Someone POV

Suasana gembira kali ini tidak cukup membuat hatiku puas. Hanya sebatas senyum belaka. Itu pun kupaksakan. Mau berkali-kali senyum namun jika 'dia' tidak pernah melirikku pun percuma. Aku bersedia. Bersedia menjadi apapun yang dikehendakinya. Meskipun aku harus membuang harga diriku jauh-jauh, sejauh mungkin, sejauh yang kubisa. Karna, kepercayaan itu sangatlah mahal rupa harganya.

"Wah, selamat Kim Jaejoong. Kamu bisa memenangkan olimpiade penguasaan 8 bahasa asing terbanyak. Selamat.^^" Meskipun tidak sedikit orang-orang yang menyalamiku, mengucapkan selamat, mengucapkan puji-pujian padaku. Tapi... perasaan ini... masih sama, tidak puas.

"Chingu! Lihat! Siapa yang datang? Inilah teman kebanggaan kita...Kim...Jaejung!" Begitu pula pertama kalinya saat aku memasuki lokal kelas. Teman-temanku menyorakiku bangga. Lagi-lagi kupaksakan bibir ini untuk tertarik menyudut, sebut saja senyum memaksakan.

Mataku gencar mencari sosok'nya' yang akhir-akhir ini menjauhiku. Ah, ketemu, disana! Dia... duduk serius didekat jendela. Apakah 'dia' tidak takut akan masuk angin nantinya? Kudekati 'dia', ragu.

"Kenapa? Mau menyombong padaku?" Matanya yang terpejam tenang walaupun suaranya menyiratkan keremehan.

Mata itu terbuka seluruhnya. "Kamu pikir aku bangga, iya? Bahasa sendiri saja masih abstrak. Ini yang jadi pemenang olimpiade sok penguasaan 8 bahasa itu! IYA! HA! Kuso!" Aku hanya bisa menahan keseimbangan tubuhku saat tangan yang dulunya membelaiku mendorong bahuku kasar sebelum benar-benar pergi. Aku akan sangat lemah jika dihadapkan oleh manusia seperti 'dia'. Hanya dia seorang yang bisa berbuat begini padaku. Hanya dia seorang yang kuperbolehkan menginjak-injak harga diriku. Hanya... dia... seorang...dan itu...boleh.

"Hei! Jae, kenapa hanya diam saja? Dia sudah berani meremehkanmu. Tunjukkan kemampuanmu yang sebenarnya, supaya dia tau kalau kamu itu-" Aku juga hanya bisa meminta temanku diam, agar tidak berfikiran buruk tentang 'dia'. Aku tau aku cerdas sekaligus bodoh. Maaf.

Kubuka kotak obentoku. Satu suap membuatku sudah tak berselera memakannya lagi. Kututup kembali obentonya.

Dari kejauhan, aku memandangi sosoknya, sosok bahagianya. Berbeda ketika dia bersamaku. Yang ada hanya sosok kecewa, semua ini kesalahanku. Andai saja saat itu aku tidak mengakhiri hubunganku dengannya. Mungkin dia akan lebih bahagia bersama dengan orang lain, yang lebih pantas untuknya.

"Cih! Sial! Akan kumusnahkan dari dunia ini! Kau! Jung Yunho! Lihat saja nanti!" Aku tertegun. 'Dia' berada dalam bahaya? Aku harus melindunginya. Kutolehkan kepalaku kebelakang, dia? Kim Junsu, kekasih Park Yoochun yang sekarang bercanda bersama Yunho. Benar saja jika Junsu marah. Yoochun terlihat lebih bahagia jika dengan orang lain. Apakah hubungan mereka berdua sama dengan kami?

Buru-buru kumasukkan obentoku kedalam tas sandangku, tak peduli jika obentoku nantikan tumpah. Yang terpenting sekarang adalah Yunho. Dia jauh lebih penting dibandingkan hal lainnya.

Kuperhatikan lagi dia, meskipun jarak kami cukup jauh. Namun jarak ini cukup untuk mengawasinya.

Waktu pulang sekolah tiba, kali ini aku harus menjaganya semaksimal mungkin. Bisa saja saat ini Kim Junsu akan mencelakainya.

Mulai dari keluar gerbang-naik bus-jalan kaki hingga sampai dirumahnya. Haah~ Perasaanku jadi tenang. Semoga kamu baik-baik saja Yunho. Aku sangat mengkhawatirkanmu.

Pagi hari yang cukup mendung, rintikan gerimis jatuh bergantian membasahi bumi. Aku lupa bawa payung. Aku tau aku akan kebasahan. Namun bukan masalah. Karena 'dia' biasanya berangkat jam 6 pagi.

Sesampainya di lokerku, aku berganti sepatu dengan sepatu kering dan juga blaizer yang kering. Ku usap-usap rambutku yang ikut basah. Mataku secara reflek memandang lokernya. Aku tertegun. Kim Junsu...? Dia... melumuri loker Yunho dengan...darah? dengan senyuman mengerikan.

Tuk!

Pisau lipat menacap tepat diatas nama Yunho dilokernya.

"Mati kau!"

Setelah Junsu pergi, aku mendekati loker Yunho. Kubuka blaizerku terburu-buru, kuhapus lumuran darah di lokernya cepat sampai bersih, aku tidak peduli jika nanti orang bertanya-tanya kenapa blaizerku penuh darah. Yang terpenting sekarang adalah, Yunho jangan melihat darah dilokernya.

Terlambat sepertinya, kubalikkan badanku resah.

"Apa yang kamu lakukkan! Astaga!..." Dia memandang takut pada pisau lipat yang ku genggam sekarang. "Kamu bukan Kim Jaejoong yang kukenal dulu! Apa maumu melakukkan ini! Ck! Minggir!" Raut kekecewaan kembali terpancar diwajahnya. Dia membuka lokernya marah kemudian ditutupnya kecewa. Matanya menatapku tajam seakan akulah tersangkanya, Yunho, bukan aku. Justru aku hanya ingin melindungimu, ada bahaya yang mengikutimu.

"Puas? Lakukkan lagi ya besok. Sekalian kamu datang ke kamarku kamu cekik aku malam nanti saat aku tidur." Aku hanya bisa tertunduk dihadapannya. Tidak bisa berbicara. Aku ini lemah kan?

Selama jam pelajaran berlangsung aku hanya terdiam. Yunho sama sekali tidak melihatku. Makin hari makin besar rasa bencinya padaku. Apakah aku cukup menyedihkan sekarang?

Guyuran air hujan diluar cukup untuk menemani rasa kekosongan hatiku saat ini. Aku selalu intropeksi kesalahan-kesalahan yang dulunya kubuat pada Yunho. Meskipun itu sama saja, aku masih ingat betul. Semuanya terasa familiar di pikiranku. Tidak satupun yang kulupakan. Tidak satupun.

'Yunho, gomen?' Ku pandangi sosok seriusnya yang sekarang memperhatikan pelajaran, sendu.

"Junsu, aku ingin bicara padamu." Kudekati Junsu yang sedang berkumpul bersama ganknya.

"Ada apa, Kim Jaejung?" Junsu berdiri dari duduknya.

"Hanya aku dan kamu, sekarang." Pintaku padanya.

"Eh, boss bukannya dia mantan kekasih Jung sialan itu boss?"

"Ah, benar juga. Kehormatan untukku, aku juga ada perlu dengannya." Terlihat olehku dia menyeringai.

Di belakang sekolah, aku dan Junsu, hanya kami berdua saat jam pelajaran berlangsung. Aku membolos.

"Kau duluan bicara." Junsu memerintah.

"Tidak, kau duluan." Aku juga penasaran dengan apa yang akan dibicarakannya. Apakah ini mengenai Yunho?

"Baiklah, aku duluan." Aku menghela nafas pertama-tama. "Mengenai Jung Yunh-"

"Aku tau kau akan membicarakan orang itu. Cih!" Junsu menyela omonganku.

"Lalu, kau?" Tanyaku menuntut.

"Sama, mungkin sebentar lagi dia tidak akan bersekolah seperti biasanya. Dikediaman Jung akan berjejer rapi karangan bunga, tamu-tamu, kerabat dekat bahkan dirimu akan datang. Suasana akan kelam, menghitam, sama seperti pakaian yang kalian kenakan saat itu. Akan banyak pertumpahan air mata dalam acara kelam itu." Aku mengerti dengan apa yang dimaksudkan Junsu, ini... buruk.

"Apa itu artinya... Yunho akan...?"

"YA! akan mati!"

"Junsu hentikan!" Junsu berlalu, "Kumohon?" Sekarang lihat. Aku gagal mencegah Junsu untuk menyelakai Yunho. Aku gagal.

Bau asam khas air hujam tercium menyeruak kedalam indera penciuman. Aku tidak peduli lagi dengan keadaanku saat ini. Yang terpenting adalah 'dia'. Aku hanya memikirkan 'dia'. Mengikutinya, inilah kebiasaanku sehari-hari. Namun kali ini sedikit berbeda, mengikuti Yunho sampai Yunho benar-benar aman. Benar-benar tidak berada dalam bahaya. Apa aku terlalu posesif? Biarlah, ini demi keselamatannya. Aku rela dipanggil orang jahat dimanapun. Aku hanya terlalu egois dengan perasaanku. Bolehkah aku menyukainya lagi? Bolehkah aku dan dia memulai dari awal lagi? Tapi... kurasa... akan mustahil.

Ku ingat-ingat lagi, warna payungnya tadi hijau. Jangan sampai salah. Ini akan berakibat untuknya. "Yunho?" Kupanggil namanya, benar! Dia berhenti kemudian membalikkan tubuhnya kebelakang. Matanya memandangku benci. "Cih!"

Aku sedikit berlari kecil untuk menyamai langkah dengannya. Dia tetap berjalan, seakan menganggapku tidak ada.

Aku tetap siaga. "Aku ingin bicara padamu." Nada suaraku kubuat seserius mungkin. Matanya memandang lurus kedepan, "Kamu berada dalam bahaya. Ada seseorang yang berniat mencelakai kamu." Tuturku.

Dia berhenti, "Ck! Justru kamulah bahayanya! Seseorang itu kamu! Ya kan!" Dia jadi salah paham padaku.

"Kumohon Yunho, percayalah padaku. Sekali lagi ini saja?" Melasku. Yunho melangkah lagi.

Seorang berjas hujan menghampiri kami dari kejauhan. Perasaanku mulai tidak tenang. Benar! Ini pertanda buruk! "YUNHO!" Tidak peduli dia akan marah setelah ini, kuputar dengan cekatan posisi kami. Hingga aku merasakan sesuatu menembus bahu kananku, sakit rasanya. Seperti air hangat yang merembes ke seragamku, cairan berwarna merah pekat. Ini belum sebanding jika Yunho yang rasakan, aku rela, biarlah aku yang terluka.

Tidak kuasa menahan beban, aku pun jatuh ketanah sambil memegangi bahu kananku. "Ukh! Yu-yun-ho!" Kupanggil namanya dengan sedikit mendongak. Dia... tersenyum. Kenapa? Apa karena aku terluka didepannya? Apa karena sekarang aku terlihat menyedihkan? Aku tertunduk.

"Baka." Bisa kudengar jelas suara lirihnya mengucapkan kata itu. Samar-samar, terdengar suara derap langkah kaki Yunho menjauh dari tempatku sekarang. Apa ini semua berakhir dengan menyedihkan?

Aku tidak kuat lagi. Kumohon, bahagiakanlah Yunho jika aku tidak ada lagi setelah ini.

TBC