Ruang khusus pria gay ada di lantai tiga."

"Dari mana kau tahu?"

"Lihat ini." Ia menunjuk pada papan yang menampilkan simbol lingkaran dengan tanda panah arah jam dua. "Ini adalah simbol dari kelamin pria yang dicetuskan pertama kali oleh Carl Linaeus dalam bukunya Spesies Plantarium. Di beberapa tempat simbol ini sudah tidak asing."

Naruto mengangguk. Biasanya simbol semacam itu akan berpasangan dengan simbol kelamin wanita, tapi simbol kelamin pria ini justru dipasangkan dengan simbol kelamin pria juga—itu memang tanda untuk homoseksualitas. Lagipula simbol itu terletak sangat tersembunyi. Gradasi lampu kelab terkadang membuat simbol itu mengabur.

Lumayan, Naruto bergumam.

"Apa kita harus ke atas?" tanya Sasuke.

"Tentu saja," jawab Naruto, mantap. "Ayo."

Naruto menariknya memasuki lift yang ada di dekat tangga. Kelab ini memang terlihat lebih bonafit dan mewah dibanding beberapa kelab yang Naruto catat. Ruangan di dalam remang, dan dingin. Di lantai dua sendiri merupakan tempat karaoke VIP.

Kemudian, bunyi ding terdengar ketika indikator menunjuk angka 3.

Mereka berdua keluar.

Mereka disapa ruangan lain. Ruangan yang tidak terlalu remang. Lampu kelab berpendar biru, ungu dan hijau, begitu seterusnya. Sudut kanan terdapat lima meja billiard yang berjajar rapi, sebelah kanan khusus untuk lounge dengan satu stage hiburan, dan di tengah-tengah mereka terdapat small bar dengan dua bartender pria.

Suasana irish pub di sini juga sangat kental namun dalam versi yang lebih mewah.

Seorang bartender mendekat pada mereka. "Ingin minum sesuatu?" katanya sambil mengedip pada dada Naruto yang tercetak jelas pada kausnya.

Sasuke meringis aneh. "Kopi?"

"Sayang, mereka tidak menyediakan kopi," jawab Naruto, tertawa kecil.

"Maaf. Aku sedikit mengantuk."

Bartender itu menatap Naruto. "Kami menyediakan kopi. Apa pacarmu suka kopi hitam?"

Sasuke merasakan nada ketus dalam kalimat itu. Ia membuang muka. Naruto berdeham. "Dia suka semua kopi. Satu gelas untuknya. Tolong."

"Dengan dua sendok teh gula," imbuh Sasuke.

"Dan kau?" tanya si bartender masih berpusat pada Naruto.

"Coke. Satu kopi dan satu coke." Naruto mengerling, bartender itu tersenyum sangat ramah dan memulai pekerjaannya.

"Jangan terlalu banyak minum kopi, Suke."

Sasuke melirik. Terlalu malas untuk terlibat percakapan dengan Naruto. Bartender itu memang mengawasi mereka—tidak, tepatnya Naruto. Dan ia tahu bahwa Naruto berusaha pura-pura tidak tahu.

Relax, jangan kaku, tenang, normal.

Ia merapal.

Ia menatap Naruto. "Bukankah itu bagus? Aku akan terjaga sepanjang malam untukmu karena kopi. Sudah kubilang kita tidak harus ke bar. Love hotel lebih baik."

Naruto mengangkat alisnya dengan ekspresi bergurau. "Jangan menggodaku. Kau tahu benar sebesar apa jagoanku ketika menegang."

Ia tertawa ketika menangkap ekspresi tak suka dari pria gay bertitle bartender itu. Ia mengerling pada Sasuke. Pria raven itu tampak natural daripada sebelumnya.

Kemudian, dua gelas yang membentur meja marmer dengan suara cukup keras menarik perhatian Naruto. Ia menatap bartender itu.

"Sayang sekali, semua pria di sini berpasangan. Tapi kuakui kau cukup menarik," kata pria itu pada Naruto. "Silakan dinikmati."

Naruto mengamati kemana bartender itu pergi, lalu berpaling. Ekspresi apa yang harus ia tunjukkan? Bangga? Risih? Terkejut?

Pamornya tidak kalah dalam jajaran pria gay.

"Aku benci dengannya," kata Sasuke, jujur.

"Kenapa?"

"Dia aneh."

"Selamat datang di dunia pelangi, Nak."

"Aku tahu," kata Sasuke, mengamati sekeliling, berusaha tidak terlihat cemas.

Naruto menenggak minumnya sejenak, sebelum berkata, "Jangan menganggapnya terlalu serius. Nanti kau stres."

"Apa kau benar-benar menaruh perhatian padaku?"

Mengangkat bahu, Naruto berdalih, "Dan aku merasa kau mulai menunjukkan ketidaksopananmu."

"Kau memintaku untuk terlihat normal."

"Normal dengan batasan tertentu."

"Aku sudah menduga bahwa ini bukan ide yang baik."

Oke, mungkin Sasuke tidak akan tahu caranya untuk berhenti.

Naruto mendesah. "Kau benar. Mungkin kau terlalu cepat terpengaruh dengan doktrin. Aku masih atasanmu. Membuatmu berpikir ini normal bukan berarti memaksamu melupakan bahwa aku atasanmu."

Akhirnya keluar juga; sikap keras kepala dan tidak suka ditentang. Sasuke merutuk berkali-kali, ia sudah menduga, serius, ini hal yang tidak ingin dilakukannya. Masih banyak cara lain yang bisa digunakan untuk memecahkan kasus, kenapa harus cara ini yang terpilih?

"Dan kau juga benar, Inspektur."

"Kau—"

"Kau membuatku dalam kesulitan," potong Sasuke, membiarkan nada dingin dalam suaranya.

"Aku tidak mengerti kesulitan mana yang kau maksud."

"Maafkan aku," kata Sasuke, final.

Mendengus, Naruto memalingkan wajah. Ia memutuskan untuk mengobservasi setiap sudut ruangan dari pada melanjutkan perdebatan.

Saat dalam pencarian, tak jarang ia menemukan dua orang pria bergumul bibir, saling meraba paha, berangkulan atau pun sekadar mengobrol. Tempat ini tidak berbohong, hal yang tabu bagi masyarakat itu benar-benar ada.

Gay people completely exist.

Setelah kurun waktu lima menit menjelajah sudut, ia menoleh ke belakang dan melihat ada seorang pria duduk di samping Sasuke sambil mengulurkan tangan.

Membelalak, ia menarik Sasuke dalam rengkuhannya dan memukul tangan pria itu.

"Pria ini sudah memiliki pacar, Bung." Naruto tersenyum miring, suaranya terdengar dalam di telinga Sasuke. Pria raven itu menegang.

Pria asing itu nampaknya tidak terpengaruh dengan sindiran Naruto. Sebaliknya, ia menumpu siku pada meja dan menatap tubuh belakang Sasuke dengan tertarik. Naruto berdecih sambil menarik Sasuke makin merapat. Kepala Sasuke terdorong hingga melewati bahunya.

Sialan. Ia harus melindungi bawahannya dari pria mabuk ini.

Sikap protektif Naruto membuat pria itu terkekeh. Ia menarik satu batang rokok, menyulut ujungnya dan mulai menghisap. Kepala Naruto memutar, mencari setidaknya ada papan kecil bertuliskan; No Smoking. Hasilnya nihil.

Ia menatap pria asing itu lagi, dan Sasuke masih di pelukannya—membeku seperti batu.

"Tidak baik mengabaikan pacarmu di tempat seperti ini." Suara pria itu berkata. "Wajahnya masuk ke dalam kriteria pria homo buas pemburu nafsu."

"Termasuk kau!" desis Naruto.

"Jangan salahkan aku. Salahkan pacarmu yang begitu menawan."

Asap rokok mengebul. Naruto mengibas kabutnya dengan kesal. Ia melompat berdiri; menarik paksa Sasuke dan bertukar posisi—membiarkan dirinya di tengah-tengah.

"Maaf jika pacarku sangat menawan," tukas Naruto. "Tapi setidaknya kau harus tahu siapa pemiliknya di sini."

"Kau mengabaikannya barusan."

"Kami terlibat adu mulut ringan."

"Ho, tidak heran."

Sementara di belakang, pandangan Sasuke mengitar ke arah lain. Seringkali ia menahan napas ketika memergoki dua orang pria bercumbu. Ia benar-benar di kandang makluk buas. Nafsu seorang lelaki adalah yang paling tinggi. Jadi, apa yang diharapkan dengan cumbuan panas para lelaki?

Terlepas dari hal berbau tabu itu, sejauh yang ia lihat di sini; tempat ini tergolong normal. Tidak ada pria mencurigakan yang berpontensi untuk membunuh dengan sadis.

Mendesah, ia berpikir untuk kembali menatap Naruto dan pria asing itu.

"Dibunuh?"

Itu adalah kalimat pertama yang didengarnya dari Naruto.

Pria asing itu gencar menenggak minumannya. "Pacarku dibunuh secara sadis oleh pria brengsek itu."

Sasuke membisiki Naruto. "Siapa yang dimaksud?"

Naruto melirik, namun tak menjawab.

"Apa kau melihat wajah pria itu, Zabuza-san?" tanya Naruto, kemudian.

Habis satu batang, pria asing itu bernama Zabuza itu mengeluarkan batang yang baru. Naruto menatapnya dengan risih. Asap mengudara dengan bau nikotin kuat.

Tetapi, menjaga mood pria asing itu adalah cara Naruto untuk bertahan. Ia butuh informasi.

"Tidak jelas. Pria itu bertopi, tubuhnya tinggi dan tegap. Haku terlihat hanya separuh dari tingginya."

"Haku?" Sasuke bersuara. Naruto melirik diam-diam. Dari tujuh jajaran korban, nama itu termasuk di dalamnya.

"Haku adalah pacarku. Kami terlibat pertengkaran malam itu di sebuah kelab. Saat itu aku pulang lebih dulu dalam keadaan kesal. Tetapi aku menyesalinya dan kembali ke kelab itu."

"Apa yang terjadi?"

"Haku berselingkuh." Ia tertawa kecil, lalu melanjutkan, "Sebelumnya aku pikir dia berselingkuh. Aku melupakan fakta kecil dan penting bahwa seorang pria membopongnya dalam keadaan tak sadar pergi menuju motel."

"Pria itu?"

Menggangguk, Zabuza menjawab, "Pria itu."

Naruto diam saja.

"Pagi harinya aku mendengar kabar bahwa ia sudah—" Zabuza tak melanjutkan, ia menggeleng.

Naruto meremas kain lembut yang membungkus pahanya. "Aku minta maaf. Aku turut berduka."

Zabuza menggeleng. "Jagalah pacarmu. Dia bisa saja menjadi sasaran empuk selanjutnya."

Sasuke bisa merasakan bulu kuduknya berdiri.

Dan setelah mengatakan hal itu, Zabuza pamit pergi, menghilang ke balik pintu. Sasuke menduga bahwa ia berniat pulang—atau mungkin meratapi kematian pacarnya seorang diri.

"Aku sudah mencatat semua detail—terutama alamat motelnya," kata Naruto.

"Cepat," gumamnya.

Naruto menunjuk pelipisnya. "Dalam kepalaku."

Pria blonde itu mengeluarkan sticky note miliknya. Mencatat beberapa hal pada lembar kosong. Menatap jam. Dan menatap catatannya lagi.

"Apa kau masih kuat?"

"Huh?"

Ini jam tiga pagi. Sasuke memang kuat terjaga, tetapi tidak dengan terus bergerak ke sana kemari.

Naruto menyeringai. "Aku berniat membuatmu terjaga semalaman. Apa kau butuh lebih banyak kopi?"

"Hentikan. Kau membuatku takut."

"Aku tahu akan sulit membuatmu untuk kembali sopan padaku."

"Kita sedang berakting," kilah Sasuke.

Naruto menatapnya dengan senyum misterius.

Seluruh tubuh pria raven itu mendingin.

"Kemari," kata Naruto. "Mendekatlah."

Sasuke terpaksa mendekat. Kedua tangan Naruto membuka dan merangkum tubuhnya. Sasuke menegang. Tepukan keras terasa berkali-kali di punggungnya.

Naruto tersenyum di balik bahunya. "Sudah kuduga, kau sangat kurus."

"Huh?"


"Jadi, ini motelnya?" tanya Sasuke, mengamati lobby luas dengan satu petugas jaga yang tertidur di pos. Lampu depan terlihat meredup dan hampir mati. Kadang berkedip, kadang terang. Tidak bisa diharapkan untuk hidup lebih lama.

Bangunan itu terlihat sederhana—bercat abu-abu dengan aksen minimalis. Matanya bergulir pada pintu kaca kusam yang seharusnya dipajang dalam keadaan kinclong. Di dalam tidak jelas terlihat meja resepsionis. Kusam dan kabur.

Sasuke bisa menduga berapa usia bangunan ini. Tempatnya juga sangat terpencil dan jauh dari jalan raya.

"Pembunuhan bukan terjadi di tempat ini," Naruto memandang di tempat yang sama. "Tidak ada laporan mencurigakan yang mengarah ke motel ini. Menurutmu, untuk apa pelaku membawa Haku ke sini kalau sebenarnya dia benci pada pria homoseksual?"

Sasuke diam, berpikir.

Naruto bersuara lagi. "Kenapa pelaku tak langsung membawanya ke tempat dimana dia membunuhnya?"

Dengan ekspresi ragu, Sasuke menjawab, "Untuk melakukan seks?"

"Seks?"

"Pelaku melakukan kekerasan seksual sebelum membunuh, bukan?"

Alasan itu cukup masuk akal jika pelaku membawa korban ke motel ini. Sebelumnya petugas reserse kriminal tidak memberi laporan tetang jejak-jejak seks atau semacamnya di lokasi pembunuhan. Yang anehnya ketika pihak motel ditanyai mengenai hal ini, mereka terkesan menutup-nutupinya.

Naruto melirik jam tangannya. Terlalu dini untuk terus berkeliaran di sini. Udara semakin dingin dan—

Ia baru sadar bahwa Sasuke hanya memakai kemeja berlengan pendek yang tipis.

Pria itu tidak mengeluh, tapi gesturnya tidak bisa diabaikan. Tangannya saling menggosok dan kaki yang bergerak-gerak tak nyaman.

Mendesah, Naruto melepas jaket Armani-nya, menyerahkannya pada Sasuke. "Pakailah," suruhnya, tanpa menoleh.

Ia merogoh saku celana untuk mendapatkan kunci. Mendadak ingin cepat pulang. Hingga larut malam begini, seharusnya ia sudah mengistirahatkan para personelnya. Bukannya mengajak berkeliling tugas sampai lelah begini.

"Tapi kau—"

"Tidak dingin sama sekali," potong Naruto. "Seorang pria ringkih sepertimu jauh lebih membutuhkanya."

Ia memasuki mobil Jeep tanpa peduli umpatan Sasuke.

Saat sudah memasang seatbelt, figur Sasuke tidak muncul juga ke dalam. Ia menengok ke kaca, bayangan Sasuke tidak ada. Ia keluar dari mobil terburu-buru dan melongok ke tempat dimana ia melihatnya terakhir kali.

"Sasuke? Sas—"

Deg.

Ia menengok ke belakang spontan. Ia merasa seseorang memperhatikannya.

Di balik gelapnya pohon, ia melihat seorang pria sedang berdiri di sana. Pria itu berbadan tinggi. Tidak jelas apa yang dipakai di kepalanya, dan hanya separuh badannya tampak dari balik pohon.

Walau tidak jelas, tetapi pandangan pria itu mengarah padanya seperti menembus langsung bagai pisau tajam. Bulu kuduk Naruto berdiri, dan jantungnya bertalu cepat.

"Naruto?"

Tiba-tiba saja Sasuke memanggil, membuatnya tersentak menoleh.

"Dari mana kau?" bentak Naruto, diselingi desah lega.

"Memeriksa ban. Kupikir bocor, jadi—"

"Jadi, apa bannya bocor?"

"Um, tidak."

Naruto membuang napas kasar. "Jangan menghilang tiba-tiba seperti itu, Teme! Ingat! Tetaplah bersamaku selama bertugas."

"Baik."

"Masuklah. Aku akan mengantarmu pulang."

Mereka masuk dalam Jeep berbarengan. Napas mereka saling bertukar di dalam. Naruto lebih cepat. Titik keringat timbul di lehernya dan andrenalinnya mulai meningi. Sial. Ia merasa sedikit terpancing.

Pria itu—pria yang mencurigakan. Sosoknya sudah menghilang di balik pohon yang tadi ia lihat. Ciri-cirinya hampir persis seperti yang dikatakan Zabuza.

Ini indikasi yang buruk.

Sasuke menoleh. "Alamatku—"

"Mansion Uchiha. Well, sebelum kau bertanya, ayahmu adalah atasanku—dan kau juga."

Tuas gigi ditarik, gas diinjak dan mobil bergerak mundur beberapa senti ke belakang. Sasuke bisa merasakan bannya berputar sampai akhirnya mobil itu berbelok arah, kemudian lurus.

Sasuke menarik karet rambutnya lepas. Helai disibak berkali-kali sampai Naruto mengedip. Shampoo mint—pria raven ini penuh dengan kesan yang dingin.

"Apa ayahmu tidak marah jika kau pulang sepagi ini?"

Sasuke mengerjap letih. "Aku pergi untuk bertugas. Ayah akan mengerti."

Terjadi keheningan janggal.

Mungkin lebih dari lima menit berlalu, dimana Naruto terlalu fokus pada figur gelap yang dilihatnya beberapa saat yang lalu. Sebagai seorang polisi, ia memang memiliki insting kuat. Instingnya tidak pernah salah. Dan reaksi tubuhnya tak berbohong saat melihat seringai di bibir sosok itu.

"Kuso! Aku tidak boleh gegabah."

Kemudian, sesaat setelah itu, Naruto menemukan Sasuke tertidur pulas di tempatnya. Kepalanya terkulai lemah di bahu kiri, dan tangan meremat karet gelang.

Saat rumah keluarga Uchiha tampak, ia mencoba membangunkannya. "Sasuke?" panggilnya.

Sang polisi bergeming.

Ia mengguncangnya lagi.

"Oi! Sasuke!"

Nihil.

Tubuh itu bahkan tak bergerak.

Mendesah, Naruto melepas seatbelt dan keluar dari dalam mobil. Mengitar ke pintu dimana Sasuke berada. Ia menarik tubuh Sasuke—yang mengejutkan tidak terlalu berat. Lalu membopongnya hingga bobot tubuh Sasuke ditimpakan padanya.

Ia mengguncang lagi tubuh dalam gendonggannya. "Oi! Kau tidur atau dibius? Buka matamu!"

Naruto berdecih.

Tangannya terjulur susah payah menekan bel.

Gerbang terbuka dalam dua kali denting bel, seorang penjaga mengantuk menyambutnya. "Tuan muda... ada apa dengan tuan muda?" katanya panik.

"Tidur."

Penjaga itu mendesah lega. Menjulurkan tangan. "Biar aku yang membawanya, Tuan."

Naruto menjauhi tangan penjaga itu. "Tunjukkan saja di mana kamarnya."

Mengangguk, penjaga itu menggiring dari depan. Mereka bertiga bergegas menuju pintu masuk dalam keheningan.

Tiba-tiba saja, Naruto merasakan lagi pandangan seseorang di belakangannya. Ia menoleh cepat-cepat, bersumpah merasakan bagaimana lehernya berderak. Namun tidak seperti sebelumnya, tidak ada siapapun yang terlihat di sana.

Tidak juga di balik pohon gelap depan rumah besar itu.

"Tuan?"

Naruto tersentak, menoleh. Pintu ganda berwarna putih terbuka lebar menunggu dirinya masuk. Ia mendesah. Tubuh Sasuke sedikit merosot dan hampir jatuh, ia menariknya lagi. Tidak begitu berat bobot tubuh pria itu, hanya saja ia merasakan sedikit perasaan tak nyaman.

Berpikir positif, Naruto mengabaikan rasa gelisahnya dan menyongsong pintu masuk dengan tergesa.

Tanpa sadar bahwa ada figur gelap yang menatap dari sudut yang berbeda.


Operasi hari kedua.

Mereka pergi ke kelab pelangi—kali ini benar-benar kelab khusus gay.

Dan Sasuke bebas tanpa ikat rambut. Ia menyangkal besar-besaran, dan dianggap Naruto sebagai tindakan pemberontakan level naik. Naruto itu bodoh atau apa, Sasuke merutuk. Jelas. Atasan macam ini tidak pantas memimpinnya.

Dari dulu ia membayangkan bahwa sosok Inspekturnya adalah seseorang yang tegas dan penuh wibawa—bukan laki-laki nekat dan suka seenaknya padanya.

Di hari kedua ini mereka kembali merangkum informasi. Tetap berlagak seperti sepasang kekasih yang hampir-hampir membuatnya muak. Anehnya, mereka tak mendapat informasi apapun di sana, dan memutuskan untuk ke motel kemarin. Di sana mereka tidak juga mendapatkan informasi pengunjung dengan mudah. Pihak motel tidak memberi data atau ciri-ciri mereka, seperti yang dilakukan pihak penyelenggara hotel lainnya.

Motto mereka; Pelanggan adalah yang harus dijaga kuat privasinya.

Klise.

Sasuke mendengus kesal.

Sementara Naruto hampir memecahkan kaca mobil.

Operasi hari kedua akhirnya dihentikan.


Pada operasi hari ketiga, tidak lebih baik.

Naruto menggerutu sepanjang jalan karena belum mendapatkan petunjuk lain. Mereka hanya berakhir di sebuah kelab bernama aneh; Onions. Tidak ada yang mencurigakan. Hanya pria homo nakal yang terus berusaha menggoda keduanya. Hebatnya pria homo kali ini benar-benar buas hingga mengejar kemanapun mereka pergi. Belum cukup, pria itu juga membuat mereka dikejar-kejar anjing liar karena tersesat di gang kecil sudut pabrik tua.

Mereka sangat malang.

Dan sialnya pria di balik pohon yang dicurigai Naruto malam lalu kembali muncul memata-matai. Hipotesa Naruto menguat karenanya, untuk itu operasi ketiga dihentikan demi keamanan diri.


Ini dia, operasi keempat.

Kali ini mereka menuju ke sebuah motel setelah berdiam lebih singkat di kelab sebelumnya.

Naruto mengaku di tengah hiruk pikuk kelab, ia melihat pria mencurigakan itu lagi. Wajahnya memang tak terlihat, terlebih hanya postur tubuh dan pakaian saja yang dapat diingatnya. Pria itu selalu memakai coat sepanjang lutut yang kusut dan besar, topi rajut, dan sepatu boot tinggi menyaruk celananya.

Berbeda dari sebelumnya, kali ini bukan pria itu yang mengawasi mereka, tetapi sebaliknya.

Ia melihat pria itu keluar dari kelab, menggunakan taksi dan pergi ke arah selatan.

Naruto terburu mengikuti dengan mobil, destinasi mereka berakhir di motel.

"Dia sendirian," bisik Naruto. Mereka menyembunyikan postur di balik dinding bangunan dimana pria mencurigakan itu masuk—sebuah love hotel. Dari sisi kanan, Sasuke melihat papan besar bertuliskan; The Black Beaver.

"Love hotel." Sasuke bergumam. "Apakah dia membuat janji dengan seseorang di sini?"

"Ayo."

Naruto menepuk bahu Sasuke dan mendahului masuk ke dalam. Sebelum benar-benar masuk, mereka bersembunyi di balik tembok marmer dekat pintu kaca. Mengintip.

Dari semua motel yang tercatat dekat dengan lokasi pembunuhan, memang sebagian memiliki bangunan sekadarnya. Gedung kecil, lobby tiga perempat dan meja resepsionis yang serupa loket tiket pesawat yang di sebelah kirinya terdapat jalan menuju lorong remang. Terkesan kuno dengan lampu geometris yang berjajar di dinding-dinding lorong.

Hanya satu yang sama dari motel-motel itu; bernuansa merah muda.

"Rest or stay?" Suara wanita dari loket. Pria itu sepertinya menjawab, namun suaranya tidak terdengar. Sesaat setelah itu, pria itu mendapatkan kuncinya dan berbalik ke kiri menuju lorong.

Naruto dan Sasuke melompat menuju loket. Mereka mendapat pertanyaan yang sama. Akan tetapi Naruto mengirim pertanyaan lain, "Pria yang tadi itu... apakah dia sendiri?"

Wanita itu tampak mencurigai Naruto. "Ya."

"Apakah dia sering datang kemari?"

"Bukan kewenangan kami untuk memberi tahu informasi pengunjung, sir."

Sudah kuduga, pikir Naruto. Ia menatap Sasuke sesaat—mempertimbangkan apa yang harus ia lakukan selanjutnya.

"Rest or stay?" ulang wanita itu.

"Stay."

"Rest."

Jawaban itu mengudara bersamaan.

"Apa yang kau katakan, sayang? Kita akan menginap semalam di sini, bukan?" kata Naruto, dengan gigi bergemeretak saat menatap Sasuke.

"Baiklah. Stay." Sasuke mendesah. "Aku duluan."

Kemudian ia berlari menuju lorong yang dimasuki pria mencurigakan tadi. Tampaknya ia tak kehilangan jejak pria itu. Sosoknya berjalan dengan lambat sehingga membuat Sasuke terus menerus menyelip pada lekukan koridor agar tak ketahuan.

Setelah beberapa saat, pria itu berhenti di ujung lorong. Memasukkan kunci ke dalam lubang dan mendorong pintu masuk.

Sasuke melihat sekeliling. Hari masih sangat dini untuk matahari, terlalu malam untuk terjaga. Setiap pintu kamar di lorong itu tertutup rapat. Ia menduga-duga berapa pasangan yang menginap di tempat ini. Apa kamar yang lain kosong?

"Ssst!" Naruto muncul di sudut berbeda, melambaikan kunci.

Sasuke berlari kecil menghampirinya. "Dimana kamar kita?"

Pertanyaan itu membuat dada Naruto linu. Rasanya aneh. "102. Di sini."

Ruangan itu tepat di samping kanan mereka. Naruto buru-buru membuka pintunya sambil bertanya cepat, "Dimana pria itu?"

Sasuke menghitung sejenak. "Empat kamar dari sini. Sebelah kiri."

"Oke."

Naruto menubruk kasur, merebah sambil memeriksa catatannya. Sedangkan Sasuke memeriksa kamar secara lebih perlahan. Kamar itu tidak lebih besar dari kamarnya di rumah; memiliki beberapa kasur lantai yang diletakkan bersampingan dan ruangan dikelilingi oleh cermin. Dari pada kamar, Sasuke merasa tempat itu lebih seperti ruang gym.

"Apa gunanya cermin-cermin ini?" gumam Sasuke sambil berkaca.

"Apa lagi? Melihat tubuh kita ketika bercinta."

"Kita tidak akan bercinta."

Naruto bangun, menunjuk Sasuke dengan notenya. "Siapa yang bilang kita akan bercinta, Teme?! Itu adalah kata yang kugunakan sebagai perumpamaan."

Sasuke memutar bola mata. "Gunakanlah perumpamaan selain kata 'kita'."

"Jangan mengaturku!"

Keheningan menyelimuti beberapa saat lamanya. Sasuke telah begitu tidak sopan, pikirnya, tetapi tampaknya pria itu tidak merasakan bahwa sudah berlaku melenceng. Dan jelas bahwa kegiatan mereka empat hari ini membuat Naruto mengerti kalau Sasuke tidak sepenuhnya peduli dengan remeh temeh mengenai jabatan.

Apa yang dia pikirkan tentangku? Aku bisa memecatnya kalau aku mau, gerutunya.

"Bagaimana cara kita mengawasinya?" Naruto menatap langit-langit kamar, bergumam pada dirinya sendiri.

"Aku akan keluar memeriksa," tukas Sasuke. Namun begitu ia berdiri Naruto mencegah. Menurutnya sangat beresiko dan mengundang kecurigaan.

Lagipula, jika Sasuke keluar sekarang, apa yang akan ditemukannya? Hanya kamar tertutup rapat.

"Lalu apa yang harus kita lakukan?" Sasuke menatap ujung kemeja Naruto yang mengerut—berbeda dengan bagian atasnya.

"Pesanlah minuman."

Ia menatap pria itu, tapi pikirannya menerawang.

"Ruangan ini sangat panas."

Dan Naruto tidak berbohong. Ia merasa panas dan gerah. Jantungnya berdegup dengan tempo yang lebih cepat. Gerak gerik Sasuke mulai melambat di matanya. Sebelumnya ia tidak merasakan panas, tetapi sesaat kemudian ia mulai merasa gerah.

"Panas sekali," katanya, mengedip.

Sasuke mengangkat gagang telepon. "Baiklah, akan aku pesankan."

"Ya."

Naruto mencubit pipinya, mengerang karena rasa sakit yang nyata. Kepalanya seperti berputar, hingga perutnya ikut merasakan pergolakan yang kuat. Kapan terakhir kali ia merasa panas seperti ini? Panas ini lain. Bergejolak dan menggelegak. Sial.

"Aku masih normal melihat wanita seksi beberapa hari yang lalu." Ia bergumam, melipat kakinya. Gradasi warna pink berpendar di seluruh ruangan seperti mengolok. Dahinya berkeringat.

Ketika ia melihat pantulan Sasuke di cermin, pria itu tengah melamun. Satu kakinya menunggang kaki yang lain, sikunya menyangga dagu, mulutnya mengembung dan mengempis. Naruto tidak berbohong, pandangannya tak bergulir barang sejenak.

Sesaat kemudian ruangan diketuk dari luar. Sasuke buru-buru membuka pintu. Mata Naruto mengikuti gerakannya, dan berlabuh pada satu-satunya pintu berjarak dua meter darinya. Motel ini memang murahan—dan ketika dibilang seperti itu, maka itu artinya adalah yang sebenarnya.

Seorang pria dengan kemeja putih dan vest hitam terlihat. Tersenyum dan mengucap beberapa minuman yang mereka pesan. Sasuke mengambilnya. Ia menjulurkan kepala melongok ke sudut koridor ketika pelayan itu pergi.

Pintu tertutup. Semua hening.

Ia kembali ke dalam.

Mata Naruto tak lepas.

"Inspektur?" panggilnya. Naruto pura-pura baru melirik. "Tidak ada tanda apapun."

Naruto mengambil minumannya. "Kita pikirkan cara lain."

Pendingin ruangan mengeluarkan suara angin. Berdesis berkali-kali seperti ban kehilangan udara.

Sasuke menyandar pada sofa, menatap gelasnya sekilas. "Kenapa kau yakin bahwa pria itu adalah pelaku yang kita cari?" tanyanya pada Naruto.

"Pria itu beberapa kali mengawasi kita. Ciri-cirinya sama persis dengan yang dikatakan Zabuza."

Sasuke membuka mulut seperti hendak mengatakan sesuatu, tapi tidak ada yang diucapkannya.

"Kau takut?" Naruto melirik. "Ada polisi yang menjaga kita di luar sana."

"Tidak... hanya cemas."

Naruto diam saja.

Sepuluh menit berlalu tanpa ada yang berkata. Gelas di tangan Naruto habis sebagian dengan cepat. Ia meneguknya lagi hingga tersisa sedikit. Ada rasa aneh di lidahnya, rasa yang agak membakar juga di dalam tubuhnya. Diam-diam Sasuke melirik, menaruh kecemasan.

"Kau baik-baik saja?" tanyanya.

"Mmh." Naruto memeriksa catatannya, bermaksud mengalihkan rasa aneh dalam tubuhnya. "Aku merasa mual."

"Kau sakit?"

Naruto menegakkan kepala. "Tidak."

"Kau terlalu banyak minum saat di kelab."

"Dua gelas."

Satu teguk masuk dalam tenggorokan Sasuke, mengalirkan rasa dingin. "Ya, dengan kadar alkohol tinggi," katanya.

"Aku tidak tahu."

"Aku sudah memperingatkanmu, tapi kau tak mendengar."

Naruto sudah membuang jauh pandangannya saat berkata, "Berhenti sok pintar di depanku."

Gantian Sasuke yang menatap. "Aku tidak sok pintar!"

"Kau sok pintar, Teme!"

"Dan bagaimana kalau aku memang lebih pintar darimu?"

Naruto menggelengkan kepala. "Tidak, bukan hanya itu. Kau juga bermulut tajam, angkuh dan sangat percaya diri."

"Akui saja bahwa aku lebih pintar darimu," balas Sasuke.

Naruto meletakkan jus merah di tangannya ke lantai. Jus asam tidak bermutu itu diumpatnya dalam hati. Ia menyaruk kasur lantai, menghentak lantai dan menghampiri Sasuke—berdiri menjulang di depannya.

"Kau bawahan tidak sopan!"

"Kau atasan semena-mena!"

"Aku akan memecatmu!"

"Aku akan mengadu pada ayahku!"

Naruto tertawa geli, berguling demi meyakinkan kelucuannya. "Apa kau ini anak ayah? Dasar bawahan payah."

"Tarik kata-katamu, Dobe!"

"Berteriak lagi kalau berani, Teme!"

Grrrhhh.

Naruto menatap mata hitam di depannya beringas, begitupun sebaliknya.

Kalau diterka lebih lanjut, mungkin seseorang akan melihat kilatan mata mereka satu sama lain menyatu, dua tanduk menyembul di kepala, dan taring muncul di sudut mulut.

Sasuke melepas kontak pertama kali.

"Sekarang aku sadar kenapa kau memilihku untuk operasi ini? Kau gay, bukan?" tuduh Sasuke, menatap jus tomatnya dramatis.

"Apa?"

"Kau bernafsu saat melihatku."

"Apa kau bilang?!"

"Mengaku saja, Inspektur Dobe."

Kemarahan naik ke kepala Naruto secepat roket meluncur ke langit. Rasa pusing memutar otaknya lebih jauh dari itu. Semuanya mengabur dengan cepat. Bumi dua kali lebih buram ketika ia sadar. Tiba-tiba saja kepalanya sakit.

Kali ini ia berdiri lagi, sempoyongan. Ia memegang bahu Sasuke erat-erat hingga pria itu meringis.

"Lepaskan aku." Sasuke mendelik.

"Tidak akan."

"Kau mau melecehkanku?"

Suara Naruto tidak lebih dari racauan. "Kau berkata bahwa aku gay."

Jantung Sasuke bergedup cepat. "Lepas!"

Akan tetapi permohonan itu meluncur sia-sia ke udara.

Tubuhnya terdorong karena tangan Naruto dalam andil besar. Meski ia menahan, melawan, sofa terus bergeser hingga berdecit dengan tembok. Cengkeraman menguat. Tenaga pria ini kuda. Sasuke harusnya sudah tahu melihat betapa kekar lengannya.

Dan omong-omong kenapa ia didesak seperti ini?

"Inspektur?"

Hanya terbalas tatapan menusuk tak fokus.

"Bagaimana kalau aku benar-benar gay?" desis Naruto, kehilangan kontrol. Napasnya merebak panas bersamaan dengan sengat alkohol.

"Kau tidak gay." Sasuke mengelak, bertolakbelakang dengan tuduhannya semenit yang lalu.

"Aku gay." Naruto mendekati wajah Sasuke.

"Kau mabuk."

"Ya."

"Inspektur, hentikan!"

"Naruto, bodoh!"

"Naruto... hentikan!"

"Naruto sayang, bodoh!"

"Naruto say—dan kenapa aku harus menurutimu?!" Sasuke berdecih, terdesak makin kuat.

Seringai muncul pada sudut kiri bibir Naruto, melengkung dengan kemiringan yang menajam. Tubuh Sasuke mendingin. Fabrik sofa menekuk ke dalam ketika menambah beban kaki Naruto. Pria itu meletakkan lututnya di sela pahanya, mengirim rasa geli.

Sasuke menarik napas cepat, secepat jantungnya bertalu.

Sia-sia saja ketika mendorong Naruto menjauh, pria blonde itu terus mendekatkan wajahnya sambil berseringai.

"Dobe! Kuperingatkan pada—"

Lepas sudah.

Bibir penuh nafsu mendarat padanya, menggigit, dan memaksa lidah masuk. Bibir tipis itu bergerak liar dalam iringan libido. Menghisap, mengulum, menyesap habis hingga terasa kebas.

Tangan Sasuke mendorong kuat dada Naruto susah payah. Jangankan lepas, bergerak sesenti saja tidak. Tenaga pria itu tidak main-main.

Ia merasakan sesuatu menubruk benda di antara pahanya hingga sempit. Menggesek berkali-kali meminta dimanja. Napas hangat dan memburu mengembus pipinya yang pucat mendingin. Ia mendorong lebih gencar, dan pria itu membalasnya lebih gencar lagi.

Di sela disorientasi dan usaha mengambil napas, ia berpikir cepat. Satu ide mendarat. Terburu-buru ia mengangkat lutut menuju spot yang tepat, hingga mereka tampak seperti menyatu. Ia tak mengapa jika itu bisa membuatnya cepat lepas. Maka, dalam hitungan satu dan dua, ia mengayunkan lutut itu, mendorong kuat.

"Ouch!" Naruto menjerit, jatuh, terguling di kasur. "Apa yang kau laku—Ouch!"

Udara di perut Naruto hilang tiba-tiba. Ia tersentak. Ia melihat Sasuke marah. Pria itu menduduki perutnya.

"Get off, bastard!"

"Apologize to me and I will."

"Get your knee out of my stomach and I might."

Dengusan dari Sasuke serupa ban bocor di telinga Naruto. Ia memilih untuk beranjak dari posisinya. Perlahan Naruto bisa merasakan udara di perut kembali terisi. Kepalanya seribu kali lebih sakit dari sebelumnya, terkulai lemah di kasur.

"Aduh, kepalaku."

Sasuke menggosok bibir, upaya menghilangkan bekas nafsu di sana. "Kau menciumku! Kembalikan ciumanku!"

"Apa kau ini bodoh?"

Sasuke mendengus lagi. Ia duduk kembali pada sofa dan melihat kaki. Ia berusaha setenang mungkin. Kali ini matanya tak mau lepas dari pria tak berdaya di kasur. Meski begitu, otaknya berpikir keras tentang apa yang terjadi.

Beberapa jam lalu, mereka memang pergi ke kelab. Naruto mabuk dan ia masih sadar. Tetapi sesaat sebelum ini, pria itu justru kehilangan kontrol dan bertanda-tanda mabuk berat.

"Kenapa kau menciumku..."

"Huh?"

Minuman asam di meja memancing kecurigaan Sasuke. Ia mengambil jus tomatnya yang masih utuh dan membaui permukaannya. Samar, hampir hilang, namun tercium bau lain.

"Minuman ini dicampur sesuatu," gumamnya, menatap Naruto yang menggeliat di bawah. "Sial! Perangsang?"

"Mmh." Naruto meracau.

Sasuke berlutut di samping pria itu, menariknya untuk duduk. Mencekik lehernya. "Inspektur, muntahkan!"

Naruto terbatuk dengan lidah menjulur dan mata berputar ke atas.

"Ayo! Cepat muntahkan, Dobe!"

"Vuanas."

"Bicara apa kau?!" Sasuke berkata kesal.

Naruto memukul tangan Sasuke di lehernya sambil mendelik. Sasuke tersentak, melepas tiba-tiba sehingga Naruto terjatuh berbaring.

"Kau mau membunuhku, ha?" bentak Naruto. "Ow, panas."

"Bagaimana cara menetralisirnya?"

"Apa? Penetrasi?" Naruto mengedip. Matanya tak fokus. Semua buram.

Sasuke menepuk jidat.

"Bukan, bodoh!" umpatnya, melirik gelas kosong. "Kau menghabiskan satu gelas penuh."

Ia menyandarkan tubuhnya pada sofa. Gagang telepon di meja sudah ada dalam genggamannya. Kalau ia mengadu ke pihak motel sekarang, ia mungkin akan mendapatkan pelaku yang mencampur sesuatu di gelas mereka. Menangkapnya. Kalau perlu mencekiknya sampai jera.

Serius, meskipun ia benci pada atasan semena-menanya itu, tetapi ia punya tugas untuk melindunginya. Jika terjadi sesuatu padanya, ia akan mendapatkan masalah.

Ini mungkin hanya obat perangsang. Lalu bagaimana kalau minuman itu dicampur racun?

Dan masalah ciuman itu, apakah ia harus marah sekarang?

Ia melirik Naruto yang sedang memejamkan matanya erat. Bulir keringat mengalir di leher dan dahinya. Sasuke menduga-duga seberapa panas dalam tubuhnya karena efek itu. Apa itu benar-benar perangsang? Apa karena mabuk?

Sepertinya kedua hal itu sudah terjadi pada Naruto.

"Inspektur, kau baik-baik saja?"

Naruto melirik dengan mata sayu, tetapi tak menjawab. Keheningan janggal terjadi dalam beberapa saat. Kemudian Naruto mengambil posisi duduk, jarak mereka hampir nihil.

Ia menatap pria itu.

"Inspektu—"

Kalimat Sasuke tertahan, tangan Naruto mendarat di lehernya. Bobot tubuh menimpa padanya dengan berat dan Sasuke menjaga untuk tak jatuh. Jantungnya berdegup, berlomba dengan napasnya.

"Aku tak bisa menahannya," keluh Naruto, mengeratkan pelukannya.

Di saat seperti ini Sasuke bingung harus melakukan apa. Kalau efek perangsang bereaksi, ini wajar saja terjadi. Dan ia tak mungkin membiarkan bibirnya menjadi korban lagi.

Sasuke menatap Naruto sambil berpikir keras.

Apa?

Satu ide saja, ayo muncul.

"Sasuke," panggil Naruto di sela telinganya, "aku mau keluar." Wajahnya menunjukkan bahwa ia sangat tak nyaman. "Rasanya penuh."

Seperti tersengat aliran listrik, kali ini ide datang di kepalanya.

"Itu dia!"

Sasuke mendorong Naruto darinya, tetapi tetap memegang bahunya agar tak jatuh.

"Naruto, kau bisa keluar sendiri! Aku akan membawamu ke kamar mandi."

"Mana bisa, Teme!"

Tubuhnya terangkat, terhuyung dalam keseimbangan. Sasuke sempoyongan karena pegangannya yang lemah. Dalam hati mengutuk berat badan Naruto yang setara dengan kerbau hamil.

"Bisa!" Sasuke berteriak, melompat, berlari secepat mungkin sampai kamar mandi. "Aku akan mengambil sabun."

Ia meletakkan tubuh Naruto di atas toilet, lalu menghidupkan air dalam bathtub—hanya terdapat air dingin dalam kucurannya. Setelah membiarkannya sesaat, Sasuke mengambil handuk dan baru setelah itu mencari sabun.

Dan ia baru mendapatkan benda itu dalam kabinet yang tergantung di tembok. Sabun itu masih baru dan terbungkus. Saat terbuka, warna hijau yang nampak, wanginya seperti campuran floral.

Ia meletakkannya di tangan Naruto.

Pria itu menatapnya letih. "Apa ini?"

"Sabun."

Naruto tak menjawab, mendengus.

"Lakukan dengan cepat. Aku akan mengambilkan air minum untukmu." Sasuke melesat keluar kamar mandi.

"Bagaimana aku bisa keluar hanya dengan sabun?!"

Suara Sasuke terdengar menjauh. "Kau bisa!" Lalu disusul debam pintu. Dan keheningan solid yang terjadi dalam kamar.

"Teme! Jangan pergi sendiri!"

Dijawab keheningan.


"Halo, ada orang?"

Sasuke mengetuk loket berkali-kali, tetapi tidak ada jawaban. Ia melihat lubang kecil dimana petugas motel biasa memberikan kunci. Ruangan di dalam loket gelap. Tidak ada tanda-tanda ada orang.

Ia melirik jam yang masih melingkar di tangannya. Dini hari. Tiga jam lagi matahari baru terbit.

Bagus sekali.

Sekarang biarkan ia merutuk keras-keras dalam hati. Ekspektasinya tentang motel ini benar. Dari tingkat penilaian tempat ini di bawah standart. Pelayanan yang sangat buruk dan bangunan yang tidak terawat layaknya sarang tikus.

Motel macam apa ini?

Siapa yang akan berkunjung kemari—kecuali dirinya dan pria mencurigakan itu?

Dan berbicara soal pria mencurigakan, Sasuke melihat sekeliling, tiba-tiba merasakan sepasang mata mengawasinya. Tempatnya berada saat ini sepi; beberapa lampu sudah mati, dan ketiadaan security jaga.

Tidak terlihat seorang pun di sana—apalagi yang mengawasinya.

Mendesah, Sasuke membuka langkah untuk kembali ke kamar. Dalam dua langkah saja seperti ada yang beban yang memberat di kaki, padahal degup jantung bertalu menyuruh untuk cepat pergi.

Ketika berlalu, ia melirik sekilas ke belakang dan melihat seorang pria besar dengan coat hitam sedang bersandar pada dinding lobby, menatap ke arahnya. Sasuke merasa terbius; blank.

Pria itu mengambil jarak mendekat dan mencengkeram lengannya tiba-tiba.

Sasuke komat-kamit, tersadar, sebelum menarik diri.

Gagal.

Ini adalah fase panas dingin yang mungkin dialami para korban intimidasi. Mereka mengkeret seperti tikus yang dihadapkan dengan taring beringas anjing.

"Kaum sampah," desis pria itu, giginya bergemeretak marah. "Apa yang kau lakukan di tempat ini?"

TBC...


Info kecil: Polisi Prefektur di Jepang setara dengan Polda di Indonesia.

AN: Gagal bikin 1 part, chap 2 (yang merupakan ending) akan di post secepatnya, semoga besok atau lusa atau besoknya lusa pokoknya sebelum tgl 30. Untuk kesalahan jabatan kepolisian dan lain-lain, kalau ada, harap diingatkan.

Happy birthday, Sasuke sayang *-*/

23/7/2016

Review?