Secret Admirer
Chapter 1
.
.
.
Sang fajar menyingsing. Sinarnya memasuki setiap celah yang bisa ia lewati, termasuk celah-celah kamar bernuansa serba biru, membuat orang yang berada di dalamnya merasa tenang dan rela tinggal lebih lama di dalamnya. Cahaya tersebut berhasil mengusik seorang pemuda yang tengah terlelap dalam mimpi indahnya. Sesekali pemuda itu menggeliat, merasa tidur indahnya telah diganggu.
Derap langkah kaki terdengar di sepanjang lorong menuju ruangan tersebut. Dan tiba-tiba saja pintu itu terbuka, menimbulkan suara yang cukup keras namun tak cukup keras untuk membangunkan pemuda yang tengah terlelap itu.
"Astaga, Na Jaemin! Berapa kali kami harus membangunkanmu?! Dalam waktu dua puluh menit, pintu gerbang sekolahmu itu akan tertutup!" pekik seoranga wanita, memenuhi ruangan yang semula sunyi itu dengan pekikannya.
Pemuda yang diketahui bernama Na Jaemin itu membuka matanya lebar-lebar, "Apa?! Kenapa ibu tidak berusaha membangunkanku lebih keras sampai aku bangun?!" ujarnya seraya melompat dari tempat tidur menuju kamar mandi yang terletak di dalam kamarnya.
Sang ibu yang mendengar perkataan Jaemin hanya bisa menghela nafas, "Bahkan hyung-mu sudah berusaha membangunkanmu sepuluh kali, sayang."
"Ibu masih menyangkalnya?" ucap Jaemin dengan tangan yang sibuk memakai seragam sekolahnya. "Huh, aku tidak menyukai ibu."
"Ya ya, ibu juga mencintaimu. Berhenti mengomel dan lekas sarapan. Kau tahu, waktu terus berjalan selama kau mengomel tadi" tutur sang ibu lalu pergi meninggalkan Jaemin yang tengah sibuk saat ini.
Jaemin sendiri, yang mendengar ucapan sang ibu, semakin mempercepat kegiatannya dan keluar kamar untuk sarapan segera setelahnya.
Bahkan ia tak merapikan ranjangnya...
.
.
.
Dalam waktu sepuluh menit, dan diantar oleh supir dengan kecepatan penuh, kini ia telah sampai di sekolah barunya. Tunggu, sekolah baru?
Sedikit informasi mengenai Na Jaemin. Ia merupakan anak dari Na Minsook dan Park Jae In. Namun, kecelakaan tragis telah merenggut nyawa Jae In tepat saat Jaemin berulang tahun yang ke-5. Saat itu, Minsook benar-benar terpukul. Ia frustasi, merasa tak mampu membesarkan Jaemin seorang diri. Hingga akhirnya, ia memutuskan untuk menenangkan diri di Jepang, dengan Jaemin tentunya. Di negara matahari terbit itulah, ia menemukan seorang wanita. Wanita itu adalah Nakamoto Aya, seorang single parent dengan 1 anak bernama Nakamoto Yuta. Yang mana suaminya, Nakamoto Hyuga, meninggal di karenakan sakit keras. Selama 2 tahun saling mengenal, kedua orangtua itu saling jatuh cinta dan memutuskan untuk menikah 1 tahun kemudian. Yuta yang lebih tua 1 tahun dari Jaemin, tentu saja senang memiliki seorang adik. Begitupula Jaemin, memiliki seorang kakak untuk melindunginya adalah suatu berkat dari Tuhan. Setelahnya, keluarga bahagia itu memutuskan untuk pergi ke Korea dan menetap disana.
Kini Jaemin berada di kelas 2 sekolah menengah atas, yang mana saat ini umurnya menginjak 17 tahun. Ia menempuh pendidikan di School of Performing Arts Seoul bersama dengan Yuta, dimana sebelumnya ia bersekolah di Hanlim Arts School. Lalu, untuk apa ia pindah sekolah jika masih berada di domisili yang sama?
Ia mengaku pada orangtuanya bahwa ia tidak nyaman berada di Hanlim. Namun, semua itu hanya alasan semata. Tak ada yang mengetahui alasan sesungguhnya ia pindah ke SOPA selain dirinya, Yuta, dan Tuhan tentunya.
Hanya ada 1 alasan. Alasan ia pindah hanya karena seseorang. Seseorang yang bahkan ia sendiri tak tahu siapa...
1 bulan sebelum kepindahan Jaemin...
Bel sekolah berdering, menandakan waktu sekolah telah usai. Semua murid berhamburan keluar kelas, tak terkecuali Jaemin. Penampilannya kini tak bisa di bilang baik. Kemeja yang sudah acak-acakan, rambut seperti orang bangun tidur, bahkan sepatunya ia injak tanpa mengikatnya. Ya, ia nampak seperti orang baru bangun saat ini.
"Kenapa matematika harus ada di dunia ini?! Aku membencinya. Aku membenci Kim saem juga. Kenapa ia selalu memberikan soal sulit setiap kali ulangan, sementara saat menerangkan ia menerangkannya dengan sangat mudah?! Lebih baik aku menari sampai kaki-ku patah daripada mengerjakan ulangan pelajaran terkutuk itu" tutur Jaemin panjang lebar. Ia mengomel sepanjang koridor sekolah, membuat beberapa pasang mata menatapnya ketika ia lewat.
Jaemin berada di jurusan Performing Arts, dan keahliannya adalah dance. Ia merupakan bunga bagi Hanlim, karena ia selalu menorehkan prestasi dengan kegiatan dance-nya itu. Jadi, jangan heran jika banyak orang yang menyapa Jaemin, meskipun Jaemin sendiri tak tahu siapa yang menyapanya.
Ia melangkahkan kakinya menyusuri koridor, menuju lokernya. Ia hendak mengganti sepatunya dengan sepatu khusus yang biasa ia gunakan untuk dance. Namun, langkah kakinya terhenti tatkala ia melihat seorang pemuda ber-seragam warna kuning, rambut kecoklatan, dengan tas kecil di tangannya, berdiri tepat di depan lokernya. Ia membuka loker Jaemin dengan mudah lalu memasukkan tas tersebut ke dalamnya.
'Tunggu! Darimana ia tahu pin lokerku?!'
Tanpa pikir panjang, ia melangkahkan kakinya semakin mendekati pemuda itu, "Hei! Siapa kau? Kenapa kau bisa membuka lokerku?"
Pemuda itu menoleh ke arah sumber suara, Jaemin. Mata pemuda itu terbelalak, panik kala ia menatap manik mata hazel milik Jaemin.
'Oh bagus. Ia memakai masker. Bagaimana aku bisa mengetahuinya kalau yang bisa kulihat hanya matanya...' batin Jaemin berbicara.
Pemuda itu berbalik, lalu berlari meninggalkan Jaemin dengan penuh tanda tanya di benaknya. Jaemin sendiri tak berniat mengejar pemuda itu, ia hanya bergegas menuju lokernya dan mengambil tas kecil tersebut.
Ini bukan kali pertama ia mendapatkan tas kecil seperti ini. Ia membuka tas tersebut, dan seperti biasa, ia mendapati satu kotak bekal, satu botol minuman isotonik, dan sepucuk surat.
'Nana-ya! Ini aku. Hari ini, aku membawakan makanan favorit-mu, sup rumput laut dan samgyupsal. Aku harap kau suka. Dan seperti biasa, jika sudah selesai makan, kau bisa menaruh tas tersebut di ruangan tempat latihanmu. Semangat berlatih, Nana-ya!
Yang menyayangimu,
Lee.'
Jaemin menatap surat itu, lalu tersenyum penuh arti. Ia tak tahu siapa yang mengirimnya, entah pemuda tadi atau ada seseorang yang menyuruh pemuda tadi. Dan ia akan mencari tahu. Satu hal yang ia tahu pasti, pemuda tadi mengenakan seragam SOPA.
"Maaf, Lee. Aku tidak akan mengembalikan tas ini seperti biasanya. Ini adalah satu-satunya petunjuk agar aku bisa menemukannu. Dan aku pasti akan menemukanmu."
.
.
.
"Lee Jeno!"
Seorang pemuda dengan nafas yang terengah-engah, melangkahkan kakinya cepat mendekati pemuda yang diketahui bernama Jeno itu. Yang merasa namanya disebut hanya diam, lalu menatap pemuda yang berdiri di sampingnya itu heran.
"Kau itu kenapa, Mark Lee? Habis dikejar anjing, hah?" ujar Jeno sekenanya.
"Hei hidung besar, jika kau mendengarnya, kau akan terkejut setengah mati."
"Oh, benarkah? Aku meragukannya. Apa hal yang kau yakini bisa membuatku terkejut setengah mati itu?" tanya Jeno yang kini sudah mengalihkan pandangannya pada novel Anna Karenina yang tengah ia pegang.
"Na Jaemin, cinta gilamu itu. Ia pindah ke SOPA dan akan masuk ke kelas kita!" seru Mark dengan volume suara yabg hanya dapat didengar oleh Jeno.
Jeno yang mendengarnya hanya terdiam, dan tertawa detik berikutnya. "Lucu sekali, Mark Lee. Kau pikir aku akan tertipu? Aku pernah mendengar hal yang sama saat ternyata yang pindah adalah Rocky, bukan Jaemin."
Mark memutar bola matanya malas, "Aku tidak bohong. Aku mendengarnya dari Yuta hyung! Kalau kau tak percaya, kita bertaruh saja."
"Baiklah. Kalau aku benar, maka kau harus menjadi kacungku selama satu minggu penuh."
"Oke! Jika aku yang benar, maka kau akan membayar uang makan siang-ku selama satu bulan. Bagaimana, Jeno?"
"Call! Kita lihat, apakah Kwon saem akan membawa seseorang bersamanya atau tidak."
Suara derap langkah mendekat, lantas membuat Jeno juga beberapa orang yang berada di kelas mengalihkan pandangannya ke arah jendela.
"Kwon saem! Cepat duduk!" seru salah seorang murid.
Secepat kilat, semua murid segera duduk di tempatnya. Mark-pun segera duduk di belakang Jeno. Sementara Jeno, menutup novel yang dibacanya dan memasukannya ke dalam tas.
Baik Jeno maupun Mark sama-sama berdebar. Apakah Kwon saem akan membawa Jaemin bersamanya atau tidak. Jujur saja, Mark tidak 100% yakin bahwa Jaemin akan pindah. Tapi, ia mendapatkan kabar itu dari kakaknya Jaemin, kenapa ia harus ragu?
Kwon saem melangkahkan kakinya memasuki kelas. Jeno hanya tersenyum menatap gurunya, lalu memundurkan badannya agar lebih mendekat pada Mark.
"Bersiap menjadi kacungku selama seminggu penuh, Mark."
.
.
.
Jaemin menatap berkas kepindahan miliknya. Ia tak tahu harus kemana, atau lebih tepatnya tersesat. Ia sudah terlambat di hari pertamanya dan kali ini ia juga harus tersesat mencari ruang guru di sekolahnya sendiri.
"Aku harus kemana? Lurus? Astaga, mengapa disini tidak ada denah sekolah?"
Tiba-tiba, seorang pemuda menepuk bahu Jaemin pelan, "Hai, apa kau murid baru?"
Jaemin berbalik, menatap sumber suara tersebut dan mendapati ada 2 orang di hadapannya, "Y-ya, aku murid baru..."
Lawan bicara Jaemin itu tersenyum, "Aku Donghyuck, Lee Donghyuck. Dan ini sahabatku, Zhong Chenle."
Jaemin membalas senyuman Donghyuck, "Aku Na Jaemin. Salam kenal!"
"Apa kau sudah ke ruang guru?" Chenle membuka suara.
"Belum. A-aku tersesat..." jawab Jaemin ragu.
"Kami akan mengantarmu! Ayo ikut kami. Dan saat istirahat nanti, aku akan menemanimu berkeliling!" ujar Donghyuck penuh antusias. Jaemin dan Donghyuck berjalan mendahului Chenle, saling bertukar informasi mengenai diri masing-masing.
Sementara Chenle, ia mengambil ponsel yang ada di saku celananya. Ia membuka aplikasi chat dan mengetikkan sesuatu di grup bernama 'NCT'.
'musicstar: Selamat, Lee Jeno. Cinta gilamu sepertinya akan menjadi kenyataan.'
.
.
.
Jaemin melangkahkan kakinya menyusuri koridor sekolah menuju kelas Performing Arts 2. Dengan diantar oleh wali kelasnya, Ahn saem, ia sampai di depan kelas tersebut. Pemuda itu menarik nafasnya panjang, lalu membuangnya perlahan.
Ahn saem mengetuk pintu tersebut, hingga menimbulkan suara yang cukup keras, "Maaf mengganggu kelas anda. Aku mengantarkan murid baru."
Mendengarnya, ia tersenyum pada guru yang sebelumnya sedang mengajar tersebut.
"Oh, baiklah. Silahkan masuk. Dan terima kasih, Ahn saem."
"Tentu saja. Kembali kasih, Kwon saem."
Ia melangkah masuk mengikuti guru yang disebut Kwon saem itu ke bagian tengah kelas setelah menutup pintu. Diperhatikan setiap pasang mata yang memusatkan perhatian mereka padanya.
"Baiklah, ini murid baru. Ia akan menjadi bagian dari kelas ini. Silahkan perkenalkan dirimu."
Jaemin tersenyum, lalu membungkukan badannya memberi hormat. "Halo, perkenalkan. Namaku Na Jaemin. Kalian bisa memanggilku Jaemin."
Sementara itu, di lain pihak, Jeno tengah membelalakan matanya. Ia terkejut bukan main. Ia tak menyangka, Jaemin akan berada disini, di sekolah ini, bersama dengannya.
"Baiklah Jaemin. Karena hanya bangku disebelah Jeno yang kosong, kau akan duduk bersamanya. Silahkan" titah Kwon saem.
Tanpa ragu, Jaemin melangkahkan kakinya mendekati bangku di sebelah Jeno lalu duduk setelahnya. Jeno tentu saja kikuk. Jantungnya berdegup tak beraturan. Dan ia membencinya.
"Halo! Aku Jaemin, salam kenal" ujar pemuda bermarga Na itu seraya mengulurkan tangannya.
Dengan ragu, Jeno mengulurkan tangannya, berjabat tangan. "A-aku Jeno. Salam kenal, Jaemin-ssi."
Jaemin tersenyum manis pada Jeno, lalu menyudahi acara perkenalan mereka. Sementara jantung Jeno, kini tengah berusaha menahan diri untuk tidak meledak.
Mark yang melihatnya hanya tersenyum miring, lalu memajukan badannya agar mendekat pada Jeno.
"Kacung? Bermimpi saja. Bersiaplah untuk membayar makan siang-ku selama satu bulan penuh, Jeno."
.
.
.
Jaemin sesekali melirik teman sebangkunya, Lee Jeno. Ia merasa aneh dengan pemuda bermata kecil itu. Pemuda itu terlihat sekali sedang merasa tak nyaman. Dan tentu saja, hal itu berhasil membuat Jaemin mengalihkan pandangannya dari Kwon saem untuk memperhatikan pemuda bermarga Lee itu.
"Jeno-ssi? Kau baik-baik saja? Mukamu memerah sejak tadi." Akhirnya Jaemin membuka suara.
Merasa terpanggil, Jeno beralih menatap Jaemin tepat di retina mata hazel pujaan hatinya itu. 'Aku tidak baik-baik saja, Nana. Aku sedang menahan degupan jantungku yang dengan sangat sialannya berdebar tak karuan seperti ini' batin Jeno berbicara.
"T-tidak apa-apa. A-ku b-baik, kok." Lee Jeno bodoh. Kau malah tergagap, pasti membuat Jaemin tidak mempercayai perkataanmu.
Jaemin mengerutkan dahinya. Tangannya terulur untuk menyentuh dahi Jeno, dan beralih menyentuh pipi teman barunya itu. Jeno terkejut, dan tubuhnya juga bergetar. Ia terpaku tanpa melepas tatapannya dari Jaemin. Sementara Mark yang ada dibelakang kedua insan itu hanya tertawa kecil melihat kegugupan seorang Lee Jeno.
Bel pertanda istirahat berdering. Dan disaat itu pula, Jaemin menyudahi tatapanya pada Jeno dan beralih menaruh atensinya pada Kwon saem, namun tangannya tetap disana. Tangan mungilnya masih menangkup pipi Jeno.
Setelah Kwon saem keluar, Mark beranjak dari tempat duduknya lalu merangkul bahu Jeno. "Dia itu punya sakit yang cukup keras dan terlalu sulit untuk ditahan, Jaemin-ssi. Karena itu, mukanya memerah seperti ini" tutur pemuda bernama Mark itu.
Jaemin membelalakan matanya, "Astaga, Jeno-ssi! Apa perlu kita ke ruang kesehatan?" ujarnya.
Dalam hati Jeno, ia sudah mengumpati Mark dengan segala cacian dan kalimat kotor yang ia miliki di kosa kata pribadinya. 'Mark sialan!'
"Jaemin-a!" seru seseorang dari depan ruang kelas, menginterupsi Jaemin yang sedang dalam mode khawatir saat ini. Baik Jaemin, Jeno, mapun Mark mengalihkan atensinya pada sumber suara, membuat tangan Jaemin yang semula berada di pipi Jeno terlepas begitu saja.
"Masuk saja, Donghyuck-a!" jawab Jaemin.
Donghyuck melangkah masuk ke dalam ruang kelas tersebut, dan langkahnya terhenti saat sudah berada di sebelah Jaemin. Tak hanya itu, kini Donghyuck tengah mematung tatkala iris matanya menangkap sosok Mark.
"Heol." Satu kata itu terlontar begitu saja dari bibir manis Donghyuck. Ia berhenti menatap Mark dan beralih menatap Jaemin, "Ayo keluar!" sambungnya lagi seraya menarik tangan Jaemin kuat hingga membuat Jaemin terseret.
"Jeno-ssi! Cepatlah ke ruang kesehatan, oke?!"
Ya, begitulah seruan seorang Na Jaemin sebelum akhirnya benar-benar menghilang dari penglihatan Jeno dan Mark.
.
.
.
"Astaga, Na Jaemin. Kau duduk sebangku dengan Lee Jeno?!" seru Donghyuck seraya berjalan beriringan dengan Jaemin menyusuri koridor menuju kantin.
"Memang kenapa? Tidak ada yang spesial dengan hal itu" jawab Jaemin sekenanya. Ya, ia sedang berpikir bahwa sahabat barunya ini sedikit aneh.
"Dasar anak baru. Tentu saja sangat spesial! Kau tahu siapa itu Lee Jeno? Dia adalah ace bagi NCT!"
Jaemin terbahak mendengar perkataan Donghyuck, "NCT? Apa itu sebuah geng? Kekanakan!"
Donghyuck memutar bola matanya malas, sepertinya si anak baru ini tidak pernah mencari informasi apapun mengenai SOPA.
"NCT adalah sebutan bagi mereka yang terbaik diantara yang terbaik di sekolah ini. Tak hanya talenta, visual mereka sangat rupawan. Ada Taeil sunbae-nim, Doyoung sunbae-nim, juga Jaehyun sunbae-nim. Mereka memiliki vokal terbaik dari yang terbaik. Taeil dan Doyoung adalah sepasang kekasih."
Jaemin hanya mengangguk, mendengarkan celotehan temannya sembari memainkan smartphone miliknya. Dan kini mereka telah sampai di kantin, Jaemin mencari tempat duduk dan Donghyuck yang membeli makanannya. Setelahnya, Donghyuck kembali pada Jaemin dengan 2 nampan makanan untuk mereka berdua.
"Baiklah, aku lanjutkan ya. Lalu ada Hansol sunbae-nim, Taeyong sunbae-nim, dan Ten sunbae-nim. Kemampuan dance mereka tak perlu diragukan lagi. Taeyong itu kekasih Jaehyun, Hansol kekasih Johnny dan Ten kekasih Yuta."
Jaemin tersedak. Untung saja ia tidak menyemburkan makanannya pada Donghyuck yang kini berada dihadapannya. 'Jadi, hyung-ku memacari laki-laki?!'
"Ish, kau ini. Makanlah perlahan" nasihat Donghyuck. "Lanjut. Lalu ada Johnny sunbae-nim dan Yuta sunbae-nim. Mereka itu memiliki hati yang baik juga humoris" sambungnya.
Jaemin hanya terdiam. Dalam hati ia berkata, 'Dia tak tahu saja Yuta hyung penuh dengan aib.'
"Lalu Winwin sunbae-nim dan Kun sunbae-nim. Mereka sepasang kekasih yang sangat manis. Winwin pintar dance, dan Kun pandai bernyanyi. Mereka saling mengisi."
"Jadi, mereka itu berapa orang?!" Ya, selamat Lee Donghyuck. Kau berhasil membuat seorang Na Jaemin kesal sekarang.
"Sabar. Aku lanjut. Dan perhatikan, karena dia pujaan hatiku. Namanya Mark, kau pasti kenal. Dia rapper yang handal. Selain itu, ia juga pandai dance dan mengaransemen lagu. Juga Chenle, kau kenal kan? Dia memiliki vokal khas. Juga dia pintar. Ia satu tahun dibawah kita, namun dia mengambil akselarasi."
Jaemin cukup terkejut mengetahui kenyataan bahwa Donghyuck itu gay. 'Pantas dia langsung menarikku tadi' batinnya.
"Dan terakhir Jeno. Si prince charming. Dia baik, pintar, tampan. Dia itu segalanya. Maka dari itu, kau beruntung bisa dekat dengan dua orang dari NCT itu. Huh, buat aku iri."
"Uh, kasian uri Hyuckie. Temanku temanmu juga. Bukankah kita sahabat?" ujar Jaemin lalu tersenyum manis pada Donghyuck.
"Aaaa, kau ini. Bolehkah aku panggil kau Nana? Lagipula, kau juga punya panggilan untukku tadi."
Jaemin mengangguk. Tentu saja boleh. Nana adalah panggilan khusus orang-orang terdekat Jaemin. Dan Donghyuck adalah sahabatnya. Sahabat? Bahkan mereka baru saja kenal. Sedikit info lagi mengenai Na Jaemin. Ia adalah orang yang mudah akrab. Jika menurutnya orang itu membuatnya nyaman, ia akan menganggap orang itu sahabat. Dan berkenalan kala Donghyuck mengantar Jaemin ke ruang guru, dirasa sudah cukup bagi Jaemin untuk memberikan titel sahabat untuk Donghyuck. Namun, mendengar kata Nana, membuat Jaemin teringat akan-
"Halo, Jaemin-ssi!"
Jaemin menatap ke samping Donghyuck, dimana kini sudah ada Mark dengan Jeno yang mengekor dibelakangnya.
"Bolehkah kami makan bersama kalian? Meja lain sudah-"
"Tentu! Silahkan, Mark-ssi" potong Jaemin cepat. Mark yang mendengarnya mengucapkan terima kasih dan langsung duduk di sebelah Donghyuck, sementara Jeno disamping Jaemin.
Jaemin tersenyum melihatnya. Donghyuck kini tengah tersipu. Ya, bersyukurlah Donghyuck memiliki sahabat seperti Jaemin.
Suasana makan mereka hening. Tak ada pembicaraan apapun. Dan ini membuat seorang Lee Donghyuck tak betah. Sungguh.
"Ah, iya. Nana, kenapa kau pindah dari Hanlim? Bukankah sama baiknya dengan sekolah ini?" tanya Donghyuck. Pertanyaan Donghyuck itu berhasil membuat Mark juga mengalihkan pandangannya untuk menatap Jaemin.
"Mm... mendekatlah jika ingin tahu" ujar Jaemin. Tanpa pikir panjang, kedua manusia yang sedang penasaran itu memajukan badan. Lalu Jeno? Ia ada di samping Jaemin, masih setia menyantap makanannya. Lagipula, Jaemin bicara apapun tetap terdengar di telinga Jeno.
"Jadi, alasan aku pindah kesini adalah mencari seseorang. Bermarga Lee. Seseorang yang selama ini mengirimiku makanan dan sebuah surat."
Pfftt
Makanan yang tengah dimakan Jeno, tersembur ke arah Mark. Untung saja Mark itu gesit, jadi ia tidak kena.
"Jeno-ssi, kau baik-baik saja?" tanya Jaemin. 'Ah mungkin efek penyakitnya.'
Jeno mengangguk. Dalam hati, ia merasa sangat senang. Jaemin mencarinya. Sang pujaan hati mencari keberadaan dirinya. Jaemin mempedulikan kehadirannya.
Namun, mau sampai kapan Na Jaemin mencari seorang Lee?
"Nana-ya!" dan ya, suara seorang pemuda menginterupsi.
"Yuta hyung!" seru Jaemin lagi dan berhasil membuat Donghyuck bingung.
Yuta menghapiri sang adik dan mengacak rambutnya. Dan hal tersebut membuat ia mendapatkan cacian dari sang adik. Jaemin menolehkan kepalanya pada Donghyuck lalu tertawa. Sepertinya ia paham, Donghyuck tengah bingung saat ini.
"Yuta hyung itu kakak tiriku, Hyuck."
"Heol" hanya 1 kata yang keluar dari mulut Donghyuck. Dan mulutnya semakin membulat kala hampir semua member NCT menghapiri meja makannya.
Mungkin Donghyuck harus mensyukuri nikmat ini. Sementara Jaemin? Ia tak dapat berhenti terkekeh melihat tingkah sahabat barunya.
.
.
.
Kini sudah waktunya pulang sekolah. Jaemin terus saja memainkan smartphone miliknya. Sudah sekitar 10 menit ia menunggu supirnya, tak ada tanda-tanda kehadiran. Ia tak bisa pulang bersama Yuta. Kakaknya itu sedang ada latihan sepakbola. 'Pak Kim kemana? Ia tak pernah seperti ini. Apa aku pulang naik bus saja?' pikirnya.
"Na Jaemin!"
Mendengar namanya disebut, Jaemin mengalihkan pandangannya menatap ke arah sumber suara, "Oh? Halo, Jeno-ssi!"
Ya, Lee Jeno ada disana. Dengan menaiki motor milik Yuta dengan totebag yang menggantung. "Yuta hyung menyuruhku untuk mengantarmu pulang. Pak Kim sedang mengantar ibumu ke luar kota, jadi dia tak akan datang."
"Tidak apa-apa. Aku bisa na-"
"Aku sekalian ingin mengganti senar gitar milik Yuta hyung. Naiklah, dan jadilah navigator-ku menuju rumahmu" gurau Jeno.
Jaemin tersenyum, melamgkahkan kakinya mendekati Jeno dan mengambil helm dari tangan Jeno. Pemuda bermarga Na itu menaruh tangannya pada bahu Jeno, menaiki motor tersebut.
"Berpeganganlah. Karena kita akan pergi dengan kecepatan penuh."
Jaemin mengangguk. Dan tanpa pikir panjang, ia melingkarkan kedua tangannya pada pinggang Jeno. Jantung Jeno berdebar tak karuan. Namun, rasa bahagia menyelinap di dalam hatinya. Ya, ia kembali jatuh hati pada Jaemin untuk kesekian kalinya.
Mesin motor mulai menyala, motor yang berukuran cukup besar itu mulai melaju membelah padatnya jalanan kota Seoul hari itu. Dirasa Jeno mengemudi semakin cepat, Jaemin-pun semakin mengeratkan pelukannya pada pemuda bermarga Lee itu. Jangan tanyakan bagaimana persaan Jeno. Sebuah senyuman yang sedari tadi terukir di bibirnya tak pernah luntur.
Tak membutuhkan waktu yang lama, kini mereka telah sampai di kediaman keluarga Na. Jeno baru mengetahui, ternyata jarak antara rumahnya dengan rumah Jaemin hanya berjarak 2 blok saja.
"Duduklah terlebih dahulu. Aku akan mengambil gitarnya di kamar hyung."
Jeno duduk di atas sofa, sesekali matanya memperhatikan sekeliling. Terdapat foto keluarga disana dan Jaemin terlihat sangat manis. Tak lama kemudian, Jaemin kembali menghampirinya seraya membawa gitar. Jeno mengambilnya, dan mulai memperbaiki alat musik tersebut.
"Kau bisa bermain gitar, Jeno-ssi?" tanya Jaemin seraya menatap tangan Jeno yang dengan lihainya memperbaiki senar gitar.
"Jangan terlalu formal padaku. Panggil aku seperti kau memanggil temanmu, Jaemin-a."
"B-baiklah, Jeno. Ah, kau belum menjawab pertanyaanku tadi, Jeno-ya."
"Ya, aku bisa memainkannya" jawab Jeno lalu tersenyum manis pada Jaemin.
"Aku ingin belajar bermain gitar. Tapi, hyung tak mau mengajariku. Menyebalkan" gerutu Jaemin sambil memajukan bibirnya, membuat Jeno gemas dibuatnya.
"Aku bisa mengajarimu."
Mata Jaemin berbinar, "Benarkah?! Terima kasih, Jeno-ya!"
Jeno mengangguk, "Ini, gitar milik Yuta hyung sudah diperbaiki. Kalau begitu, aku akan kembali ke sekolah. Sampai bertemu besok, Jaemin-a!"
"Sampai jumpa!"
Dan ya, kebersamaan mereka hari itu selesai. Selamat, Lee Jeno. Kini kau sudah selangkah lebih maju untuk mendekati seorang Na Jaemin.
.
.
.
Hari sudah malam. Kediaman rumah Na memang sangat sepi. Ayah Jaemin belum pulang, ibunya menginap di luar kota, sementara kedua putra keluarga Na itu asik dengan dunia mereka sendiri. Seperti saat ini, Yuta yang sedang asik chat dengan anggota NCT lainnya.
Nakayuta: Bagaimana pulang bersama adikku tadi, Jeno?
Murkuri: APA?! SECEPAT ITU?!
Musicstar: Aku tak menyangka Jeno hyung akan bergerak cepat
Jenolee: Hari ini adalah yang terbaik kkk
Jisol: Tapi, sampai kapan kau akan begini, Jeno-ya? Bersikaplah seperti laki-laki jantan
Jenolee: Entahlah. Bahkan saat ini kurasa dia juga tak mungkin berpikir bahwa Lee itu laki-laki
Nakayuta: Kau mau kubuat dia memikirkannya?
Murkuri: YES
Musicstar: YES
Jisol: YES
Jyani: YES
Kunz: YES
Winwinz: YES
Taeyil: YES
Jaehyeon: YES
Doongdoong: YES
Chitta: YES
TYTrack: YES
Jenolee: Astaga
Mendapat banyak dukungan, Yuta-pun menutup smartphone miliknya. Kedua kakinya beranjak keluar kamar menuju kamar sang adik, Jaemin.
"Nana-ya?" ujar Yuta seraya memutar knop pintu kamar tersebut.
Jaemin yang semula tengah menonton kini mengalihkan pandangannya ke arah sumber suara, "Ada apa, hyung?"
"Tidak ada. Hanya ingin mengobrol ringan dengan adikku yang manis."
Yuta melangkah masuk, lalu sedikit terduduk diatas meja belajar sang adik. Sementara Jaemin yang semula tengah merebahkan diri di ranjang, kini terduduk menatap Yuta sambil tersenyum.
"Ah iya, besok bisakah kau berangkat naik bus saja? Karena besok aku harus datang lebih pagi ke sekolah."
Jaemin menanggapi ucapan sang kakak dengan sebuah senyuman, "Baiklah."
Yuta sempat terdiam. Ia berencana memulai topik mengenai 'penggemar rahasia' adiknya itu.
"Nana-ya, sebenarnya apa yang akan kau lakukan jika sudah menemukan 'Lee'?"
"Berterima kasih tentu saja! Selain itu, kalau dia manis dan menarik perhatianku, sepertinya menjadikan dia kekasih mungkin?"
Yuta beralih duduk di sebelah Jaemin, "Kau yakin dia perempuan?"
Jaemin mengangguk mantap. Tentu saja, memang ada opsi lain yang rasional selain itu?
"Tapi, bagaimana jika ia adalah laki-laki?"
Jaemin terdiam sejenak, "Entahlah, hyung. Aku tak memikirkannya. Lagipula, itu mustahil."
"Tidak ada yang mustahil di dunia ini, Nana-ya. Setidaknya, pikirkan kemungkinan itu walaupun kemungkinan itu sangat kecil. Kau tahu kan, tidak ada yang mustahil bagi Tuhan dalam mengatur hidup kita?" ujar Yuta lalu tersenyum.
Ia menepuk bahu Jaemin, lalu beranjak keluar ruangan tersebut. Sementara Jaemin kini terdiam. Perkataan sang kakak benar juga. Ya, hati kecilnya merasakan hal itu. Namun, otaknya tak menerima hal tersebut. Dan ini membuatnya pusing.
.
.
.
Pagi hari telah tiba. Kini, Jaemin bangun lebih awal. Ya, jam weker yang berada di nakas kamarnya itu berhasil membangunkan pemiliknya.
Kegiatan pagi harinya tidaklah spesial. Hanya membereskan kamar, membersihkan diri, lalu sarapan dan berangkat sekolah. Selalu begitu, terjadi berulang-ulang. Hanya saja, acara sarapannya pagi ini ia tak ditemani siapapun.
Ia melirik arloji yang melekat di pergelangan tangan kirinya. Ia sudah harus berangkat menuju halte bus sekarang.
Halte busnya tidak terlalu jauh. Hanya berkisar kurang lebih 200 meter dari rumahnya. Cukup dekat bukan?
Saat sampai, ia melihat sosok yang sangat tak asing di matanya.
"Selamat pagi, Jeno-ya!"
Jeno menolehkan kepalanya, "Ah, kau rupanya. Selamat pagi, Jaemin-a. Kemana Yuta hyung?"
"Ah, hyung berangkat awal tadi. Kau selalu naik bus, kah?"
Jeno mengangguk, "Ya. Karena aku masih belum mendapat lisensi mengemudi."
Jawaban Jeno membuat Jaemin mengerutkan dahinya, "Tapi, kemarin kau membawa motor Yuta hyung..."
"Tidak memiliki lisensi bukan berarti tak bisa, benar? Rahasiakan ini, oke?" ujarnya lalu tersenyum, menampakkan eye smile miliknya.
Jaemin menganggukan kepalanya sebagai jawaban. Tak lama, bus mereka datang. Segera Jaemin dan Jeno memilih tempat duduk, dengan Jeno yang berada di dekat pintu. Namun, hanya beberapa menit saja, sebelum akhirnya Jeno memberikan tempat yang di dudukinya pada seorang nenek tua.
Awalnya Jaemin ingin memberikan, namun Jeno menahannya. Dan akhirnya seperti ini. Jeno yang berdiri menghadap Jaemin, dan Jaemin yang duduk menghadap Jeno. Jujur saja, hal itu membuat hati Jaemin tergerak sedikit.
Mereka membunuh waktu menuju sekolah dengan canda tawa. Dan dominan itu karena tingkah konyol Jeno. Senyuman tak pernah luput dari kedua pemuda itu.
Ya, awal hari yang manis bagi Jaemin. Dan awal hari yang sangat membahagiakan bagi Jeno.
.
.
.
Di chapter selanjutnya...
"Maafkan aku! Aku tak melihat jalan."
"Ini sepupuku."
"Ya, aku dan Jeno adalah sepupu."
"Kau sangat manis."
"Kau baik sekali."
"Aku akan mengambil apa yang telah kau renggut dariku, Lee Jeno."
.
.
.
Hai! Long time no see, ya. Maaf aku hilang. Karena jujur, aku kemarin down karena comments di ff ini banyaknya jatuhin aku. Tolong hargai aku. Dan sekali lagi aku tegaskan, ini fiksi. Segala kemungkinan yang ada disini ya sesuai imajinasi aku.
Aku terima kasih sama yang review. Tapi, aku mohon gunakan bahasa yang sopan dan jangan menjatuhkan.
Kenapa aku ralat ff aku? Biar kalian, readers, especially yang jatuhin aku, merasa puas karena aku perbaiki. Aku usahain sebulan habis kok ini
Aku butuh kritik dan saran. Kritik, bukan menjatuhkan, oke? Terima kasih mau baca ff aku! ^^
