Would you die for me?" he asked.

"No. But i would live for you. Death makes you feel the pain once; while I'm feeling thousands pains to stay alive just for loving you."

.

Noir

by eggyolk-san

.

Namjoon menyulut sebatang rokok yang telah lebih dulu diapit bibirnya dengan sebuah pemantik. Pandangannya menyapu seisi ruangan penuh pria, seluruhnya berjas hitam—sedang dirinya duduk di singgasana kehormatan di hadapan mereka semua.

Duduknya menggambarkan keangkuhan, terbukti dari sebelah tungkainya yang menopang sebelah lagi. Tatapannya tajam, tapi tetap memancar kesombongan dari sinarnya.

Ia mengambil rokoknya dari bibir dengan tangan, mengetuk-ngetuk batangnya. Menghasilkan serpihan abu yang melayang pelan ke lantai marbel kelabu berukuran 50x50 yang dialasi karpet beludru berwarna nude.

Setelah itu disesapnya sekali lagi; merasakan kabut dari benda itu merasuki setiap sel di paru-parunya, kemudian meniupkannya sisa asapnya ke langit-langit lewat mulut.

"Tuan. Ponsel Anda." ujar seorang pria yang berdiri di sebelah Namjoon menyodorkan benda hitam persegi panjang yang layarnya menyala kepada Namjoon.

Incoming Call

Costumer 1822

Namjoon meraih ponsel bernilai puluhan jutanya, menggeser tombol hijau lalu mendekatkan ponselnya ke telinga sebelah kiri. Jemari kanannya mematikan rokok di lengan kursi lalu melemparnya asal.

"Monster is talking." ucapnya dengan nada angkuh.

"Yea, we have planned it and ya already set the place.You don't need to worry."

"Okay. Your check has been received. Just wait and see."

Telepon ditutup. Namjoon—Sang Monster—membuka pesan berisi empat buah foto yang baru diterimanya.

Empat foto itu berisi seorang pria manis dari berbagai sisi yang difoto secara diam-diam. Bibirnya penuh, secerah sakura. Posturnya tegap dan bahunya lebar. Wajahnya kalem, menenangkan dan menggemaskan di waktu bersamaan.

Namjoon menggeleng pelan, prihatin.

"Sayang sekali, nyawamu sampai hari ini saja."

Tapi lima detik kemudian, Namjoon tersenyum.

.

Empat buah foto yang barusan dilihat Namjoon kini terpampang di dinding lewat proyeksi. Kendali proyektor dipegang Namjoon, yang begitu antusias mengenai targetnya kali ini. Dengan semangat dan—tetap saja—keangkuhannya ia memperkenalkan sang target kepada pria-pria berjas hitam yang merupakan bawahannya.

"Namanya Kim Seokjin. Target kita malam ini. Tempatnya sudah ditentukan, seperti yang aku informasikan kemarin, Opera. Kita ada di Austria karena dia, boys. Berterimakasihlah padanya. Karenanya kita bisa berlibur." ucap Namjoon disusul tawa para anak buahnya.

"Ada pertunjukan malam ini, dan dia diundang karena dia teman dekat walikota Austria. Dia konglomerat, yah, sejauh ini kita belum pernah membunuh rakyat jelata, kan?" Namjoon terkekeh.

Para bawahannya ikut tertawa, lagi. Yap. Untuk organisasi sekelas Noir, membunuh rakyat jelata akan sangat memalukan. Tidak setara.

Noir, yang telah dibangun Namjoon selama hampir satu dekade dengan kerja keras dari tangan dinginnya telah membuahkan ratusan anak buah dan ribuan misi dengan tercatat hanya dua kali gagal. Itu pun karena target lebih dulu mati di tangan orang lain.

"Ayahnya pionir sebuah merek mobil mewah yang memiliki hubungan di sana sini. Dia menjadi salah satu tamu kehormatan di pertunjukan malam ini."

Namjoon merubah posisi kakinya.

"Klien kita yang terhormat tidak memberikan alasan kenapa kita harus membunuh Kim Seokjin. Poor boy." Namjoon menggeser slide.

Setelah beberapa penjelasan dan rencana eksekusi, Namjoon menutup proyektor.

"Aku putuskan hanya agen-agen terbaik kita yang akan melakukan tugas ini. Hope, Suga, V, dan JM. Ke ruanganku, boys." Namjoon mengantongi ponselnya.

Setelah lima belas menit pengarahan kepada agen-agen kesayangannya, Namjoon menutup pembicaraan.

"Yap. Bergerak." Namjoon bangkit, lalu pergi untuk mengendarai sebuah mobil sport hitam ke Opera.

.

Opera of Vienna, di kapital Austria. Sudut bibir Namjoon tertarik. Ia akan melihat satu nyawa lagi melayang, malam ini.

.

Alunan musik klasik mengiringi acara pembukaan pertunjukkan.

Namjoon—yang dengan mudah menyusup dengan undangan palsu yang diberikan sang pelanggan kini duduk di salah satu kursi di barisan paling belakang.

Namjoon cinta pekerjaannya; menyusup ke pesta, rumah orang, bahkan gedung pemerintahan. Namjoon suka melihat targetnya sekarat dengan tangannya sendiri. Tapi kali ini Namjoon memutuskan untuk membiarkan agen-agennya bekerja, sedang dia memperhatikan cara mereka memperlakukan targetnya.

Agen-agennya sudah menyebar di segala titik— Namjoon lihat Suga di ruang pencahayaan di lantai atas dan Hope memainkan sebuah saxophone di barisan pemain musik.

Ah. Namjoon ingat saat-saat ia merekrut agen-agen terbaiknya itu. Ia mendidik mereka dengan baik, rupanya. Anak pintar.

Namjoon membenarkan kerah tuksedonya ketika ia melihat Kim Seokjin datang dengan setelan bernada navy blue.

Wajahnya lebih manis jika dilihat secara langsung, ternyata.

Sepertinya lebih manis kalau dia tidak bernyawa, pikir Namjoon.

Namjoon memperhatikan pria itu naik ke atas, duduk di bagian tamu-tamu penting sambil membaca brosur.

Namjoon mengangkat lengannya ke hadapan wajah, melihat arloji sewarna perak yang harganya menyentuh ribuan dolar.

7 menit. Namjoon dan agennya memiliki 7 menit untuk melaksanakan eksekusi. V seharusnya melesatkan peluru dalam 2 menit ini. Jika gagal, agennya akan mengurus rencana B. Apapun caranya. Mereka sedia racun, pistol dan pisau, tak perlu risau.

Rencana B harus selesai dalam 3 menit. Sisa waktu digunakan sebaik-baiknya untuk melarikan diri dari tempat kejadian, berpencar sebelum polisi menutup akses keluar. Sejauh ini mereka belum pernah meninggalkan tempat eksekusi bersama.

Pertunjukkan sudah dimulai. Bercerita tentang kisah sepasang kekasih pada masa lampau, sepertinya kisah dari Cina. Atau apapun. Namjoon tidak terlalu peduli.

Nyanyian menggelora, alunan musik semakin membara.

Nadanya semakin tinggi.

Para penonton semakin terbawa suasana.

Tepat sepuluh detik setelah ini.

Saat lagu berhenti dimainkan.

Namjoon meremas brosur pertunjukan sambil menghitung detik demi detik dalam otak cerdasnya.

Satu.

Namjoon telah menerima jutaan dolar atas misi ini.

Dua.

Ia tak ingin gagal.

Tiga.

Jika gagal, reputasi Noir hancur.

Empat.

Di tempat lain, V sedang bersiap membidik. Segaris cahaya lampu memperlihatkan irisnya yang dilapisi kontak lensa biru.

Lima.

Senapannya telah ia isi dengan beberapa butir peluru.

Enam.

Ia bersimpuh di sebuah sudut, mengarahkan senapannya baik-baik.

Tujuh.

V menarik nafas panjang. Ini misi yang penting.

Delapan.

Membuang nafasnya pelan lewat belahan bibir tipisnya yang ia katup rapat setelah itu.

Sembilan.

Jika ia gagal,

Sepuluh.

V tak yakin Namjoon akan membiarkannya hidup sebagai anggota Noir lebih lama.

DOR

Peluru meluncur dari mulut senapan V, suara tembakannya pelan karena ia telah memasang sebuah peredam disana sebelumnya.

Menyebrangi seisi ruangan dengan mulus.

Namjoon duduk di bawahnya, melihat sebutir timah panas terbang dari sisi kanan ke sisi kiri, tempat Seokjin duduk.

BRAK

Kena. Orang di sebelahnya.

Seseorang di sebelah Kim Seokjin jatuh bersama kursi yang didudukinya.

"Sialan," umpat Namjoon. V meleset. Dimana dia?

Orang-orang di sana memandang sumber bunyi dengan terkejut.

Beberapa nyonya bergaun heboh yang Namjoon yakini orang penting memekik panik.

Kim Seokjin sendiri hanya menatap tubuh orang yang jatuh di sebelahnya—Ayahnya—dengan pandangan nanar.

Namjoon segera berdiri, pandangannya menangkap Hope yang juga menatapnya dari barisan pemain alat musik tiup.

Ia berlari menuju tangga lewat belakang, menuju tempat Seokjin karena agennya tidak melakukan pergerakan apapun setelah tembakan gagal V.

Misi ini harus berhasil. Apapun caranya.

Polisi sudah masuk, memeriksa setiap tamu. Pertunjukkan terhenti.

Namjoon memaksa tungkainya berjalan lebih cepat. Sepatu pantofel ratusan jutanya beradu dengan lantai.

Tubuh korban peluru nyasar V sedang dipapah menuju tangga dengan kerumunan orang-orang di sekitarnya, diikuti Seokjin yang menangis panik.

Namjoon meraih lengan Seokjin, sedang tangan satunya merogoh saku tuksedonya. Mengambil sebuah pena.

"Ap-"

Ditusukkannya pena yang berisi bius ke lengan Seokjin.

Seokjin melotot, tapi tak lama kemudian ia kehilangan keseimbangan. Tubuhnya terkulai, namun segera Namjoon tahan dengan lengannya yang dua kali lebih kekar dari lengan Seokjin.

Pet

Seisi gedung padam, diiringi jeritan wanita yang takut kegelapan. Namjoon yakin ini perbuatan Suga. Atau JM? Yang penting mereka sudah memasang beberapa lampu petunjuk jalan menuju tangga.

Namjoon angkat tubuhnya dengan susah payah menuruni tangga putar lewat backstage yang gelap (sambil bersyukur karena tindakannya tak disadari siapapun, walau gedung memang gelap) karena pintu depan sudah ditutup aksesnya oleh polisi.

Selagi dirinya berlari menuju pintu belakang, sekilas dilihatnya V diborgol polisi di bawah naungan senter yang dipegang seorang aparat lagi.

Ia mengumpat. Ketahuan. Sialan. Dipercepatnya langkah ke pintu keluat menuju area parkir sambil menggendong Seokjin di punggungnya.

Sebaiknya dibunuh dimana targetnya ini?

Namjoon menggigit bibir.

Kenapa tak sekalian ia bunuh saat ia menancapkan bius ke tubuhnya? Kenapa pena tadi tidak ditusuk saja ke lehernya? Duh, Kim Namjoon.

Di luar terang.

Untung saja Namjoon memarkirkan mobilnya di tempat terjauh dari pelataran opera, sehingga kemungkinan ia dilihat orang lain kecil. Lagipula semua orang sedang ricuh di dalam.

Saat Namjoon membuka pintu mobil, ia melihat seorang berseragam polisi sedang berada sekitar dua puluh meter dari tempatnya berdiri.

Tanpa basa-basi Namjoon melempar tubuh Seokjin ke jok belakang, lalu tancap gas dari opera.

Beruntung polisi tadi tidak mengejarnya. Atau memang polisi tadi tidak melihatnya. Masa bodoh.

Namjoon menggeser letak cermin diatasnya, melihat ke belakang lewat cermin itu dengan matanya yang tajam.

Seokjin masih terbaring di jok belakang, efek obat bius mungkin masih bertahan sekitar dua atau tiga jam lagi.

Namjoon memperhatikan wajahnya baik-baik di sela kegiatannya mengemudi.

Cantik. Namjoon merasa seperti seorang pemburu yang akan membunuh seekor merak.

Terlalu cantik untuk ukuran pria.

.

Setelah sampai di gedung yang telah disewanya (Noir menyewa gedung karena sebuah apartemen, flat atau rumah jelas tak akan cukup untuk mereka semua), Namjoon menidurkan Seokjin di sofa lalu mengecek ponselnya.

From: Hope

V tertangkap. Aku sedang berusaha membebaskan diri.

Satu lagi.

From: JM

V ditangkap.Namjoon mendesah kecewa. V tertangkap. Dan ia harus berurusan dengan polisi jika mau membebaskannya.

Tring

Sebuah pesan masuk lagi di ponsel tipis Kim Namjoon.

From: Costumer 1822

Pesuruhku bilang kalian gagal. Apakah Kim Seokjin bersamamu? Biarkan dia hidup. Aku akan menemuinya 3 hari lagi. Akan kubunuh dia dengan tanganku sendiri. Dan kembalikan uangnya.

Namjoon membanting ponselnya ke lantai. Menimbulkan suara bising diikuti serpihan kaca yang berantakan. YANG BENAR SAJA. Jutaan dolarnya harus dikembalikan. Idiot. Namjoon akan membunuh V selepas ia membebaskannya dari kantor polisi, ingatkan dia.

Ia melirik tawanannya, yang masih tidak sadarkan diri di sofa putih bersih miliknya.

Namjoon mencari kotak rokoknya. Ia butuh pelepasan.

.

Sementara itu, V yang kini sedang menemui kesulitan di kantor polisi duduk di hadapan seorang petugas berbadan gemuk.

"Your name, please."

V mengerjap.

"Your name." ulang si petugas yang duduk di hadapan monitor.

V menggeleng.

"You can't speak English?"

V menggeleng lagi.

"Liar. Tell me your name."

V diam.

Akhirnya sang polisi menunjuk peta dunia dan melingkari Korea Selatan, kemudian menunjuk V dan mengetuk-ngetuk jarinya di lingkaran merah yang ia buat.

V menangkap maksudnya, lalu ia mengangguk dengan ragu.Sang polisi gemuk menghela nafas dan mengangkat pesawat telepon sambil membuka daftar nomor telepon untuk menghubungi seseorang.

"Hello? This is Vienna Police Station. Mr. Jeon, we need your help."

.

Seokjin mengerjapkan matanya. Ia mencoba mengenali lingkungan sekitarnya. Tidak, ini bukan kamarnya.

Semuanya didominasi warna hitam dan putih. Seokjin mencoba bangkit. Ia menahan tubuhnya dengan lengan. Kepalanya pening.

"Oh, sudah bangun?" sapa seseorang.

Seokjin melirik ke sumber suara, mencoba fokus tapi pandangannya masih kabur.

Orang itu mendekatinya, dan Seokjin takut. Apa-apaan ini? Dia dimana?

"Dimana aku?" Seokjin bertanya, serak.

"Yang pasti bukan rumahmu."

Pandangan Seokjin perlahan kembali normal. Dan matanya mendapati seorang pria di hadapannya. Tampan.

"Kau kuselamatkan dari kejadian di opera semalam." orang itu mematikan rokoknya lalu menyisir rambut pirangnya dengan jari.

"Ah, kita sama-sama orang Korea kan? Mari berbicara dengan bahasa Korea saja."

Diselamatkan? Seokjin linglung. Memang ada apa?

"Dari apa?" Seokjin mengerjap.

"Pembunuhan."

"Pembunuhan?"

"Singkatnya kau kuselamatkan. Sudahlah."

Seokjin merengut. Ia butuh kejelasan.

Tok tok

Dua kali ketukan terdengar dari luar.

"Kami pulang." ujar seseorang. Namjoon yakin itu suara Suga.

"Masuk." Namjoon menyahut.

Tiga orang masuk ke ruangan yang merupakan ruangan depan dari gedung itu.

Tiga-tiganya bertampang masam. Seokjin ingin bertanya tapi didului seseorang yang bibirnya penuh.

"V ditangkap. Aku tidak tahu kenapa ia bisa ketahuan."

"Ya. Biarkan. Urus saja tawanan kita, aku harus mandi." Namjoon melenggang ke tangga besar di sebelah sofa.

Tersisa Suga, Hope, dan JM disana bersama tawanan mereka.

Tawanan.

Seokjin tersinggung atas perkataan pria tadi yang mengatainya 'tawanan' mereka, tapi ia terlalu takut untuk membantah. Tampaknya mereka bukan orang-orang baik.

"Aku Jimin." yang tadi berbibir penuh mengajaknya berkenalan.

Seorang di sampingnya menyenggol Jimin dengan siku.

"Jangan sebut nama aslimu, sialan." ucapnya ketus.

Jimin meringis. "Ups. Lupa."

"Ya sudahlah. Terlanjur. Aku Hoseok. Mau makan?"

.

Seokjin sekarang duduk di hadapan meja, menyantap kentang panggang dengan potongan ayam dan rajangan wortel rebus. Seokjin tidak paham hidangan dari mana ini dan dia sangsi untuk makan karena bisa saja makanan itu ditaburi racun— tapi ia lapar.

Ketiga pria suruhan pria yang pertama ditemuinya berbincang-bincang di sudut ruangan.

"Bagaimana dengan Taehyung?"

"Namjoon hyung akan membebaskannya."

"Aku tidak jamin, sih."

"Kenapa kita harus merawat target?"

"Tanya Namjoon."

"Kenapa kau beritahu nama aslimu?"

"Kupikir dia akan mati beberapa hari lagi. Jadi ya... sama saja."

Dan percakapan nonsens berikutnya sampai sang pemimpin kembali dengan rambut basah yang disisir ke belakang.

"Kim Seokjin." panggilnya kepada sang tawanan sambil bersandar di pintu.

Sang tawanan menoleh ke arahnya, yang ketika itu sedang memenuhi mulutnya dengan kentang panggang.

"Hm?" jawabnya, hanya bergumam sambil mencoba menelan makanannya.

"Ikut aku."

Seokjin menelan kentangnya. "Aku belum selesai makan."

Sedangkan Jimin, di pojok sana, memberikan gestur agar Seokjin menurut pada Namjoon.

Seokjin meletakkan alat makannya dengan ragu, garpunya berdenting saat beradu dengan piring.

Ia menggeser tubuhnya, mengekor pria tinggi tukang perintah itu ke atas.

Namjoon membawa Seokjin ke atas, lalu berbelok ke sayap kanan. Menyusuri lorong penuh pintu-pintu dari mahoni, hingga sampai di pintu paling ujung. Namjoon membuka pintunya.

"Masuk." ujarnya singkat.

Seokjin masuk, mendapati ruangan itu berupa kamar yang penuh benda-benda monokrom, di satu sisi terdapat ranjang king size beralaskan bed sheet putih polos.

"Duduk." Namjoon perintah lagi, selagi dirinya menutup pintu.

Seokjin tunduk. Ia dudukkan dirinya di pinggir ranjang, rambutnya tertiup angin dari pendingin ruangan di atasnya.

"Buka bajumu."

"Apa?" Seokjin mengerutkan kening. Meminta pengulangan.

"Ini areaku. Selagi kau berada disini, kau berada di bawah perintahku. Kau dilarang berbicara dengan alasan apapun selain jika kuizinkan. Selain itu, jawaban yang diperbolehkan hanya 'ya' dan 'baiklah',"

Seokjin merasa pria di hadapannya ini gila. Ia menelan ludahnya getir.

"Mengerti?" Namjoon membungkukkan badan, mendekatkan wajahnya ke milik Seokjin. Mata mereka sejajar.

Seokjin mengerjap dua kali sambil menggigit bibir. Sial, aura pria ini terlalu dominan.

"Ya." balas Seokjin akhirnya, lirih. Niat untuk menanyakan namanya diurungkan. Dirinya tak berdaya di bawah kungkungan pria ini.

Namjoon menyisir rambut Seokjin dengan jemarinya ke belakang, membuat kening tawanannya terekspos.

"Buka bajumu."

.

.

.

HEYYO ALL. MAMPUS KALIAN. BERIMAJINASILAH KARENA AKU SENDIRI GA JAMIN KAPAN INI APDET NGEHE.

Review kalian sangat membantuku berkarya/? so mind to review?

p.s. ini bukan akun asli, nanti gue repost di akun gue yang bener karena gue ga akan mengotori akun gue dengan cerita cem gini NGEHAHAHA. ups. sori, password akun bener gue ilang. doain aja ketemu, gue gabisa masuk email soalnya.