Ohayou! Konichiwa! Konbawa!
.
Selamat HTNH/NHTD!
Lewati saja A/N yang jelas-jelas melanggar guidelines karena kelewat panjang ini, jika Anda tidak berminat membacanya.
Well, sejujurnya saya nggak berharap ending NaruHina menjurus pada tragedi; sebaliknya saya mengharapkan happy end. Tapi, dengan adanya event ini, saya harap NHL lainnya nggak bersikap anarkis atau antipati, andaikata NaruHina tidak happy end di manga aslinya (ada banyak jalan menuju Roma, banyak pula jalan bahkan alasan yang dapat membuat NaruHina tidak dapat bersatu seperti Romeo and Juliet #PLAKS). Juga tidak menyalahkan atau memojokkan pecinta pairing yang lain yang netral atau pun tidak menyukai NaruHina. Semua memiliki kesukaan dan ketidaksukaan masing-masing, bukan?
Pada akhirnya, kita sesama apresiator, sesama pecinta manga dan pair-nya, hanya tetap bisa menanti ending Naruto yang tak kunjung kelihatan itu. *ditaboks Mbah Kishi* Untuk pelampiasan ketidakpuasannya, maka FFN adalah tempatnya. (Oke, cukup sampai di sini ramblingan panjang dan nggak bermutu saya#dicekek)
Omong-omong, fic ini adalah sekuel dari The Most Beautiful Thing in the World. Dipekernankan RnR fic di atas terlebih dahulu, baru fic ini. Sedikit-banyak, ada hints dari fic tersebut yang dikembangkan lebih lanjut dalam fic ini.
.
Dozo, Minna-sama!
.
Disclaimer: Masashi Kishimoto
Warning: AR, cliché, a little bit plotless, TWT (Time? What Time?).
Special backsound: Terjemahan ending O.S.T Trouble Chocolate
.
Have a nice read. ^_~
.
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
.
Dicintai oleh dirimu
Bagai lukisan senja di sore hari
Setiap kali aku sedang berduka
Kau pasti selalu menghiburku
.
#~**~#
Special fic for NaruHina Tragedy Day,
.
Lukisan Senja
.
Chapter 1
"Matahari"
.
By: Light of Leviathan
#~**~#
.
Pemuda itu duduk di depan kanvas putih yang setitik demi setitik dipoleskan warna seindah senja oleh sang pelukis. Pelukis itu berusaha keras merefleksikan senja pada kanvas putih tak bernoda yang dimilikinya.
Ia memandang sesaat pada cakrawala yang bersemu jingga, matahari kembali ke peraduannya, sesekali bayang-bayang burung berterbangan, memudarkan setitik semburat oranye. Indah. Dan ia tak mampu meniru lukisan senja seindah sang Maha Kuasa. Mungkin ia memang bisa menirunya, tetapi tidak sempurna dan kalau jauh indahnya di banding kenyataan aslinya.
Sai menghela napas panjang. Ada sesuatu yang hilang, seperti sekeping puzzle yang terlepas dari kerangka aslinya.
"Oi, Sai!" Naruto Uzumaki menepuk pelan bahu Sai, namun suaranya itu sukses membuat Sai tersentak kaget. Menyadari Sai terkejut akan kehadirannya, Naruto terkekeh kecil. "Maaf, maaf! Kau serius sekali, sih! Jadi tidak tahan untuk menggoda," kata Naruto meminta maaf, "Apa yang sedang kau lukis, Sai?"
Sai mendesah pelan—tidak seperti dirinya yang biasanya, ia menjawab, "Lukisan senja. Atau kupikir begitu."
Naruto memandang kanvas yang semarak akan warna senja. Ia berdecak kagum pada hasil karya Sai yang catnya masih basah—karya setengah jadi.
"Luar biasa! Aku tidak meragukan kemampuanmu menggambar atau melukis!" Sepasang mata biru cemerlang itu berbinar-binar menatap pada lukisan yang belum selesai. "Kenapa kau murung seperti itu? Harusnya kau bangga dengan karyamu ini, Sai! Coba kau lihat perbedaannya—bandingkan saja—dengan gambarku. Hahaha, aku tidak becus menggambar," gurau Naruto, ia berusaha menghibur Sai.
Hah, bukankah justru dirinya sendiri yang butuh dihibur?
"Hanya warna-warnanya saja yang persis, Naruto," ujar Sai pelan, "tapi—di lukisanku ini—entah kenapa rasanya tidak hidup. Ada makna yang hilang."
Dahi berkulit tan itu mengernyit, dimiringkannya kepalanya dan matanya terpejam. Naruto duduk di tanah beralaskan rumput di sebelah Sai, ia bersidekap. "Jujur saja, aku tidak mengerti perkataanmu."
Sai tersenyum kecil. "Seharusnya aku ingat tidak bicara dengan kata-kata terlewat susah untuk dipahami olehmu. Maaf, Naruto."
"Harusnya aku yang minta maaf, Sai. Aku jadi mengganggumu melukis, silakan lanjutkan kalau begitu. Aku ingin di sini saja—menonton matahari terbenam." Naruto menguletkan badannya, merenggangkan otot-otot yang kaku. "Tapi—kalau aku mampu—aku ingin membantu sebisa mungkin."
Naruto menguap lebar, sementara Sai sibuk sendiri dengan pemikirannya. Membiarkan lukisan miliknya setengah jadi, menguarkan aroma cat basah, perlahan mengering dihembus sepoi angin sore.
"Menurutmu, senja itu seperti apa?" tanya Sai, memecahkan keheningan yang sempat singgah.
Sejenak Naruto berpikir, lalu menjawab sembari mendesah, "Peralihan. Dari pagi dan siang, menuju malam. Tapi jika diibaratkan lewat perasaan, seperti kebimbangan."
Jawaban Naruto di luar asumsinya, lantas Sai menoleh pada Naruto—ingin mengetahui ekspresi pemuda yang mengenakan jumpsuit oranye-hitam itu. Seperti yang baru saja dikatakannya, bimbang serta kesedihan—mengeruhkan ekspresi riangnya.
Sai tidak perlu repot-repot meminta penjelasan, Naruto memulai sendiri penuturannya.
"Kurasa senja juga seperti peralihan dari suka pada Udon, menjadi cinta pada Ramen," ujar Naruto serius.
Mau tidak mau senyum kembali menghias wajah Sai—seharusnya ia tidak berharap lebih. Naruto tetaplah Naruto, pribadi yang sederhana di luar, sehingga Naruto sendiri tidak mengerti bahwa ia sebenarnya pribadi yang kompleks di dalam.
Kendati perumpamaannya begitu sederhana—dari Udon ke Ramen, Sai mendapatkan inti yang dimaksudkan Naruto.
"Awalnya memang tergila-gila pada Udon. Dan ketika pertama kali mencicipi Ramen tak ada yang khusus—rasanya biasa saja, tapi semakin ke sini rasa Ramen semakin bervariasi –menurut seseorang yang memakannya. Ada sesuatu yang istimewa pada Ramen yang membuatnya lambat-laun tertarik pada Ramen dan ingin terus memakannya," tutur Naruto bersungguh-sungguh.
Penjelasan sederhana Naruto, berarti kompleks dimengerti untuk Sai. Pemuda yang ahli melukis itu menerka-nerka apa yang sebenarnya sedang dibicarakan Naruto—karena ia tidak mempunyai bayangan sedikit pun apa yang dimaksudkan Naruto walaupun ia mengerti.
Naruto menarik napas dan kembali bersuara, "Ramen itu rasanya mengejutkan. Sampai pencicipnya dibuat bingung mengapa rasa Ramen itu tetap membekas di lidahnya walau ia memakan makanan lain setelahnya. Rasanya tidak terlupakan, walau hanya tertinggal di sudut lidah. Ramen oh Ramen~ aku jadi ingin makan Ramen," kata Naruto—sedikit out of topic di akhir kata.
"Tapi karena memakan Ramen terus-menerus, jadi merasa seperti lari dari udon. Apa karena aku tidak mampu beli udon, makanya selalu makan ramen? Ah, tapi aku memang cinta ramen," Naruto berbicara dengan dirinya sendiri.
Naruto yang terlihat lesu di matanya itu membuat Sai berimajinasi sedikit berlebihan dari biasanya, andaikan ada Lee di sini, mungkin makhluk hijau itu akan menepuk keras pundak Naruto dan meneriakkan 'semangat-masa-muda' kebanggaannya.
Sai mencoba menarik kesimpulan dari hasil analisisnya yang simpang-siur karena dipandu "Ramen dan Udon" versi Naruto. Ia bertanya hati-hati, "Apa maksudmu… ramen yang kauceritakan itu Hinata Hyuuga?"
Sesaat Naruto terbelalak, tapi ia mengangguk membenarkan. "Bagaimana kau bisa tahu?"
Sai tertawa kecil. "Oh, aku sering mendengar para Kunoichi menggosipkanmu dengan Hinata san—ketika aku ingin menemui Sakura di Rumah Sakit. Terutama sejak kejadian Hinata san dan kau menang melawan Madara, serta peristiwa di rumah sakit. Itu, lho, yang kau tidur bersama Hinata san sambil bergenggaman tangan…"
Seketika Naruto cemberut. Ia menggerutu kesal. "Nenek Tsunade pasti cerita-cerita pada mereka…"
"Jadi, apa yang ingin kauceritakan padaku? Cerita saja—aku tidak akan menyebarkannya, itu akan membuatmu lebih baik," saran Sai seraya menepuk pelan bahu Naruto.
"Kurasa akan jadi cerita yang panjang." Naruto memamerkan cengiran khasnya yang tak tampak seharian ini. "Kuharap kau tidak bosan mendengarkannya, Teman."
Sai tersenyum, ia menggeleng. "Tidak, tidak akan." Pemuda dengan kulit super pucat itu merapikan peralatan lukisnya, duduk manis siap mendengarkan Naruto. Ia tahu dan dapat merasakan ada yang tidak beres dengan Naruto hari ini.
Naruto merebahkan dirinya di atas rerumputan, menjadikan kedua lengannya sebagai bantalan kepala. Dan ia mulai bercerita.
"Kurasa cerita ini sudah bermulai sejak dulu… Tapi aku baru menyadarinya beberapa waktu yang lalu, aku yang akhirnya harus berhadapan dengannya, saat mendapatkan misi duo dengan Hinata Hyuuga untuk memberantas kawanan bandit di desa Hujan."
.
#~**~#
.
"Aaah! Tidak seru kalau cuma berdua! Sepiii…" keluh Naruto saat ia dan Hinata berlompatan dari satu pohon ke pohon lainnya untuk menuju desa Hujan.
"A-aku berharap Shino kun, Kiba kun dan Akamaru bi-bisa ikut dalam misi kita." Hinata menyetujui perkataan Naruto.
"Sayang sekali mereka tidak ikut, pasti ramai kalau ada ada mereka," ujar Naruto.
"Iya, Naruto kun."
Naruto mengerling Hinata, melihat gadis itu hanya tersenyum kecil—tidak merasakan Naruto yang memandangnya diam-diam—dan mengangguk.
Entahlah, sedikit rasa penasaran menghantui Naruto. Mengapa Hinata bisa bersikap sewajar kunoichi biasa saat bersamanya? Padahal sikap wajarnya seorang Hinata saat bersama Naruto jelas-jelas tidak seperti ini.
'Hah, kenapa juga aku mesti repot-repot memikirkannya,' sergah batin Naruto sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Gerimis," ucap Hinata pelan. Sepertinya mereka mulai mendekati perbatasan desa Hujan.
"Pakai jas hujan, Hinata," perintah Naruto yang mengeluarkan jas hujannya dan memakainya, tindakan yang Hinata ikuti.
Setelah memakai jas hujan, keduanya kembali melanjutkan perjalanan tanpa bersuara. Naruto tenggelam dalam lamunannya sendiri, Hinata terfokus untuk berhati-hati agar tidak terpeleset dari batang-batang pohon yang mereka pijak satu demi satu.
Omong-omong soal hujan, Naruto jadi teringat gurunya—salah seorang Sannin legenda—dan kakak-kakak seperguruannya yang semuanya telah wafat.
Ero-Sennin, Nagato, Konan dan Yahiko. Keempatnya bertemu di desa Hujan, menghabiskan waktu bersama di desa yang slealu hujan itu, berpisah pula di desa Hujan.
Kenangan tentang gurunya datang silih-berganti di benaknya. Seperti film yang diputar kembali.
Sinar kedua mata biru itu meredup, pandangannya diburamkan airmata, ia yakin wajahnya tertutupi jas hujan dengan baik, tapi sepertinya gerimis berhasil menembusnya sehingga wajahnya basah…
Sreeet
Splash
Naruto terpeleset karena ceroboh dari batang pohon yang dipijakinya kurang kuat dan kokoh, sempat Naruto meraih pangkal batang dan berpegangan padanya, tapi telapak tangannya seperti ditancapkan sesuatu.
"Ittei!" Naruto mengaduh pelan, lekas ia melepaskan tangan kanannya dari pangkal batang pohon itu dan melompat turun. Ia mendarat mantap di atas tanah yang becek akibat air, lalu menadahkan tangannya. Darah mengucur dari luka terbuka dekat ibu jari di telapak tangan kanannya.
Hinata menghentikan langkahnya, ia bergegas menghampiri Naruto dan berlutut di hadapannya. "Tanganmu terluka—darahnya mengalir deras sekali, Naruto-kun," pekiknya, panik.
"Tidak apa-apa. Hanya luka kecil," kilah Naruto. Tetap saja rasanya sakit sekalipun ekspresi Naruto biasa-biasa saja.
Hinata tidak merespon apa pun, ia mengeluarkan sebuah tas kecil dari tasnya, membukanya dan mengeluarkan beberapa barang. Ia meraih tangan Naruto di atas genggamannya.
"Ma-maaf ya, Naruto kun. Mungkin akan terasa sedikit agak sakit."
Naruto tak kuasa menepis tangan Hinata yang meraih tangannya, karena gadis itu sudah mengeluarkan kassa steril dari kertas yang membungkusnya, membasahinya dengan alkohol. Membersihkan luka di tangan Naruto dengan kassa beralkohol itu menempelkannya pelan-pelan dan hati-hati—tetap saja Naruto berjengit kesakitan. Setelah darahnya berhenti, Hinata menutup luka itu dengan kassa lain yang bersih dan sudah dioleskan obat antiseptic, lalu merekatkan kassa itu dengan plester.
Tidak hanya sebatas itu, Hinata mengeluarkan tisu dari tas kecilnya, membersihkan sisa-sisa darah dari tangan Naruto termasuk jas hujannya.
Naruto terhenyak dibuatnya.
"Kau tidak usah repot-repot, Hinata—"
"—nah, sekarang sudah jauh lebih baik, 'kan?" tanya Hinata lembut.
Hinata tersentak, sepertinya kaget dengan dirinya sendiri yang bisa tersenyum seringan dan berkata selepas itu pada Naruto. Ia buru-buru menyibukkan diri dengan membereskan peralatan medis kecil-kecilannya.
"Hinata," panggil Naruto. Hinata mendongak, keduanya bertemu pandang. "Terima kasih," kata Naruto tulus.
Hinata tersenyum malu, sebelum akhirnya senyumnya memudar. "Naruto kun, ke-kenapa kau me-menangis?"
Naruto terkejut—ia sendiri tidak menyadari jika ia dirinya menangis. Tangan kirinya segara menyeka kasar airmatanya, tertangkap basah menangis di depan seorang gadis itu sungguh sangat memalukan.
"Ada sesuatu yang mengganggumu? Ingin menceritakannya padaku?" tawar Hinata halus.
"Ki-kita harus melanjutkan perjalanan," kata Naruto, mengalihkan perhatian, lalu berdiri dan melepaskan tangannya dari tangan Hinata, diiringi pandangan kecewa Hinata. "Aku akan menceritakannya sambil jalan," imbuhnya cepat.
Mungkinkah perkataan atau tindakannya tadi menyakiti Hinata?
Sesuai janjinya, Naruto menceritakan seraya mereka melanjutkan perjalanan yang sempat tertunda. Hinata sama sekali tidak menyela Naruto yang terus berbicara mengenai gurunya—Jiraiya—dan ketiga muridnya yang terdahulu sebelum Naruto, sementara Hinata mengekorinya membuatnya seperti berjalan sendirian dalam artian konotasi.
Mengapa ia bisa semudah ini bercerita pada Hinata?
Ini pertama kalinya ia menceritakan sesuatu hal yang bersifat agak pribadi, dan jarang ia ceritakan pada orang-orang terdekatnya, namun dengan mudahnya ia berbagi sepenggal kisah tersebut pada gadis yang eksis di sisinya.
Waktu terus berjalan, hingga Naruto mengakhiri ceritanya dengan seulas senyum sendu. "…dan mungkin Ero-Sennin akan menertawaiku kalau melihatku sekacau ini."
Suasana berduka mendadak melanda Naruto. Menceritakan kembali berarti membuka kenangan lama yang terpendam. Mengenang kembali berarti melukai diri lagi.
Sunyi menggantung, hanya terdengar bunyi derasnya hujan mengisi keheningan.
"Jiraiya Sama pasti tidak ingin melihat hujan jatuh dari kedua matamu," kata Hinata jujur.
Kerutan samar muncul di kening berkulit tan itu. Naruto tahu Hinata kerapkali bicara puitis padahal itu adalah kejujuran terdalam sang pewaris klan Hyuuga.
"Mereka pasti tidak ingin melihatmu dirundung mendung dan hujan terus-menerus. Sudah saatnya matahari untuk bersinar kembali.
"Matahari yang bangkit berjuang untuk bersinar setelah hujan itu adalah sinarnya yang paling terang dan hangat daripada matahari pagi yang terbit di ufuk Timur. Sungguh sangat mengagumkan, bukan?"
'Jadi, maksudmu aku ini benar-benar sangat mengagumkan untukmu, Hinata?' Tentu saja, lidahnya terlalu kelu untuk menyuarakan hal yang terlintas di benaknya. Naruto berhenti melompat. Hinata melampauinya—tidak menyadari ia melewati Naruto.
"Kau pasti bisa mendatangkan keajaiban sesuai keinginan Nagato san; hujan berhenti dan matahari bersinar menghangatkan desa Hujan," kata Hinata, menyemangatinya.
Naruto terpana memandang Hinata lekat-lekat. Tutur kata Hinata yang jujur namun terdengar puitis itu menentramkannya yang galau.
"A-ah! Maaf, Naruto kun. Karena terlalu keasyikkan bicara, aku jadi melewatimu seenaknya." Hinata yang berjarak tiga pohon dari Naruto ikut berhenti.
Padahal—ia cukup yakin—mungkin ialah seseorang yang paling menyakiti Hinata. Seperti tadi, mengecewakannya. Tapi, Hinata begitu saja melupakannya. Dia juga yang tak mampu melindungi Hinata; Hinata yang selalu menyelamatkannya.
Hinata terdiam dan menanti Naruto berkata sesuatu atau kembali berjalan. Naruto tetap bergeming, hingga akhirnya angkat suara.
"Hinata… terima kasih banyak," suara baritonnya dialiri nada haru.
Di luar perkiraannya, Hinata tidak mengatakan apa pun. Samar-samar Naruto melihat di balik tirai hujan yang menjembatani mereka, Hinata tersenyum manis dan mengangguk.
'Sial,' umpat Naruto dalam hati. Kalau seperti ini terus, ia jadi jatuh hati pada kepribadian Hinata yang baru dikenalnya.
Sepasang muda-mudi itu pun melanjutkan perjalanan dengan menyejajarkan langkah mereka.
.
#~**~#
.
Misi kelas A yang diberikan pada Naruto dan Hinata sudah selesai. Dengan mudah mereka berhasil meringkus para bandit berkat kerjasama antara Hinata yang mengetahui letak musuh, dan memberitahukannya pada Naruto yang bertindak cepat mengoordinir kloning-kloning bayangan yang banyaknya tak terkira.
Naruto berhasil menemui pemimpin desa setempat, bersamaan dengan Hinata yang mendatangi penduduk sekitar desa Hujan—yang langsung berterimakasih penuh sukacita pada sepasang ninja asal Konoha tersebut.
Tatkala Naruto kembali ke desa Hujan sesudah dari kantor pusat pemerintahan desa Hujan mendapatkan tanda tangan misi sukses dilaksanakan, ia menemukan Hinata dikelilingi warga desa.
Tidak heran mereka menyenangi Hinata yang mampu menyesuaikan diri dengan baik di tengah masyarakat desa Hujan. Ia terlihat seperti sang surya di tengah kesuraman, menularkan kehangatannya pada penduduk setempat.
Awan kelabu yang menaungi desa Hujan tak lagi menitikkan air, gumpalan awan itu bergeser ditiup angin baru yang berhembus menyejukkan.
Naruto mendongakkan kepalanya, melihat sinar mentari yang menorobos tiap celah kosong dari gundukan awan-awan gembul kelabu. Walau udara masih terasa dingin, radiasi matahari menghangatkan sekaligus menghidupkan desa Hujan yang semula suram.
"Sudah kukatakan kalau kau pasti bisa mewujudkan keinginan Nagato san, bukan?"
Naruto terlonjak kaget. Ia menengok ke samping dan menemukan Hinata telah berada di sampingnya seraya ikut menengadahkan kepalanya dengan seutas senyum manis. "Astaga—kau nyaris membuatku kena serangan jantung, Hinata!" serunya terkejut.
Hinata mengalihkan tatapannya pada Naruto yang melangkah mundur—merentangkan jarak di antara mereka, telapak tangan berkulit tan itu mencengkeram dadanya sendiri dengan napas yang sedikit berpacu lebih cepat. Seketika raut menyesal terbit di wajah manisnya.
"Ma-ma-maafkan aku, Naruto kun. Ku-kupikir kau tidak akan terkejut," sesal Hinata terbata-bata.
Perkataan sesal Hinata seperti hantaman ribuan jarum di hatinya. Ya Tuhan, mengapa ia bisa seterkejut itu tatkala menyadari Hinata berada di sampingnya? Seketika kepanikan melanda Naruto melihat sepasang mata lavender Hinata mendadak menyorot hampa.
"Ah! Tidak, tidak usah minta maaf, Hinata! Kau tidak salah! Aku hanya—"
—mendadak terkena serangan jantung—
Aaarrgghh! Bukan itu yang ingin ia katakan!
"—pangling saja, mungkin." Naruto menyelesaikan perkataanya dengan keraguan tersirat jelas.
Hinata kelihatan bingung, ia tidak menangkap jelas perkataan terakhir Naruto. Gadis itu bertanya khawatir, "Naruto kun, kau benar-benar pusing?"
Naruto ternganga. Pusing?
Sesaat kemudian cengiran lebar merekah di wajah Naruto. Kemudian ia tertawa lalu berkata pada Hinata, "Ya, kurasa aku pusing!" …kau yang membuatku pusing, Hinata.' Lanjut Naruto dalam hati.
Lucunya gadis di hadapannya ini…
Berbanding terbalik dengan Naruto yang tertawa-tawa riang, ganti Hinata yang dilanda panik. Ia memandang cemas Naruto. Tersirat di pikirannya mungkin saking pusingnya Naruto, pemuda itu sampai tertawa-tawa tidak jelas—padahal calon Hokage itu menertawainya. Dan ia bingung, mengapa jika pusing justru tertawa?
"Pasti karena tadi kita kehujanan atau karena kau kelelahan saat melawan bandit-bandit," cemas adik sepupu Neji itu.
Naruto nyengir. Ia menepuk dadanya bangga. "Tenang saja, Hinata! Hal sepele seperti pusing ini tidak akan menumbangkanku!"
Hinata akan mengatakan sesuatu, namun bibirnya terkatup kembali. Meskipun masih ada sedikit kecemasan merisaukan hatinya, ia percaya kata-kata Naruto—putra tunggal Yondaime-Hokage itu baik-baik saja.
Mendapati kelegaan terpancar dari Hinata, Naruto—yang ikut lega—menampilkan cengiran lebarnya. "Ayo kita cepat pulang, Hinata! Tak kusangka misi ini bisa kita selesaikan begitu cepat~"
Naruto bersenandung riang dan berjalan menuju salah satu penginapan—tempat mereka menitipkan barang. Sesekali ia melirik kanan-kiri menemukan warga yang seakan bangkit dan sesekali menyapanya serta Hinata—walau lebih sering Hinata.
'Kau memang 'Hinata' untuk mereka—penduduk desa Hujan,' batin Naruto dalam hati.
Andai Naruto menoleh sebentar saja ke belakang, akan didapatkannya seseorang yang membuntutinya, lagi-lagi menatapnya lekat dengan pandangan yang melembut. Sekali lagi segaris senyum tersungging di bibir Hinata.
.
#~**~#
.
Naruto dan Hinata meninggalkan desa Hujan ketika senja datang menjelang. Baru separuh perjalanan menuju Konoha, mereka terpaksa menghentikan perjalanan karena terlalu berbahaya melanjutkannya di malam buta.
Keduanya membangun tenda bersama dan menyiapkan api unggun. Usai makan malam—biarpun makan malam ala kadarnya, Naruto tidak henti memuji Hinata yang mampu mengolah bahan makanan seadanya menjadi panganan luar biasa lezat—mereka pergi tidur.
Sebelumnya Naruto ingin tidur di luar saja—walaupun bodoh ia tetap mengerti bahwa Hinata adalah seorang gadis, dan membiarkan Hinata di dalam tenda. Hei, bisa jadi skandal jika sepasang remaja tidur bersama dalam satu tenda yang tergolong sempit. Tetapi, cuaca malam ini sangat dingin dan udara di hutan terlalu lembab, hal itulah yang membuat Hinata dengan halus menolak keinginan Naruto tidur di luar.
Alhasil, keduanya tidur bersama di dalam tenda. Suhu di sekitar Hinata mendadak naik drastis, tak henti semburat merah menyaput pipinya. Naruto—sekali lagi, meskipun ia bodoh—mengerti mengapa reaksi Hinata bisa seperti itu.
Naruto terkekeh-kekeh dan menaikkan resleting tenda—menutupnya, lalu masuk ke dalam kantung tidurnya. "Aku yakin kau pasti tahu aku tidak akan 'macam-macam' padamu, sehingga kau berani tidur bersamaku." Oke, kalimat terakhir maksudnya konotasi.
Pemuda yang bertipe chakra angin itu teringat sesuatu. Ia memetik kedua jarinya. Sebersit kenangan singgah di memorinya. "Kalau tidak salah, kita juga pernah tidur sama-sama di rumah sakit; waktu kau ulang tahun, tahun lalu setelah kemenangan Aliansi Ninja."
Hinata tidak tahu harus merespon apa. Ia sudah lebih dulu memasuki kantung tidurnya dan membelakangi Naruto. Tak henti ia menggigit bibir bawahnya—cemas kalau Naruto mengetahui ia benar-benar gugup. Toh, walaupun Naruto tidak tahu, remaja yang menjejaki usia tujuh belas tahun itu mengerti.
"Tenang saja, Hinata," kata Naruto dengan suara dalam menenangkan—untuk keduanya kalinya hari ini, "aku pasti menjagamu."
Sepertinya cuaca bisa terpengaruh oleh radiasi 'hangat' yang Hinata rasakan. Gadis mana yang tidak 'meleleh' mendengar kata-kata yang —cukup bisa dibilang— romantis itu?
"Lagi pula, aku tidak mau mendapat masalah dari Neji kalau aku sampai membiarkan adiknya tersayang terluka. Hoaahhm~" Naruto menguap lebar, ia merenggangkan badannya—melemaskan otot-ototnya. "Selamat tidur, Hinata! Aku sudah mengantuk…"
Hinata berusaha menormalkan sistem pernapasannya kembali, sebelum berbisik di keheningan malam, "Terima kasih, Naruto kun. Selamat tidur…"
Naruto yang tidurnya membelakangi Hinata—miring menghadap pintu tenda, sekuat tenaga menahan tawanya. Lantas ia berdeham pelan dan balas berkata, "Sama-sama, Hinata."
Mendadak Hinata menjadi kaku sementara Naruto tertidur dengan senyum lebar lekat di wajahnya.
.
To be continued
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
.
Tenang aja, belum masuk konflik, kok. Baru tersirat saja. Jadi, jangan terlalu berharap fic ini full of fluffy seperti yang biasa saya buat. #nyengir inosen
Mohon keikhlasan doanya supaya saya cepat sembuh, ya. Jadi fic ini bisa update berkala sesuai yang direncanakan.
We are NHL, we are FAMILY! Keep stay cool, friends~ ^_~
.
Terima kasih sudah menyempatkan membaca. Kritik dan saran selalu dinanti kehadirannya. ^_^
.
Sweet smile,
Light of Leviathan (LoL)
